Aa7e671096861350934aa9fad6820a23.pdf

  • Uploaded by: Elma Karamy
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Aa7e671096861350934aa9fad6820a23.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 13,100
  • Pages: 57
LAPORAN KASUS

ECLAMPSIA, HELLP SYNDROME, ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME, AND PNEUMONIA

dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan,SpAn.MARS

PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

1

LAPORAN KASUS Eclampsia, HELLP Syndrome, Acute Respiratory Distress Syndrome, and Pneumonia (Eklampsia, Sindroma HELLP, Sindrom Distres Respirasi Akut, dan Pneumonia)

Abstract The incidence preeclampsia and eclampsia is now at 5-15%, and is one of the leading causes of maternal mortality in Indonesia in addition to infection and bleeding. In pregnancy, pulmonary edema is one of the causes that can occur after the replacement of eclampsia. This may be due to pneumonia of aspiration from the contents of the stomach entering the airway which is the result of the onset of seizures, or else resembling cordic decompensation, as a result of severe hypertension and excessive administration of fluid. Early diagnosis and rapid multidisciplinary action in ICU settings can prevent complications and reduce morbidity and mortality. The authors reported a case of patients with a 32-week G2P1001 diagnosis of T/H + LMR (previously undergone Caesarian Section once) + Eclampsia + HELLP Syndrome, issued long ago on HDK, preeclampsia-eclampsia pathogenesis, HELLP syndrome, ARDS, and pneumonia. Effective management of anesthesia in these patients will improve survival and provide a better prognosis. Key words: Eclampsia, HELLP Syndrome, Pregnancy, ARDS

Abstrak Kejadian HDK, khususnya preeklampsia dan eklampsia kini berada pada angka 5-15%, dan merupakan salah satu penyebab mortalitas ibu hamil tertinggi di Indonesia selain infeksi dan perdarahan. Pada kehamilan, edema pulmonum adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita muntah saat kejang, atau mekanisme lainnya yaitu berupa dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan. Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat melalui tim multidisiplin dalam pengaturan ICU dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Penulis melaporkan sebuah kasus pasien dengan diagnosis G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome, yang dilanjutkan dengan tinjauan pustaka yang mencakup pembahasan mengenai HDK, pathogenesis preeklampsia-eklampsia, HELLP syndrome, ARDS, dan pneumonia. Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta memberikan prognosis yang lebih baik. Kata kunci: Eklampsia, HELLP Syndrome, Kehamilan, ARDS

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK), khususnya preeklampsia, merupakan salah satu masalah terpenting dalam ranah kesehatan masyarakat dan kedokteran perinatal. Prreklampsia merupakan penyebab terbesar dari morbiditas dan mortalitas maternal, yang didefinisikan sebagai hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan pertama kali didiagnosis dan disertai dengan adanya komponen protein pada urine atau yang disebut dengan proteinuria.1 Eklampsia adalah preeklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang bersifat umum. Dewasa ini, HDK telah diklasifikasikan sebagai subtipe toksemia pada kehamilan yang terdiri atas satu atau lebih gejala berupa hipertensi, proteinuria, dan edema selama kehamilan. Berkaitan dengan klasifikasi, hingga saat ini belum terdapat konsensus yang mengatur klasifikasi HDK secara internasional, namun di Indonesia, klasifikasi telah ditetapkan dengan menggunakan pedoman dari Kementerian Kesehatan dan The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP).2 Kejadian HDK, khususnya preeklampsia dan eclampsia kini berada pada angka 5-15%, dan merupakan salah satu penyebab mortalitas ibu hamil tertinggi di Indonesia selain infeksi dan perdarahan.3 HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala yang mencakup hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet yang kurang dari batas bawah. Bersama dengan preeklampsia, sindroma HELLP adalah penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil di dunia. HELLP biasanya berkembang secara tiba-tiba dalam kehamilan (Usia Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau pada masa puerperium. Sebagai salah satu bentuk kriteria dari preeklampsia berat, HELLP memiliki onset yang juga mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang secara akumulatif akan mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor,

dan

menyebabkan

terganggunya

ditunjukkan dengan abnormalitas relaksasi vaskular.

kehamilan

normal

yang

3

Perubahan hormonal pada kehamilan mempengaruhi saluran pernapasan bagian atas dan menyebabkan hiperemia dan edema saluran napas. Diafragma tergeser ke atas hingga 4 cm, tetapi potensi kehilangan volume paru diimbangi oleh pelebaran diameter torakalis anteroposterior dan transversal. Pasien hamil berisiko mengalami cedera paru akut akibat komplikasi terkait kehamilan serta kondisi lainnya. Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) tidak jarang pada kehamilan dan merupakan penyebab utama kematian ibu. Kehamilan dapat menjadi predisposisi perkembangan ARDS oleh sejumlah mekanisme, termasuk peningkatan volume sirkulasi darah, tingkat serum albumin yang berkurang, kemungkinan peningkatan regulasi komponen respon inflamasi akut dan peningkatan kebocoran kapiler. Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan. Penulis melaporkan sebuah kasus pasien dengan diagnosis G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome, yang dilanjutkan dengan tinjauan pustaka yang mencakup pembahasan mengenai HDK, pathogenesis preeklampsia-eklampsia, HELLP syndrome, ARDS, dan pneumonia.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan pada penanganan pasien G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome. 1.2.2 Tujuan Khusus Mengetahui anestesi yang digunakan pada penanganan airway pada pasien G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome.

1.3 Manfaat Menambah pengetahuan mengenai penanganan anestesi pada pasien G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome.

4

BAB II LAPORAN KASUS

Nama

: NKW

Jenis Kelamin: Perempuan/18012542 Usia

: 28 tahun (3/10/1989)

Alamat

: Karangasem

MRS

: 25/04/2017 /VK-kebidanan/BPJS

Operator

: Dr. dr. IB Gde Fajar Manuaba, Sp.OG, MARS

Anestesi

: dr IMG Widnyana Sp.An, KAR

Diagnosa

: G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia +

HELPP Syndrome Tindakan

: SC CITO

Anamnesis Pasien datang sadar rujukan RS Bali Jimbaran dengan keluhan kejang sebanyak 2 kali, lama kejang ± 5 menit, kejang dikatakan seluruh tubuh. Keluhan nyeri perut hilang timbul disangkal, keluar air pervaginam disangkal. Keluhan nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati disangkal. Gerak janin dikatakan aktif sejak Desember 2017. Pasien hamil anak kedua dengan HPHT 11/8/2017 dan TP 18/5/2018. Diketahui TD tinggi baru saat datang ke RS Bali Jimbaran (25/3/2018). Riwayat alergi tidak ada. Riwayat penyakit sistemik tidak ada. Riwayat operasi SC 1 kali pada tahun 2016 dengan RA tanpa komplikasi Makan terakhir pkl. 20.00 wita (25/03/2018) Saat ini pasien mendapat terapi IVFD RL + 6 gram MgSO4 40% - 28 tpm; nifedipin 10 mg tiap 8 jam PO bila MAP >125 mmHg

Pemeriksaan Fisik Berat badan 65 kg ; TB 165 cm ; Suhu (aksila) 36,8°C NRS diam 5/10 gerak 7/10 Susunan saraf pusat

: Somnolent GCS E3V5M^

5

Respirasi

: RR 18 kali permenit, bronchovesikuler kanan kiri, rhonki/wheezing tidak ada , SpO2 97% dengan O2 mask 6 lpm

Kardiovaskular

: Tensi 170/120 mmHg, Nadi 108 kali permenit, Suara jantung 1-2 tunggal, reguler, murmur tidak ada

Abdomen

: bising usus normal, TFU sesuai usia kehamilan, DJJ 158 x / menit

Urogenital

: buang air kecil via DK

Muskuloskeletal

: Flexi/defleksi leher normal, gigi utuh, Malampati sde pasien inkooperatif

Pemeriksaan Penunjang : Darah lengkap (25/3/2018) : WBC 28.36 x103/µL (4,1-11); HGB 13.51 g/dL (13.517.5); HCT 42.76% (41-53); PLT 102.7 x103µL (150-440) Permasalahan dan Kesimpulan Permasalahan aktual Gravida + eklampsia Trombositopenia (PLT 102.7 x103µL) Kesimpulan : status fisik ASA III

Persiapan Pra Anestesia a. Persiapan di VK Kebidanan Evaluasi identitas penderita Persiapan Psikis • Anamnesis umum dan anamnesis khusus • Memberikan penjelasan kepada keluarganya tentang rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan. Persiapan fisik • Tindakan CITO tak perlu puasa, dan lakukan penjagaan jalan nafas. Memeriksa status present, status fisik, DJJ dan hasil pemeriksaan penunjang •

Memeriksa surat persetujuan operasi

6



Sudah terpasang iv line terapi IVFD RL + 6 gram MgSO4 40% - 28 tpm; nifedipin 10 mg tiap 8 jam PO bila MAP >125 mmHg

b. Persiapan di ruang persiapan OK •

Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi



Evaluasi ulang status present dan status fisik dan DJJ

c. Persiapan di Kamar Operasi •

Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas.



