LASTRI, ENGKAU GURU BAGI KAMI Oleh : Dra. Siti Aisyah Dahlan* “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menerangi dunia” indahnya lirik lagu anak-anak itu tak berarti apa-apa bagi seorang bocah bernama Lastri. Bocak kecil yang berasal dari Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Purwokerto tersebut harus mengalami nasib yang cukup menyedihkan, dalam usia yang belum genap satu tahun itu dia harus mengalami kejadian yang cukup berat. Dia harus berpisah dengan sang ibu karena ditinggal mengadu nasib ke negeri Malaysia. Bocah manis itu terpaksa ditinggal bersama sang bapak yang bernama Agus, pria asal Bandung yang belum mempunyai pekerjaan yang tetap, sehingga selama ini Agus terpaksa harus menumpang dirumah mertuanya. Setelah beberapa bulan karena desakan ekonomi Agus terpaksa harus diusir oleh mertuanya yang menyebabkan ia harus rela menumpang tiga bulan dirumah tetangganya. Terdorong rasa malu, maka Agus berniat kembali kekampung halamannya di Bandung. Sampai di terminal bus Purwokerto Agus kemudian “melelang” sang putri untuk diasuh dan dibesarkan kepada siapa saja yang bersedia. Hanya satu permintaan Agus, asalkan mereka mampu memberi makan sang anak. Ironis, ditengah negeri yang gemah ripah loh jinawi, sampai penyanyi legendaris koes plus memberikan ilustrasi “ bukan lautan hanya kolam susu, bukit dan kayu cukup menghidupimu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” masih ada penggalan kisah tragis yang menimpa anak negeri. SALAHKAH AGUS? Dari kaca mata kemanusiaan masih menjadi perdebatan apakah perbuatan Agus ini bukti tanggung jawab atau wujud pengingkaran tanggung jawab seorang bapak. Betapa tidak, mungkin menurut Agus keputusan ini jauh lebih baik bagi masa depan Lastri karena jika dibiarkan mungkin Lastri akan menjadi anak penyandang busung lapar berikutnya. Atau kalaupun tumbuh ia akan menjadi anak yang besar bersama bayang-bayang suramnya
masa depan. Akar permasalahannya menurut Agus tidak lain dan tidak bukan adalah faktor ekonomi. “Lebih baik diasuh orang lain dari pada mati kelaparan” ungkapan bapak itu dengan polos yang dikutip beberapa media. Namun disisi lain, banyak orang akan mengatakan bahwa yang dilakukan Agus tentunya sangat bertentangan dengan logika kemanusiaan bagi orang tua. Di zaman kenabian kita mendengar ada seorang ibu yang berjuang sekuat tenaga meskipun sampai mengais-ngais daging bangkai demi mempertahankan kehidupan anaknya. Atau didalam kisah lain, seorang ibu rela merebus batu demi menghibur anaknya yang sedang kelaparan. Kisah ibunda Nabi Ibrahimpun melengkapi perjuangan seorang ibu yang dengan gigihnya harus rela bolak-balik tujuh kali antara bukit shofa dengan bukit marwa untuk dapat menenangkan buah hati yang sedang kelaparan. Tanggung jawab yang tidak bisa diwakilkan untuk menjadi perantara rizki sang anak yang dilahirkannya. ANAK ADALAH MUTIARA Salah satu pilar yang mendorong seseorang melakukan perkawinan adalah dorongan untuk mendapatkan keturunan. Sangat banyak alasannya kenapa harus mempunyai keturunan diantaranya, pertama menjadi penghibur hati. Betapa tidak rasa capek seorang ayah, membanting tulang mencari rizki akan sirna ketika bertemu dengan sang buah hati yang sedang lucu-lucunya, naluri anak yang mampu membawa nuansa hiburan bagi setiap orang tua akan menghilangkan semua keluhan orang tuanya. Kedua, estafet kehidupan keluarga, orang tua akan selalu berharap bahwa nanti ada seseorang