Ade Tri Cahyani - Fsh.pdf

  • Uploaded by: Mustaanul Mustasyfa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ade Tri Cahyani - Fsh.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 17,621
  • Pages: 101
“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh : ADE TRI CAHYANI NIM : 1110043100029

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M

LEMBAR PERYATAAN Nama

: Ade Tri Cayani

Nim

: 1110043100029

Dengan ini saya menyatakan bahwa; 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Oktober 2014

Ade Tri Cahyani

iii

ABSTRAK Ade Tri Cahyani, NIM: 1110043100029, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok”, program Studi perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai permasalahan Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan yaitu riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat ia harus menambahkan adanya bunga gadai (rahin) karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu dalam melunasi utangnya. Oleh karena itu penulis akan mengkaji mengenai praktik gadai tersebut yang terjadi dalam masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok, dengan menganalisa permasalahan mengenai tinjauan hukum Islam terhadap mekanisme gadai, pemanfaatan barang gadai, pemanfaatan barang gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok tentang praktik pegadaian yang sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dalam memberi jawaban atas permasalahan terhadap praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research). Dan penelitian kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research), metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan. Metode pengumpulan data menggunakan purposive sampling. Dengan permasalahan yang ada, penulis menarik kesimpulan bahwa praktik gadai yang diterapkan masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ini tidak sah menurut hukum Islam, akad gadai dalam mekanisme gadai tidak sempurna atau belum sesuai syariat Islam, seluruh praktik gadai yang penulis temukan terdapat unsur riba dan pemanfaatan atas barang yang di gadaikan, gadai yang berupa barang hutang praktik gadai yang terjadi dengan menggunakan barang kredit ini jelaslah sangat tidak sesuai dengan syariat Islam. Kata kunci : Praktik gadai, pemanfaatan barang gadai, gadai berupa barang hutang. Pembimbing : H. M. Riza Afwi, MA dan Arip Purkon, S.Hi, MA Daftar Pustaka : Tahun 1923 s.d. Tahun 2011

iv

ِ‫ِبسۡمِ ٱلّلَ ِه ٱل َّرحۡمَٰنِ ٱل َّرحِيم‬ KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang penguasa kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuknya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK” Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak telah berkontribusi bahkan berjasa besar baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan penuh rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, ucapan terima kasih diberikan kepada: 1. Bapak Dr. H. Phil. J.M. Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Dr. Khamami, MA selaku Ketua Jurusan Program Study Perbandingan Mazhab dan Hukum, beserta ibu Siti Hanna, Lc, MA, selaku Sekretaris Jurusan

v

Program Study Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag dan Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si yang sudah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menulis skripsi dengan baik. 4. Bapak H. Riza Afwi, MA, dan bapak Arip Purkon S.Hi, MA, selaku pembimbing skiripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, saran serta petunjuk dalam menyelesaikan skiripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi 5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan di sisi Allah SWT. 6. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan materi skiripsi dan kelancaran administrasi. 7. Pejabat Kantor Kecamatan Tapos Kota Depok, beserta jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 8. Para relawan yang telah bersedia untuk diwawancarai sehingga membantu kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 9. Kepada ayah tercinta bapak H. Asam Muhit, S.Ag M.Si, ibunda Hj. Yayah Rokayah, atas pengorbanan dan cinta kasihnya yang tidak terbatas baik berupa moril dan materil, serta doa yang tak pernah terhingga sepanjang masa untuk

vi

keberhasilan studi penulis, segala hormat dan cinta yang tak terhingga penulis persembahkan. Seluruh keluarga besarku, kakanda Neneng Hasanah, machyudin, kakak iparku Dodi Mardani dan Juliana Sari dan kaka yang tercinta Boggie Adhar Frandyas yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan agar penulis tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini. serta seluruh keluargaku yang selalu memberikan keceriaan dalam bingkai kebersamaan baik suka maupun duka. 10. Sahabat-sahabat tercinta, Dian Rahmayanti, Sri Wahyu Ningsih, Widya permata Sari, Dian Kamal sari Ohorella, Ida Handayani, Ulfah Hidayah, Raihanun, dan semua rekan-rekan PMH (Perbandingan Mazhab Hukum)

angkatan 2010,

khususnya perbandingan mazhab fiqih kelas A dan B yang tidak mungkin dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang senantiasa selalu memberikan semangat dan berjuang bersama dikampus tercinta ini, serta yang selalu menebarkan benih-benih keceriaan dalam kebersamaan. Besar harapan bagi penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia akademik. Sebagai manusia yang dhoif, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi sesuatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di yaumil akhir. Jakarta, 15 Oktober 2014

Ade Tri Cahyani

vii

DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii ABSTRAK .................................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ................................................................................................ v DAFTAR ISI............................................................................................................. viii BAB I

: PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 6

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7

D.

Kajian Pustaka .................................................................................. 8

E.

Metode Penelitian ........................................................................... 11

F.

Sistematika Penulisan ..................................................................... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI A.

Pengertian Gadai (Rahn) ................................................................ 16

B.

Dasar Hukum Gadai ....................................................................... 20

C.

Rukun dan syarat Gadai .................................................................. 23

D.

Hak dan Kewajiban dalam gadai .................................................... 30

E.

Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan barang gadai ............ 32

F.

Berakhirnya Akad Gadai ................................................................ 37

viii

BAB III: PRAKTIK GADAI PADA MASYARAKAT Di KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK A.

Letak Geografis Wilayah Kecamatan Tapos Kota Depok.............. 39

B.

Sekilas Kondisi masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ..... 40

C.

Mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamata Tapos Kota Depok ............................................................................................ 46

D.

Latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai di kecamatan Tapos kota Depok ................................................... 50

BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI DI KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK A.

Tinjauan Hukum Islam terhadap Mekanisme gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ................................... 53

B.

Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ............................... 55

C.

Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ............................... 61

BAB V: PENUTUP A.

Kesimpulan ..................................................................................... 65

B.

Saran ............................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 70 LAMPIRAN

ix

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dengan transaksi, Allah SWT telah menjadikan manusia saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, agar mereka saling tolong-menolong, baik dengan jalan tukar-menukar, sewa menyewa, bercocok tanam atau dengan cara yang lainnya, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial (social creature). Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman (gadai).1 Praktik gadai yang terjadi pada masyarakat di kecamatan Tapos Kota Depok tidak sesuai dengan syariat Islam.

Bagi masyarakat mendengar kata gadai bukanlah hal yang aneh, mereka mengetahui bahwa gadai merupakan salah satu ajaran yang ada dalam agama Islam, khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos kota Depok sudah menjadi suatu kebiasaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok, mereka terbiasa melaksanakan praktik gadai dengan cara yang sangat sederhana yang dilakukan antar kerabat dekat ataupun tetangga. Mereka menganggap proses gadai tersebut lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan pinjaman di bandingkan mereka harus meminjam kepada pegadaian ataupun bank. Meski begitu mereka tetap menganggap bahwa barang gadaian tersebut sebagai antisipasi bilamana hutangnya tidak terbayar, maka barang gadaian yang digunakan

1

Muhammad Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hal. 2.

1

2

untuk menutupi hutangnya. Dan mereka pun tahu bahwa hutang adalah hak adami yang harus dibayar sebelum mati.2 Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :

                      Artinya :“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah:2).3

Karena sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai hasrat untuk hidup bersama. Lebih-lebih dalam zaman modern ini tidak mungkin bagi seseorang makhluk hidup secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari atau kerja sama dengan orang lain. Oleh sebab itu, kerjasama antara seorang manusia merupakan sebuah kebutuhan. Kebutuhan itu bisa berbagai bentuk, misalnya berupa uang, padahal ia memiliki sejumlah barang yang dapat dinilai dengan uang. Dalam kondisi seperti ini orang bisa melakukan beberapa alternatif guna mendapatkan uang. Salah satu alternatif tersebut, misalnya dengan menggadaikan barang. Rasulullah pernah mencontohkan praktik gadai dengan menggadaikan baju besinya ketika membeli makanan kepada orang Yahudi. Seiring dengan berkembangnya zaman dan aneka ragam kebutuhan manusia, maka saat ini bukan

2

Muhammad al-Fitra Haqiqi, harta halal harta haram, (Jombang: lintas media, tth) hal.129. Departemen Agama RI Al-Quran dan terjemahannya, (Jakarta: yayasan penyelenggaraan penterjemah Al-Quran, 1986), hal. 157. 3

3

hanya pakaian tetapi segala macam harta benda dapat digadaikan sebagaimana yang sering dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Diantara mereka ada yang menggadaikan tanah, kendaraan bermotor, ruko, rumah, bahkan elektronik seperti handphone, televisi. Rahn mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya, dalam masyarakat konsep tersebut dinilai “tidak adil”. Dilihat dari segi komersil yang meminjamkan uang merasakan dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan berlarut-larut sementara barang jaminan tidak laku. Di lain pihak barang jaminan mempunyai hasil.4 Banyaknya lembaga pegadaian dengan tujuan pokoknya yang baik bukan berarti semua masyarakat mengerti dan menggadaikan barangnya ke lembaga pegadaian tetapi banyak pula masyarakat dalam melakukan transaksi gadai melakukan transaksi gadai justru lebih memilih antar individu dengan cara sederhana. Gadai yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan salah satu pihak yakni Murtahin dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan yaitu riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang mengharuskan penerima barang gadai (murtahin) untuk membebankan bunga kepada penggadai (rahin) pada saat Penggadai mengembalikan uang pinjamannya

4

Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshori, AZ, MA, Problematika Hukum Islam kontemporer III, Jakarta: pustaka Firdaus, 1995, hal. 78.

4

kepada penerima barang gadai (murtahin). 5 Dengan adanya syarat dan ketentuan seperti itu maka praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok tidak akan bisa menjadi suatu solusi untuk menyelesaikan masalah keuangan yang sedang dialami oleh rahin, akan tetapi justru akan menambah masalah baru karena rahin harus mengembalikan uang pinjamannya lebih banyak dari uang pinjaman yang diterima. Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok menggadaikan barang yang mereka miliki ke orang lain yang mereka kenal seperti saudara, dan tetangga. Dalam pelaksanaannya, akad gadai seringkali yang mensyaratkan dalam pemberian hak pakai terhadap barang yang dimiliki rahin, ada pula dalam akad gadai meskipun rahin tidak mensyaratkan perizinan memanfaatkan barang tetapi pihak murtahin tetap memanfaatkan barang gadaian tersebut untuk kepentingan pribadi sampai rahin dapat mengembalikan utangnya pada murtahin. praktik gadai yang dilakukan tidak dapat dikategorikan membantu seperti yang di syariatkan oleh hukum Islam, dan ini merugikan salah satu pihak dalam hal ini rahin dan bisa dikategorikan dalam persoalan riba. Padahal dalam sistem ekonomi Islam tidak mengajarkan kepada umat muslim untuk menjadi hamba yang hanya mengejar materi saja tanpa melihat kehalalannya, melainkan mengajarkan dan memberitahukan tatacara bagaimana dapat menghasilkan harta dengan halal.6

5 6

Muhammad Shalikul hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hal. 8. Muhammad al fitra haqiqi, harta halal harta haram, (Jombang: lintas media, tth) hal. 182.

5

Menurut jumhur ulama, apabila tidak diijinkan oleh yang menggadaikan, barang yang digadaikan tidak dapat diambil sama sekali manfaatnya oleh si pemegang gadai, Jumhur berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Nabi Muhammad SAW:

ِّ ِ‫ك اَن َشٍُْْ يٍِْ صَاحِث‬ ُ َ‫غْه‬َٚ ‫ ( نَا‬:َ‫ْ ِّ َٔعََهى‬َٛ‫صَهَٗ اَنهَُّ ػَه‬- ِّ َ‫ل اَنه‬ ُ ُٕ‫ل سَع‬ َ ‫ لَا‬:َ‫ََٔػَُْ ُّ لَال‬ .ٌ‫ َٔ ِسجَان ُّ ثِمَاخ‬,ُ‫ َٔا ْنحَا ِكى‬,ُُِْٙ‫غ ْشيُ ُّ ) سََٔا ُِ اَنذَاسَلُط‬ ُ َِّْٛ‫ َٔػَه‬,ًُُُّْ ُ‫ نَُّ غ‬,ََُُّْ‫اََنزِ٘ َس‬

7

Artinya:“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya. "Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.” Hadits ini mensyariatkan baik untung maupun rugi adalah untuk yang menggadaikan.8 Berangkat dari beberapa landasan dan latar belakang di atas penulis menemukan suatu problem dalam hal praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, di mana dalam proses praktik gadai penyalahgunaan akad dalam praktik gadai karena di dalamnya terdapat pemanfaatan, kecurangan, ketidakadilan, serta riba. Menurut masyarakat, dalam pelaksanaan praktik gadai yang dilakukan di Kecamatan Tapos Kota Depok belum mengetahui kejelasan tentang hukum kehalalan dan keharamannya. Terkadang akad yang dilakukan itu telah sesuai dengan hukum syara‟, tetapi di dalam pelaksanaan dari akad dan sistem yang diterapkan itu sendiri belum dapat ditindak lanjuti dan masih harus dipertanyakan tentang hukumnya. 7

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007),Cet. 2 Hadits No. 883. 8 Nazar bakry, Problematika Fiqih Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 52.

6

Dari fenomena di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian di Kecamatan Tapos kota Depok. Sebelumnya pun tidak pernah dilakukan penelitian serupa di Kecamatan Tapos kota Depok. Maka dari itu judul skripsi yang penulis angkat adalah “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”.

B.

Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah Untuk lebih terarah dan menghindari salah persepsi dari pembaca, maka penulis membatasi pembahasan tersebut pada: a. Praktik gadai dibatasi pada kegiatan praktik gadai yang sering dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. b. Penelitian pelaksanaan praktik gadai dan pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. c. Materi dibatasi, mengenai hukum Islam atau hukum-hukum yang hanya berkaitan dengan pelaksanaan praktik gadai. 2. Perumusan Masalah Praktik gadai yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok menimbulkan beberapa problem yang harus dibahas dan ditentukan jawabannya. Hal ini dikarenakan prosedur dari akad hingga pemanfaatan barang gadai tidak semuanya berjalan sesuai dengan prosedur gadai yang sesuai dengan syariat Islam dengan demikian penulis mengambil perumusan masalah sebagai berikut:

7

a. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap mekanisme gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok? b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ? c. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok? C.

Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian Pada setiap penelitian yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan fungsi tertentu yang ingin dicapai baik yang berkaitan langsung dengan penulis atau pihak lain yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah: a. Memberikan penjelasan terhadap proses dalam mekanisme gadai yang terjadi di Masyarakat Kecamatan Tapos Kota depok sesuai dengan tata cara pelaksanaan Praktik gadai yang sesuai dengan syariat Islam. b. memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok tentang hukum pemanfaatan barang gadai yang sesuai dengan syariat Islam. c. memberikan penjelasan terhadap permasalahan barang gadai yang berupa barang hutang sesuai dengan syariat Islam.

8

2. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan dari pihak lain yang memanfaatkannya, juga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan proses dalam mekanisme gadai yang sesuai dengan syariat Islam. b. Dengan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai hukumnya memenfaatkan barang gadai sesuai dengan Hukum Islam. c. Dengan penelitian yang penulis lakukan bisa memberitahu informasi mengenai hukum menggadaikan barang yang berupa barang hutang, serta hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat dalam menjalani praktik gadai yang sesuai dengan syariat Islam. D.

Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber, kepustakan, penulis meliputi bahwa apa yang menjadi masalah pokok penelitian tampaknya sangat penting dan prospektif. Untuk menghindari pengulangan dalam penelitian ini, sehingga tidak terjadi adanya pembahasan yang sama dengan penelitian lain, maka penulis perlu menjelaskan adanya tujuan penelitian yang akan diajukan. Dan beberapa tulisan yang berkaitan dengan masalah tersebut merupakan suatu data yang sangat penting. Adapun beberapa skripsi yang pernah dibaca pada perpustakaan yang tersedia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah sebagai berikut:

9

1. Pada tahun 2011, telah ditulis skripsi atas nama Sarki dengan judul “Praktik Gadai Dikalangan Masyarakat di Desa Argapura Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam anaslisa ini membahas tentang Skripsi ini membahas tentang praktik gadai yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa Argapura Cigudeg Bogor yang hanya meliputi praktik gadai mengandung riba atau tidak dan hukum Islam yang dibatasi hukum-hukum yang bekaitan dengan pelaksanaan gadai. Metode penelitian kualitatif deskriptif, penulisnya tidak bisa menyajikan data yang valid dan jelas terhadap studi kasus yang coba diangkat. 2. Pada tahun 2012 atas nama Nur habibah, dengan judul “Analisa Dampak Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani Muslim.” Skripsi ini membahas mengenai tata cara sistem gadai sawah, dampak perekonomian petani muslim di Desa Karang Patri dan analisa hukum memanfaatkan uang dari hasil gadai. Metode yang digunakan kualitatif dan kuantitatif. 3. Pada tahun 2003, atas nama Aty Nurhayati, dengan judul “Konsep Gadai (arrahn) dalam Islam Serta Prospeknya di Indonesia.” Dalam skripsi ini membahas tentang Analisa pegadaian dengan sistem syariah yang mempunyai prospek yang cerah, baik pegadaian dengan sistem syariah maupun pegadaian baru serta mengenai sekmentasi dan pangsa pasarari pegadaian ini sangat baik. Ini semua dianalisis dari analisa SWOT yang telah ia teliti. 4. Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory AZ. Dalam bukunya “Problematika Hukum Islam Kontemporer III” Dalam bukunya menjelaskan mengenai Gadai

10

menurut Syari'at Islam berarti, permohonan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab melunasi hutangnya, dan orang yang punya hutang bertanggung jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Dan bila utang telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab itu akad menjadi lepas, sehingga dalam pertanggungjawaban yang menggadai dan yang menerima gadai hilang untuk menjalankan kewajiban dan bebas dari tanggung jawab masing-masing. Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini membahas tentang penyalahgunaan akad dalam praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Yang menjelaskan praktik gadai dalam Islam, penulis menyajikan beberapa contoh praktik gadai yang diduga sering menjadi objek penyalahgunaan, agar dapat menjadi bahan yang dapat dipertimbangkan untuk terciptanya produk hukum baru sehingga bisa menanggulangi penyalahgunaan dan pemanfaatan praktik gadai tersebut, kemudian Penulis juga mencoba untuk memberikan data yang akurat secara prima dan up to date sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dengan metode penelitian yang mengedepankan kualitatif deskriptif. Dan didukung oleh wawancara secara langsung dengan para narasumber yang sering dan bahkan selalu bersentuhan dengan praktik gadai dalam kehidupan sehari-harinya.

11

E.

Metode Penelitian Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman–pedoman, cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan–lingkungan yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode–metode sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Dalam ini penulis menggunakan metodelogi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis data kualitatif cendrung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.9 Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya.10 Dari pemaparan di atas Penulis berusaha memaparkan suatu kejadian dan peristiwa. Metode ini berguna untuk melahirkan teori-teori tentative, metode

9

Lexi Moeleong. Metotodologi penelitian Kualitatif, Cet. 13, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2002), hl.135. 10 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet.12, (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press 2007), hl. 67.

12

deskriptif berusaha mencari bahan bukan mengujinya, penelitian ini lahir karena kebutuhan. Penelitian ini memerlukan kualifikasi, yaitu peneliti harus memiliki sifat yang represif (mau menerima) yang berarti

harus selalu mencari informasi, bukan

menguji kebenaran suatu teori dan penelitian harus memiliki kekuatan integrative, yaitu kekuatan untuk memadukan berbagai informasi yang diperoleh menjadi satu kesatuan penafsiran. 2. Jenis Penelitian Dalam penyusunan skiripsi ini, penulis memilih studi kepustakaan (library research). Penulis mencari bahan-bahan dari sumber tulisan yang berhubungan dengan permasalahan judul skiripsi. 3. Sumber Data Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Studi Pustaka, yaitu menyelidiki dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh data yang terdiri dari: a. Sumber data primer yaitu kitab suci Al-Quran, Hadist, Kitab Fiqih dan lain-lain b. Sumber data sekunder yaitu data yang di peroleh dari bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer seperti, buku teks, Dokume-dokumen, Analisis data, Biografi, Kamus, maupun data dari internet (website).

13

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan menggunakan purposive sampling yaitu salah satu teknik pengambilan data atau sampel yang sering digunakan dalam penelitian. Dengan cara peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena adanya pertimbangan pertimbangan tertentu, sampel diambil tidak secara acak tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Jadi menurut penulis sampel ini cocok untuk penelitian kualitatif penelitian yang tidak melakukan generalisasi. 11 5. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data yang telah dihimpun, penulis menggunakan beberapa metode, yaitu: a. Metode induktif, yaitu pengambilan kesimpulan yang dimulai dari kesimpulan atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat umum. 12 Jadi metode induktif adalah menganalisa data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum, oleh karenanya dalam penelitian sebagai isi dari skiripsi ini, penulis mencari berdasarkan literarture tentang judul yang sedang penulis teliti kemudian dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulan secara umum.

11 12

Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah,Cet Algesindo, 2003), h.7.

ke 7,(Bandung: Sinar Baru

14

b. Metode deduktif, menarik fakta atau kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan umum yang bersifat khsusus.13 6. Teknik Penulisan Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada Prinsipprinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F.

Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian awal skripsi, bagian isi skripsi, dan bagian akhir skripsi yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terbagi dalam berbagai uraian sub-sub bab. Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut: Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, persetujuan pembimbing, lembar pengesahan penguji, lembar pernyataan, abstrak, kata pengantar, daftar isi. Bagian isi skripsi terdiri dari: Bab I membahas mengenai pendahuluan, dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II memembahas tentang teori tentang gadai dalam Islam. Dalam bab ini diuraikan tentang teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan selanjutnya yaitu pengertian gadai, dasar hukum gadai, rukun dan syarat gadai, hak dan kewajiban 13

Sutrisno Hadi, Metodelogi Penelitian Resreach, (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007),

h.56.

15

dalam gadai, pendapat ulama kontemporer terhadap pemanfaatan barang gadai, batalnya akad gadai. Bab III membahas mengenai praktik Gadai di Kecamatan Tapos Kota Depok. Letak geografis wilayah Kecamatan Tapos, sekilas kondisi masyarakat Kecamatan Tapos, mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai di Kecamatan Tapos Kota Depok. Bab IV membahas tentang hasil Analisa Dan Pembahasan. Bab ini terdiri dari 3 sub yaitu terhadap Tinjauan Hukum Islam terhadap mekanisme gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, dan Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang. Bab V berisi penutup dan kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan Saran dari Penulis.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI A. Pengertian Gadai (Rahn) Al-Rahn dalam kamus bahasa arab menggadaikan, menangguhkan ‫سٍْ– سُْا‬ ٍْ‫ش‬ٚ atau jaminan hutang, gadaian.14Dan dapat juga dimaknai dengan alhabsu.Secara etimologi rahn (gadaian) berarti tetap atau lestari, sedangkan al-habsu berarti penahanan.15Begitupun jika dikatakan“ni‟matun rohinah” artinya: karunia yang tetap dan lestari. 16 Menurut syarak kalimat Rahn itu artinya menjadikan harta sebagai pengkukuh/penguat sebab adanya hutang.17 Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara‟ terdapat beragam pengertian tentang gadai(rahn), yaitu : 1. Menurut Imam syafi‟i Mendefinisikan akad al-rahnu seperti berikut menjadikan al-„Ain (barang) sebagai watsiiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-Madiin (pihak yang berhutang, Al-Rahin) tidak bisa membayar hutang tersebut. Kalimat, (menjadikan al-„Ain) mengandung pemahaman bahwa kemanfaatan tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu yang digadaikan

14

Adib Bisri, Munawir AF, Kamus AL-BISRI, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), Cet. Ke-1, hal. 274. 15 Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-2, hal. 139. 16 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki, (Bandung: PT. AlMaarif, 1996), hal.139. 17 Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtishar, alih bahasa oleh Syarifuddin Anwar, Mishbah Musthafa, ( Surabaya: Bina Iman, 1995), Cet. Ke-2, hal. 584.

16

17

(al-marhuun), karena kemanfaatan sifatnya habis dan rusak, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai jaminan.18 2. Menurut Imam Malik Mendefinisikan Al-Rahn seperti sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk menjadikan watsiiqah hutang yang Laziin (keberadaannya sudah positif dan mengikat). Maksudnya, suatu akad atau kesepakatan akan mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (Barang, harta yang berbentuk konkrit) seperti harta tidak bergerak yaitu tanah, rumah, hewan, barang komoditi, atau dalam bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau keahlian seseorang). Namun, dengan syarat kemanfaatan tersebut harus jelas dan ditentukan dengan masa (penggunaan atau pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan dengan memanfaatkan tenaga atau keahliannya, juga dengan syarat kemanfaatan tersebut dihitung masuk kedalam hutang yang ada.19 3. Menurut Imam Hanafi Rahn didefinisikan menjadi sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu baik seluruhnya maupun sebagiannya.20

18

Ibnu Qudamah, Al-Mughnil, Penerjemah Misbah, (Jakarta: Pustka Azzam, 2009), Cet. 1,

19

Ahmad Al-Dardiri, Al-Syarhu Al-Shagir, (Mesir: Dar El-Maarif) t.th, Jil. 3, hal. 207. Ahmad Al-Dardiri, Al-Syarhu Al-Shagir, Hal. 209.

Hal. 24. 20

18

4. Menurut Imam Hanbali Mendefinisikan rahn dengan harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.21 Rahn menurut syara adalah :

ْٔ َ‫ٍ أ‬ ِ َٚ‫ك انذ‬ َ ‫خذُ رَِن‬ ْ ‫ٍ َأ‬ ُ ِ‫ ًْك‬ُٚ ‫ث‬ ُ ْٛ َ‫ٍ ِتح‬ ِ َْٚ‫مَ ِح ِتذ‬ِٛ‫ع َٔث‬ ِ ِ‫ظشِ انؾَأس‬ ْ َ ِٙ‫ّح ف‬ِٛ‫ًَحٌ يَان‬ْٛ ِ‫ٍ َنَٓا ل‬ ِ َْٛ‫جؼمُ ػ‬ ٍ ِ َْٛ‫ك انؼ‬ َ ‫ٍ ذِ ْه‬ ْ ِ‫خ ُز َتؼْضِِّ ي‬ ْ ‫َأ‬ “Menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil (manfaat) barang itu”22 Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.Barang yang ditahan tersebut harus memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.23 Menurut Wahbah Zuhayli Al-Rahn sebagaimana didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Muddatsir ayat 38:

     : Artinya:“tiap-tiap diri diperbuatnya.”

21

bertanggung

jawab

atas

apa

yang

telah

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Tanah Bakri Wakaf, 1996), Cet. 4, Hal. 158. 22 Sayyid Sabiq Fikih Sunnah 12, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), hal. 139 23 Sayyid Sabbiq, Fiqhus Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi, 1987), Cetakan Ke-8, hal. 169.

19

Sementara itu, gadai menurut istilah adalah akad utang di mana terdapat suatu barang yang di jadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang, barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjual itu hendaknya dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu).24 Gadai tersebut menjadikan suatu yang bernilai menurut pandangan syara‟ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.25 Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).26 Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut syari'at Islam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat yang mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan barang gadai untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan, si penjual

24

Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 106. Ahmad Azhar Basir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-piutang Gadai, (Bandung: PT.AlMa‟arif, 1983), hal. 50. 26 KUHPerdata Pasal 1150 25

20

(penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.27 Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu gadai menurut bahasa adalah tetap atau penahanan, sedangkan menurut istilah menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dan benda yang dighadaikan. Sederhananya dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. B.

Dasar Hukum Gadai Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan (jaiz) tidak wajib berdasarkan kesepakatan ulama, tetapi disyariatkan dengan dasar Al-Qur‟an, Hadits dan Ijma‟ para Ulama. 1. Berdasarkan dalil Al-Qur‟an Al- Baqarah/2:283:

                                         Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan 27

Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika Hukum Islam Komtemporer III, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2004), Hal.140.