Menyiapkan monitor dan kartu anestesia.



Mempersiapkan obat dan alat anestesia.



Menyiapkan obat dan alat resusitasi.



Evaluasi ulang status present penderita : Somnolent GCS E3V5M6, RR 21 x / menit, nadi 118 x/ menit, DJJ 154x/mnt, pasien post kejang 1x di VK

Pengelolaan Anestesia Tehnik Anestesia : General Anestesia (GA-OTT + RSI) Pra anestesia

:

Pasien disiapkan untuk dilakukan anestesi umum dengan rapid sequence induction (RSI) disiapkan juga peralatan jika sewaktu-waktu green code dibunyikan, serta set untuk resusitasi bayi dan ventilator bayi. Di ruang persiapan : Pukul 01.55 WITA pasien diterima masuk di ruang persiapan dengan infuse line yang sudah terpasang di manus dekstra, dilakukan pemeriksaan kelancaran infus dan pemasangan iv line kedua di manus sinistra. Dilakukan pemantauan DJJ secara ketat dan pasien diukur kembali Vital sign nya TD 180/110 mmHg dan Nadi 122 x/menit RR 21x/menit dengan saturasi 96% dengan O2 masker 6 lpm .

Di kamar operasi : Penderita tiba di kamar operasi pukul 02.00 WITA dan dilakukan pemasangan monitor, didapatkan nadi 118-130 kali permenit. Setelah semua alat-alat anestesi dan resusitasi serta obat-obat anestesi dan resusitasi siap, pasien diberikan preoksigenasi dengan oksigen 6 liter/menit.Oksigenasi dan ventilasi memakai sungkup dengan

7

posisi kepala head up diberikan premedikasi ranitidine 50 mg IV dan metoclorpamid 10 mg IV, dilakukan preoksigenasi O2 8lpm 100% tanpa dipompa nafas spontan, diberikan pretreatment fentanyl 100 mcg dan Sellick Manuver dengan menekan cartilago crioid, diinduksi dengan proporfol sampai pasien terhipnosis dengan tanpa melepas Sellick Manuver. Dilakukan intubasi dengan memasang pipa endotrakea no 7 dengan cuff dan cuff dikembangkan setelah itu Sellick Manuver dilepas dan dievaluasi pengembangan paru kanan dan kiri simetris, dilakukan fiksasi. Pemeliharaan anestesi dengan compressed air, Oksigen, sevoflurane, Dilakukan respirasi kendali dan posisi pasien durante operasi supine dengan kepala head up. Prinsip-prinsip pencegahan hipotermia dilakukan dengan blanket warmer dan infus warmer. Dilakukan tindakan SC dengan irisan midline, lahir bayi perempuan BBL 1180 gram AS 3-4, anus +, mekonium hijau dengan ketuban berwarna hijau dan berbau. Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit dengan perdarahan (± 800 cc) dan hemodinamik dengan TD 150-110/50-90 mmhg, heart rate 122-140 x/menit. Tidak dilakukan ekstubasi pasien dikontrol dengan ventilator. Pemeliharaan kecukupan cairan durante operasi dengan cairan kristaloid 1500 cc. Analgetika pasca operasi dengan fentanyl 300 mcg via syringe pump dan pasien dirawat pasca operasi di ICU.

Rekapitulasi cairan Kebutuhan cairan sejak puasa hingga ke ruang operasi : 480 ml, cairan yang sudah masuk sebanyak 500 cc, Kehilangan cairan bedah besar 600 cc Perdarahan durante operasi 800 cc Urine residu 30 cc Perhitungan kebutuhan cairan durante operasi: Jam I di ruang operasi 02.00 – 03.00 = 600ml Jam II di ruang operasi 03.00-03.30 = 800ml Total kebutuhan cairan s/d pukul 03.30 = 1400 cc.

8

PERAWATAN DI ICU HARI I (26/03/2018) Permasalahan prearrival : ASA III : Eklampsia + HELPP Sindrome + Post SC hari I dengan suspek Odem Pulmonum Teknik anestesia : GA-OTT + RSI Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C •

SSP: DPO, RP +/+ lambat, pupil isokor 3mm/3mm



Res: PC BIPAP 20 P1 20 PS 10 RR 20 x/menit, FiO2 90% vesikuler di kedua

lapang paru, ronki ada, wheezing tidak ada, saturasi 94% •

KV

: TD 120/80, nadi 95 x/menit, S1S2 tunggal reguler, murmur (-) dengan

vascon 0,1-0,5 mcg/kgBBjam •

GI

: Bising usus (+) ,distensi (-)



UG

: BAK via DK 0.8 cc/kgBB/jam



MS

: fleksi defleksi, mallampati sulit dievaluasi.

Darah lengkap (25/03/2018) : WBC 19,49 x103/µL (4,1-11); HGB 8.93 g/dL (13.517.5); HCT 26.12 % (41-53); PLT 122.46 x103µL (150-440) Faal Hemostasis (25/03/2018) : PT 20,3 (10,8-14,4) detik; aPTT 40.9 (24-36) detik; INR 2,80 (0,9-1,1) Kimia Klinik (25/03/2018) : SGOT 944,6 SGPT 280,60 Alb 2,5 GDA 242 BUN 25,5 (8.00 – 23.00) SC 1,99 (0.5-0.9) Na 133 (136-145) K 5,77 (3.5-5.1); AGD (25/03/2018) : pH 7.18; pCO2 26,7; pO2 213,40; BE -18.8; HCO3- 9,80. •

Ro Thorax PA (24/03/2018) : cardiomegali, tak tampak tanda pneumothorax

D Dimer 11,87 , Fibrinogen 616 mg/dl F: Ringer Fundin 1000 mL A: Fentanyl 500 mcg/24 jam+ Paracetamol 1 g tiap 8 jam IV. S: T: H: Head up 30-45oC U: Omeprazole 8 mg/jam, sucralfat 10 ml tiap 8 jam G: Terapi lain:

9

Ampicilin 1 gram tiap 8 jam Asam traneksamat 500 mg tiap 8 jam Vit K 10 mg tiap 8 jam

Hari II (27/03/2018) S : Pasien mengalami perdarahanvia kateter dan diluka bekas operasi keluar darah, Urin kehitaman dan tubuh bengkak Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C •

SSP: DPO, RP +/+ lambat, pupil isokor 3mm/3mm



Res: PC BIPAP 20 P1 20 PS 10 RR 20 x/menit, FiO2 90% vesikuler di kedua

lapang paru, ronki ada, wheezing tidak ada, saturasi 94% •

KV

: TD 120/80, nadi 95 x/menit, S1S2 tunggal reguler, murmur (-) dengan

vascon 0,1-0,5 mcg/kgBBjam •

GI

: Bising usus (+) ,distensi (-)



UG

: BAK via DK 0.8 cc/kgBB/jam



MS

: fleksi defleksi, mallampati sulit dievaluasi.

Diagnosa : Eklampsia + HELPP Sindrome + Post SC hari I dengan suspek Odem Pulmonum + ARDS Berat

Darah lengkap (27/03/2018) : WBC 31,49 x103/µL (4,1-11); HGB 3.93 g/dL (13.517.5); HCT 26.12 % (41-53); PLT 63.46 x103µL (150-440) Faal Hemostasis (25/03/2018) : PT 20,3 (10,8-14,4) detik; aPTT 40.9 (24-36) detik; INR 2,80 (0,9-1,1) Kimia Klinik (27/03/2018) : SGOT 944,6 SGPT 280,60 Alb 2,5 GDA 242 BUN 40 (8.00 – 23.00) SC 4,19 (0.5-0.9) Na 133 (136-145) K 5,77 (3.5-5.1); AGD (25/03/2018) : pH 7.18; pCO2 26,7; pO2 213,40; BE -18.8; HCO3- 9,80. •

Ro Thorax PA (24/03/2018) : edema pulmonum , tak tampak tanda pneumothorax

D Dimer 11,87 , Fibrinogen 616 mg/dl F: Ringer Fundin 1000 mL A: Fentanyl 500 mcg/24 jam+ Paracetamol 1 g tiap 8 jam IV. S:

10

T: H: Head up 30-45oC U: Omeprazole 8 mg/jam, sucralfat 10 ml tiap 8 jam G: Terapi lain: Ceftazidine 2 gram tiap 8 jam IV Asam traneksamat 500 mg tiap 8 jam Vit K 10 mg tiap 8 jam Furosemid 20 mg tiap 8 jam IV Cek DL berkala tiap 8 jam

HARI III (28/03/2018) S : Pasien mengalami perdarahanvia kateter dan diluka bekas operasi keluar darah, Urin kehitaman dan tubuh bengkak Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C •

SSP: DPO, RP +/+ lambat, pupil isokor 3mm/3mm



Res: PC BIPAP 20 P1 20 PS 10 RR 20 x/menit, FiO2 90% vesikuler di kedua

lapang paru, ronki ada, wheezing tidak ada, saturasi 94% •

KV

: TD 120/80, nadi 95 x/menit, S1S2 tunggal reguler, murmur (-) dengan

vascon 0,1-0,5 mcg/kgBBjam •

GI

: Bising usus (+) ,distensi (-)



UG

: BAK via DK 0.2 cc/kgBB/jam



MS

: fleksi defleksi, mallampati sulit dievaluasi.

