Alergi Obat Dan Renjatan Anafilaksis.docx

  • Uploaded by: Anand IcuBeg
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Alergi Obat Dan Renjatan Anafilaksis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,788
  • Pages: 11
ALERGI OBAT

PENGERTIAN Alergi obat merupakan reaksi simpang obat yang tidak diinginkan akibat adanya interaksi antara agen farmakologi dan sistem imun manusia. Terdapat empat jenis reaki imunologi menurut Gell dan Combs, yaitu hipersensivitas tipe 1 (reaksi dengan IgE), tipe 2 (reaksi sitoktoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun) dan tipe 4 (reaksi imun selular). Manifestasi alergi obat tersering adalah kulit, yang terbanyak yaitu berupa ruam makulopapular: Selain di kulit, alergi obat dapat bermanifestasi pada organ lain, seperti hati, paru, ginjal, dan darah. Reaksi alergi obat dapat terjadi cepat atau lambat, dapat terjadi setelah 30 menit pemberian obat hingga beberapa minggu.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Riwayat obat-obatan yang sedang dipakai pasien, riwayat obat-obatan masa lampau, lama pemakaian dan reaksi yang pernah timbul, lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat hingga timbul gejala, gejala hilang setalah pemakaian obat dihentikan dan timbul kembali bila diberikan kembali, riwayat pemakaian antibiotik topikal jangka lama, keluhan yang dialami psien dapat timbul segera ataupun beberapa hari setelah pemakaian obat (pasien dapat mengeluh pingsan, sesak, batuk, pruritus, demam, nyeri sendi,mual).

Pemeriksaan Fisik Pasien tampak sesak, hipotensi, limfadenopati, roki, mengi, urtikaria, angiodema, eritema, makulopapular, eritema multiforme, bengkak dankemerahan pada senfi.

Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan hematologi: darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati



Urinalisis lengkap



Foto toraks



Pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test)



Pemeriksaan Coombs indirek



Pemeriksaan fiksasi komplemen, reaksi aglutinasi



Uji tususk kulit (skin prick testi)



Uji kulit intradermal



Uji tempel (patch test)

DIAGNOSIS BANDING 

Sindrom karsinoid



Gigitan serangga



Mastositosis



Asma



Alergi makanan



Keracunan makanan



Alergi lateks



Infeksi



Penyakit graft-versus-host



Penyakit Kawasaki



Psoriasis



Infeksi virus



Infeksi Streptococcus

TATALAKSANA Non Farmakologis Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai.

Farmakologis 

Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi obat. Pengobatan simtomatiik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pada kasus yang berat, kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan.



Pada kelainan kulit yang berat seperti pada SSJ, pasien harus menjalani perawatan. Pasien memerlukan asupan nutrisi da cairan yang adekuat, perawatan kulit juga memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu. Hal lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder yang membuat pasien perlu diberikan antibiotika.



Tatalaksana anafilaksis dapat dibaca pada bagiananafilaksis.



Pada kasus urtikaria dan angiodema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hepatitis, atau nefritis interstisial biasanya memerlukan kortikosteroid sistemik dosis tinggi(60-100 mg prednison atau setaranya) sampai gejala terkendali. Kortikosteroid tersebut selanjutnya diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.

KOMPLIKASI Anafilaksis, anemia imbas obat, serum sickness, kematian.

PROGNOSIS Alergi obat Akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan tatalaksana yang tepat. Apabaila penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab alergi segera dilakukan, maka prognosis akan semakin baik.

UNIT YANG MENANGANI 

RS Pendidikan

: Divisi Alergi-Imunologi – Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT 

RS Pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam, Bagian Kulit dan Kelamin



RS non pendidikan

: Departemen Kulit dan Kelamin

Algoritma Penatalaksanaan Alergi Obat

Anamnesis: gejala, daftar obat yang sedang digunakan, temporal sequence Pemeriksaan Fisik Pemeriksaaan Laboratorium

Merujuk pada reaksi obat

Ya

Kecurigaan terhadap hipersensivitas terhadap obat/reaksi imunologi

Tidak

Cari Etiologi lain

Evaluasi dan terapi etiologi tersebut Mekanisme non imun: - Efek samping obat - Toksisitas obat - Interaksi antar obat - Overdosis obat - Pseudoalergi - Idiosinkrasi - Intoleransi