21

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikannya persaksian dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah yang berdosa hatinya dan Allah SWT maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. AlBaqarah/2:283) Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah yang tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang digunakan sebagai jaminan. 28 Sebab gadai tidak bisa terjadi sebelum serah terima barang karena ia merupakan akad saling membantu dan menolong yang membutuhkan serah terima.29 Para ulama bersepakat gadai hukumnya boleh, baik ketika tengah perjalanan, mapun ketika Para menetap, berbeda pendapat terdapat mujahid dan ulama Zahiriyyah 30 karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan dan Al-Rahn secara mutlak, baik ketika sedang ditengah perjalanan maupun ketika sedang menetap. 2. Berdasarkan dalil dari As-sunnah Masalah rahn juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu:

ّ‫ّ ٔ عهى دسػ‬ٛ‫ صهٗ اهلل ػه‬ٙ‫ ٔنمذ سٍْ انُث‬: ‫ اهلل ػُّ لال‬ٙ‫ػٍ أَظ سض‬ ‫ش ٔإْانح عُحح ٔنمذ‬ٛ‫ّ ٔ عهى تخثض ؽؼ‬ٛ‫ صهٗ اهلل ػه‬ٙ‫د إنٗ انُث‬ٛ‫ش ٔيؾ‬ٛ‫تؾؼ‬

28

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal.125. Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ishfahani, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi‟I, alih bahasa Toto Edidarmo, (Jakarta:PT Mizan Publika,2012), Cet.2, hal. 327. 30 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Depok: Gema Insani, 2011), jilid 6, hal. 109. 29

22

ٗ‫ّ ٔ عهى إال صاع ٔال أيغ‬ٛ‫ل يحًذ صهٗ اهلل ػه‬ٜ ‫مٕل ( يا أصثح‬ٚ ّ‫عًؼر‬ 31 ) ‫اخ‬ٛ‫ٔإَٓى نرغؼح أت‬ Artinya: Dari anas r.a dia berkata:”sesungguhnya nabi s.a.w menggadaikan baju besinya dengan biji gandum.Aku menemui nabi s.a.w. dengan membawa roti yang terbuatdari biji gandum dan kue biasa yang sudah tengik. Aku pernah mendengar beliau bersabda: “bagi keluarga Muhammad s.a.w setiap pagi dan sore hanya memerlukan satu sha‟. Padahal sesungguhnya mereka ada Sembilan anggota keluarga.” (HR. Bukhari) Hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:

‫ُٕ َُظ‬ٚ ٍ‫ظ ت‬ َ ِْٛ‫ أَخثَش َاَ ػ‬: ‫ل‬ َ ‫ؾشَو لَا‬ َ َ‫ تٍ ح‬ِٙ‫ ٔػَه‬ِٙ‫ى اَ ْنحَُْظَه‬ِْٛ‫ق تٍ إت َش‬ ُ ‫حذَثََُا اِعْحا‬ َ ‫ اِؽْ َرشَٖ سعٕل اهلل صهٗ اهلل‬: ‫د‬ ْ ‫ى ػٍ االع َٕ ِد ػٍ ػائؾ َح لا ن‬ِْٛ‫تٍ انؼًَؼ ػٍ اِتشا‬ 32 ‫ْذ‬ِٚ‫حذ‬ َ ٍِْ‫ُٓ ْٕدِ٘ طؼَايا ٔسَُّْ دسػاً ي‬َٚ ٍ‫ ي‬.‫ِّْ ٔعهّى‬ٛ‫ػه‬ Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin „Amasy dari Ibrahim dari Aswaddari Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).”(HR. Bukhori). Dari hadits diatas praktik gadai sudah pernah diajarkan Nabi Muhammad SAW, Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi mendapatkan gandum untuk keluarganya. Gadai itu diperbolehkan kerena gadai termaksud akad Syar‟i yang melindungi hak dan berfungsi untuk membayar hutang jika penghutang tidak sanggup membayar.33 3. Ijma‟ Ulama 31

Bukhori, Shahih al-Bukhori, hadis no. 2373, jil. 2 (Beirut al-Yamâmah: Dâr ibnu Katsir, 1987), h. 887. 32 Bukhori, Shahih al-Bukhori, jil. 2 (Beirut al-Yamâmah: Dâr ibnu Katsir, 1987), h. 729. 33

Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: Widya Cahaya, 2012), Jil. 7, hal. 49.

23

Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh.Para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari‟atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu berpergian.34 C.

Rukun dan syarat Gadai melaksanakan akad gadai agar dipandang sah dan benar dalam syariat islam maka harus memenuhi rukun dan syarat gadai berdasarkan hukum Islam. 1. Rukun Gadai Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai itu ada 4 (empat), yaitu: a) Shighat atau perkataan b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) c) Adanya barang yang digadaikan (marhum) d) Adanya utang (marhum bih)35 Adapun mengenai rukun gadai dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Shighat atau perkataan Shighat menurut istilah fuqaha‟ ialah:

ٗ‫ثثد انرشاض‬ٚ ‫جاب تمثٕل ػهٗ ٔجّ يؾشٔع‬ٚ‫اسذثاط اال‬ "Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)"36 34

Muhammad Sholikhul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2000), hal.

521. 35

Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet.2, Hal.142. 36 TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka RizkiPutra, 1997),Cet.I, Hal. 26.

24

Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum ini" Shighat aqdi memerlukan tiga syarat: 1) Harus terang pengertiannya 2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul 3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fiqh Muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah).37 b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin). Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).38

37

TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),Cet.I, hal. 31. 38 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), hal.160.

25

c) Adanya barang yang digadaikan (marhum). Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).39 Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namunada juga barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan. Adapun jenis barang jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara lain: 1) Barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lainlain. 2) Barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, telpon genggam, tape recorder, dan lain-lain. 3) Kendaraan: sepeda, motor, mobil. 4) Barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah. 5) Mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain. 6) Tekstil: kain batik, permadani. 7) Barang-barang lain yang dianggap bernilai.40 Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafi”iyah barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat: 1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan 2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.

39

Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), hal. 93. Muhammad Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hal. 142.

40

26

3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan hutang gadai.41 d) Adanya hutang (marhum bih) Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya. 42Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.43 2. Syarat Gadai Menurut Imam Syafi‟i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima. 44Sedangkan Maliki mensyaratkan bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yang menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.45 Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut: a) Berakal; b) Baligh (dewasa); c) Wujudnya marhum (barang yang dijadikan jaminan pada saat akad); 41

Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, Hal. 196. 42 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), Hal.161. 43 Chairuman Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, Hal. 142. 44 Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2012), Cet.13, Hal. 235. 45 Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari‟ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), Hal. 53.

27

d) Barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau wakilnya.46 Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat sah gadai tersebut ada 2 hal yaitu : a. Syarat aqidain (rahin dan murtahin) Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah mumayyiz (mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di bawah pengampuan atau wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya seperti mumayyiz, akan tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh diperlukan izin dari wali, apabila pengampu mengizinkan perjanjian gadai dapat dilakukan, tetapi apabila wali tidak mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut batal menurut hukum.47 b. Syarat barang gadai (marhun) Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas hutang yang ia berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada barang gadai adalah barang yang dapat diperjual-belikan.48 Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain : a). Harus dapat diperjualbelikan

46

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), Hal. 141 Rahmat Syafi‟I, Fiqih Muamalah, Cet.3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Hal.162 48 Chairuman Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, Hal. 143. 47

28

b) Harus berupa harta yang bernilai c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari‟ah d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang diterima secara lansung e) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.49 Salah satu syarat bagi marhum adalah penguasaan marhum oleh murtahin. Mengenai penguasaan atau penerimaan barang yang digadaikan pada dasarnya disepakati sebagai syarat gadai. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah AlBaqarah ayat 283:

 ُ‫ٍُْ يَمْثُْٕضَح‬َٚ‫َفش‬ Artinya: “maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh yang berpiutang).” Tetapi ulama masih berselisih pendapat, apakah penguasaan barang ini merupakan syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai. Menurut Imam Malik, penguasaan barang itu sebagai sebagai syarat kelengkapan, akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan sudah dipaksa untuk menyerahkan barang kecuali bila penerima gadai tidak mau adanya penentuan demikian. Sebab Imam Malik mengqiyaskan gadai dengan akad-akad lain yang mengikat dengan adanya ucapan, dan jika barang gadai beralih kepada kekuasaan orang yang menggadaikan dengan jalan peminjaman (ariyyah), penitipan atau lainnya, maka akad gadai tersebut tidak mengikat lagi. 49

Rahmat Syafi‟I, Fiqih Muamalah, Cet.3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 168

29

Sedangkan menurut Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan golongan zhahiri, penguasaan barang itu termasuk syarat sahnya gadai. Sebab selama belum terjadi penguasaan, akad gadai itu tidak mengikat orang yang menggadaikan. 50 Seseorang menggadaikan barang dengan syarat, ia akan membawa haknya pada saat jatuh tempo, dan jika tidak maka barang tersebut menjadi milik penerima gadai. Fuqaha sependapat bahwa syarat tersebut mengharuskan batalnya gadai, sebab apabila rahin menggadaikan suatu barang seperti kepada murtahin maka kemanfaatan dari barang tersebut itu sepenuhnya milik rahin begitu pula kerugian atau kerusakannya berada dalam tanggungan rahin.51 Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

‫ك‬ ُ ‫ ْغَه‬َٚ ‫ ( نَا‬:َ‫عَهى‬ َ َٔ ِّ َْٛ‫ػه‬ َ ُّ َ‫صهَٗ اَنه‬ َ - ِّ َ‫ل َسعُٕلُ اَنه‬ َ ‫ لَا‬:َ‫ اهلل ػُّ لَال‬ٙ‫شج سض‬ٚ‫ ْش‬ٙ‫ٔػٍ ا ت‬ ,‫ َٔانْحَا ِك ُى‬,ُُِْٙ‫غ ْشيُ ُّ ) َسَٔاُِ اَنذَاسَ ُلط‬ ُ ِّ َْٛ‫ػه‬ َ َٔ ,ُّ ًُُْ ‫غ‬ ُ ُّ َ‫ ن‬,ُّ ََُْ َ‫ٍ صَاحِثِِّ َانَزِ٘ س‬ ْ ِ‫ٍ ي‬ ُ َْْ‫اَنش‬ .‫خ‬ ٌ ‫َٔسِجَان ُّ ثِمَا‬ Artinya:“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:"Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya."(Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya).52

50

Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 197. 51 Ismail Yakub, Al-UMM, (Kuala Lumpur: Victory Agencie,1989), Cet. 1, hal. 366. 52 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007),Cet. 2, Hal. 503, Hadits No. 883.

30

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai berikut:53 1. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin) A. Hak Pemberi Gadai 1). Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barangmiliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya. 2). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan danhilangnya barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaianpenerima gadai. 3). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualanbarangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biayalainnya. 4). Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabilapenerima gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya. B. Kewajiban Pemberi Gadai 1). Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. 2). Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.

53

Muhammad Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),hal. 53

31

2. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin) A. Hak penerima gadai (murtahin) 1). Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibanya sebagai orang yang berhutang. 2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan. 3) Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai. B. Kewajiban penerima gadai (murtahin) 1) Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaianya. 2) Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang digadaikan untuk kepentingan pribadi. 3) Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum di adakan pelelangan barang gadai. Dalam perjanjian gadai baik pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah menahan barang yang digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang dapat melunasi barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai

32

masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak sepenuhnya atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.54 Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan tidak boleh bila yang menerima gadai menjual barang gadaian yang diterimanya dengan syarat harus dijual setelah jatuh tempo dan tidak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijual belikan oleh pemberi gadai, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang menerima gadai). Jika pemberigadai tidak mau menjual barang tersebut, maka yang menerima gadai berhak mengajukan tuntutan kepada hakim.55 E. Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Pemanfaatan Barang Gadai Pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka boleh untuk dijadikan jaminan (borg) atas utang. 56 Transaksi Rahn adalah transaksi yang dimaksud untuk meminta kepercayaan dan jaminan hutang, bukan untuk mencari keuntungan atau hasil.57 Para ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa

54

Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 200. 55 Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab), (Semarang: Pustaka Risky putra, 2001)Cet. II, hal.366. 56 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi (eds),Kifayatul AkhyarTerjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap,(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet.I, hal.143 57 Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), Cet. 1, hal. 794

33

menghasilkan sama sekali, akan tetapi apakah diperbolehkan pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang gadaian, meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan, 58 dalam hal ini terjadi beberapa perbedaan pendapat para ulama. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahidin tentang pengambilan manfaat dari hasil barang gadaian. 1. Pendapat Imam Syafi'i Dalam kitab Madzahibul Arbaah dijelaskan, Imam Syafi‟i mengatakan:

‫ذ‬ٚ ‫كٌٕ ذحد‬ٚ ٌْٕ‫ك فٗ يُفؼح انًشٌْٕ ػهٗ اٌّ انًش‬ ّ ‫انشٍْ ْٕصاحة انح‬ ٌْٕ‫ذِ ػُّ إالّػُذاإلَرفاع تانًش‬ٚ ‫انًّشذٍٓ ٔالذًُغ‬ Artinya: “Orang yang menggadaikan setelah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadaikan tidak hilang kecuali mengambil manfaat atas barang gadaian itu”.59 Dalam masalah ini Imam Syafi‟i pemanfaatan barang gadai tidak terkait dengan adanya izin, akan tetapi ini berkaitan dengan keharaman pengambilan manfaat atas utang yang tergolong riba yang diharamkan oleh syara‟.60 Imam Syafi‟i mengemukakan pandangannya berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :

58

Saleh Al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet. 1, hal. 416. 59 Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika Hukum Islam Komtemporer III, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2004), hal. 83. 60 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), hal. 178.

