Alam Gaib, Siapa Takut? Senin, 9 Maret, 2009 oleh Jaki Umam
Batu ajaib Ponari adalah bukti bahwa fenomena alam gaib tak pernah sirna. Bagaimana hubungan hal-hal gaib itu dengan sains? Alam gaib dalam kehidupan masyarakat awam selalu dikaitkan dengan fenomena-fenomena mistik, klenik, dan kekuatan supranatural. Di berbagai jenis masyarakat di seluruh penjuru dunia pembicaraan mengenai subjek ini sudah bukan barang asing lagi. Di kalangan masyarakat Jawa misalnya, yang sudah sangat akrab dengan berbagai fenomena ajaib, hantu, dan ilmu kedigdayaan. Di kalangan masyarakat Eropa yang sudah demikian majunya pun masih berkembang polemik tentang Dracula dan sihir, di kalangan masyarakat primitif Afrika ada fenomena Voodoo, bahkan di kalangan masyarakat Amerika masih ada tradisi Halloween yang sangat kental dengan fenomena metafisik, dan sebagainya. Jika ditelisik lebih jauh, fenomena-fenomena itu akan menjadi sangat faktual sehingga siapapun tidak bisa menyangkalnya lagi. Masalahnya, mengapa kita masih terus menyangkal keberadaannya? Mengapa ilmu pengetahuan kita akan menemui jalan buntu jika berhadapan dengan hal-hal yang berbau mistik? Ada semacam kredo yang berkembang di barat bahwa gejala-gejala metafisik itu abnormal, halusinasi, dan merupakan mitos tradisi yang sama sekali jauh dari wilayah sains. Itu kredo yang berkembang di barat, dan sekarang telah merambah ke timur, yang telah lazim di kalangan ilmiah.
Cendikiawan barat biasanya memasukkan bahasan metafisika ke dalam kelas psikologi. Menurut mereka, dalam sistem kesadaran, selain kita kompeten terhadap
kebanyakan
kenyataan-kenyataan
objektif,
kita
juga
sering
mengalami ilusi halusinatif, sesuatu yang dirasa ada tapi sebetulnya tidak ada. Budaya manusia sangat jauh dari kawasan ilmiah, karena sifatnya yang subjektif. Orang Jawa misalnya, tak tahu dan tak mau tahu kenapa mereka harus membuat sesajen, bakar-bakar kemenyan, takut terhadap pohonpohon besar, batu-batu besar, kuburan keramat, dan masih banyak lagi. Yang jelas, itu merupakan tradisi turun-temurun yang sifatnya anonim, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pantas saja, kalangan ilmiah memvonis mati bahwa alam gaib dan segala sesuatu yang berhubungan dengan metafisika, bukanlah wilayah sejati sains. Namun bagaimanapun, nyata atau tidak nyata, sadar atau tidak sadar, objektif atau subjektif, anonim atau tidak anonim, dan sebagainya adalah bagian dari eksistensi semesta ini. Bagaimanapun misteriusnya hantu-hantu dan makhluk-makhluk halus di sekitar kita, toh mereka tetap bagian dari alam ini, yang harus dimengerti dan dipahami oleh makhluk cerdas seperti kita. Bagi para pemikir barat, mungkin saja, data-data inderawi tentang alam gaib belum cukup menjadi alasan untuk membahas masalah tersebut secara ilmiah. Betulkah? Alam Gaib dalam Percobaan Pada akhir Oktober 1927, atas prakarsa pengusaha sabun kaya raya, Ernst Solway, diselenggarakan pertemuan paling bersejarah dalam sejarah sains modern. Pertemuan ini terkenal dengan sebutan Konferensi Solway, bertempat di Hotel Metropole, Brussel, Belgia. Pertemuan pertama ini menjadi sangat terkenal lantaran terjadi perseteruan intelektual antara dua pemikir garis depan, Niels Bohr dan Albert Einstein. Perseteruan tersebut dipicu oleh pengumuman Bohr tentang tafsirannya terhadap Teori Kuantum, yang kemudian terkenal dengan sebutan Aliran Kopenhagen. Aliran Kopenhagen memperkenalkan dua prinsip paling mendasar dalam fisika, yakni Prinsip Saling Melengkapi (dalam kaitannya dengan konsep materi) dan Prinsip Ketidakpastian (dalam kaitannya dengan konsep ruang-