Diagnosa : : Eklampsia + HELPP Sindrome + Post SC hari I dengan suspek Odem Pulmonum + ARDS Berat

Darah lengkap (27/03/2018) : WBC 31,49 x103/µL (4,1-11); HGB 3.93 g/dL (13.517.5); HCT 26.12 % (41-53); PLT 63.46 x103µL (150-440) Faal Hemostasis (25/03/2018) : PT 20,3 (10,8-14,4) detik; aPTT 40.9 (24-36) detik; INR 2,80 (0,9-1,1)

11

Kimia Klinik (27/03/2018) : SGOT 944,6 SGPT 280,60 Alb 2,5 GDA 242 BUN 40 (8.00 – 23.00) SC 4,19 (0.5-0.9) Na 133 (136-145) K 5,77 (3.5-5.1); AGD (25/03/2018) : pH 7.18; pCO2 26,7; pO2 213,40; BE -18.8; HCO3- 9,80. •

Ro Thorax PA (24/03/2018) : edema pulmonum , tak tampak tanda

pneumothorax D Dimer 11,87 , Fibrinogen 616 mg/dl F: Ringer Fundin 1000 mL A: Fentanyl 500 mcg/24 jam+ Paracetamol 1 g tiap 8 jam IV. S: T: H: Head up 30-45oC U: Omeprazole 8 mg/jam, sucralfat 10 ml tiap 8 jam G: Terapi lain: Ceftazidine 2 gram tiap 8 jam IV Asam traneksamat 500 mg tiap 8 jam Vit K 10 mg tiap 8 jam Furosemid 20 mg tiap 8 jam IV Transfusi PRC dan FFP serta TC.

Hari Ke 9 S : kontak tidak ada BB 65 kg, TB 160 cm Susunan saraf pusat : DPO Respirasi PC Bipap 30 / ASB 15 / PEEP 10 / FiO2 90 %, RR 20, Ves +/+, SpO2 86-98% Kardiovaskular: TD 110-148/78-90 mmHg; Nadi 88-123x/min; S1S2 tunggal, regular, murmur (-) Gastrointestinal : Distensi (-). Urogenital : BAK via DK Muskuloskeletal: Akral Hangat Cairan Masuk : 2159 ml HD 500 ml

12

Cairan Keluar : 2500 ml (urine) HD 2500 ml IWL 650 ml BC – 2564 ml Darah Lengkap (04/04/18) : WBC 37.77 x10 3µL (4.1-11); Neutrofil 92.92%, HGB 7.19 g/dL (13.5-17.5); HCT 22.13% (41-53); PLT 164.70x 103µL (150-440) Kimia Klinik (03/04/18) : BUN 33.60 mg/dl (8-23), Creat 2.31 mg/dl (0.5-0.9). AGD + Elektrolit (04/04/2018) pk 09.00 : pH 7.42 ; pCO2 46.1 mmHg ; pO2 118.20 mmHg; HCO3 29.10 mmol/L; Beecf 4.6; SO2c 98.3%, TCO2 30.60, Na 1423 mmol/l, K 2.47 mmol/l, Cl 89 mmol/l. F: Nefrisol 150 ml tiap 4 jam, Plasmanat 500 ml tiap 24 jam, Ringer Lactat 500 ml tiap 24 jam. Vip Albumin 2x1 sachet A: Paracetamol 1 gram tiap 8 jam; Morfin 20 mg tiap 24 jam S: Midazolam titrasi target RASS -2 T: H: Head up 30-45oC U: Lansoprazole 30 mg tiap 12 jam G: Terapi lain: Amikasin 1500 mg /24 jam Hari ke-5 Ceftazidime 2 gram / 8 jam hari ke-5 Furosemide 10 mg/jam Metilprednisolon 62.5 mg / 24 jam Enoxaparine 0.6 U / 12 jam SC Nebul Combivent-Bisolvon / 8 jam Permasalahan : Hipokalemia rencana koreksi KCl 50 meq dalam 8 jam dilanjutkan koreksi 50 meq dalam 24 jam. Hari ini dilakukan HD bersama dengan memasukkan PRC 2 colf. Pasien mudah iritatif, suction k/p saja.

13

HARI KE 12 S : Pasien mengalami perdarahan via kateter dan diluka bekas operasi keluar darah, Urin tidak keluar sama sekali, pasien mengalami penurunan kondisi dan sulit untuk dibangunkan Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C BB 65 kg, TB 160 cm Susunan saraf pusat : compos mentis Respirasi PC-SIMV+ dengan PInsp 12 cmH20, RR 14 x/menit, PEEP 10, ASB 16 cmH2O, FiO2 40%, Ves +/+, Ronchi +/+ basal dominan, SpO2 97-99% Kardiovaskular: TD 110-150/70-90 mmHg; Nadi 78-110x/min; S1S2 tunggal, regular, murmur (-) Gastrointestinal : Distensi (-). Urogenital : BAK via DK dengan UOP 0.47 ml/kgBB/jam Muskuloskeletal: Akral Hangat Balance Cairan Cairan Masuk : 1417 ml Cairan Keluar : 1500 ml (urine) IWL 750 ml BC – 833 ml AGD + Elektrolit (14/04/2018) : pH 7.27; pCO2 44.3 mmHg ; pO2 119.10 mmHg ; HCO3 19.90 mmol/L ; Beecf -7.00; SO2c 97.8%, Na 142 mmol/l, K 4.00 mmol/l, Cl 83 mmol/l. Darah Lengkap Post HD dan Transfusi PRC 2 colf (14/04/2018) : WBC 20.66x103 mcg/l, HGB 10.49 g/dl, HCT 33.85 %, PLT 420.70x103 mcg/l, BUN 45.00 mg/dl, Creatinin 3.23 mg/dl. F: Nefrisol 200 ml tiap 4 jam, Aminofusin L 600 500 ml tiap 24 jam. Vip Albumin 2x1 sachet A: Fentanyl 300 mcg tiap 24 jam IV. S: Midazolam titrasi target RASS -2 T: -

14

H: Head up 30-45°C U: Sucralfat 15 mg tiap 8 jam PO G: Terapi lain: Cefoperazone Sulbactam 2 gram tiap 12 jam IV memasuki hari ke-9. Metilprednisolon 62.5 mg / 24 jam Nebul Combivent-Bisolvon / 8 jam Maintenance Kalium dengan KCl 50 meq dalam 24 jam. Furosemid 10 mg tiap jam titrasi kontinyu

Hari Perawatan ke-28 (23/04/2018) S : Pasien sudah dapat melakukan komunikasi via tulisan dengan keluarga BB 65 kg, TB 160 cm Susunan saraf pusat : compos mentis Respirasi CPAP dengan PInsp 12 cmH20, RR 12 x/menit, PEEP 6, ASB 8 cmH2O, FiO2 40%, Ves +/+, Ronchi +/+ basal dominan, SpO2 97-99%, dilakukan latihan dengan ETT Tpiece O2 6 lpm. Kardiovaskular: TD 110-140/70-90 mmHg; Nadi 100-120x/min; S1S2 tunggal, regular, murmur (-) Gastrointestinal : Distensi (-). Urogenital : BAK via DK Muskuloskeletal: Akral Hangat Balance Cairan Cairan Masuk : 2796 ml, HD 300 ml Cairan Keluar : 2750 ml, HD 1000 ml IWL 750 ml BC – 1404 ml AGD + Elektrolit (23/04/2018) : pH 7.33; pCO2 43.7 mmHg ; pO2 133.20 mmHg ; HCO3 22.50 mmol/L ; Beecf -3.50; SO2c 98.5%, TCO2 23.40 mmol/l, Na 146 mmol/l, K 3.39 mmol/l, Cl 88 mmol/l.