34

ِ٘‫ك اَن َشٍُْْ يٍِْ صَاحِثِ ِّ اََنز‬ ُ َ‫غْه‬َٚ ‫ نَا‬:َ‫ْ ِّ َٔعََهى‬َٛ‫صَهَٗ اَنهَُّ ػَه‬- ِّ َ‫ل اَنه‬ ُ ُٕ‫ل سَع‬ َ ‫ لَا‬:َ‫َٔػَُْ ُّ لَال‬ ٍ‫ ( سٔاِ انؾافؼٗ ٔانذاسلطُٗ ٔلال إعُادِ حغ‬. ُُّ‫غ ْشي‬ ُ َِّْٛ‫ َٔػَه‬,ًُُُّْ ُ‫ نَُّ غ‬,ََُُّْ‫َس‬ )‫يرصم‬ Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi saw ia bersabda : Gadaikan itu tidakmenutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaannya dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya).(HR. Asy-Syafi'i dan Daruqutny dania berkata bahwa sanadnya Hasan dan bersambung).61 Dalam hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa barang gadaian itu tidak menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk mengambil manfaatnya.Dengan demikian, orang yang menggadaikan tetap berhak atas segala hasil yang ditimbulkandari barang gadaian itu dan bertanggung jawab atas segala resiko yangmenimpa barang tersebut. Dan penerima gadai hanyalah menguaasai barang jaminan sebagai kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkannya sampai waktu yang telah ditentukan pada waktu akad.62 2. Pendapat Imam Hanafi Menurut Imam Hanafi, tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang gadaian yang mengakibatkan kurang harganya atau tidak. Imam Hanafi berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa

61

Imam Syafi'i, al-Um, Jilid 3, tth.tp. hal. 167. As Shan‟ani, Subulus Salam III,Penerjemah: Abd. Rasyid Nafis (Jakarta: Al-Ikhlas, 1995), Cet. 1, hal. 181. 62

35

barang gadai harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya. 63 Oleh sebab itu, golongan Hanafiyah ada yang membolehkannya untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin. Tetapi sebagian lainnya tidak membolehkan sekali pun ada izin bahkan mengkategorikannya sebagai riba, jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk riba.64 3. Pendapat Imam Hanbali Imam Hanbali berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakanya, sesuai dengan jumlah biaya pemiliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.65 Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yaitu:

‫ظ ْٓ ُش‬ َ ‫ ان‬:‫ّ ٔ عهى‬ٛ‫ اهلل ػه‬ٙ‫ اهلل ػُّ لا ل سعٕل اهلل صه‬ٙ‫شج سض‬ٚ‫ ْش‬ٙ‫ٔػٍ ات‬ ِٖ‫ب تَُِفَمَرِ ِّ ِإرَاكَاٌَ َي ْشًَُْٕا َٔػَهَٗ اَنز‬ ُ ‫ؾ َش‬ ْ ُٚ ‫ٍ ان ُذ ِس‬ ُ َ‫ة تَُِفَمَرِ ِّ ِارَاكَاٌَ َي ْشًَُْٕا َٔنَث‬ ُ ‫ ْش َك‬ُٚ )٘‫ؾ َشبُ انَُفَمَ َح (سٔاِ انثخاس‬ ْ ََٚٔ ‫ة‬ ُ ‫ ْش َك‬َٚ Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: binatang tunggangan yang dirungguhkan atau diborongkan harus ditunggangi dipakai, disebabkan ia harus dibayar, air susunya boleh diminum diperas untuk pembayaran ongkosnya, orang yang menunggangi dan meminum air susunya harus membayar.”66(HR. Bukhari)

63

Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 49. 64 Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan aplikasinya pada lembaga keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, hal. 226. 65 Ibnu Qudamah, Al-Mughni., (Beirut: Dar al-Kitab Al-„Araby,1980), Jil. 6, hal. 432-433. 66 Imam Hafidz Ahmad bin ali bin hajjar Al-Asqalani, Fathul Al-Bari, (Beirut: Dar AlKotob Al-ilmiyah, 2003), Cet. 1, hal. 32.

36

Hadits di atas menerangkan bahwa binatang yang dijadikan jaminan boleh diambil manfaatnya seperti untuk tunggangan, diminum air susunya hal ini disebabkan karena adanya biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan tetapi apabila hasil ternaknya ada kelebihannya, maka kelebihan itu dibagi rata antara murtahin dan rahin.Dan apabila orang yang menunggangi dan yang minum air susunya tidak membaginya maka orang tersebut harus membayar kelebihan itu. 4. Pendapat Ulama Malikiyah Maliki berpendapat gadai wajib dengan akad (setelah akad) pemberi gadai (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan marhun untuk dipegang oleh penerima gadai (murtahin).Jika marhun sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin), diperbolehkannya murtahin memanfaatkan barang gadai atas izin rahin atau disyaratkan ketika akad.67Pemberi gadai (rahin) juga mempunyai hak memanfatkan berbeda dengan pendapat Imam Asy Syafi‟i yang mengatakan hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan penerima gadai (murtahin).68 Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang (pemberi gadai) tidak memiliki barang secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan

67

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan aplikasinya pada lembaga keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, hal. 227. 68 Sayyid sabiq Fikih Sunnah 12, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), hal. 141.

37

hukum (barangnya sudah digadaikan). Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang yang telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penerima gadai (murtahin) terhadap barang tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna pemanfaatan/ pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memnfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang (pemberi gadai) tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang yang digadaikan itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.69 F. Berakhirnya Akad Gadai Menurut Sayid Sabiq, jika barang gadai kembali ke tangan Rahin atau dengan kata lain,.jika barang gadai berada kembali dalam kekuasaan Rahin, maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian dalam perspektif Sayyid Sabiq agar akad gadai tidak batal barang gadai harus dalam penguasaan murtahin.70 Gadai dipandang batal dengan beberapa keadaan seperti : 1. Borg (barang gadai) diserahkan kepada pemiliknya. Jumhur ulama selain Syafi'i menganggap gadai menjadi batal jika murtahin menyerahkan Borg kepada pemiliknya (Rahin) sebab borg merupakan jaminan utang, jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang batal pun akad gadai jika murtahin meminjamkan borgkepada Rahin atau kepada orang lain atas seizin Rahin.

69

Muhammad Sholikhul Hadi, Pegadaian Syari'ah,( Jakarta: Salemba Diniyah, 2000), hal.

54. 70

Sayyid Sabbiq, Fiqhus Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi, 1987), Cetakan Ke-8, Hal.

190.

38

a. Dipaksa menjual borg Gadai batal, jika hakim memaksa Rahin untuk menjual borg atau hakim menjualnya jika Rahin menolak.

b. Rahin melunasi semua hutang. c. Pembebasan hutang. d. Pembatalan akad gadai dari pihak murtahin Akad gadai dipandang batal dan berakhir jika murtahin membatalkan Rahin meskipun tanpa seizin Rahin. Sebaliknya dipandang tidak batal jika Rahin membatalkanmya. Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan pembatalan borg kepada Rahin. Hal ini karena Rahin tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang. 2. Rahn meninggal Menurut Imam Malik, Rahin batal atau berakhir jika Rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borgkepada Rahin. 3. Borg rusak 4. Tasharruf dan Borg Rahn dipandang habis apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atau jin pemiliknya.71

71

Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 207.

BAB III PRAKTIK GADAI DI KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK A.

Letak Geografis kecamatan Tapos Kota Depok Wilayah Kecamatan Tapos merupakan salah satu Kecamatan terletak di Wilayah Kota Depok, provinsi Jawa Barat, dengan batas wilayah Kecamatan Tapos adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cimanggis dan Kota Bekasi 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Cikeas Kabupaten Bogor 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Cibinong Kabupaten Bogor 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cimanggis dan Kecamatan Sukmajaya.72 Kecamatan Tapos ini baru berdiri pada tahun 2009 yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Tapos terdiri dari 7 kelurahan yaitu:73 1. Kelurahan Tapos 2. Kelurahan Sukatani 3. Kelurahan Cilangkap 4. Kelurahan Sukamaju Baru 5. Kelurahan Leuwinanggung 6. Kelurahan Jatijajar 7. Kelurahan Cimpaeun 72

muchsin, Camat Tapos, Wawancara Pribadi, di Kecamatan Tapos, 4 Juli 2014. Buku Informasi Kependudukan Kota Depok, September 2013.

73

39

40

Kecamatan Tapos mempunyai 7 Kelurahan, 622 RT, 127 RW, secara umum Kecamatan Tapos juga mempunyai luas wilayah secara keseluruhan seluas 3342,00 Ha. Berikut ini data penggunaan lahan di Kecamatan Tapos terdiri dari: 1. Luas lahan yang terbangun

: 1197,94 Ha

2. Luas lahan non terbangun

: 2141,61 Ha

Lahan terbangun terdiri dari pemukiman, perindustrian, perdagangan jasa perkantoran, fasos fasum, lapangan, gedung masjid.Sedangkan, lahan non terbangun terdiri dari danau, situ, sawah teknis irigasi, sawah non teknis, belukar/tanah kosong. Ladang/kebun, hutan kota, lapangan golf, sungai, kuburan, empang, jalan. 74 Di kecamatan tapos ini masih banyak ditemukan sawah, lahan perkebunan, tanah kosong, dan memiliki wilayah yang mempunyai daya dukung rendah seperti lereng yang curam dan rawan longsor. B.

Sekilas Kondisi Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok Berdasarkan data monografi penduduk Kecamatan Tapos dengan tanah seluas 3342,00 Ha, dihuni oleh 77.404 kk, serta keseluruhan jumlah penduduk sebanyak 257.693 orang , yang terdiri dari 135.647 laki-laki dan 129.948 wanita. Untuk lebihjelasnya jumlah penduduk Kecamatan Tapos Berdasarkan masing-masing kelurahan adalah sebagai berikut:75

74

Data Monografi Kecamatan Tapos Kota Depok , data RT/RW Tahun 2009. Data SIAK ( Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), Provinsi Jawa Barat Kota Depok, Kecamatan Tapos. 75

41

Tabel 3.1, berdasarkan setiap kelurahan No

Kelurahan

KK

Laki-laki

Prempuan

Jumlah

1

Tapos

4.980

8.320

7.811

16.131

2

Leuwinanggung

4.638

7.883

7.293

15.126

3

Sukatani

17.555

30.663

29.732

60.395

4

Sukamaju Baru

14.200

25.149

23.915

49.064

5

Jatijajar

12.362

22.282

21.198

43.480

6

Cilangkap

15.756

27.725

27.216

54.941

7

Cimpaeun

7.913

13.675

12.783

26.458

Jumlah

77.404

135.647

129.948

265.595

Dilihat dari data statistik di atas jumlah penduduk Kecamatan Tapos lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan.Kendati demikian dengan melihat data struktur yang diperolehdari arsip monografi, 76 penulis dapat mengelompokkan keadaan pendudukKecamatan Tapos dari beberapa bidang antara lain : 1. Bidang Sosial Budaya Seperti wilayah Kecamatan lainnya, walaupun Kecamatan Tapos baru didirikan pada tahun 2009, tetapi seperti kebanyakan wilayah perkampungan di Indonesia pada umumnya, bahwa nilai sosialdan rasa solidaritas masyarakat di Kecamatan Tapos masih sangat tinggi dan masih membudaya ditengah-tengah 76

Visi-Misi Rencana pembangunan jangka menengah tahun 2013-2016 Kota Depok.

42

perilaku kehidupan sehari-hari.Nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat ini sangat terlihat seperti halnyadalam rangka membangun, memperbaiki sarana dan prasarana umum, seperti masjid, mushalla,perbaikan jalan, pos kamling dan kegiatan-kegiatan lainnya secara gotong-royong, serta membina kebersihan lingkungan seperti membersihkan jalan umum, membersihkan got/ solokan, serta membuat Tempat pembuangan akhir sampah, membuat taman kota. Dengan demikian, masyarakat Kecamatan Tapos masih memiliki nilai-nilai kemasyarakatan yang mencerminkanmasyarakat yang berbudaya dari dimensi kegotongroyongan

dankebersamaan.Serta

dikarenakan

kepadatan

penduduk

Kecamatan Tapos cenderung sedang, maka sangat baik untuk mengembangkan suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka menegakkan kehidupan beragama, ekonomi, sosial dan budaya.Dimana aspek sosial kemasyarakatannya tidak terlalu kompleks seperti pada Kecamatan yang kepadatan penduduknya tinggi. Di Kecamatan Tapos juga terdapat kelas-kelas sosial, yang membedakan lapisan satu dengan yang lainnya seperti Lapisan masyarakat, petani, pedagang,buruh industri, Pejabat, pengusaha dan lapisan tokoh agama.Meskipun terdapat kelas sosial tetapi tidak ada garis pembatas, tidak ada jarak ataupun penghalang untuk tetap berkomunikasi satu sama lain, karena masih sangat kentalnya adat budaya yang menjadi kebiasaan di Kecamatan Tapos ini. 2. Keagamaan Dengan melihat data statistik tabel berdasarkan jumlah penduduk menurut agama, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas masyarakat

Kecamatan Tapos

43

pemeluk agama Islam,

77

meskipun pemerintah kota Depok telah melakukan

sosialisasi dan penyuluhan untuk menangkal menjamurnya praktik gadai yang tidak didasari syariat Islam tetapi dapat dipastikan akan merugikan masyarakat yang melakukan praktik gadai tersebut, karena tidak adanya payung hukum yang secara tegas mengatur gadai. Dapat penulis katakan upaya pemerintah kota Depok belum maksimal jika hanya melakukan sosialisasi dan penyuluhan saja, seharusnya ditingkatkan menjadi sebuah pembahasan dengan kementerian agama, dan anggota DPRD kota Depok agar dapat muncul bukti konkrit peran pemerintah dalam upaya melindungi masyarakatnya dalam hal ini masyarakat yang beragama Islam secara khusus dan umumnya bagi masyarakat pemeluk agama lain. Tabel 3.2. Jumlah penduduk menurut agama AGAMA No

Kelurahan

Islam

Kristen

Kristen

Protesta

Khatolik

Hindu

Budha

Khong

lainn

Huchu

ya

1

Tapos

15.658

314

41

1

70

47

0

2

Leuwinan

14.662

313

128

15

7

0

1

53.538

4.684

1.766

202

194

10

1

ggung 3

Sukatani

77

Buku Informasi Kependudukan Kota Depok, September 2013.