yang akan melanjutkan semua yang telah mereka lakukan, nuansa pewarisan itu yang menghantarkan seseorang melakukan yang terbaik bagi keturunannya, ”gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”. Ketiga, Tempat bergantung dimasa tua, dalam hidup manusia pada hakekatnya adalah berputar, seseorang akan berangkat dari suatu titik dan kemudian mereka akan kembali pada kondisi awal. berangkat dari tidak punya gigi akan kembali pada masa ompong, bermula dari tidak mampu berjalan menuju pada masa tidak sanggup berjalan, berawal dari ketidak berdayaan bayi akan menuju pada ketidak berdayaan ”bayi tua”. Saat itulah
harapan orang tua hanya bergantung pada seorang anak. Keempat, modal bergulir yang akan menghantarkan orang tua ke syurga. Ketika orang tua sudah meninggal, anak akan mampu menjadi sumber kebaikan yang mengalir secara terus menerus bagi orang tua mereka. Dengan doa dan kebaikan anaknyalah yang menjadi deposit pahala dikehidupan nanti. Namun semuanya seolah tidak berarti lagi bagi keluarga Lastri. Pepatah mengatakan” sebuas-buasanya serigala tidak akan tega membunuh anaknya,”. Patut kiranyalah bagi ibu yang menjadi orang tua untuk mencontoh perilaku induk ayam, yang akan mempertaruhkan hidupnya untuk keberlangsungan hidup anaknya. Ia mengeram selama tiga minggu guna menetaskan anaknya, dengan resiko mengurangi jam terbang kehidupannya. Induk ayampun berjuang sekuat tenaga untuk melindungi, dan memberi makan kepada anaknya. Sang induk akan berusaha mati matian mengais dengan ”cekernya” untuk mencari makanan yang cocok bagi anaknya, ia akan membentangkan sayapnya untuk melindungi anak dari sambaran burung elang, dan juga dengan sayapnya akan memberikan kehangatan ketika hujan mengguyur bumi ini. Atau jika jadi bapak jadilah seperti bapak itik yang rela menggantikan peran keibuan itik betina. SIAPA YANG SALAH Kalau kita bertanya siapa yang salah pada peristiwa ini pasti tidak akan pernah selesai dibahas hanya dalam satu sesion sebuah seminar. Yang jelas ini adalah potret mentalitas yang melanda masyarakat bangsa kita sekarang. Tentunya saya dan anda adalah bagian dari masyarakat itu. Bagi pemimpin cerminan kepemimpinan kita belum sebagai mana layaknya Umar bin Khotob, yang merasa bertanggung jawab ketika ada dipojok negerinya sebuah keluarga yang kelaparan karena tidak mempunyai cadangan makanan, atau bahkan beliau bertanggung jawab ketika ada seekor kuda yang tergelincir di pinggiran kota Baghdat. Bagi seorang tetangga, mungkin kita belum mampu seperti Rasululloh Muhammad, yang ketika istrinya memasak beliau meminta agar diperbanyak kuahnya supaya mampu dibagi sampai dimana masakan itu bisa tercium baunya. Bagi seorang teman, kita belum mampu seperti sahabat anshor yang mengihlaskan separuh hartanya dan satu dari dua istrinya untuk diambil oleh sahabatnya bernama Abdurrahman bin Auf.
Matinya kepekaan sosial, jiwa solidaritas, rasa kesetiakawanan sosial, telah memakan korban yang banyak dinegeri ini. Ratusan anak mengalami gizi buruk, ribuan anak menjadi anak jalanan, dan ribuan fakir miskin ada disekitar kita. Jangan pernah ada Lastri baru dalam penggalan kisah hidup kita. Mari Beristighfar karena itu langkah awal penyesalan kita, lalu mari berbuat sesuatu karena itu yang akan menyebabkan kita tidak akan jatuh pada lubang yang sama. Semoga nasib Lastri menjadi lebih baik. * Penulis adalah Ketua Muslimah Center Jawa Tengah dan Anggota DPRD Jateng dari FPKS