15

AGD + Elektrolit (22/04/2018) : pH 7.40; pCO2 39.8 mmHg ; pO2 117.00 mmHg ; HCO3 24.10 mmol/L ; Beecf -0.70; SO2c 98.3%, TCO2 25.40 mmol/l, Na 141 mmol/l, K 3.49 mmol/l, Cl 82 mmol/l. PPT 13.2 detik, APTT 21.2 detik, INR 1.07. BUN / Ureum Post HD (21/04/2018) : BUN 22.40 mg/dl, Creatinin 0.47 mg/dl Faal Hemostatik (21/04/2018) : PPT 14.1 detik, APTT 25.3 detik, INR 1.16. BUN / Ureum (21/04/2018) : BUN 78.00 mg/dl, Creatinin 3.05 mg/dl. AGD + Elektrolit (21/04/2018) : pH 7.33; pCO2 41.8 mmHg ; pO2 62.70 mmHg ; HCO3 21.70 mmol/L ; Beecf -4.20; SO2c 90.6%, TCO2 23.00 mmol/l, Na 141 mmol/l, K 3.55 mmol/l, Cl 82 mmol/l. F: Nefrisol 200 ml tiap 4 jam, Aminofusin L 600 500 ml tiap 24 jam. Vip Albumin 2x1 sachet A: Fentanyl 300 mcg tiap 24 jam titrasi S: T: H: Head up 30-45° U: G: Terapi lain: Nebul Combivent-Bisolvon / 8 jam Vitamin B complex 1 tab tiap 24 jam oral Vit C 1 tab tiap 24 jam oral KCl 50 meq dalam 24 jam Vitamin K 10 mg tiap 8 jam Pukul 12.00 telah dilakukan ekstubasi, post ekstubasi pola napas spontan dengan Face Mask 6 lpm.

16

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Preeklampsia dan Eklampsia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melalui Infodatin tahun 2014, membagi HDK ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu preeclampsia-eklampsia, hipertensi kronik, preeklampsia pada hipertensi kronik yang merupakan gabungan preeklampsia dengan hipertensi kronik, dan hipertensi gestasional.2 Berdasarkan The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP) tahun 2000, penggolongan HDK terdiri dari hipertensi kronik (hipertensi yang pertama kali timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap hingga 12 minggu pascapersalinan), preeklampsia (hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan pertama kali didiagnosis dan disertai dengan adanya komponen protein pada urine atau yang disebut dengan proteinuria), superimposed preeclampsia atau hipertensi kronik yang disertai tanda-tanda preeklampsia, dan hipertensi gestasional, yaitu hipertensi yang timbul saat masa gestasi tanpa disertai proteinuria dan hipertensi tersebut menghilang setelah tiga bulan pascapersalinan atau kematian dengan tanda-tanda preeklampsia, namun tanpa proteinuria. Sedangkan, yang dimaksud dengan eklampsia adalah preeklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang bersifat umum. Sehingga, apabila dibandingkan, kedua panduan tersebut memiliki kriteria penggolongan yang sama dan umum digunakan dalam praktik sehari-hari di Indonesia. Hingga saat ini, teori patofisiologi preeklampsia-eklampsia masih terus berkembang. Abnormalitas plasenta dan ketidakseimbangan faktor angiogenik merupakan mekanisme yang saat ini umum diterima oleh kalangan peneliti dan klinisi. Kedua mekanisme tersebut berkaitan satu sama lain dan memiliki banyak komponen yang masih perlu untuk diteliti lebih lanjut. Adapun empat mekanisme yang saat ini diterima oleh kalangan peneliti dan klinisi secara luas adalah kegagalan invasi tropoblas, ketidakseimbangan faktor angiogenik yang menyebabkan disfungsi endotel, peran hydrogen sulfide (H2S), dan faktor nutrisi.

17

Apabila dirangkum secara singkat, iskemia plasenta terjadi sebagai akibat invasi tropoblas dangkal atau kegagalan invasi tropoblas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan kekebalan tubuh atau imunitas, di mana sel T CD4 + pro-inflamasi meningkat dan sel T regulator (Treg) menurun. Ketidakseimbangan ini menyebabkan peradangan kronis yang ditandai oleh stres oksidatif, sitokin pro-inflamasi, dan autoantibodi.4 Proliferasi, migrasi, dan invasi tropoblas ke dalam desidua maternal dan miometrium pada masa kehamilan merupakan penentu pembentukan plasenta hemokorial dan pemeliharaan gestasi. Setelah adanya invasi tropoblas, terjadi perubahan pada diameter arteri spiralis yang disebabkan oleh penggantian lapisan endotel dan lamina elastika interna oleh tropoblas.4 Perubahan diameter arteri spiralis selanjutnya akan memicu pembuluh darah membentuk sinusoid yang bertekanan rendah dan aliran tinggi, sehingga suplai darah maternal ke fetus dapat terjaga dengan baik. Tropoblas berasal dari stem cell yang dinamakan cytotropoblast stem cells. Diferensiasi cytotropoblast stem cells dimulai pada usia kehamilan trimester pertama, yaitu akan membentuk lapisan sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk sederetan tropoblas yang invasif, yang menyusun vili koriales yang disebut “anchoring villous tropoblast“. Cytotropoblast di dalam vili tersebut akan menembus sinsitium pada beberapa tempat sehingga membentuk suatu kelompok sel berlapis yang disebut “extravillous tropoblast cells”. Kelompok sel inilah yang secara fisik menghubungkan plasenta dengan dinding uterus ibu. Perkembangan selanjutnya dari sel tropoblas ekstravilus itu akan mengikuti 2 jalur, jalur pertama adalah dengan menginvasi dinding uterus (interstitial invasion) dan jalur kedua adalah dengan cara menembus pembuluh darah (endovascular invasion).5,6 Selama trimester pertama, diferensiasi tropoblas terjadi pada saat tekanan oksigen rendah. Pada sekitar umur kehamilan 10-12 minggu kehamilan, pada saat mana sudah terjadi hubungan antara ruang intevilus dengan darah ibu, maka tekanan oksigen meningkat. Peningkatan tekanan oksigen pada saat ini berhubungan dengan saat invasi tropoblas maksimal ke desidua maternal, yang mana situasi ini memungkinkan sel tropoblas ekstravilus untuk melakukan remodeling arteria spirales. Pada keadaan preeklampsia, terjadi pengeluaran Hypoxia Induced-Factor 1 (HIF-1) yang merupakan

18

faktor yang mengaktivasi Transforming Growth Factor-beta 3 (TGF-beta3), yang merupakan inhibitor proliferasi tropoblas.6 Selain oksigen, kelangsungan hidup embrio sangat tergantung dari aliran darah, maka harus ada pembuluh darah sebagai perantara yang menghantarkan darah dari desidua maternal ke embrio yang sedang berkembang. Terdapat tiga fase pada vaskuloangiogenesis ini, yaitu fase inisiasi, fase proliferasi-invasi, dan fase maturasi-diferensiasi. Fase inisiasi dimulai minggu ke-3 pasca konsepsi. Sebelum terbentuknya pembuluh darah yang pertama, sel-sel Hofbauer menghasilkan angiogenic growth factors, yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), dan placenta growth factor (PlGF).6 Beberapa minggu sebelum onset manifestasi preeklampsia terjadi, kadar soluble endoglin (sEng) dan inhibitor VEGF endogen yaitu fms-like tyrosine kinase-1 (sflt-1) meningkat, sedangkan PlGF menurun pada trimester pertama kehamilan. Bersama dengan disfungsi endotel, faktor pembuluh darah tersebut menjadi penanda biokimia dari preeklampsia berat. Meningkatnya sflt-1 dan sEng merupakan hasil dari terhambatnya kerja enzim Cystathionine γ-lyase (CSE), yaitu enzim utama yang bertanggung jawab terhadap produksi hydrogen sulfide (H2S) endogen. Eksperimen pada wistar menunjukkan bahwa pemberian inhibitor CSE secara berkala menyebabkan berkurangnya kadar H2S dan terdapat peningkatan tekanan darah. Dengan demikian, masuk akal bahwa penurunan kadar H2S yang bersirkulasi dapat berkontribusi terhadap hipertensi pada preeklampsia. Dalam penelitian Wang et al (2012), terbukti bahwa preeklampsia berhubungan dengan berkurangnya sirkulasi H2S.7