44

4

Sukamaju

44.360

3.443

977

57

93

134

0

baru 5

Jatijajar

39.980

2.305

787

50

217

134

7

6

Cilangkap

52.092

1.890

602

23

109

224

0

7

Cimpaeun

25.441

688

240

31

52

6

0

245.731

13.637

4.541

379

742

555

9

Total 3. Bidang Ekonomi

Keadaan ekonomi masyarakat Kecamatan Tapos sebagian besar di topangoleh hasil pertanian dan persawahan, dan pengembangan peternakan.Serta adanya masyarakat di suatu wilayah juga sangat mempengaruhikeberhasilan program-program pemerintah, hingga dapat memberikan mempengaruhi bagi kesejahteraan masyarakat. Disamping itu keadaan ekonomi masyarakat Kecamatan Tapos juga di topang oleh sumber-sumber lainnya seperti petani, peternak, pedagang, Penjahit, buruh, APN, PNS, karyawan, guru swasta, supir dan sebagainya. Dengan rincian 40% masyarakat Kecamatan Tapos mengandalkan kebutuhan sehari-harinya dari hasil pertanian, dengan cara menjadi petani, baik dari hasil sawah maupun dari hewan ternak. Selanjutnya 30% lainnya masyarakat

45

Kecamatan Taposbermata pencarian sebagai pegawai swasta, dan 30% lagi bekerja sebagai buruh harian lepas.78 Dari fakta tersebut di atas menunjukan sangatlah mungkin banyak terjadi praktik Gadai yang penulis prediksikan di awal, yang bermata pencarian sebagai petani melakukan praktik gadai untuk meningkatkan hasil pertaniannya guna meningkatkan omset perharinya. Sedangkan yang bermata pencarian sebagai pegawai swasta dan buruh harian lepas yang notabenenya memiliki penghasilan yang tetap namun tidak adanya kepastian soal masa depan seperti dana pensiun, tunjangantunjangan, seperti halnya pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta dan buruh harian lepas merupakan golongan masyarakat yang juga bersentuhan langsung dengan praktik gadai yang penulis ungkapkan dikarenakan adnaya sistem kontrak dan potongan dari out sourcing, sehingga mereka sangat membutuhkan dana cepat untuk menutupi kebutuhan sehari-hari yang semakin mendesak menurut pengamatan yang penulis lakukan di lapangan gadai adalah solusi tercepat untuk bisa mendapatkan dana segar yang didapat tanpa ada syarat yang berbelit, ini penulis ungkapkan dikarenakan penulis banyak melihat fhamplet dan selembaran berupa brosur yang dikemas sedemikian rupa sehingga menarik para calon pelaku gadai ini untuk tertarik menggunakan jasa dari penyedia gadai tersebut, tanpa melihat ketentuan yang ditawarkan oleh penyedia jasa gadai.

78

Ues Supriyadi, Sekretaris Kecamatan Tapos, Wawancar Pribadi, di Kecamatan Tapos, pada tanggal 4 juli 2014.

46

C.

Mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Di Kecamatan Tapos sering sekali terjadi transaksi gadai dengan cara menggadaikan sertifikat rumah, dan Tanah, ini dilakukan oleh masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan bagi para pegawai swasta dan buruh harian lepas lebih banyak meminjam sejumlah uang dengan menggadaikan barangbarang berharga miliknya yang masih memiliki nilai jual seperti handphone, Ipad, kendaraan, dan alat-alat elektronik lainnya. Selama masa gadai yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tapos hak pemegang barang gadai tersebut berada dalam kekuasaan murtahin (pihak pemegang gadai) dan mereka pada umumnya memanfaatkan barang gadai dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini berdampak pada kerusakan barang gadai tanpa adanya tanggung jawab dari murtahin, meski pun dengan adanya perjanjian taupun tanpa perjanjian dan kebutuhan rahin yang mendesak yang menjadikan murtahin selalu memanfaatkan barang gadai tanpa menghiraukan kerusakannya, serta bunga yang diminta murtahin kepada pihak rahin. Dengan ini penulis mencoba mencari fakta terkait tata cara atau mekanisme praktik gadai yang dilakukan masyarakat kecamatan Tapos kota Depok yang penulis temukan di beberapa kelurahan yang berada di bawah wilayah Kecamatan Tapos. 1. Transaksi gadai yang dilakukan oleh ibu Lia (murtahin) dan bapak Effendi (rahin) pada tanggal 8 Juli 2014. Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan ibu Lia: Bapak Effendi yang seorang buruh harian lepas (buruh bangunan) menggadaikan sebuah Ipad yang

47

harganya Rp. 8.000.000 (dua belas juta rupiah) untuk mendapatkan uang kepada ibu Lia sebesar Rp. 1.200.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Bapak Effendi berjanji kepada ibu Lia secara lisan akan mengembalikan pinjamannya dalam jangka waktu 2 minggu, namun bila dalam jangka waktu tersebut tidak dapat mengembalikan pinjamannya dengan sukarela Ipad yang menjadi objek gadainya menjadi hak milikibu Lia sebagai murtahin. Akan tetapi sebelum jatuh tempo yang disepakati, Ipad yang menjadi objek gadai digunakan sebagai mainan anak saya dan saya sendiri.79 2. Transaksi gadai yang dilakukan oleh bapak Asam (Murtahin) dan bapak Tapsur (rahin) pada tanggal 19 Agustus 2000. Menurut wawancara yang Penulis lakukan kepada bapak Asam: beliau pernah melakukan praktik gadai menjadi orang yang menerima barang gadai, pada waktu itu bapak Tapsur sedang membutuhkan uang untuk kebutuhan mendesak lalu bapak Asam memberikan pinjaman uang sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan bapak Tapsur memberikan barang jaminan mobil kepada bapak Asam, dan tidak adanya batas waktu yang ditentukan. Terlebih kerena bapak Asam juga membutuhkan transportasi untuk bekerja, maka bapak Asam memanfaatkan barang tersebut, tetapi selang waktu 1 tahun ada seorang sekelompok Polisi mendatangi bapak Asam dan memberi tahu kalau ternyata mobil itu mau ditarik lissing karena mobil itu tidak dibayar-bayar uang kreditnya oleh bapak Tapsur, akhirnya bapak

79

Hasil wawancara dengan ibu Lia, warga Kelurahan Tapos Kecamatan Tapos Pada tanggal 12 Juli 2014.

48

Tapsur membayar hutang pinjamannya hanya Rp. 7.000.000,- berkurang nominalnya dari uang yang pertama kali bapak pinjamkan ke bapak Tapsur.80 3. Transaksi gadai yang dilakukan oleh bapak Ramlan (Rahin) kepada bapak Gani (Murtahin) yang terjadi pada tanggal 27 Juni 2012. Menurut wawancara yang Penulis lakukan dengan bapak Ramlan: pada waktu itu bapak Ramlan yang bekerja sebagai karyawan swasta merasa kesulitan membayar tunggakan kredit motor selama 3 bulan,

bapak Ramlan juga

membutuhkan uang mendesak untuk membayar uang sekolah anaknya, lalu beliau meminjam uang sebesar Rp. 3.000.000,- kepada bapak Gani (pemegang gadai) dalam tempo 2 bulan dengan perjanjian secara lisan dan sebagai jaminannya bapak Ramlan menyerahkan sepeda motor yang masih kredit itu, bapak Gani tetap meminta bunga kepada bapak Ramlan sebesar Rp.50.000,- perbulannya, dan juga memanfaatkan motor tersebut sebagai transportasi sehari-harinya, sampai bapak Ramlan dapat menebus

barang

yang

digadaikan,

tetapi

meskipun

bapak

Ramlan

telat

mengembalikan uang pinjamannya kepada bapak Gani tapi barang tersebut diserahkan kembali oleh bapak Ramlan.81 4. Transaksi gadai yang dilakukan oleh ibu Aminah (rahin) kepada bapak H. Eos (Murtahin) pada tanggal 20 februari 2009.

80

Hasil wawancara Bapak Asam, warga kelurahan Sukatani kecamatan Tapos pada tanggal 16 Juli 2014. 81 Hasil wawancawa dengan bapak Ramlan, warga Kelurahan Jatijajar, pada tanggal 15 Juli 2014.

49

Menurut wawancara yang Penulis lakukan dengan ibu Aminah: Ibu Aminah pernah menggadaikan sertifikat rumah kepada bapak H. Eos untuk mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) pada waktu itu beliau sangat membutuhkan banyak uang untuk membayar biaya operasi anaknya. dengan perjanjian secara lisan dan dalam jangka waktu 6 bulan, jika tidak membayarnya maka rumah itu menjadi milik bapak H. Eos. Pada waktu itu ibu Aminah tidak mampu membayar uang pinjamannya yang sangat besar, beliau mengadu kepada pemerintah Kecamatan bahwa rumahnya akan diambil paksa tetapi setelah di bicarakan bersama-sama secara damai akhirnya rumah ibu Aminah hanya dijual hanya dibagi dua dengan bapak H. Eos dari hasil penjualan rumah.82 5. Transaksi gadai yang dilakukan oleh ibu Laras (Murtahin) kepada bapak Ahmad (Rahin) pada tanggal 12 Maret 2014 Setelah melakukan wawancara dengan ibu Laras, beliau pernah melakukan praktik gadai sebagai penerima barang gadaian. Pada waktu itu bapak Ahmad membutuhkan pinjaman uang dari ibu Laras dengan memberikan jaminan berupa motor. Ibu Laras memberikan pinjaman uang sejumlah Rp. 2.000.000,- kepada bapak Ahmad, karena tidak adanya batas waktu pembayarannya dengan demikian suami dari ibu Laras pun menggunakan motor jaminan tersebut untuk berdagang sayuran keliling. Sampai bapak Ahmad bisa mengembalikan uang pinjaman tersebut.ibu

82

2014.

Hasil wawancara dengan ibu Aminah warga Kelurahan cimpaeun, pada tanggal 5 Juli

50

Laras beralasan karena beliau sudah memberikan pinjaman uang kepada pemilik barang ini.83 6. Transaksi gadai yang dilakukan oleh Lukman (Murtahin) kepada bapak Niman (Rahin) pada tanggal 20 November 2011. Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan bapak Lukman beliau mengatakan bahwa beliau pernah melakukan praktik gadai sebagai penerima barang gadai, waktu itu bapak Niman sedang membutuhkan uang untuk membayar hutang-hutang anaknya sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dengan memberi jaminan 3 ruko milik bapak Niman. Dalam tempo 1 tahun, dan selama setahun itu bapak Lukman memanfaatkan ruko tersebut untuk disewakan ke orang lain, dan keuntungan dari menyewakan itu milik pribadi sebab beliau beralasan dari pada ruko itu kosong tidak ada yang menempati maka lebih baik disewakan agar lebih bermanfaat dan menghasilkan keuntungan.84

D.

Latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai di kecamatan Tapos kota Depok. Praktik pemanfaatan barang gadai tersebut terjadi berdasarkan latar belakang dan motivasi/faktor tertentu, maka faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pemanfaatan barang gadai antara lain:

83

Hasil Wawancara dengan ibu laras Warga Kelurahan Lewinanggung pada tanggal 14 Juli

84

Hasil wawancara bapak Lukman, warga kelurahan Sukamaju Baru, pada tanggal 5 Juli

2014. 2014

51

1. Karena faktor ekonomi Seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa pada umumnya masyarakat Kecamatan Tapos ini 40% berprofesi sebagai Petani, dan 60% berprofesi sebagai buruh harian lepas dan pegawai swasta. Mereka beranggapan bahwa menggadai di perum pegadaian persyaratan yang berbelit, hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang didapat, keharusan melunasi uang pinjaman tepat pada waktunya.Sehingga membuat masyarakat Kecamatan Tapos merasa lebih cocok melakukan gadai kepada perorangan dari pada lembaga yang telah dibentuk oleh pemerintah, sebab dengan begitu mereka bisa mendapatkan uang pinjaman dengan syarat yang tidak berbelit, tidak didesak untuk membayar uang pinjaman tepat waktu. 2. Faktor sosial dan kebiasaan masyarakat (urf) Sesuai dengan informasi yang penulis dapatkan dari masyarakat Kecamatan Tapos, dapat penulis simpulkan setiap masyarakat Kecamatan Tapos yang menggadai dan pemegang gadai ini keduanya saling membutuhkan. Bagi mereka yang menggadaikan merasa sulit untuk memperoleh pinjaman dana yang cepat untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya jika harus menggadaikan barang atau surat-surat berharga pada lembaga atau pun bank. Selain itu pinjaman uang harus dikembalikan tepat waktu kepada lembaga atau bank dengan disertai bunga yang besar, sehingga mereka lebih memilih menggadaikan barang yang mereka punya kepada orang yang lebih mereka percaya seperti tetangga, sanak saudara atau pun orang yang mereka kenal.Meskipun dalam perjanjian jangka waktu sudah ditentukan, tetapi terkadang mereka bisa mengambil barang yang mereka gadai kapan pun sampai mereka mampu

52

menebusnya kembali.Begitu pula mereka yang penerima barang gadai mereka juga membutuhkan barang gadaian itu, untuk keperluannya sehari-hari, itu sudah menjadi hukum adat pada masyarakat Kecamatan Tapos ini. Oleh sebab itu, praktik gadai yang sering terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos ini sudah menjadi adat kebiasaan dan sulit untuk dihilangkan meskipun dalam praktik gadai tersebut ada kerancuan mengenai barang yang digadaikan dan adanya unsur kecurangan dan pemanfaatan barang gadaian yang disalah gunakan namun mereka berpedoman untuk saling percaya dan saling tolong-menolong, dan sampai sekarang pun mereka masih melakukan praktik gadai dengan cara seperti itu.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI DI KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK A.

Tinjauan Hukum Islam terhadap Mekanisme gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Setelah data terkumpul dari permasalahan yang terjadi dikalangan masyarakat Kecamatan Tapos maka penulis dapat menarik beberapa mekanisme pegadaian yang penulis temukan saat melakukan wawancara dan meninjau lansung ke lapangan di tempat penulis melakukan penelitian ini, pada dasarnya seluruh kasus yang penulis temukan telah memenuhi unsur-unsur gadai menurut syara‟ baik rukun maupun syarat melakukan praktik gadai diantaranya: a. Lafadz yaitu pernyataan perjanjian gadai yang dapat dilakukan dengan cara tertulis maupun cukup secara lisan. b. Pemberi dan Penerima Gadai yaitu baik pemberi maupun Penerima barang gadai haruslah merupakan seorang yang berakal dan telah akil baligh sehingga dianggap telah cakap melakukan perbuatan hukum sesuai dengan syariat Islam. c. Barang yang digadaikan yaitu barang gadai haruslah ada pada saat perjanjian gadai dilakukan dan barang gadai itu milik pemberi gadai (rahin), dan barang gadaian itu haruslah berada dibawah pengawasan penerima gadai.

