JATENG BEBAS BUTA AKSARA MUNGKINKAH? Oleh : Dra. Siti Aisyah Dahlan.* Target Jawa Tengah bebas buta aksara 2007 masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) utama dunia pendidikan Jawa Tengah. Bukan tidak mungkin hal bahkan akan tidak terwujud. Pasalnya sampai hari ini belum ada kemajuan yang signifikan dalam hasil pemberantasan buta aksara ataupun adanya proses yang menggembirakan untuk merealisasikan target itu. Mari kita ambil contoh gerakan kejar Paket A, maupun B. Pada pelaksanaannya belum banyak diikuti oleh masyarakat yang memang seharusnya wajib mengikutinya. Ditambah lagi tingkat efektifitas pembelajaran yang kurang. Di Kabupaten Kendal misalnya program ini berjalan efektif hanya selama 6 bulan pertahun dan setiap minggu hanya dua kali pertemuan dengan prosentase latihan ketrampilan yang lebih besar. Kenyataan lain yang tidak terpungkiri adalah saat ini Jawa Tengah masih menduduki posisi kedua tertinggi daerah yang memiliki kantong-kantong penduduk buta aksara di Indonesia. Menurut data dari Dinas Pendidikan Nasional Jawa Tengah angkannya mencapai 3.333.092 orang untuk usia 10 tahun ke atas. Untuk kota kabupaten yang jumlah penduduk buta aksaranya tinggi dimiliki oleh Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Wonogiri. Padahal menurut keterangan yang diberikan oleh Gubernur Jateng Mardiyanto dalam sambutan yang dibacakan Asisten Bidang Pemerintahan Setda Jateng Pujo Kiswantoro pada Sosialisasi Program Pemberantasan Buta Aksara di Hotel Sahid Raya Solo Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu dikatakan bahwa
Pemerintah Jawa Tengah telah
mengalokasikan dana pendidikan luar sekolah tahun 2005 sebesar Rp 4 miliar, yang Rp 1,1 miliar dian taranya dikhususkan guna percepatan pemberantasan buta aksara. Angka yang cukup besar jika dikelola dengan baik. Target yang dipatok oleh Pemerintah Jawa Tengah adalah Jawa Tengah bebas buta aksara tahun 2006/2007 bukan tidak mungkin akan mundur. Canangan adanya kenaikan pada
APK SD/MI dan SMP/MTS dari tahun ketahun. Perkiraan dari Dinas Pendidikan APK SD/MI sederajat pada tahun 2004/2005 sebesar 104,87% direncanakan meningkat menjadi 114,00% pada 2005/2006 dan 115,00% pada 2006/2007. Sementara itu, APK SMP/MTS sederajat pada tahun 2004/2005 sebesar 86,21% direncanakan meningkat menjadi 90,50 % pada 2005/2006 dan menjadi 95,00 % pada 2006/2007 memerlukan akselerasi. Ada hal yang perlu kita evaluasi saat ini, Mungkinkah pendekatan penberantasan yang dilakukan pemerintah saat ini belum tepat? Atukah budaya masyarakat yang memang belum menyadari arti penting bebas buta aksara? Atau mungkin hal ini disebabkan oleh sulitnya mengakses lokasi kejar paket A? Historis penanggulangan Secara Nasional upaya penanganan buta kasara ini sudah dimulai sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada saat itu lebih dari 90% penduduk Indonesia buta huruf, permerintah pernah menggulirkan program pemberantasan buta huruf (PBH) atau kursus ABC. Pada tahun 1951 kita mengenal Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf. Selanjutnya, tahun 1960 dikeluarkan Komando Presiden Soekarno untuk menuntaskan buta huruf sampai tahun 1964. Pada 31 Desember 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf. Namun, karena tidak ada pembinaan lanjutan dan langkanya bahan bacaan, di samping banyak aksarawan baru menjadi buta huruf kembali, ditambah anak usia SD yang tidak sekolah, dan putus SD kelas 1, 2, 3 yang diasumsikan rawan buta huruf, maka persoalan buta aksara kembali muncul. Tahun 1966-1970 dikembangkan Pemberantasan Buta Huruf Fungsional. Pemberantasan buta huruf saat itu dibagi tiga tahapan, yaitu PBH permulaan, PBH lanjutan I, dan PBH lanjutan II. PBH permulaan sebagai bahan belajarnya digunakan buku kecil (berisi 36 hlm) tentang "Petani Belajar Membaca" yang diselesaikan sekira 20-30 hari.
Tahun 1970-an sampai sekarang kita megenal progam kejar Paket A yaitu program pemberantasan buta huruf dengan menggunakan bahan belajar buku Paket A yang terdiri atas Paket A1-A100. Dari sebagian upaya yang dilakukan oleh pemerintah ternyata hamper semuanya bersifat program turunan yang menjadikan masyarakat sebagai objek. Pendekatan tyang digunakanpun cenderung procedural. Sehingga rasa kebutuhan untuk mampu membaca itu tidak dimiliki oleh masyarakat, seolah-olah Kejar paket A pemerintahlah yang membutuhkan. Merubah Kultur Dengan Kultur. Buta aksara seolah telah menjadi kultur bagi masyarakat Indonesia. Kenapa? Masih banyak pekerjaan atau profesi yang dilakukan oleh orang buta aksara, maaf sopir atau tukang misalnya, padahal ketika kita cermati bagaimana bisa aturan lalu lintas diselesaikan oleh orang buta aksara. Atau kita masih melihat budaya pembatasan kesempatan belajar oleh keluarga terutama bagi kaum perempuan. Masih banyak lagi kultur masyarakat kita yang sangat toleran dengan buta aksara yang pada hakekatnya menjadi lahan yang subur untuk bertahannya buta aksara di Indonesia. Setidaknya ada empat pendekatan agar kita bisa melakukan kulturisasi pemberantasan buta aksara ini. Pertama, Pendekatan kelompok masyarakat, pemanfaatan kultur berkelompok pada masyarakat bisa dijadikan alat guna pemberantasan buta aksara ini. PKK, Pengajian mingguan, arisan bisa dikondisikan untuk melakukan pembinaan terhaap anggotanya yang masih buta aksara. Kedua, Pendekatan sarana, besarnya buta aksara juga disebabkan minimnya sarana yang digunakan untuk mengasah secara terus menerus kemampuan membaca yang telah masyarakat peroleh. Media bisa berupa buletin rakyat, majalah dinding atau news letter fungsional yang membantu bidang usaha atau pekerjaan. Ketiga, Pendekatan Religius, pelibatan pesantren, masjid, gereja, kelompok pengajian. Hal ini sudah tebukti manjur dengan suksesnya pesantren mengajarkan nilainilai ibadah selama ini. Terakhir, Pendekatan Penegakan disiplin perundang-undangan. Ini merupakan alternative terakhir yang bisa kita jadikan pilihan. Masyarakat kita hari ini
sebagian besar masih patuh dengan logika sanksi. Sampai saat ini tidak ada sangsi apapun bagi masyarakat yang buta aksara. Proses administrasi pemerintahanpun dilalui dengan mudah, sehingga perbedaannya nyaris tidak ada antara yang sekolah dan tidak sekolah Kunci dari permasalahan buta kasara iniadalah mengajak dan melibatkan masyarakt dalam upaya pemberantasan buta aksara. Belajar dari, oleh, dan untuk masyarakat. Agar potensi penolakan dan kejenuhan bisa dihindari. * Penulis adalah Anggota Komisi E DPRD Propinsi Jawa Tengah dari FPKS