Aku Ingin Mencintaimu Secara Bersahaja Aku ingin mencintaimu dengan cara yang biasa-biasa saja. Ini bukan karena aku tidak mencintamu, tetapi lebih karena aku takut pada bahaya cinta. Semua ini pertama; untuk kepentinganku sendiri, kedua untuk kepentinganmu dan ketiga untuk kepentingan kita bersama. Untuk kepentinganku, karena jika cintaku ini kandas, akulah pihak yang paling sakit. Karena tak ada jaminan bahwa yang kucintai selalu mencintaiku. Untuk kepentinganmu; karena kesakitanku yang sangat, pasti akan membebani hidupmu. Padahal makin besar cintaku kepadamu, makin besar risiko kesakitanku. Padahal makin besar kesakitanku akan makin besar risiko kesakitanmu akibat kesakitanku. Untuk kepentingan kita, karena sakitku, mau tidak mau pasti akan menjadi sakitmu. Jadi makin besar kecintaanku akan makin besar risiko kesakitan kita bersama. Lalu siapakah kamu itu? Kamu bisa siapa saja, karena cinta bisa jatuh kepada siapa saja. Bisa jatuh ke orang-orang terdekatku, bapakku, ibuku dan saudara-saudaraku. Maka cintaku yang keterlaluan kepada bapakku akan membuat bisa menantang siapa saja yang membencinya, meskipun misalnya bapakku adalah seorang penjarah uang negara. Kamu itu bisa pula berupa anak-anakku. Jika keterlaluan cintaku kepadanya, akan menggodaku berbuat apa saja demi kebahagiaannya. Jika anakku adalah si bodoh misalnya, aku bisa ngotot merayu sekolahnya agar tetap diterima meskipun dengan cara membayar dari bawah meja. Jika anakku adalah pengangguran, maka akau akan berkolusi dengan siapa saja asal anak itu mendapat posisi, sambil tak peduli betapa ia miskin kompetensi. Padahal jika anak yang sudah aku bela mati-matian, dengan segala cara pula itu, kemudian cuma akan sibuk dengan dirinya sendiri dan lupa pada orang tuanya, yang lebih mencintai pasangannya sambil mengabaikan orangtua, lebih banyak tinggal di rumah mertua sampai lupa orangtuanya sendiri? aku pasti akan mengutuknya sebagai anak durhaka. Aku pasti akan makin marah saja jika ternyata, sudah kukutuk pun, eee kutukanku tak mempan juga! Apa jadinya jika kamu itu adalah idolaku? Inilah yang kutakutkan karena aku bisa menganggapmu sebagai orang suci cuma karena sering melihatmu memberi nasihat di televisi. Maka aku akan berhenti menontonmu ketika kemunculanmu sudah keterlaluan. Aku takut engkau menjadi terlalu terkenal dan aku makin memujamu cuma karena popularitasmu. Betapa mudah membayangkanmu sebagai si sempurna, cuma karena televisi tak pernah menyutingmu ketika bangun tidur, sedang malas dan uringuringan. Televisi cuma suka mengambil adegan ketika engkau sedang sebagai si sempurna, si baik, si sabar dan si sejuk. Televisi sungguh tidak pernah jujur kepadaku, apakah kebaikan yang sedang ditampilkan itu kebaikan asli atau sekadar kebaikan industri. Sudah lama aku takut, jika televisi itu sebenarnya tidak sedang memopulerkanmu, tetapi sedang menghisapmu. Menampilkan wajahmu siang malam, pagi dan petang. Kemana remote control itu berpindah selalu cuma harus ketemu wajahmu. Aduh, begitu ingin berteriak mencegahmu tapi aku mencegah diriku sendiri. Aku khawatir jika kau anggap aku sebagai si cemburu pada popularitasmu. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mencegah diriku sekuatku, sebisaku, agar aku tidak menjadi pemujamu cuma oleh hasutan televisi dan media massa. Tidak mudah, karena televisi telah menyita begitu banyak energi bangsaku cuma untuk menghabiskan waktu. Ia telah menjadi pengasuh bagi anak-anak, karib bagi ibu-ibu dan teman begadang bapak-bapak. Maka apa saja yang dimunculkan televisi, tiba-tiba menjadi nilai terpenting saat itu. Jelas, aku menolak untuk tertipu. Maka izinkan aku mencintamu secara bersahaja agar kita berdua tidak sama-sama tertipu dan menjadi korban hasutan media massa.
(Prie GS/)