53

54

d. Adanya utang yang bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.85 Namun yang menjadi persoalan adalah akad dan perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tapos kota Depok, Jawa Barat dari seluruh praktik gadai yang penulis temukan terdapat unsur riba dan pemanfaatan atas barang yang di gadaikan, sehingga rukun dan syarat gadai yang telah terpenuhi tetap tidak berpengaruh sebagai pedoman dan tata cara melakukan praktik gadai di kalangan masyarakat Kecamatan Tapos, Depok, karena akad dalam transaksi gadai sangatlah penting dan menjadi ujung tombak dalam sah atau tidaknya suatu transaksi gadai yang dilakukan oleh Rahin dan Murtahin, apabila akadnya saja telah salah maka bisa dipastikan praktik gadai tersebut akan merugikan salah satu antara rahin atau tidak menutup kemungkinan murtahin yang dirugikan. Dari hasil penelitian dan wawancara penulis mekanisme Praktik gadai tersebut timbul karena adanya adat kebiasaan yang salah yang tidak sesuai dengan syariat Islam. tetapi masih sering diterapkan dikehidupan masyarakat Kecamatan Tapos, sangatlah jelas terlihat bahwa praktik gadai pada masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok kesalahan dalam melakukan akad gadai atau perjanjian gadai. Meskipun dalam akad atau perjanjian rahin mengizinkan ataupun tidak mengizinkan barang gadaian boleh dipergunakan. Akan tetapi, murtahin tetap tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang gadaian tersebut karena ini berkaitan dengan keharaman mempergunakan atau mengambil manfaat barang gadai itu 85

Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), hal. 93.

55

diharamkan oleh syara‟. 86 Maka pasti praktik gadai tersebut akan merugikan salah satu pihak. Seperti yang di riwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu „anhu:

ّ‫مثه‬ٚ ‫ش كثٓا ٔال‬ٚ ‫ار الشض احذكى لشضا فاْذٖ نّ أحًهّ ػهٗ انذاتح فال‬ Artinya: “Apabila kamu menghutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berhutang) memberi hadiah kepada yang menghutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan janganlah menerimanya.” (HR. Ibnu Majjah; hadits ini mempunyai beberapa penguat) B.

Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok Dalam pengambilan manfaat barang gadai diperbolehkan dengan syarat sekedar pengganti biaya perawatannya, apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang tersebut membutuhkan biaya perawatan dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas atau seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut. Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yaitu:

‫ انظٓش‬:‫ّ ٔ عهى‬ٛ‫ اهلل ػه‬ٙ‫ اهلل ػُّ لال سعٕل اهلل صه‬ٙ‫شج سض‬ٚ‫ ْش‬ٙ‫ٔػٍ ا ت‬ ٖ‫ؾشب تُفمرّ ارا كاٌ يشَْٕا ٔػهٗ انز‬ٚ ‫شكة تُفمرّ ا را كاٌ يشَْٕا ٔ نثٍ انذس‬ٚ )٘‫ؾشب انُفمح (سٔاِ انثخاس‬ٚٔ ‫شكة‬ٚ Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: binatang tunggangan yang dirungguhkan atau diborongkan harus ditunggangi dipakai, disebabkan ia harus dibayar, air susunya boleh diminum diperas untuk pembayaran ongkosnya, orang yang 86

Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), hal. 178.

56

menunggangi dan meminum air susunya harus membayar biaya perawatannya.”87(HR. Bukhari) Dari hadits di atas menjelaskan bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang dengan pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku zhalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Hanbali. Imam Hanbali berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakanya, sesuai dengan jumlah biaya pemiliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.88 Tetapi praktik gadai yang terjadi dikalangan masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok dari hasil penelitian penulis bahwa praktik gadai yang terjadi yaitu mengambil unsur pemanfaatan barang gadai secara berlebihan, murtahin bukan hanya memakai barang gadaian milik rahin, tapi sering pula mereka menyewakan barang gadaian milik rahin ke orang lain. Sehingga pemanfaatan yang terjadi dapat mengakibatkan kerusakan terhadap barang gadai tersebut yang nantinya akan mengurangi nilai dari barang gadai tersebut. Seperti kasus bapak Lukman (murtahin) dan bapak Niman (Rahin), Bapak Lukman Pernah menerima barang gadaian dari bapak Niman sebab pada waktu itu

87

Imam Hafidz Ahmad bin ali bin hajjar Al-Asqalani, Fathul Al-Bari, (Beirut: Dar AlKotob Al-ilmiyah, 2003), Cet. 1, hal. 32. 88 Ibnu Qudamah, Al-Mughni., (Beirut: Dar al-Kitab Al-„Araby,1980), Jil. 6, hal. 432-433.

57

bapak Niman membutuhkan uang Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dengan memberi jaminan 3 ruko miliknya kepada bapak Lukman, Dalam tempo 1 tahun dan selama setahun itu bapak Lukman memanfaatkan ruko tersebut untuk disewakan ke orang lain, dan keuntungan dari menyewakan itu milik pribadi sebab beliau beralasan dari pada ruko itu kosong tidak ada yang menempati maka lebih baik disewakan agar lebih bermanfaat dan menghasilkan keuntungan. Pendapat Imam Malik yang membolehkan murtahin memanfaatkan barang gadai memilki banyak kekurangan dan berdampak pada kerugian salah satu pihak dalam hal ini rahin karena dapat dipastikan bila murtahin memanfaatkan barang gadai tersebut akan mengurangi nilai dari barang yang digadaikan dan bila di implementasikan dalam kasus bapak Lukman (murtahin) yang memindah tangankan kembali barang gadai yang dipegang olehnya dangan cara menyewakan kepada orang lain, maka praktik gadai yang dilakukan oleh bapak Lukman terkandung unsur riba didalamnya dan akan membahayakan barang gadai tersebut. Menurut Ulama Maliki gadai wajib dengan akad (setelah akad) pemberi gadai (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan marhun untuk dipegang oleh penerima gadai (murtahin).Jika marhun sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin), diperbolehkannya murtahin memanfaatkan barang gadai atas izin rahin atau disyaratkan ketika akad dan pemberi gadai (rahin) juga mempunyai hak memanfatkan.89

89

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan aplikasinya pada lembaga keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, hal. 227.

58

Pendapat Imam Maliki dalam hal gadai yang membolehkan murtahin untuk memanfaatkan barang gadai dengan syarat dibolehkan dan diberi izin oleh Rahin, sangat bertentangan dengan pendapat dari Imam Syafi‟i yang tidak membolehkan barang gadai dimanfaatkan oleh murtahin karena berkaitan dengan keharaman untuk mengambil manfaat atas utang yang termasuk riba. Adapun menurut pendapat Imam Syafi‟i pemanfaatan barang gadai tidak terkait dengan adanya izin, akan tetapi ini berkaitan dengan keharaman pengambilan manfaat atas utang yang tergolong riba. Yang mana riba diharamkan oleh syara‟.90 Serta hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan penerima gadai (murtahin).91 padahal mengambil keuntungan dan memanfaatkan barang gadaian sama halnya dengan riba, seperti yang sudah dijelaskan didalam ayat Al-Quran Surat ArRuum ayat 39 Allah SWT berfirman:

                                Artinya: Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orangorang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum 30/39)

90

Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), hal. 178. 91 Sayyid sabiq Fikih Sunnah 12, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), hal. 141.

59

Maksud dari ayat di atas ialah memberikan tambahan ketika melunasi hutang disamping pokoknya. Dengan kata lain seseorang dipaksa memberikan bunga dari nilai pinjaman, karena itu Allah SWT katakan harta yang diperoleh dengan cara seperti itu tidak bertambah disisi Allah SWT, melainkan akan menjadi malapetaka.92 Dan dalam hadits sudah dijelaskan yang berkaitan dengan praktik pemanfaatan barang gadai yaitu:

: ِ‫حذَثََُا أَتُٕ ا ْنؼَثَاط‬ َ َ‫ػ ًْشٍٔ لَاال‬ َ ِٗ‫ذِ تٍُْ أَت‬ِٛ‫عؼ‬ َ ُٕ‫َأخْ َثشَََا أَتُٕ ػَ ْثذِ انهَِّ ا ْنحَافِظُ َٔأَت‬ ٍِْ‫َٗ ػٍَْ ػَ ْثذِ انهَِّ ت‬ْٛ‫ح‬َٚ ٍُْ‫ظُ ت‬ِٚ‫حذَثَُِٗ ِإ ْدس‬ َ ٍ‫ىُ تٍُْ يُُْ ِمز‬ِْٛ‫حذَثََُا إِ ْتشَا‬ َ َ‫ؼْمُٕب‬َٚ ٍُْ‫ح ًَذُ ت‬ َ ‫ُي‬ ٍِْ‫ثِِٗ ػٍَْ فَضَانَحَ ت‬ِٛ‫ة ػٍَْ أَتِٗ َي ْشصُٔقٍ ان ُرج‬ِٛ‫ذُ تٍُْ أَتِٗ حَث‬ِٚ‫ض‬َٚ َُِٗ‫حذَث‬ َ َ‫َاػٍ لَال‬َٛ‫ػ‬ َُٕٓ‫جشَ يَُْ َفؼَحً َف‬ َ ٍ‫ ُكمُ َل ْشض‬: َ‫ أَ َُّ لَال‬-‫ّ ٔعهى‬ٛ‫ صهٗ اهلل ػه‬- ِِٗ‫حةِ انَُث‬ ِ ‫ذٍ صَا‬ْٛ َ‫ػُث‬ 93 .‫َٔجٌّْ يٍِْ ُٔجُٕ ِ انشِتَا‬ Artinya :“Dikabarkan dari Abu Abdillah al- Hafiz dan Abu Sai‟d bin abi amrin

“Abu Abbas mengabarkan kepada kami “muhamad bin ya‟kub mengabarkan kepada Ibrahim bin munqij “ mengabarkan aku kepada Idris bin yahya dari Fadholah bin u‟baidi sahabat Nabi SAW. Sesungguhnya nabi berkata Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat, maka itu termasuk riba.”(HR. al-Baihaqi).

Dalam hadits ini menjadi sangat penting dalam memahami riba, dimana setiap keuntungan yang didapatkan dari transaksi utang-piutang, statusnya adalah riba. keuntungan yang dimaksud

mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan

sampai bentuk keuntungan pelayanan. Dan sudah dijelaskan di bab II, gadai menurut pengertian bahasa adalah menangguhkan atau jaminan. Jadi gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak

92

M.Thalib, Pedoman Wiraswasta dan Manajemen Islamy, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992) hal. 143 93 Imam Baihaqi, Sunan al- Kubra, juz 5, h, 350

60

milik. Tegasnya bukan pemilikan atas suatu benda dan bukan pula akad atas manfaat benda atau sewa-menyewa, melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu utang piutang. Selain itu pula dalam persoalan ini, menurut jumhur ulama fiqh, selain Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang.94 Gadai dalam hukum Islam pada dasarnya berlandaskan asas ta‟awwun atau tolong-menolong dan tidak boleh mengambil keuntungan sepihak, Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT surat Al-Maidah ayat 2:

                                              

                        Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'arsyi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka 94

Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Komplek Kejaksaan Agung Blok E1/3 Cipayung Ciputat, CV. Gaung Persada, cet. ke-3, September 2006, hal. 153

61

menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah: 2) Berdasarkan firman Allah SWT diatas, apabila seseorang menolong orang lain dalam urusan yang tidak baik (maksiat) maka hal tersebut bukanlah merupakan pertolongan. Juga sebaliknya, jika seseorang menolong demi kebaikan dengan jalan yang tidak sesuai prinsip kebaikan dan ketaqwaan, seperti memberikan pinjaman dengan menggunakan uang hasil korupsi atau pinjaman dengan bunga, maka hal demikian juga tidak dapat dikatakan sebagai usaha menolong dalam hukum Islam.95 Dengan demikian dalam praktik gadai pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok dalam hal pemanfaatan dan mengambil keuntungan atau bunga, meskipun pihak murtahin bermaksud untuk menolong, namun dalam kenyataannya pihak murtahin meminta bunga dan memanfaatkan barang gadai selama rahin meminjam uang. Maka menurut pandangan penulis ini tidak sah dan mengandung unsur riba.

C.

Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf baik yang berkenaan dengan aspek ibadah maupun mu‟amalah dalam hal membuat akad ada yang sudah sah dan yang belum memenuhi syarat, sehingga menjadi rusak. Sebab akad yang sah adalah yang memenuhi syarat danrukun yang terkandung dalam akad tersebut. 95

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) konsep dan sistem operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 735-736.

62

Sebagaimana yang sudah penulis jabarkan sebelumnya di bab II mengenai rukun dan syarat dalam gadai yaitu: a). Shighat atau perkataan Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum ini" Shighat aqdi memerlukan tiga syarat: 1) Harus terang pengertiannya 2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul 3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. b). Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin). Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang, baik, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).96 c). Adanya barang yang digadaikan (marhum). Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).97

96

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), hal.160. 97 Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), hal. 93.

63

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafi”iyah barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat: 1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan 2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang. 3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan hutang gadai.98 d). Adanya hutang (marhum bih) Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya. 99 Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.100 Secara kasat mata praktik gadai di kalangan masyarakat Kecamatan Tapos ini sudah sesuai dengan rukun dan syarat gadai dalam syariat Islam. Barang yang menjadi

jaminan gadai secara hukum sah dan halal untuk digadaikan, namun

adakalanya praktik yang terjadi hukumnya menjadi tidak jelas. Dari hasil penelitian dan wawancara penulis di lapangan Kesalahan praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok, bukan hanya terjadi dari kesalahan Lafadz atau perjanjiannya saja namun yang penulis temukan ada juga praktik gadai 98

Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 196. 99 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), hal.161. 100 Chairuman Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, hal. 142.