Gambar 1. Proses Remodeling Arteri Spiralis

19

Hipoperfusi plasenta akibat gagalnya invasi tropoblas menyebabkan iskemik plasenta yang menghasilkan oksidan yang disebut juga radikal bebas. Radikal bebas adalah hasil dari metabolisme oksigen yang mempunyai sifat reaktif, sangat labil karena mempunyai elektron bebas yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya, sehingga radikal bebas ini akan mencari pasangannya atau bereaksi dengan molekul lainnya untuk mencari pasangan elektron sehingga bentuknya menjadi lebih stabil. Radikal bebas yang jumlahnya paling banyak adalah molekul oksigen dengan 2 elektron yang tidak berpasangan, di samping bentuk lainnya seperti anion superoksida (O2-) dan radikal hidroksil (OH-).6-8 Asam lemak tak jenuh merupakan pasangan yang paling dicari oleh radikal bebas ini, dari reaksi itu akan terbentuk peroksida lipid. Pasangan yang dicari oleh radikal bebas itu akan memberikan elektronnya, akibatnya pasangan itu pun akan menjadi radikal bebas lagi dan seterusnya sehingga terjadi apa yang disebut reaksi berantai radikal bebas. Dalam sistem kardiovaskular, endotel berperan penting untuk mengontrol aliran darah dan tahanan perifer. Peran tersebut difasilitasi oleh mediator kimiawi yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kimiawi, dan fisik yang bersifat vasodilator, contohnya adalah Nitrit Oksida (NO).7 Selain itu endotel juga berperan dalam proses trombosis dan hemostasis, dengan demikian peran endotel bukan saja sebagai barier mekanik antara plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler, tetapi mempunyai fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran darah serta mekanisme pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel harus mampu merespon situasi stress fisik (tekanan oksigen) yang buruk atau situasi patologik yang buruk, seperti iskemik dan hipoksia. Pada preeklampsia, terjadi kerusakan endotel maka fungsi endotel sebagai barier mekanik hilang sehingga terjadi kebocoran endotel yang beakibat ekstravasasi cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fungsi endotel untuk memproduksi PGI2 dan NO juga menurun, sehingga terjadi vasokonstriksi dengan akibat peningkatan tekanan darah. Hasil konsepsi yang merupakan “benda asing” bagi tubuh ibu, dapat memicu sistem imun maternal untuk bekerja lebih pada target, yaitu hasil konsepsi itu sendiri. Secara logika, seharusnnya terjadi penolakan dari tubuh ibu terhadap janin yang dikandungnya, namun pada kehamilan normal terjadi suatu mekanisme adaptasi yang diperankan oleh “human leucocyte antigen–G“ (HLA). HLA berperan dalam modulasi

20

respon imun yang menyebabkan tropoblas tidak dapat dikenali oleh sistem imun ibu, sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan baik. Hipotesis pathogenesis HDK selanjutnya adalah terdapat penurunan HLA yang berdampak pada terjadinya gangguan homeostasis atau keseimbangan hemodinamik ibu saat hamil. Selain HLA, juga terdapat hipotesis mengenai induksi sitokin pro-inflamasi. Studi Harmon et al (2016) menunjukkan bahwa peningkatan sel T CD4 + dan penurunan Treg selama kehamilan menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi, endotelin (ET-1), spesies oksigen reaktif (ROS), dan autoantibodi agonis terhadap Angiotensin II (Ang II), reseptor tipe 1 (AT1AA).9 Semua faktor tersebut, secara bersama-sama memainkan peran penting dalam meningkatkan tekanan darah selama kehamilan. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa preeklampsia dan eklampsia berhubungan dengan adanya defisiensi beberapa mikronutrien, misalnya kekurangan asam folat, vitamin C dan E, kalsium dan asam lemak tak jenuh. Defisiensi asam folat dapat

menyebabkan

disfungsi

endotel

dan

aterosklerosis

melalui

kondisi

hiperhomosisteinemia. Homosistein merupakan asam amino yang mengandung gugus S yang dibentuk dalam proses metabolisme metionin. Pembentukan homosistein ini melalui 2 jalur, jalur pertama yaitu jalur remetilasi dimana homosistein dibentuk dengan bergabungnya gugus metil yang diberikan oleh 5 metil tetrahidrofolat sebagai donor metil, reaksi ini dikatalisator oleh vitamin B12 dan enzim metionin sintase. Bila asam folat kurang maka terjadi kekurangan 5 metil tetrahidrofolat, sehingga terjadi penumpukkan homosistein dalam darah. Jalur yang kedua adalah pemecahan homosistein menjadi sistationon dan sistein melalui jalur transulfurasi yang membutuhkan vitamin B6.9 Penelitian yang dilakukan Jayakusuma di RS Sanglah pada tahun 2004 dengan membandingkan kadar asam folat dan homosistein pada masing masing 30 kasus pre eklampsia dan hamil normal, didapatkan kadar asam folat pada kehamilan dengan pre eklampsia lebih rendah (12,3 ng/ml) secara bermakna (p<0.05) dibandingkan dengan kehamilan normal (14,2 ng/ml), didapatkan korelasi negatif yang bermakna antara kadar asam folat dan homosistein, demikian juga kadar asam folat ternyata mempunyai korelasi negatif yang bermakna dengan tekanan darah sistolik, yang berarti bahwa makin rendah kadar asam folat maka tekanan darah sistoliknya makin tinggi. Di samping memeriksa kadar asam folat pada penelitian itu juga diambil sampel darah untuk mengetahui kadar

21

homosistein antara kehamilan pre eklampsia dan kehamilan normal, ternyata didapatkan kadar homosistein pada pre eklampsia 9,7 umol/L lebih tinggi secara bermakna (p0,03) dibandingkan dengan kadar homosistein pada pasien hamil normal yaitu 6,1 umol/L. Hal ini menunjukkan bahwa ada peran asam folat dan homosistein pada pre eklampsia.5 Homosistein yang berlebih akan cepat mengalami oksidasi sehingga membentuk disulfida campuran, homosistin dan homosistin thiolakton. Selama proses ini akan terbentuk ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu anion superoksid dan peroksida hidrogen, yang kita ketahui kedua radikal bebas itu bersifat toksis tehadap endotel. Vitamin C dan E merupakan antioksidan endogen seluler yang langsung dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari peristiwa stres oksidatif pada pre eklampsia. Pada pre eklampsia diduga terjadi defisiensi vitamin C dan E, sehingga terjadi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan. Kadar asam askorbat, vitamin E, dan beta karoten yang rendah pada pre eklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal. Demikian juga Wang et al, pada pre eklampsia berat kadar vitamin E menurun, dengan demikian terbukti ada peran penurunan antioksidan endogen terhadap munculnya gejala pre eklampsia.8 Nutrien terakhir adalah kalsium (Ca). Defisiensi kalsium itu disebabkan karena adanya vasokontriksi, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan menyebabkan plasenta menjadi iskemik, selanjutnya terjadi reaksi berantai radikal bebas akibat iskemik plasenta seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Preeklampsia merupakan jenis HDK yang memiliki diagnosis khusus, yaitu terbagi menjadi preeklampsia ringan (PER) dan berat (PEB). Kriteria diagnosis PER adalah sebagai berikut:1 1. Hipertensi Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110 Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg Kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg 2. Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2.

Diagnosis preeklampsia berat (PEB) ditegakkan bila didapatkan satu atau lebih gejala sebagai berikut:

22

1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring. 2. Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau kualitatif +4. 3. Oligouria, yaitu jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang disertai kenaikan kadar kreatinin darah. 4. Adanya keluhan subjektif berupa: -

Gangguan visus: mata berkunang-kunang

-

Gangguan serebral: kepala pusing

-

Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen

-

Hiperefleksia

5. Adanya sindroma HELLP, yaitu kumpulan gejala yang mencakup hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan jumlah platelet rendah (low platelet count) 6. Sianosis.

Pada sebagian besar kasus preeklampsia, akan terdapat proteinuria onset baru. Proteinuria didefinisikan sebagai ekskresi 300 mg atau lebih protein dalam 24 jam, atau mencapai rasio protein/kreatinin minimal yaitu 0,3 mg/dl, yang merupakan ekuivalen dari ekskresi protein 24 jam. Pembacaan protein pada dipstick +1 juga merupakan tanda dari proteinuria, namun karena metode kualitatif tersebut memiliki banyak hasil positif dan negatif palsu, maka pengukuran tersebut disarankan hanya digunakan apabila tidak terdapat sarana diagnosis secara kuantitatif. 3.2 Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count (HELLP) Syndrome HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala yang mencakup hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet yang kurang dari batas bawah. Bersama dengan preeklampsia, sindroma HELLP adalah penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil di dunia. HELLP biasanya berkembang secara tibatiba dalam kehamilan (Usia Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau pada masa puerperium.10 Sebagai salah satu bentuk kriteria dari preeklampsia berat, HELLP memiliki onset yang juga mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang secara akumulatif akan mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor, dan menyebabkan terganggunya kehamilan

