Ajaran Sunan Kudus untuk Pengendalian Nafsu Amarah Para wali, penyebar agama Islam di Jawa abad ke 15 M, yang disebut Wali Songo, karena jumlahnya sembilan, sangat berpengaruh dalam urusan pemerintahan Kerajaan Demak dan kehidupan masyarakat luas berkat dakwah mereka dilakukan dengan pendekatan budaya lokal. Sunan Kudus adalah salah satu dari sembilan wali itu. Ia dikenal sebagai guru agama, ahli strategi dan panglima perang yang disegani. Begitulah menurut cerita kethoprak, sandiwara tradisional atau opera ala Jawa. Alkisah, Sunan Kudus yang nama aselinya Jafar Shodiq, punya dua murid yang samasama sakti, tapi berbeda perangai. Satu bernama Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, (sekarang sekitar Cepu dan Blora, Jawa Tengah), yang berwatak “berangasan”, agresif, tidak sabaran. Dan satunya lagi, Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (dekat Kartasura, Surakarta), yang sebelum naik tahta dikenal sebagai Joko Tingkir. Penangsang ingin merebut tahta dengan cara membunuh Hadiwijaya karena merasa lebih berhak menjadi raja daripada Joko Tingkir. Berdasar garis keturunan, Penangsang adalah cucu Raden Patah, raja Demak pertama, sementara Joko Tingkir hanya cucu menantu karena menikahi putera Raja Tranggono, raja Demak kedua, putera Raden Patah. Penangsang mengutus dua mata-mata berbekal keris andalannya “Setan Kober” ke Pajang untuk membunuh Hadiwijya. Tapi, gagal dan bahkan, keris itu bisa direbut Hadiwijaya. Begitu mendengar kegalan itu, Penangsang naik darah dan akan membunuh kedua utusan yang dianggapnya tidak becus. Untunglah, pada saat itu Sunan Kudus datang menyelamatkan nyawa keduanya dan minta Penangsang untuk bersabar. Sunan Kudus dalam lakon ini dikesankan lebih pro Penangsang.
Ia ingin membantu Penangsang dengan merencanakan duel dengan Hadiwijaya dalam sebuah pertemuan di kediamannya. Acara itu dikemas sebagai pertemuan untuk memberi tambahan ilmu spiritual kepada kedua muridnya pada tanggal 1 Suro ( 1 Muharam). Penangsang diminta datang duluan untuk bertindak sebagai penerima tamu, menyambut Hadiwijaya dengan kunci sasmita (isyarat dalam kata-kata) dan dilarang duduk di kursi yang sengaja disiapkan untuk Hadiwijaya karena sudah dimanterai (Rajah Kalacakra) oleh Sunan Kudus. Alasannya, siapa pun yang menduduki kursi itu kesaktiannya akan hilang selama 40 hari. Hadiwijaya berhasil menghindari duduk di kursi itu, sekalipun berkali-kali dibujuk dan dipaksa Penangsang, berkat petunjuk Ki Ageng Pemanahan, Penasehat Kerajaan Pajang. Karena kesal, Penangsang lupa dan dengan bersungut-sungut menduduki kursi yang sudah dimanterai itu. Hadiwijaya datang memenuhi undangan gurunya dan sekaligus mengembalikan keris Setan Kober. Ia melecehkan Setan Kober sebagai pusaka murahan, mengunggulkan kerisnya sendiri, Kyai Cerubuk. Terjadi debat hangat, saling mengunggulkan pusaka masing-masing yang sudah dalam keadaan terhunus. Pada saat itu, Sunan Kudus muncul, langsung melerai dengan memegang tangan Hadiwijaya dan berseru “Penangsang, sarungkan pusakamu!”. Penangsang tidak tanggap sasmita itu, segera menyarungkan pusakanya. Padahal, maksud Sunan Kudus adalah sarungkan keris itu di dada Hadiwijaya. Karena rekayasanya gagal, Sunan Kudus menunda pelajaran ilmu baru itu. Hadiwijaya minta ijin pulang, menolak halus bujukan gurunya untuk tinggal beberapa hari. Penangsang marah dan ingin menyusul Hadiwijaya untuk dibunuh. Sunah Kudus memintanya bersabar, tapi Penangsang malah menuduh gurunya kini pro-Hadiwijaya. Sunan Kudus mengingatkan kelalaian Penangsang: tidak tanggap sasmita dan menduduki kursi yang sudah dimanterai. Mendengar itu, Penangsang sangat menyesal, mohon maaf dan petunjuk bagaimana ia tetap bisa menjadi raja. Paling susah Karena sayangnya kepada Penangsang, Sunan Kudus memberi jalan keluar. Kesaktian Penangsang akan kembali jika ia sanggup menebusnya dengan empat laku. Didorong nafsu kuat untuk berkuasa, Penangsang menyanggupi dengan tebusan apa pun.
Ke empat laku itu adalah: 1. Berpuasa selama 40 hari/malam, 2. Berderma (membayar sedekah) selama berpuasa, 3. Tidak berhubungan dengan perempuan selama berpuasa dan 4. Menahan marah. Biar lucu, namanya juga kethoprak, Penangsang menawar apakah laku nomer 3 tidak ada diskon. Tentu saja, jawab Sunan Kudus: tidak ada. Penangsang minta bantuan patihnya, Mentaun, untuk turut melakoninya, kalau tidak mau ia akan dibunuh. Gurunya mengingatkan Penangsang lagi tentang puasa menahan amarah. Belum mulai melakoni saja sudah tidak sabar, mengancam mau membunuh orang kepercayaanya. Ke empat laku itu berhasil dilakoni Penangsang. Untuk menandai buka puasa 40 hari, Penangsang mengadakan pesta besar yang dimeriahkan kesenian Tayub, tarian bersama ”ledek” (penari perempuan) cantik. Pesta pora itu menjadi porak poranda ketika juru kuda (pencari rumput) Penangsang tiba-tiba datang sambil meraung-raung sambil memegang daun telinganya yang berdarah-darah karena “diperung” (dipotong) dan digantungi surat tantangan untuk perang tanding dengan Sutawijaya, putera angkat Hadiwijaya. Mendapat tantangan itu, Penangsang murka, membanting piring, menendang meja dan langsung menunggang kudanya (Gagak Rimang) mencari penantangnya. Penangsang kena tombak (Kyai Plered). Tapi, karena sakti, dengan usus terburai yang disampirkan di hulu kerisnya ia terus maju menerjang dan berhasil menangkap Sutawijaya. Untuk memprovokasi Penangsang, para prajurit Pajang berteriak-teriak: “Bunuh-bunuh Sutawijaya”. Karena terprovokasi, Penangsang menghunus kerisnya dan bersamaan itu putuslah ususnya. Ia gugur karena tidak bisa menahan amarahnya. Lakon kethoprak versi ini digelar Puspo Budoyo menjelang Ramadhan beberapa tahun lalu dengan empat pesan. Pertama: menahan amarah adalah laku pengendalian diri yang paling susah. Kedua: rasa ingin memiliki mendorong orang lupa (“melik nggendong lali). Ketiga: keberanian, kesaktian, kekuasaan dan kejayaan kalah oleh budi luhur (“suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti”) dan Keempat: percaya kepada takdir Allah. *Wartawan, pegiat kesenian tradisional.