waktu). Masalahnya timbul manakala Einstein secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Prinsip Ketidakpastian. Setiap jamuan teh sore hari, Einstein selalu menyerang prinsip-prinsip Bohr. Ia merancang berbagai percobaan pikiran untuk menemukan berbagai kontradiksi prinsip-prinsip tersebut. Namun selalu saja Bohr mampu menemukan kelemahan konsep Einstein dan mementahkannya. Pada konferensi selanjutnya, tahun 1930, Einstein mengajukan apa yang disebutnya sebagai paradoks kotak cahaya, yang dirancang untuk menggugurkan ketidakpastian. Ia mengambarkan kotak penuh cahaya dan menganggap energi foton dan waktu pancarannya bisa ditentukan secara pasti. Waktu dan energi adalah sepasang variabel yang memenuhi prinsip tersebut. Caranya, kotak ditimbang terlebih dahulu. Dengan pengatur cahaya yang dijalankan jam di dalam kotak, satu foton dipancarkan. Lalu kotak tersebut ditimbang lagi untuk mengetahui massanya. Kalau perubahan massanya diketahui, maka energi foton dapat dihitung dengan persamaan E=mc2. Perubahan energi diketahui dengan tepat, begitu juga waktu pancaran fotonnya, sehingga gugurlah Prinsip Ketidakpastian. Percobaan pikiran ini membuat Bohr kelimpungan. Semalam suntuk ia berupaya mencari kelemahan hujah Einstein tersebut. Pagi harinya Bohr menggambarkan kotak cahaya. Dengan gigih, ia mematahkan argumen Einstein: “Ketika foton dipancarkan terjadi sentakan yang menyebabkan ketidakpastian posisi jam dalam medan gravitasi bumi. Ini menyebabkan semacam
ketidakpastian
pencatatan
waktu
berdasarkan
asumsi
Teori
Relativitas Umum”. Einstein sejauh itu kalah dalam berbagai adu argumentasi dengan Bohr. Namun perseteruan berlanjut hingga tahun 1935—kala itu ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di Institute for Advanced Study, Princeton—ketika
Einstein
sekarang
diperdebatkan.
masih
mengajukan
sebuah
Bersama
dua
paradoks kolega
yang
sampai
mudanya,
Boris
Podolsky dan Nathan Rosen, ia mengajukan sebuah masalah yang terkenal dengan sebutan Paradoks EPR (Einstein-Podolsky-Rosen) untuk meruntuhkan Prinsip Ketidakpastian. Kalau ada sepasang partikel, misalnya A dan B, dalam
keadaan tunggal atau kedua spinnya saling meniadakan (berpasangan). Keduanya bergerak saling menjauh dalam arah tertentu. Suatu ketika spin A ditemukan
dalam
keadaan
‘atas’.
Karena
kedua
spin
harus
saling
meniadakan, maka dalam arah yang sama spin B harus dalam keadaan ‘bawah’. Fisika klasik sama sekali tidak mempersoalkan hal ini. Cukup disimpulkan bahwa spin B harus selalu ‘bawah’ sejak pemisahan. Masalahnya mulai tampak manakala Aliran Kopenhagen memperlakukan spin A selalu tak pasti sampai ia diukur dan harus mempengaruhi B seketika itu juga, yaitu mengatur agar spin B berpasangan dengannya. Ini berarti ada aksi pada jarak atau komunikasi yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, yang tidak bisa diterima. Einstein dan para koleganya mengusulkan apa yang disebut Prinsip Lokalitas sebagai jalan tengah paradoks ini, sehingga ia mengartikannya sebagai kealpaan Aliran Kopenhagen. Kalau sistem tersebut dipisahkan satu sama lain, pengukuran yang satu tentu tidak akan berpengaruh terhadap yang lain. “Jangan pernah lupakan Teori Relativitas Khusus saya: tidak ada yang lebih cepat dari cahaya”, demikian Einstein menegaskan. Meskipun demikian, Bohr tetap tidak setuju terhadap konsep pemisahan tersebut. Ia segera mengingatkan Einstein dan semua penyokong sains bahwa mazhabnya selalu menegaskan bahwa mekanika kuantum sangat tidak memperbolehkan pemisahan antara pengamat dan yang diamati. Dua elektron dan pengamat adalah bagian dari satu sistem yang utuh. Jadi, percobaan EPR sama sekali tidak membuktikan ketidaklengkapan Teori Kuantum. “Sangat naif anggapan bahwa sistem atom dapat dipisah-pisah. Sekali dikaitkan, sistem atom tak akan pernah terpisahkan”, demikian Bohr menegaskan. Berbagai percobaan, misalnya yang dikerjakan John Clauser di Berkeley (1978) dan Alain Aspect di Paris (1982), ternyata meruntuhkan Prinsip Lokalitas.