64

dengan menggunakan barang yang masih belum seluruhnya menjadi hak milik rahin atau biasa disebut barangnya masih belum selesai diangsur (barang kredit), seperti praktik gadai yang dilakukan oleh bapak Asam (murtahin) dengan bapak Tapsur (rahin), bapak Ramlan (rahin) dengan bapak Gani (murtahin). Menurut hemat penulis, para rahin menggadaikan barang gadaian (marhun) masih dalam keadaan kredit. Hal ini berkenaan dengan kebutuhan rahin yang mendesak, dikarenakan hutang yang belum dilunasi serta bunga yang semakin membengkak. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an surah Al-Muthaffifii ayat 1:

    Artinya: “kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang”.(QS. AlMuthaffifii: 1) praktik gadai yang terjadi dengan menggunakan barang kredit ini jelaslah sangat tidak sesuai dengan syariat Islam karena di dalamnya terdapat unsur penipuan dan praktik yang terjadi tidak sesuai dengan rukun dan syarat gadai kaitannya dengan (Ma‟qud „alaih) yaitu barang yang digadaikan berupa hutang serta masih dalam proses pembayaran. Praktikgadai seperti ini akan mengakibatkan kerugian bagi murtahin, dan sudah tentu barang tersebut tidak boleh menjadi barang jaminan karena syarat menggadai barang adalah barang gadai tersebut harus benar-benar milik rahin.

BAB V PENUTUP A.

Kesimpulan Setelah penulis mendeskripsikan pembahasan secara keseluruhan sebagai upaya menjawab pokok-pokok permasalahan dalam menyusun skripsi ini.penulis menarik kesimpulan tentang praktik gadai yang terjadi di Kecamatan Tapos Kota depok sebagai berikut: 1. Mekanisme gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, pada dasarnya seluruh kasus yang penulis temukan telah memenuhi unsur-unsur gadai menurut syar‟i baik rukun maupun Syarat gadai. Tetapi seringnya terjadi pada masyarakat Tapos Kota Depok adalah akad gadai tidak sempurna atau belum sesuai syariat Islam. seluruh praktik gadai yang penulis temukan terdapat unsur riba dan pemanfaatan atas barang yang di gadaikan, karena akad dalam transaksi gadai sangatlah penting dan menjadi ujung tombak dalam sah atau tidaknya suatu transaksi gadai yang dilakukan oleh Rahin dan Murtahin, apabila akadnya saja telah salah maka bisa dipastikan praktik gadai tersebut akan merugikan salah satu antara rahin atau tidak menutup kemungkinan murtahin yang di rugikan. Praktik gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok timbul karena adanya adat kebiasaan yang salah yang tidak sesuai dengan syariat Islam. tetapi masih sering diterapkan dikehidupan masyarakat Kecamatan Tapos, sangatlah jelas terlihat bahwa praktik gadai pada masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok adanya kesalahan dalam melakukan akad gadai atau perjanjian gadai.

65

66

2. praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok,pada praktik pemanfaatan barang gadai ini Kecenderungan dilakukan oleh pihak murtahin, sebab berawal dari akad atau perkataan rahin yang sering kali berucap secara langsung atau tidak langsung barang gadaian itu boleh dipergunakan atau dimanfaatkan. Dan meskipun pihak murtahin bermaksud untuk menolong, namun murtahin sering pula mengambil manfaat dari barang gadai dengan cara memakai barang tersebut untuk kebutuhan pribadi maupun disewakan kembali pada orang lain yang mengarah kepada tambahan. Disisi lain pihak murtahin meminta bunga yang mengandung kezaliman pada rahin, sehingga praktek ini menunjukkan adanya unsur riba. 3. gadai yang berupa barang hutang, hal seperti ini sering terjadi pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok tidak sesuai dengan hukum Islam. Praktek gadai tersebut dilihat dari ma‟qud alaih (barang yang digadaikan), tidak sesuai dengan hukum Islam, yaitu barang gadai tersebut berupa hutang.Seperti pendapat ulama syafi”iyah barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat: 1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan 2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang. 3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan hutang gadai. Seperti halnya dalam syarat gadai bahwa barang gadai tidak boleh ada tanggungan dengan pihak lain atau milik sempurna. praktik gadai yang terjadi dengan menggunakan barang kredit ini jelaslah sangat tidak sesuai dengan syariat Islam

67

karena di dalamnya terdapat unsur penipuan. Hal ini akan mengakibatkan kerugian bagi murtahin, dan sudah tentu barang tersebut tidak boleh menjadi barang jaminan karena syarat menggadai barang adalah barang gadai tersebut harus benar-benar milik rahin. B.

SARAN-SARAN Dalam rangka kesempurnaan skripsi ini penulis sampaikan beberapa saran yang berkaitan dengan pembahasan mengenai Praktik Gadai Pada masyarakat Di Kecamatan Tapos Kota Depok sebagai berikut: 1. praktik gadai yang terjadi pada masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ini harus diperhatikan akad yang diucapkan oleh rahin dan murtahin harus sesuai syariat Islam,karena akad dalam transaksi gadai sangatlah penting dan menjadi ujung tombak dalam sah atau tidaknya suatu transaksi gadai yang dilakukan oleh Rahin dan Murtahin, apabila akadnya saja telah salah maka bisa dipastikan praktik gadai tersebut akan merugikan salah satu antara rahin atau tidak menutup kemungkinan murtahin yang di rugikan. 2. Manusia mempunyai hasrat hidup bersama, lebih-lebih dalam zaman modern ini, tidak mungkin bagi seorang makhluk hidup secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari atau kerja sama dengan orang lain. Oleh sebab, itu kerja sama antara seorang manusia merupakan sebuah kebutuhan, dan kebutuhan itu bisa berbagai hal, misalnya dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari kehidupan berupa uang dan mereka memiliki sejumlah barang yang dapat dinilai dengan uang. Salah satu alternatif

yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu, yaitu dengan

68

menggadaikan barang tersebut. Kendati demikian seorang tidak diperbolehkan menggunakan cara bermu‟amalah yang dapat menimbulkan kerugian, kecurangan pada pihak lain dan melakukan cara-cara yang dilarang syara‟. Demikiaan pula praktik gadai pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, banyaknya pihak murtahin memanfaatkan barang gadaian dengan cara dipakai secara pribadi atau disewakan kembali ke orang lain. Praktek itu sangat rentan dengan pemerasan, kecurangan dan penipuan sehingga dapat berakibat merugikan pihak-pihak lain, baik rahin atau pun pihak lainnya. 3. Bagi rahin, hendaklah lebih berhati-hati dan pintar pintarlah dalammemilah-milah mana praktek yang diridhoi oleh Allah atau sesuai dengansyara‟ dan mana yang dilarang oleh syara‟mengingat sekarang ini banyaksekali cara bermu‟amalah yang menarik dan menguntungkan akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Itu semua bisa menjadi kecuranganataupun penipuan dimana sulit untuk membedakannya. 4. Bagi murtahin yang memanfaatkan barang gadai tersebut, meskipun ada perjanjian atau tanpa adanya perjanjian, adanya penarikan tambahan, serta memanfaatkan barang tersebut untuk disewakan, ataupun dimanfaatkan keperluan lainnya. Bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi masyarakat Kecamatan Tapos yang melakukan praktik gadai, mulailah melakukan praktik gadai yang sesuai dengan syariat Islam gunakanlah aturan-aturan yang sesuai denganpandangan dan dibenarkan oleh agama serta tidak merugikan masyarakat yang membutuhkan pertolongan. 5. Dalam pelakaksanaan praktek gadai prinsip ta‟awwun (Tolong-menolong) jangan sampai terabaikan. Dan yang sering terlupakan Dalam melakukan gadai, antara

69

penggadai dan penerima gadai harus ada kejelasan waktu pengembalian hutang, sehingga pelaksanaan gadai tidakberlarut lama.

DAFTAR PUSTAKA Al-Quran

dan terjemahannya, Departemen Agama penyelenggaraan penterjemah Al-Quran, 1986.

RI,

Jakarta:

yayasan

Abu bakar, Taqiyuddin, kifayatul Akhyar Fii halli Ghayatil Ikhtishar, cet.2, alih bahasa oleh syarifudin anwar,Misbah Mustafa, Surabaya:Bina Iman, 1995.

70

Adib, Bisri, Munawir AF, Kamus AL-BISRI, Cet. Ke-1, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999. Ahmad al-Ishfahani bin al-Qadhi Abu Syuja, Ringkasan fiqih Mazhab Syafi‟i, Cet.1, alih bahasa Toto Edidarma, Jakarta: Pustaka as-sunnah, Desember 2007. Al- Ashqalani, Imam Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajjar, Fathul al-Bari, cet.1, Beirut: Dar al-Khotob al-Ilmiyah, , 2003. al-Dardiri, Ahmad, Al-Syarhu Al-Shagir, Jil. 3, Mesir: Dar El-Maarif, t.th, Al-Faifi, Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, Cet. 1Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013, Al-Fauzan, Saleh, Fikih Sehari-hari, Cet. 1, Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Bineka Cipta, 2006. As Shan‟ani, Subulus Salam III, Cet. 1, Penerjemah: Abd. Rasyid Nafis, Jakarta: AlIkhlas, 1995. As Syarbini, Muhammad Al-Khattib, Mughnil Muhtahaj, Beirut: Al-Fikr, jil.2, 1978. As-Shiddieqi, TM.Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah, cet. 1, Jakarta: PT.Pustaka Rizky Putra, 1997 Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Waadillatuhu, cet. 1, Jil.6, Penerjemah Abdul Hayyi Al-qattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011. Bakry, Nazar, Problem Matika pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: PT.Raja Brakindo Persada, 1994. Basir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang riba, Hutang-pihutang gadai, Bandung: PT. Al-Maarif, 1983. Buku Informasi Kependudukan Kota Depok, September 2013. Data Monografi Kecamatan Tapos Kota Depok, Data RT/RW tahun 2009. Data SIAK (sistem informasi administrasi kependudukan),provinsi Jawa Barat kota Depok, kecamatan tapos.

71

Dewan syari‟ah nasional majelis Ulama Indonesia, Himpunan fatwa dewan Syariah nasional, Komplek Kejaksaan Agung Blok e1/3 Cipayung Ciputat, cf.Gaung persada, Cet.3, September 2006 Hadi, Muhammad Sholikhul, Pegadaian Syari'ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2000. Muhammad Al fitra haqiqi, harta halal harta haram, Jombang: lintas media, t.th Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Hasil Wawancara dengan bapak ues supriyadi, sekertaris Kecamatan Tapos, wawancara pribadi, dikecamatan Tapos Kota Depok pada Tanggal 4 Juli 2014. Hasil wawancara dengan ibu Lia, warga kelurahan Tapos Kecamatan Tapos Kota Depok pada tanggal 12 Juli 2014 Hasil wawancara dengan bapak Asam, warga kelurahan Sukatani Kecamatan Tapos Kota Depok pada tanggal 16 Juli 2014 Hasil wawancara dengan bapak Ramlan, warga kelurahan Jatijajar Kecamatan Tapos Kota Depok pada tanggal 15 Juli 2014 Hasil wawancara dengan ibu Aminah, warga kelurahan Cimpaeun Kecamatan Tapos Kota Depok pada tanggal 5 Juli 2014 Hasil wawancara dengan ibu Laras, warga kelurahan leuwinanggung Kecamatan Tapos Kota Depok pada tanggal 14 Juli 2014 Hasil wawancara dengan Bapak Lukman, warga kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok pada tanggal 5 Juli 2014 Kuhperdata Pasal 1150. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke- 3, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Raja Grafindo, 2009. Madjid , M. Abdul, dkk, Kamus istilah Fikih Mas‟adi, A Gufhron, Fiqih Muamalat kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002.

72

Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 Muslim al-Hijjaj, Imam Abi al-Husein, shahih Muslim, jil.3, Mesir: Dar Al-Hadist Al- qahirah, 1994. Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan aplikasinya pada lembaga keuangan Syariah, Cet. 1, Jakarta: Lembaga peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Rusyid, Al-Faqih, abd. Walid Muhammad ibn Ahmad Bin Muhammad Ibn, Bidayatul Al-Mujhtahid. Alih bahasa: Imam Ghazali syaid, Achmad zaidun, Jakarta: Pustaka Imani, 2007. Sabbiq, Sayyid, Fikih Sunnah 12, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998. Sabbiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi, 1987), Cetakan Ke-8, Salman, Abdul dan L, Hermansyah Ahmad , Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Cet. Ke- 3, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Sarwat, Ahmad, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.th Shiddieqy,Hasbi ash,Hukum-Hukum Fiqih Islam(Tinjauan antar mazhab), cet.II, Semarang: Pustaka Risky Putera, 2001 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajaran, 1992. Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004. Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general) konsep dan sistem operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004. Suhendi, Hendi, Fiqh Mu‟amalah, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008. Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung : Alfabeta, 2004. Syafi'I, Imam, al-Um, Jilid 3, tth.tp. Syafi‟I, Rahmat, Fiqih Muamalah, Cet.3, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Thalib, munammad, Pedoman Wiraswasta dan menejemen Islami, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992

73

Qudama, Ibnu, Al-Mughni, Jil. 6, Beirut: Dar al-Kitab Al-„Araby,1980. Visi-misi rencaana pembangunan cara mengenengah tahun 2013-2016 Kota Depok. Yakub, Ismail, Al-UMM, Cet. 1, Kuala Lumpur: Victory Agencie,1989. Yanggo, T. Chuzaimah, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika Hukum Islam Komtemporer III, Jakarta: Pustaka Firdaus,2004.

Surat Pernyataan kesediaan Wawancara

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Ramlan

Alamat

: jl. Pucung Rt. 06/ Rw.02 no. 60 Kelurahan Jatijajar Kecamatan Tapos Kota Depok.

Dengan ini menyatakan pada hari: Telah diwawancarai dalam rangka penelitian skripsi oleh mahasiswa yang bernama: Nama

: Ade Tri Cahyani

Semester

: VIII(delapan)

Jurusan

: Perbandingan Mazhab fikih

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Pewawancara

Informan

(Ade Tri Cahyani)

( Ramlan )

Data Wawancara Nama

: Bapak Ramlan

Pekerjaan

: Karyawan Swasta

Alamat

: jl. Pucung Rt. 06/ Rw.02 no. 60 Kelurahan Jatijajar Kecamatan Tapos Kota Depok.