23

normal yang ditunjukkan dengan abnormalitas relaksasi vaskular. Walaupun sebagian besar pasien dengan sindrom HELLP menunjukkan tanda berupa hipertensi dan proteinuria, kedua tanda PEB tersebut tidak memiliki hubungan yang konsisten dengan parameter laboratorium dari vaskulopati yang merupakan penyebab dasarnya. Kumpulan gejala dapat tampak ambigu, namun juga dapat terfokus pada system gastrointestinal. Kesamaan antara HELLP dan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) ditekankan oleh beberapa peneliti. Gangguan hemodinamik yang terjadi pada pasien HELLP syndrome dapat merupakan hasil dari mekanisme patofisiologi yang berujung pada preeklampsia secara umum. 3.2.1 Manifestasi Klinis HELLP Pasien dengan preeklampsia-eklampsia dan sindrom HELLP dapat datang dengan berbagai tanda dan gejala yang sama sekali tidak mengarah ke diagnosis. Wanita hamil biasanya hadir di trimester ketiga dengan keluhan malaise (90%), epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas (90%), mual atau muntah (50%), atau gejala mirip virus yang tidak spesifik. Meskipun sebagian besar pasien ini hadir pada trimester ketiga, tidak jarang pasien datang pada akhir trimester kedua atau pada periode postpartum. Untuk alasan ini, wanita hamil dengan gejala yang mengkhawatirkan harus menjalani pemeriksaan diagnostik termasuk hitung darah lengkap, jumlah trombosit, evaluasi enzim hepar, dan dipstik urin untuk protein, terlepas dari tekanan darah mereka. Adanya hasil protein yang abnormal pada uji dipstik urin harus diikuti dengan evaluasi kuantitatif untuk protein dalam uji 24 jam spesimen urin.10 Nyeri abdomen sering terjadi dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien. Nyeri perut biasanya ditemui di daerah kuadran kanan atas, epigastrik atau substernal dan sering dikaitkan dengan kelainan laboratorium yang mendefinisikan sindrom HELLP. Nyeri perut umumnya tidak ada pada gangguan lain yang unik pada kehamilan seperti kolestasis dan hiperemesis, namun sering ditemukan di HELLP dan acute fatty liver of pregnancy (AFLP) atau sindrom perlemakan hati akut pada kehamilan.9 Meskipun sindrom HELLP mungkin memiliki gejala yang mirip dengan preeklamsia dan merupakan salah satu kriteria yang dapat menentukan preeklamsia berat, sindrom ini dapat berkembang pada wanita yang mungkin tidak memiliki tanda atau gejala preeklamsia lainnya. Preeklampsia

24

bukanlah prasyarat untuk sindrom HELLP dan hipertensi, jika ada, tidak harus parah. Hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg. Hemolisis, didefinisikan sebagai adanya anemia hemolitik mikroangiopati, adalah ciri khas dari triad sindrom HELLP. Temuan klasik hemolisis microangiopatik termasuk penurunan yang signifikan dalam kadar hemoglobin, peningkatan serum bilirubin tidak langsung, kadar haptoglobin serum yang rendah, peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH) dan apus perifer abnormal (schistocytes, sel duri, dan echinocytes). Ambiguitas yang sama ada pada penggunaan tes fungsi hati yang abnormal untuk mendefinisikan sindrom HELLP. Tidak ada konsensus mengenai tingkat peningkatan enzim hati yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom HELLP [10]. Jumlah trombosit yang rendah adalah kelainan lain yang diperlukan untuk membuat diagnosis sindrom HELLP. Namun, tidak ada kriteria yang menentukan untuk jumlah trombosit yang rendah. Diferensial diagnosis dari sindrom HELLP adalah sindrom respon inflamasi

sistemik

(SIRS),

disseminated

intravascular

coagulation

(DIC),

thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom uremik hemolitik (HUS) dan AFLP. 3.2.2 Diagnosis dan Klasifikasi HELLP Syndrome Dua sistem klasifikasi diagnostik utama saat ini digunakan untuk klasifikasi sindrom HELLP (Tabel 1). Dalam sistem klasifikasi Tennessee, diagnosis sindrom HELLP membutuhkan kehadiran ketiga komponen utama, sedangkan sindrom HELLP parsial atau tidak lengkap hanya terdiri dari satu atau dua elemen dari triad. Kehadiran hasil apusan darah perifer abnormal (misalnya, anemia mikroangioplastik dengan schistocytosis), trombositopenia, dan peningkatan kadar AST, ALT, bilirubin, dan laktat dehidrogenase (LDH) adalah penanda diagnostik. Sistem klasifikasi Mississippi telah diusulkan untuk menilai tingkat keparahan proses patologis, dengan sindrom HELLP kelas 1 memiliki prognosis yang lebih buruk dan tinggal di rumah sakit yang lebih lama daripada kelas 2 atau kelas 3. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada tingkatan trombositopenia dan tingkat peningkatan kadar transaminase dan LDH, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 Jumlah trombosit dan kadar LDH serum tidak hanya menjadi cukup prediktif untuk mendeteksi keparahan penyakit tetapi juga untuk menunjukkan kecepatan pemulihan.

25

Tabel 1. Kriteria diagnostik utama dan sistem klasifikasi HELLP Syndrome10 Kelas HELLP 1

Klasifikasi Mississippi Hitung

platelet

Klasifikasi Tennessee ≤ Hitung

platelet

≤100.000/µL

50.000/µL

SGOT atau SGPT ≥ 70 SGOT atau SGPT ≥ 70

2

IU/L

IU/L

LDH ≥ 600 IU/L

LDH ≥ 600 IU/L

50.000/µL



Hitung -

platelet ≤ 100.000/µL SGOT atau SGPT ≥ 70 IU/L LDH ≥ 600 IU/L 3

100.000/µL



Hitung -

platelet ≤ 150.000/µL SGOT atau SGPT ≥ 40 IU/L LDH ≥ 600 IU/L HELLP parsial/inkomplit

-

PEB ditambah salah satu dari: ELLP, EL, atau LP

Keterangan: PEB, preeklampsia berat; ELLP, peningkatan enzim liver dan jumlah platelet rendah (tidak terdapat hemolisis); EL, peningkatan enzim liver; LP, jumlah platelet yang rendah. 3.2.3 Manajemen HELLP Syndrome Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, terutama kelainan koagulasi. Langkah selanjutnya adalah evaluasi kesejahteraan janin dan usia kehamilan.10 Akhirnya, keputusan harus dibuat mengenai apakah pengiriman segera diindikasikan atau tidak. Terdapat konsensus yang pendapat bahwa persalinan yang cepat diindikasikan jika sindrom berkembang setelah 34 minggu kehamilan atau lebih awal jika ada disfungsi multi-organ, DIC, infark hepar atau perdarahan, gagal ginjal, dugaan abrupsi plasenta,

26

atau status janin yang tidak meyakinkan untuk bertahan. Ada ketidaksepakatan yang signifikan mengenai manajemen wanita dengan sindrom HELLP sebelum 34 minggu kehamilan, yaitu kematangan paru janin belum tercapai pada UK tersebut. Beberapa penulis merekomendasikan memperpanjang kehamilan sampai 34 minggu kehamilan atau sampai adanya perkembangan sebagai indikasi ibu atau janin untuk persalinan. Meskipun tampaknya bahwa manajemen kehamilan mungkin bermanfaat, hasil perinatal secara keseluruhan tampaknya tidak membaik bila dibandingkan dengan kasus usia kehamilan yang sama yang dilahirkan dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sindrom HELLP.11 3.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Gambaran pertama ARDS pada tahun 1967 menggambarkan sindrom klinis dispnea berat, takipnea, sianosis refrakter terhadap terapi oksigen, hilangnya kepatuhan paru, dan infiltrat alveolar difus pada radiografi toraks, namun tidak ada kriteria khusus yang diartikulasikan. Setelah 1967, beberapa definisi diusulkan tetapi tidak ada yang diterima secara luas sampai konferensi Konsensus Konferensi Amerika-Eropa (AECC) 1994 ditetapkan. AECC mendefinisikan ARDS sebagai onset akut hipoksemia dengan infiltrat bilateral pada radiografi toraks frontal tanpa bukti klinis hipertensi atrium kiri (atau tekanan baji arteri pulmonal 18 mm Hg ketika diukur).12 Derajat hipoksemia dinilai dengan rasio tekanan parsial oksigen arteri yang dinormalkan ke fraksi oksigen inspirasi (PaO2 / FIO2), untuk menjelaskan fakta bahwa PaO2 bervariasi dengan FIO2. Untuk diagnosis ARDS, rasio PaO2 / FIO2 harus 200 mm Hg atau kurang. Diagnosis lainnya yaitu cedera paru akut (acute lung injury/ALI) menggunakan kriteria serupa tetapi dengan ambang hipoksemia yang kurang parah (yaitu, PaO2 / FIO2 300 mmHg). 12 Meskipun penggunaan definisi tunggal yang luas membantu memajukan bidang dengan memfasilitasi perbandingan di antara studi yang berbeda, sejumlah batasan definisi AECC muncul, termasuk kurangnya kriteria eksplisit untuk waktu onset relatif terhadap cedera atau penyakit yang dianggap menyebabkan ARDS, penggunaan rasio PaO2 / FIO2 untuk mendefinisikan ARDS tetapi tidak ada spesifikasi tentang bagaimana ini diukur relatif terhadap penggunaan pengaturan ventilator tertentu. yang dapat mempengaruhi pengukuran ini (misalnya, tekanan akhir ekspirasi positif yang lebih tinggi [PEEP] dapat meningkatkan rasio PaO2 / FIO2), keandalan interobserver yang buruk dari kriteria

