Aku adalah seorang wanita. Walau dalam sebagian bisikan benakku rasakan kecewa, namun keseluruhan jiwaku tetap mantap tersenyum. Aku sadar, kekecewaan itu hanyalah setan berbisik. Betapa setan akan selalu berusaha menyesatkanku, selama hayatku. Aku pun teringat masa-masa itu, jauh di masa dahulu, dimana seorang wanita tiada punya martabat. Dimana seorang ayah tega membunuh darah dagingnya, karena ia terlahir sebagai wanita. Betapa mereka murung durjana, saat kabar terdengar terlahir wanita. “Dan apabila seorang diantara mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajah mereka pun menghitam dan ia sangatlah marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan padanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya hidup-hidup ke dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (AnNahl:58-59) Dan seketika kegerahanku saat bersyariat pun sirna dengan guyuran iman di jiwa. Dan aku pun semakin mengerti, betapa semua di dunia ini hanyalah ujian. Kami wanita, diuji dengan kekalahan fisik, akal dan keterbatasan. Apakah kemudian kami bertambah iman ataukah semakin kufur? Siapa pun, wanita atau lelaki memiliki kadar ujian masingmasing, walau tampak seakan wanita selalu di pihak yang kalah dan lemah. “Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang telah dikaruniakan Allah (berupa kelebihan) kepada sebagian kalian atas sebagian yang lain. Bagi lelaki ada bagian tertentu atas apa yang mereka usahakan. Dan bagi para wanita, ada bagian atas apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunianya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa:32) Amboi, apabila para wanita tahu, Islam datang dengan begitu memuliakan kaum wanita. Islam peka dan sadar dengan fitrah seorang wanita, hingga menempatkannya pada tempat yang sangat tepat. Bila kesempitan dan keterbatasan selalu terbayang, itu hanyalah dalam benak para wanita yang kering dan gersang akan tetesan iman. Betapa sebenarnyalah, Islam memberikan kesempatan yang sama, nilai yang sama dalam mereguk tetes kebahagiaan, walau kadang dalam rupa, cara dan bentuk yang berlainan. Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki atau wanita sedangkan ia orang yang beriman, maka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (An-Nisa:124) “Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki atau wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan akan kami beri balasan kepada mereka pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl:97) Arti Sebuah Kebahagiaan
Apakah arti kebahagian bagiku? Dan apa pula menurut benakmu? Kepuasan atas ambisi dan berbagai keinginan serta kesenangankah? Atau ada rumus dan perhitungan tertentu? Sekali-kali bukan itu, karena kami wanita beriman yang mendengar sabda Sang Nabi r, dari Abu Hurairah yang artinya, “Dunia itu adalah penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir.” (H.R. Muslim) Dengan demikian kami memandang segala sesuatu bukan dengan dunia, melainkan mata akhirat. Walau bukan berarti kami tak ingin bahagia di dunia. Dan kebahagiaan bagi hamba yang beriman itu berbeda ucapan dalam berpuluh anak sungai yang bermuara satu. Bagi seorang Abdullah Ar-Rumi, “Kebahagiaan itu terletak pada pengenalan terhadap hakikat ibadah.” Sementara Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa kebahagiaan itu tidak lain adalah tingkat pengenalan sesorang terhadap nilai dan hakikat ibadah. Orang yang berbahagia adalah orang yang paling menghamba, alias paling tekun menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah. Seberapa besar tingkat pengenalannya terhadap ibadah –yang diperolehnya melalui proses belajar dan praktik secara tepat, cermat dan ikhlas- sebesar itulah tingkat kebahagiaannya. Namun kebahagian pun bisa bertolak dari sesuatu yang praktis, sebagaimana sabda Sang Nabi r, “Ada empat kunci kebahagiaan: istri yang salihah, rumah yang baik (luas meskipun sederhana), tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang bisa membawa kesengsaraan: tetangga yang jahat, istri yang tidak salihah, rumah yang sempit dan kendaraan yang menyusahkan.” (H.R. Ibnu Hiban) Istri yang salihah, benar, ia dipastikan merupakan sebuah kebahagiaan bagi dirinya maupun orang-orang di sekitarnya. Betapa Sang Nabi r pun pernah bersabda yang artinya, “Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita yang salihah.” (H.R. Muslim) Baiklah, lalu dimanakah harta perhiasan, sawah ladang, emas permata yang membuat kami bahagia? Memang demikianlah naluri kemanusiaan, dimana kebahagiaannya terbungkus dalam sebahagian syahwat (keinginannya). Dalam batas yang tipis ketika syahwat itu menentukan kebahagiaan seseorang, apakah kemudian dalam ridha-Nya atau dalam kemarahan-Nya. “Dijadikan indah, pada (pandangan) manusia kecintaan kepada keinginannya (syahwat), yaitu: para wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan,