1. Apakah Ibu/ bapak sebelumnya pernah melakukan praktik gadai? saya pernah waktu itu menggadaikan motor saya kepada bapak Gani tetangga saya 2. Apa alasan bapak/ibu menggadaikan pada tetangga atau kerabat? Kenapa tidak kepegadaian? Ya, kalo menurut saya lebih enakan ke tetangga sih, soalnya kalau telat bayarnya juga barang kita ga bakal diambil sama yang ngasih pinjaman. Lebih enak aja lah pokoknya 3. Berapa nominal uang yang dipinjam oleh rahin (penggadai)? saya meminjam uang kepada pak gani Rp. 3.000.000 4. Apa yang melatar belakangi rahin sehingga terjadinya praktik gadai?

juga membutuhkan uang mendesak untuk membayar uang sekolah anaknya dan untuk membayar tunggakan motor saya 5. Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan akad gadai? Gak ada sih, ya secara ucapan aja,kan udah saling percaya.

6. Apakah barang gadai tersebut disimpan atau dimanfaatkan ? Dalam perjanjian lisan saya mengizinkan motor saya untuk dipergunakan oleh bapak Gani 7. Apakah ada persyaratan dalam melakukan praktik gadai? Ada, pastinya .. bapak Gani meminta uang tambahan Rp.50.000 perbulannya, ya menurut saya wajar-wajar saja. Selagi dia tidak memaksa-maksa saya untuk cepatcepat mengembalikan uangnya. 8. Apakah bapak/ibu mengetahui system praktik gadai dalam Islam ? Ya sedikitnya tahu mas. 9. Apakah bapak/ibu tahu hukum memanfaatkan barang gadai? Ya, tau juga sih sedikit, Cuma kan kita biar enak satu sama lain aja. Dan disini sistemnya memang seperti itu. Agar bisa menguntungkan satu sama lain.

Surat Pernyataan kesediaan Wawancara

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Lia Sumiaty

Alamat

: Jl. bungur Rt.05/ RW.02 Kelurahan Tapos Kecamatan Tapos Kota Depok

Dengan ini menyatakan pada hari: Telah diwawancarai dalam rangka penelitian skripsi oleh mahasiswa yang bernama: Nama

: Ade Tri Cahyani

Semester

: VIII(delapan)

Jurusan

: Perbandingan Mazhab fikih

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Pewawancara

Informan

(Ade Tri Cahyani)

(Lia Sumiaty)

Data Wawancara Nama

: Ibu Lia

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Jl. bungur Rt.05/ RW.02 Kelurahan Tapos Kecamatan Tapos Kota Depok

1. Apakah Ibu/ bapak sebelumnya pernah melakukan praktik gadai? Ya, baru-baru ini tetangga saya bapak Efendi meminta saya memberi pinjaman uang dengan memberikan jaminan sebuah Ipad. 2. Berapa nominal uang yang dipinjam oleh rahin? Rp.2.000.0000 3. Apa yang melatar belakangi rahin sehingga terjadinya praktik gadai?

Bapak Effendi kan bekerja sebagai buruh bangunan, dia menggadaikan Ipadnya seharga Rp.8.000.000, kepada saya dengan meminjam uang pinjaman sebesar Rp. 1.200.000 4. Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan akad gadai? Engga ada lah, paling Cuma secara lisan saja, bapak Effendi berjanji akan mengembalikan uang saya sampai batas waktu 2 minggu. 5. Apakah barang gadai tersebut disimpan atau dimanfaatkan? Ya, saya pakelah, dipake anak saya hitung-hitung nunggu uang diganti 6. Apakah ada persyaratan dalam melakukan praktik gadai? Bapak Effendi sih bilangnya kalau dia tidak bisa mengembalikan uangnya dalam tempo yang sudah ditentukan maka tab menjadi milik saya.

7. Apakah bapak/ibu mengetahui system praktik gadai dalam Islam ? Saya kurang begitu tahu sih, Tapi setau saya praktik gadai yang saya sudah benar. 8. Apakah bapak/ibu tahu hukum memanfaatkan barang gadai? Wah kalau itu saya juga kurang tahu…

Surat Pernyataan kesediaan Wawancara

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Asam

Alamat

: Jl. Puri Kemang Rt.02/Rw.08 No.98 Kelurahan Sukatani Kecamatan Tapos Kota Depok.

Dengan ini menyatakan pada hari: Telah diwawancarai dalam rangka penelitian skripsi oleh mahasiswa yang bernama: Nama

: Ade Tri Cahyani

Semester

: VIII(delapan)

Jurusan

: Perbandingan Mazhab fikih

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Pewawancara

(Ade Tri Cahyani)

Informan

( Asam

)

Data Wawancara Nama

: Asam

Pekerjaan : PNS Alamat

: Jl. Puri Kemang rt.02/rw.08 no. 98 Kelurahan Sukatani Kecamatan Tapos

Kota Depok. 1. Apakah ibu/bapak sebelumnya pernah melakukan praktik gadai? Ya, saya pernah melakukan praktik gadai dengan bapak Tapsur, saya sebagai seorang yang menerima barang gadai. 2. Berapa uang yang dipinjam oleh Rahin(penggadai)? Pada waktun itu bapak tapsur meminjam uang ke saya sebesar RP.10.000.000,- dengan memberikan jaminan kepada saya berupa mobil 3. Apa yang melatarbelakangi rahin meminjam uang ke murtahin? Dia hanya bilang kalau dia membeutuhkan uang, 4. Adakah perjanjian tertulis dalam akad gadai? Tidak, hanya saja ketika dalam perjanjian kita saling sepakat untuk member tempo selama 1 tahun. 5. Apakah barang gadai tersebut dimanfaatkan oleh murtahin? Karena saya juga membutuhkan transportasi jadi saya manfaatkan.. selama hutangnya belum dibayar.

6. Apakah ada persyaratan dalam melakukan praktik gadai? Ya, dalam satu tahun jika pemilik rang gadai tidak bisa melunasi hutangnya maka barang tersebut menjadi milik saya. Tapi setelah setahun berlalu ada depkolektir datang kerumah saya mereka mengatakan bahwa mobil ini akan ditarik karena mobil ini masih dalam keadaan kredit, saya merasa ditipu, setelah skian lama bapak Tapsur hanya mengembalikan uang saya sebesar 7.000.000,7. Apakah bapak mengetahui pelaksanaan praktik gadai dalam islam? Ya, saya mengetahui tapi tidak begitu mendalam. 8. Apakah bapak mengetahui hukum dari memanfaatkan barang gadai? Saya tahu, tidak diperbolehkan mengambil manfaat barang gadai tapi adat istiadat di kampong ini ya seperti itu. Dimana barang gadaian itu langsung dimanfaatkan oleh orang yang member pinjaman uang, selama barang tersebut belum mampu ditebus oleh rahin.

Surat Pernyataan kesediaan Wawancara

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Laras Wati

Alamat

: Gg. damai Rt. 06 Rw. 04 No. 32 Kel. Leuwinanggung Kec. Tapos Kota Depok.

Dengan ini menyatakan pada hari: Telah diwawancarai dalam rangka penelitian skripsi oleh mahasiswa yang bernama: Nama

: Ade Tri Cahyani

Semester

: VIII(delapan)

Jurusan

: Perbandingan Mazhab fikih

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Pewawancara

Informan

(Ade Tri Cahyani)

(Laras Wati)

Data Wawancara Nama

: Ibu Laras

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Gg. damai Rt. 06 Rw. 04 No. 32 Kel. Cimpaeun Kec. Tapos Kota Depok.

1. Apakah Ibu/ bapak sebelumnya pernah melakukan praktik gadai? Ya, saya pernah menerima barang gadai dari bapak Ahmad 2. Berapa nominal uang yang dipinjam oleh rahin? memberikan pinjaman uang sejumlah

Rp. 2.000.000,- kepada bapak Ahmad

dengan jaminan berupa motor. 3. Apa yang melatar belakangi rahin sehingga terjadinya praktik gadai? Pak Ahmad hanya bilang dia butuh uang, dan mau pinjam uang ke saya dengan memberi jaminan berupa motor. 4. Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan akad gadai? Tidak ada, hanya perjanjian secara lisan dan dalam jangka waktu 6 bulan, jika tidak membayarnya maka rumah itu menjadi milik bapak H. Eos. 5. Apakah barang gadai tersebut disimpan atau dimanfaatkan? Ya motor jaminan itu dipakai oleh suami saya untuk berdagang sayur keliling.karena saya juga kan sama-sama butuh dan saya sudah memberikan pinjaman uang kepada bapak Ahmad.

6. Apakah ada persyaratan dalam melakukan praktik gadai? Engga ada sih, saya ke bapak Ahmad kan hanya saling tolong-menolong saja. 7. Apakah bapak/ibu mengetahui system praktik gadai dalam Islam ? Saya sedikit tahu, dalam praktik gadai itu hanya asas tolong-menolong saja. 8. Apakah bapak/ibu tahu hokum memanfaatkan barang gadaian? Tahu, tapi disini tradisinya memang seperti itu, kalau masyarakat kampung sini rata-rata menggadaikan ke tetangga atau saudaranya. Karena jika di pegadaian banyak yang meminta tambahan yang besar. Sehingga masyarakat di kampung cimpaeun tidak mau menggadaikan ke pegadaian.

Surat Pernyataan kesediaan Wawancara

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Aminah Rodiyah

Alamat

: Gang Nangka Rt.04 Rw. 03 No.2 Kelurahan Cimpaeun Kecamatan Tapos Kota Depok.

Dengan ini menyatakan pada hari: Telah diwawancarai dalam rangka penelitian skripsi oleh mahasiswa yang bernama: Nama

: Ade Tri Cahyani

Semester

: VIII(delapan)

Jurusan

: Perbandingan Mazhab fikih

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Pewawancara

Informan

(Ade Tri Cahyani)

(Aminah Rodiyah)

Data Wawancara Nama

: Ibu Aminah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Gang Nangka Rt.04 Rw. 03 No.2 Kelurahan Cimpaeun Kecamatan Tapos Kota Depok.

1. Apakah Ibu/ bapak sebelumnya pernah melakukan praktik gadai? Ya, saya pernah menggadaikan sertifikat rumah kepada bapak H. Eos 2. Apa alasan bapak/ibu menggadaikan pada tetangga atau kerabat? Kenapa tidak kepegadaian? Saya pikir akan lebih mudah dengan orang yang saya kenal dibandingkan saya harus menggadaikan ke pegadaian. Karena kalau di pegadaian banyak persyaratan-persayaratannya, namanya kita orang kampung saya males ambil pusing. 3. Berapa nominal uang yang dipinjam oleh rahin? Rp.50.000.000 4. Apa yang melatar belakangi ibu/bapak sehingga terjadinya praktik gadai? Waktu saya menggadaikan sertifuikat rumah saya itu karena anak saya jatuh sakit, dan saya membutuhkan uang banyak untuk menbayar operasi anak saya. Tidak ada cara lain selain menggadaikan sertifikat rumah saya ke bapal H. Eos.

5. Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan akad gadai? Tidak ada, hanya perjanjian secara lisan dan dalam jangka waktu 6 bulan, jika tidak membayarnya maka rumah itu menjadi milik bapak H. Eos.

6. Apakah barang gadai tersebut disimpan atau dimanfaatkan? Tidak, sih. Kan hanya sertifikatnya saja. Jd saya masih tinggal dirumah saya sendiri. 7. Apakah ada persyaratan dalam melakukan praktik gadai? Ya itu yang tadi saya bilang, dalam jangka waktu 6 bulan, jika tidak membayarnya maka rumah itu menjadi milik bapak H. Eos. 8. Apakah bapak/ibu mengetahui system praktik gadai dalam Islam ? Saya tidak begitu tahu.

Surat Pernyataan kesediaan Wawancara

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Lukman Firdaus

Alamat

: Gang Nangka Rt.04 Rw. 03 No.2 Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.

Dengan ini menyatakan pada hari: Telah diwawancarai dalam rangka penelitian skripsi oleh mahasiswa yang bernama: Nama

: Ade Tri Cahyani

Semester

: VIII(delapan)

Jurusan

: Perbandingan Mazhab fikih

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Pewawancara

Informan

(Ade Tri Cahyani)

(Lukman Firdaus)

Data Wawancara Nama

: Bapak Lukman

Pekerjaan

: PNS

Alamat

: Gang Nangka Rt.04 Rw. 03 No.2 Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.

1. Apakah Ibu/ bapak sebelumnya pernah melakukan praktik gadai? Ya, saya pernah menerima barang gadai dari bapak Niman 2. Berapa nominal uang yang dipinjam oleh rahin? Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dengan memberi jaminan 3 ruko milik bapak Niman 3. Apa yang melatar belakangi rahin sehingga terjadinya praktik gadai? membutuhkan uang untuk membayar hutang-hutang anaknya. 4. Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan akad gadai? Tidak ada, hanya perjanjian secara lisan dan dalam jangka waktu 1 tahun, 5. Apakah barang gadai tersebut disimpan atau dimanfaatkan? memanfaatkan ruko tersebut untuk disewakan ke orang lain, dan keuntungan dari menyewakan itu milik pribadi sebab beliau beralasan dari pada ruko itu kosong tidak ada yang menempati maka lebih baik disewakan agar lebih bermanfaat dan menghasilkan keuntungan 6. Apakah ada persyaratan dalam melakukan praktik gadai? Engga ada

7. Apakah bapak/ibu mengetahui system praktik gadai dalam Islam ? Kurang begitu paham, hanya saja kalau orang membutuhkan pertolongankan ya, mesti kita bantu. 8. Apakah bapak/ibu tahu hukum memanfaatkan barang gadaian? Saya kurang tahu juga, tapi setahu saya bukannya gak apa-apa, jika sudah di izinkan oleh bapak Niman.

Related Documents

Ade Tri Cahyani - Fsh.pdf
November 2019 3
Ade
May 2020 40
Cahyani 70300113054.pdf
October 2019 9
Ade Faizar
November 2019 22
Ade Maulizar.docx
August 2019 32
Ade Visual
June 2020 15

More Documents from ""

Ade Tri Cahyani - Fsh.pdf
November 2019 3