27

radiografi toraks, dan kesulitan dengan tidak termasuk kelebihan volume atau gagal jantung kongestif sebagai penyebab utama kegagalan pernapasan. Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ARDS mengakibatkan hampir 75.000 kematian setiap tahun, lebih dari kanker payudara atau infeksi HIV. Secara global, ARDS memengaruhi sekitar 3 juta pasien setiap tahun, terhitung 10% dari perawatan unit perawatan intensif (ICU), dan 24% pasien yang menerima ventilasi mekanik di ICU.13 Meskipun penelitian selama bertahun-tahun, pilihan pengobatan untuk ARDS terbatas. Perawatan suportif dengan ventilasi mekanis tetap menjadi andalan manajemen atau tatalaksana. Secara global, mortalitas dari ARDS tetap tinggi, berkisar antara 35% hingga 46% dengan mortalitas yang lebih tinggi dikaitkan dengan derajat keparahan cedera paru yang lebih besar pada onset. Korban mungkin memiliki neuropsikiatri yang substansial dan persisten, dan morbiditas neurokognitif yang telah dikaitkan dengan kualitas hidup yang terganggu secara signifikan, selama 5 tahun setelah pasien telah pulih dari ARDS. Perubahan hormonal pada kehamilan mempengaruhi saluran pernapasan bagian atas dan menyebabkan hiperemia dan edema saluran napas. Diafragma tergeser ke atas hingga 4 cm, tetapi potensi kehilangan volume paru diimbangi oleh pelebaran diameter torakalis anteroposterior dan transversal. Kapasitas residual fungsional (FRC) menurun 10% sampai 25% dengan jangka waktu. Kapasitas vital tetap tidak berubah, dan kapasitas paru total menurun hanya minimal. Pengukuran aliran udara (FEV1) dan kepatuhan paru tidak diubah selama kehamilan, tetapi dinding dada dan kepatuhan pernafasan total berkurang pada trimester ketiga.Pasien hamil berisiko mengalami cedera paru akut akibat komplikasi terkait kehamilan serta kondisi lainnya. Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) tidak jarang pada kehamilan dan merupakan penyebab utama kematian ibu. Kehamilan dapat menjadi predisposisi perkembangan ARDS oleh sejumlah mekanisme, termasuk peningkatan volume sirkulasi darah, tingkat serum albumin yang berkurang, kemungkinan peningkatan regulasi komponen respon inflamasi akut dan peningkatan kebocoran kapiler. Aspirasi asam lambung merupakan penyebab penting dari cedera paru akut pada ibu hamil. Peningkatan risiko pada kehamilan terkait dengan peningkatan tekanan intraabdomen yang disebabkan oleh uterus yang membesar, efek progesteron dalam

28

menurunkan nada sfingter esofagus, serta penggunaan posisi terlentang untuk pengiriman. Sekitar dua pertiga dari kasus aspirasi terjadi di kamar persalinan. Aspirasi isi lambung dengan pH 2,5 atau lebih rendah menyebabkan pneumonitis kimiawi dengan edema permeabilitas. ARDS 3.3.1 DEFINISI Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah suatu kumpulan gejala dengan bentuk kegagalan respirasi yang terjadi secara akut dan dapat terjadi pada semua kelompok umur yang sering bersifat fatal, akibat berbagai macam gangguan yang mempunyai bentuk perubahan yang sama tanpa adanya kelainan paru sebelumnya, sehingga terjadi pertukaran gas di tingkat alveolar. Terjadi kerusakan parenkim paru yang luas disertai dengan edema intertisial oleh berbagai sebab tanpa peningkatan tekanan hidrostatik karena kelainan jantung.1,2,4 menurut

American-European

Consensus Conference mendeskripsikan ARDS dengan adanya •

Kegagalan respirasi dengan onset yang akut



Terdapatnya infiltrat pada paru bilateral yang bisa dilihat dari hasil foto thorak



Tidak terdapatnya peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya gagal jantung (Pulmonary artery occlusion pressure/POP < 18 mmHg)



PaO2/FIO2 < 200 mmHg

Nama lain dari ARDS adalah Wet Lung, shock Lung, Adult Hyalin Membran Disease, Stiff Lung Syndrome, Post Traumatic Pulmonale Insufficiency, Ventilator Lung, Pump Lung, Aspiration Pneumonia, Congestive Atelectase, Smoke Inhalation dan masih ada istilah lain tetapi istilah ARDS lebih banyak diterima.1,2,3,7

3.3.2 SEJARAH Semenjak perang Dunia I banyak didapatkan pasien-pasien dengan kelainan non thorachic injury seperti pankreatis berat, masif transfusi, sepsis, dan keadaan tanpa kelainan paru sebelumnya, mengalami disstres nafas, infiltrat paru luas yang terjadi secara akut, yang saat itu belum diketahui penyebabnya.

29

Acute Respiratory Distress Syndrome pertama kali diperkenalkan pertama kali pada tahun 1967 setelah Asbbaugh dan rekan-rekan mengamati adanya distress nafas yang terjadi pada 12 penderita yang sebelumnya tidak mempunyai kelainan paru. gejala distress nafas yang terjadi berupa takipneu, hipoksemia dan kehilangan compliance paru yang terjadi secara akut. Sebelum tahun 1992 istilah ARDS disebut

dengan Adult Respiratory Distress

Syndrome,namun tahun 1994 The American-European Consensus Committee On ARDS menetapkan kesepakatan baru dengan mengganti istilah Adult dengan Acute dengan alasan bahwa penyakit ini bisa mengenai semua kelompok umur.6

3.3.3 EPIDEMIOLOGI insiden ARDS di Inggris disebutkan 4,5/100.000 populasi pertahun, data ini didapatkan dari data survey restrospektif tahun 1988. Di Amerika Serikat insiden ARDS 150.000 kasus pertahun dengan perkiraan kasus 75/100.000 populasi.6 The Annual incidence ARDS menyebutkan 1,5-13,5 orang/100.000 populasi secara umum. Insiden ARDS pada pasien yang menggunakan mesin ventilator dan pasien yang dirawat di ruangan intensif jauh lebih besar. Brun-Buisson dan kawan-kawan (2004) melaporkan prevalensi Acute Lung Injury (ALI) 16% pada pasien yang yang menggunakan mesin ventilator lebih dari 4 jam. Lebih dari setengahnya akan berkembang kearah ARDS. Meningkatnya tekanan intra abdominal oleh berbagai sebab juga menjadi faktor yang meningkatkan kejadian ARDS terutama pada pasien terventilasi. Tingkat mortalitas ARDS bervariasi antara 30%-80%. Pada penelitian-penelitian randomized control trial memperlihatkan angka mortalitas yang lebih rendah pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Penelitian observasional menyebutkan angka kematian berkisar antara 50%-60%.

3.3.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ARDS merupakan penyakit yang mengenai paru oleh berbagai sebab baik secara langsung maupun tidak langsung. Ditandai dengan adanya inflamasi pada parenkim paru yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas di paru, terjadinya pelepasan

30

mediator-mediator radang secara sistemik yang menyebabkan terjadinya imflamasi, hipoksemia dan sering kali menyebabkan kegagalan organ multiple Etiologi ARDS pada bayi berbeda dengan dewasa dimana penyebab ARDS pada bayi berhubungan erat dengan imaturitas paru sedangkan pada dewasa menyertai penyakitpenyakit berat misalnya trauma, emboli lemak, pneumonia karena aspirasi ,sepsis, gagal ginjal akut, intoksikasi, operasi jantung terbuka dan penyakit berat lainnya.2,4,8 Penyebab lain bisa disebabkan oleh karena infeksi virus, pankreatitis hemorargik akut, overdosis, obat-obat sedatif, aspirin (jarang), luka bakar luas, emboli lemak, near drowning, dan transfusi darah masif.4,7,9 Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang disebkan oleh bermacam sebab berkembang menjadi suatu sindrom klinis dan patofisiologi yang sama. Secara klinis faktor-faktor resiko yang bisa menyebabkan terjadinya ARDS diklasifikasikan menjadi dua kelompok; yaitu secara langsung dan tidak langsung. Faktor resiko langsung antara lain: pneumonia (46%), aspirasi lambung (29%), kontusio pulmonum (34%), emboli lemak, near drowning, trauma inhalasi, reperfusion injury. Faktor resiko tidak langsung antara lain sepsis non pulmonum (25%), trauma multiple (41%), transfusi masif (34%), pankreatitis (25%), cardiopulmonary bypass. Inflamasi, seperti pada keadaan sepsis dapat menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, terjadinya ekstrapasasi cairan dari kapiler dan menyebabkan gangguan drainage cairan dari paru. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat bahwa di paru-paru pembatas udara-darah terdiri dari sel pneumosit tipe I (sel penyokong) dan pneumosit tipe II (sumber surfaktan) serta membran basalis alveolar. Pembatas tersebut bersinggungan dengan membran basalis kapiler dan sel endotel. Dalam keadaan normal membran kapiler alveolar tidak mudah ditembus partikel-partikel, tetapi saat terjadinya trauma maka akan terjadi perubahan pada permiabilitasnya sehingga dapat dilalui oleh cairan, sel darah merah dan protein. Mula-mula cairan akan berkumpul di dalam alveolus sehingga menyebabkan terjadinya atelektasis kongestif. Terjadinya perubahan pada tekanan onkotik menyebabkan terjadinya edema paru. Disfungsi sel pneumosit tipe II juga terjadi ditandai dengan menurunnya produksi surfaktan . Meningkatnya