Mereka
menyimpulkan
bahwa
dunia
ini
bukanlah
semata
penampakan lokal, tapi juga didukung kenyataan non-lokal yang gaib dan tak terperantarai ruang-waktu, sehingga memungkinkan interaksi yang lebih cepat dari cahaya, bahkan seketika. Contoh populer dari fenomena non-lokal
adalah voodoo, ESP (Extra Sensory Perseption) atau yang biasa dikenal persepsi luar sadar. Pertanyaan yang tersisa, jika non-lokalitas betul-betul sahih, bagaimana kita bisa menerima konsep-konsep “tak masuk akal” dan fenomena-fenomena gaib? Pengalaman Ketika saya duduk di bangku SMA, saya pernah mengalami momentum kehidupan. Seperti biasa, sebelum bel berdering pukul 7 pagi, saya dan teman-teman duduk-duduk nyantai di teras kelas. Kebetulan kelas kami berhadapan langsung dengan kantor guru. Tiba-tiba dari balik pintu kantor muncul guru biologi kami, Supriyono Satrio, dengan pakaian safari yang sangat serasi dengan postur tubuhnya. Beliau berjalan dengan penuh wibawa menyusuri koridor depan kantor menuju ruang komputer. Seketika terdengar gumaman dari arah Rudi yang duduk di sebelah saya: “Busyet…..Pak Pri gagah banget! Suatu saat gue harus jadi kayak beliau”. Mendengar gumaman tersebut, sekonyong-konyong saya berkomentar: “O….jadi cita-cita lo ingin jadi guru yach?”. “Emang kenapa?”, tanya Rudi penuh sentimen. Tiba-tiba dengan setengah sadar saya menjawab: “Lo ga lihat nasibnya Guru Umar Bakri, beliau sengsara seumur hidup gara-gara ngabdi jadi guru. Kakinya bengkak-bengkak gara-gara ngayuh sepeda ontel berkilo-kilometer setiap hari”. “Emang cita-cita lo mau jadi apaan?”, tanya Rudi dengan menambah air muka sentimennya. “Gue mau jadi ilmuwan”, jawab saya mantap. Namun, mendengar jawaban saya, tiba-tiba si Rudi tertawa lebar menumpahkan semua sentimentilitasnya yang sedari tadi tertahan, sambil berkata: “Ha….Apa? Lo mau jadi ilmuwan? Buat apa? Komputer sudah ada, mobil sudah ada, pesawat supersonik juga ada, pesawat ulang-alik juga sudah dibuat, bahkan bom nuklir juga sudah ada. Lo mau apa lagi? Semuanya sudah ditemukan orang-orang Eropa dan Amerika yang pinterpinter itu. Kalau lo mau jadi ilmuwan, lo jangan makan tahu-tempe terus, lo harus makan roti dan keju. Lo harus banyak ngeremi telur ayam kayak
Thomas Alfa Edison. Atau lo harus sering kejatuhan apel kayak Newton. Lo juga harus sering-sering naik kereta api kayak Einstein. Emang lo bisa apa?”. Saya mati kutu di hadapan Rudi. Ternyata dia tersinggung dengan protes saya terhadap cita-citanya yang ingin jadi guru. Dan peristiwa itu pun membekas sepanjang hari, bulan, dan tahun-tahun yang saya lalui. Setiap hari saya hidup dengan sebuah pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan? Pada suatu malam yang sepi-senyap ditambah guyuran kecil hujan rintik-rintik, saya mencoba duduk-duduk santai di teras rumah. Tapi apa yang saya dapatkan justru jauh dari kesantaian yang diharapkan. Pemandangan gelap dan menakutkan berkeriapan di mata, kadang-kadang suara desis angin dan suara jangkrik malam menambah kental suasana mistis. Tapi apalah arti semua itu dibandingkan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba menyergap saya dari depan, samping, dan belakang. “Kenapa saya tiba-tiba merinding? Apa benar ada setan berkeliaran di sekitar saya? Ah, itu cuma takhayul!”. “Tapi kenapa saya ragu? Bukankah Alquran telah membenarkannya? Kalau memang itu benar, kenapa saya tidak pernah memergoki mereka? Apa benar jin, kuntilanak, tuyul, pocong, sundel bolong, genderuwo, buta ijo, atau apa saja yang pernah saya tonton di acara TV itu ada? Kalau begitu, kenapa saya harus percaya?”. Manakala kondisi otak makin kritis, saya samar-samar mengingat omongan Rudi, untuk kemudian saya menyimpulkan: “Jangan-jangan ini adalah masalah yang belum bisa dipecahkan orang-orang Amerika dan Eropa yang pinter-pinter itu!”. Kesimpulan itu kemudian mempengaruhi hari-hari saya bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai saat ini. Jadi, siapa takut alam gaib!