Mekanisme imunologis: - Diperentarai IgE - Sitotoksik - Kompleks Imun - Reaksi tipe lambat - Mekanisme imun lain

Manajemen: - Modifikasi dosis - Subtitusi obat - Atasi efeksampiing - Lakukan pemberian obat bertahap - Edukasi pasien

Evaluasi dengan melakukan tes provokasi

Apakah tes mendukung diagnosis alergi obat karena reaksi imunologi? Ya

Tidak

Apakah tes memiliki nilai kemaknaan tinggi

Diagnosis alergi obat ditegaskan Ya

Manajemen: - Desenstisasi atau uji bertahap sebelum obat diberikan - Reaksi anafilaksis diberikan terapi emergensi - Hindari pemakaian obat - Pemberian profilaksis sebelum pemakaian obat - Waspada pada penggunaan obat dimasa mendatang - Edukasi pasien

Tidak

Berikan obat dengan observasi

RENJATAN ANAFILAKSIS

PENGERTIAN Anafilaksis adalah reaksi hipersensivitas tipe 1 yang beronseet cepat, sistemik, dan mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat menimbulkan syok yang disebut syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. Insidens syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan sserangga, 20-40 persen akibat zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat penisilin. Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik di Indonesia. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis yang teliti. Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaksis berbeda-beda gradasinya sesuai dengan tingkat sensivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita. Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak nafas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yaang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan napas dan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinant timbulnya ggejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut keram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan napas dan sirkulasi.

Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya anafilaksis antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan, maupun riwayat atopi. Anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa (60%) yang umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia di bawah 15 tahun, anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pajanan paraenteral biasanya menimbulkan reaksi yang lebih berat dibanding oral.

Pemeriksaan Fisik Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium hitug eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kalimenunjukkan nilai normal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit (skin prick test/SPT) untuk mencari faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen hirup dan makanan dapat dilakukan setelah pasien sehat.

Penegakan Diagnostis Diagnosis Klinis Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allegy Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat munkin bila (Simons et al. 2011): 1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan, pembengakakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini: a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme,stridor, penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia)

b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkotinensia). 2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen),yaitu: a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit b. Gangguan respirasi c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target d. Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah) 3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut: a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula b. Dewasa: tekanan darah sistolik <90 mmhg atau terjadi penurunan c. >30% dari tekanan darah sistolik semula.

DIAGNOSIS BANDING 1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis a. Seranagan asma b. Sinkop c. Gangguan cemas/serangan panik d. Urtikaria akut generalisata e. Aspirasi benda asing f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru) g. Kelainan neurologis akut (kejang, strok) 2. Sindrom flush a. Peri-menopause b. Sindrom karsinoid c. Epilepsi otonomik d. Karsioma tiroid meduler 3. Sindrom pasca-prandial a. Scomrbroidosis, yaitu keracunsn histamin dari ikan, misalnya tuna, yang disimpan pada suhu tinggi. b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayur yang mengandung protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara c. Monosodium glutamat atau chinese reastaurant syndrom d. Sulfit e. Keracunan makanan 4. Syok jenis lain a. Hipovolemik b. Kardiogenik c. Distributif d. Septik 5. Kelainan non-organik a. Disfungsi pita suara b. Hiperventilasi c. Episode psikosomatis 6. Peningkatan histamin endogen a. Mastositosis/kelainan klonal sel mast

b. Leukemia basofilik 7. Lainnya a. Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, Il, atau II, angioedemna terkait ACE-inhibitor) b. Systemic capillary leak syndrome c. Red man syndrome akibat vancomycin d. Respon paradoksikal pada feokromositoma

TATALAKSANA 1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tunigkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat. 2. Pemberian Oksigen 3-5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat ekstrim 3. Tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu didipertimbangkan 4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jjika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCI fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil. 5. Adrenalin 0,3 - 0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCI fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi. 6. AminofilinAminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu. 7. AntihistaminAntihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin

HCl 5-20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV. 8. ResusitasiResusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya. 9. Penatalaksanaan reaksi anafilaksis.

Related Documents


More Documents from ""

Abstrak.pdf
June 2020 6
199-333-1-sm.pdf
December 2019 6
1 & 2
December 2019 31