binatang ternak dan swah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan si sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran:14) Langkah Menuju Bahagia Mustahil kesuksesan dan kebahagian teraih cuma-cuma. Kisah-kisah para nabi penuh perjuangan dan penderitaan, demi kebahagiaan yang hakiki. Bukan sekedar kebahagiaan duniawi. Adalah Dr. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim, Imam dan Khatib masjid Nabawi telah menulis sebuah buku kecil yang berjudul “Langkah-langkah Menuju Kebahagiaan”. Diantara beberapa hal yang seharusnya ditempuh oleh seorang hamba, yang mendambakan kebahagiaan, di dunia dan di akhirat. 1. Ikhlas dalam beramal2. Selalu Bertawakal 3. Mencari Rezeki 4. Baik Sangka Kepada Allah 5. Berbuat Baik Kepada Orang Tua 6. Menyambung Persaudaraan 7. Menjaga Waktu 8. Menuntut Ilmu 9. Berdakwah Kepada Allah 10. Bersabar Atas Segala Musibah 11. Berdoa 12. Bersedekah 13. Banyak Beribadah Sunah 14. Berakhlak Karimah 15. Memenuhi Kebutuhan Orang Yang Membutuhkan 16. Bersyukur 17. Banyak Memohon Ampun 18. Banyak Membaca dan Menghafal Qur’an Menjadi Wanita Paling Bahagia Bahagia karena berhijab. Sesungguhnya dalam gerahku saat berhijab ada perlindungan. Betapa aku akan terjaga, karena tubuhku bak mutiara. Semakin mahal mutiara, adalah yang tak pernah tersentuh dan terbayang dalam keruh kotornya benak. Dan kuingin menjadi mutiara yang paling mahal. Walau aku harus sendiri dengan ketentramanku, di dasar samudra luas. Dan aku ingin tersucikan, dari godaan dan fitnah yang merupakan aromaku. Maha Suci Allah dengan firman-Nya, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang yang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Karena yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab:53) “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih aku takuti, melainkan fitnah yang diterima lelaki karena wanita.” (H.R. Bukhari)
Bahagia karena harus di rumah. Sebagian kaumku berkata,”Begitu nikmat bebas kupergi, kemana kusuka tiada terlarang.” Amboi, jika mereka tahu. Betapa mereka tatkala mereka berdandan dan kemudian keluar rumah, semakin kusam dan pudar kecantikannya. Aus, dan kemudian usang bagaikan barang bekas yang dicampakkan. Karena kecantikan lahir dan batin itu akan luntur, sebanding dengan semakin seringnya seorang wanita keluar rumah, dan semakin biasanya wajahnya dipandang para lelaki. “…dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah yang dulu. Dan dirikanlah salat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya…” (Al-Ahzab-33-34) Bahagia bersuamikan suami yang salih. Wanita yang salihat, di lingkungan yang salih, niscaya ia akan berbahagia dengan izin Allah, karena akan mendapatkan suami yang salih pula.Bukankah aku dan orang tuaku tiada boleh menolak lelaki salih yang datang meminangku? Sang Nabi r telah bersabda yang artinya, “Jika ada seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang meminang putrimu, maka nikahkanlah. Jika tidak, niscaya akan terjadi kerusakan yang meluas di bumi ini.” (H.R. Tirmidzi) Dan Allah telah pula melindungiku bila memang aku berusaha salihat, sebagaiman firman-Nya, Bahagia karena tidak pergaulan yang baik. Betapa Islam telah melindungiku, dari tindakan semena-mena, bila memang suamiku kurang bertanggung jawab. Rasulullah telah bersabda yang artinya, “Janganlah salah seorang diantara kalian memukuli istrinya seperti layaknya budak, namun ia menggaulinya di akhir malam.” (H.R. Bukhari) Bahagia dengan harta kepemilikan. Dan tiada seorang pun yang boleh merampasnya dariku, tanpa kerelaan dan ketulusanku. “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang sedap dan baik akibatnya.” (An-Nisa:4) Bahagia karena dibanggakan. Karena aku adalah seorang guru, guru bagi anak-anakku. Sebagaimana untaian syair, seorang ibu laksana madrasah. Seorang ibu laksana taman yang indah. Bahagia karena suamiku bahagia. Adalah sebuah nilai tersendiri, dimana kebahagiaan suamiku adalah pintu surgaku.
Tetap bahagia dibalik derita. Saat kelemahan dan godaan penderitaan menggelayut rasa, maka jiwaku pun tetap tersenyum. Ketika angin dan badai menerpa, cahaya imanku tetap bersinar. Dan bila badai itu memang kuanggap ada, kuyakin ia pasti berlalu. Bahagia dengan bertaubat. Bukankah setiap manusia pasti berbuat salah? Sungguh, air mataku pasti tiada kan cukup, bila Allah tak mengampuni hamba-Nya yang berbuat dosa. Dan pintu taubat masih selalu terbuka, selama hayat dikandung badan. Walau aku kan tetap menangis, khawatir dosaku tiada terampun. (Disampaikan dalam Daurauh LPI2 Januari 2006/Ai Harkan)