31

konsentrasi inspirasi oksigen sangat diperlukan pada fase ini dan dapat menyebabkan respiratory burst pada sel-sel imun. Pada fase kedua, disfungsi endotel menyebabkan sel-sel radang dan eksudat masuk kedalam alveoli. Terjadinya edema pulmonum menyebabkan menjauhnya jarak alveoli – kapiler. Menyebabkan jarak oksigen ke kapiler menjauh sehingga makin sedikit oksigen yang dapat didistribusikan kedalam kapiler. Terjadinya gangguan pertukaran gas ini akan menyebabkan keadaan hipoksia, meningkatkan kerja otot nafas (work of breathing) juga pada akhirnya menyebabkan terjadinya fibrosis. Adanya edema paru dan berkurangnya jumlah surfaktan menyebabkan terjadinya kolap alveoli atau edema berat. Gangguan pertukaran gas ini lebih lanjut akan menyebabkan terjadinya shunting kanan ke kiri ARDS. Alveoli kolap, aliran darah kapiler hanya akan shunting saja (tanpa mengalami perfusi) akan menyebabbkan terjadinya shunting paru massif. Setelah terjadinya inflamasi maka dalam waktu 2-3 hari sel-sel endotel akan berfloriperasi , jaringan kolagen mulai terbentuk menghasilkan jaringan fibrosis intertisial dan akan bertambah berat dalam 2-3 minggu. Dengan mikroskop cahaya dapat dilihat adanya lapisan protein yang membentuk membrane hialin yang melapisi alveoli. Gambaran patologis ini mirip dengan sindrom distress nafas pada bayi. Perubahan-peerubahan patologis ini mengakibatkan perubahan komplian paru, penurunan fungsional residual capacity, terjadinya mismatch ventilasi/perfusi, peningkatan dead space fisiologis, hipoksemia berat dan hipertensi pulmoner.

Keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya ARDS Syok •

semua tipe syok

Inhalasi zat berbahaya •

aspirasi lambung



near drowning



gas iritan



inhalasi asap

32



FiO2 tinggi (≤50%-60%)

Infeksi •

Pneumonia oleh karena virus maupun bakteri



Viral lung infection



Septikemia

Overdosis Obat •

Heroin



Metadon



Asam asetisalisilat (aspirin)



Barbiturat



Colchicine



Propoxyphene (Darvon)



Chlordiazepoxide (Librium)

Kelainan Hematologi •

Transfusi darah massif



Reaksi transfusi



DIC (disseminated Intravascular Coagulation)



Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (ITP)



Leukemia

Kelainan Metabolik •

Ketoasidosis Diabetik



Uremia



Pankreatitis

Lain-lain •

Eklampsia



Emboli udara atau cairan amnion



Radiasi



Heat stroke



poliomyelitis



muscular distrofi

33



guillaine barre syndrome

Perubahan patofisiologi dapat dibagi menjadi 4 fase 1. Fase Pertama Terjadinya inflamasi dan kerusakan mitokondria dari sel-sel endotel, menyebabkan terlepasnya sel-sel tersebut

sehingga ruang interseluler

membesar secara progresif. 2. Fase Kedua Terjadinya edema intertisial, cairan keluar dari kapiler pembuluh darah ke dalam intertisial melalui defek antara sel endotel kapiler paru, sehingga paru menjadi kaku dan sukar diventilasi, berkurangnya difusi oksigen menyebabkan pembengkakan mukosa bronkiolus yang selanjutnya cenderung menjadi atelektasis. 3. Fase Ketiga Mulai terlihatnya gangguan nafas secara nyata akibat atelektasis kongestif. kapiler paru terisi cairan dan sel darh merah dan didapatkan mikroatelektasis difus berat pada seluruh lapangan paru. Kerusakan sel endotel semakin berat sehingga menyebabkan perdarahan peribronkial. 4. Fase Keempat Kerusakan berlanjut ke sel – sel alveoli sehingga cairan masuk kedalam alveoli. Protein terutama fibrinogen menginaktifkan surfaktan, menyebabkan makin parahnya atelektasis.Bila penderita bisa betahan lebih lama protein dan debris ini akan mengendap dalam alveoli membentuk membrane seperti hialin menyebabkan kerusakan permanen. Adanya pengendapan protein dan debris ini merupakan media yang baik bagi tempat tumbuhnya kuman, maka kemungkinan pneumonitis sangat besar. Dalam kepustakaan lain dijelaskan ada 3 fase pathogenesis ARDS 1. Fase Eksudatif Terjadinya kerusakan epitel alveolar dan endotel kapiler akan menyebabkan kebocoran air, protein dan eritrosit masuk ke jaringan dan lumen alveolar. Keadaan ini diprovokasi oleh suatu keadaan antara komplek mediator

34

proimflamasi (TNF dan IL-1,6 dan 8) dan mediator anti imflamasi (IL-10). Disamping itu ada juga mediator-mediator lain yang berperan dalam penyebaran respon imflamasi sistemik, antara lain: platelet activating factor (PAF), interferon (IFN), IL-4, macrofag inhibitory factor, protein-protein high mobility group (HMG), transforming growth factor (TGF)-β, metabolit-metabolit asam arakidonat, reactive oxygen species, nitric oxide, dan cell adhesion molecules. 2. Fase Proliferatif Sel-sel endotel dan sel-sel penyokong paru lainnya mulai mengalami proliferasi dan sel-sel fibroblast mulai aktif. Terjadi pemadatan sel-sel paru, sehingga istilah stiff lung atau shock lung cocok untuk fase ini. Kerusakan paru akan semakin jelas dalam dua sampai empat minggu. Saat ini sangat sering terjadi barotraumas dan volutrauma pada saat penggunaan ventilator. Selain itu pneumonia, sepsis dan kerusakan organ multiple juga bisa terjadi pada fase ini.Fse ini berlangsung antara 3-10 minggu dan merupakan fase kritis yang menentukan hidup mati pasien yang mengalami ARDS. 3. Fase Fibrotik (Pemulihan) Paru-paru mengalami perbaikan dan pemulihan. Terjadi resolusi imflamasi dan resolusi debris-debris sel. Fungsi paru dapat membaik dalam waktu 6-12 minggu tergantung dari beratnya trauma awal.

I.5 GAMBARAN KLINIS, RADIOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS Kriteria diagnostic ARDS menurut The American-European Consensus Conference on ARDS 1. onsetnya akut 2. Adanya faktor predisposisi 3. Adanya infiltrate bilateral dari thorak foto 4. PaO2/FiO2 <200 mmHg 5. Wedge pressure ≤ 18 mmHg dan tidak adanya bukti klinis adanya Left Aterial hipertention Faktor predisposisi yang dimaksudkan adalah:

35



sepsis (sebagai penyebab utama)



Severe PNA (pielonefritis acute)



aspirasi



Near drowning



Smoke inhalation



Masive blood transfusion



Trauma berat



DIC



Overdosis obat



pankreatitis akut



Trauma berat luka bakar

Sebagai tambahan biasanya diagnosis ARDS dipermudah dengan adanya positive tube sign (mayoritas penderita ARDS memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik). 5,9

Gambar 1.Foto thorak AP pasien ARDS dengan Gambaran tube.

Gambar 2. Gambaran histopatologi paru pasien ARDS

36

Gambar 4. Gambaran histopatoloogis paru normal.

Temuan secara histologi paru pasien ARDS adalah alveoli mengalami inflamasi, penebalan dan pelebaran dinding alveoli dan mengalami kebocoran (warna merah muda) dan terjadi kongesti dan penurunan volume alveolar. Dalam menegakkan diagnosis ARDS juga perlu diperhatikan edema paru yang terjadi harus dibedakan antara edema karena kardigenik dan non kardiogenik.5,9 kardiogenik

Non kardiogenik

Infiltrate timbul awalnya pada bagian basal Infiltrate homogen paru Adanya efusi pleura

Tidak ada efusi pleura

Gambaran foto thorak lebih sesuai dengan Gambaran foto thorak tidak menunjukkan derajat hipoksemia

derajat hipoksemia

Alveoli dipenuhi oleh cairan

Alveoli terisi olehprotein, sel-sel radang dan cairan

37

Pemeriksaan

pulmonary

artery

pressure

wedge Tidak meningkatkan pulmonary capillary pressure

Cardiogenic vs. Non-Cardiogenic Edema via CT http://rad.usuhs.edu/medpix/medpix_image.html?mode=quiz&imid= 16078&quiz=no&comebackto=mode=caption_list

Cardiogenic

Septal thickening. More severe in lung bases.

Non-Cardiogenic

No septal thickening. Diffuse alveolar infiltrates. Atelectasis of dependent lobes usually seen (not well shown here)

38

PENATALAKSANAAN ARDS Sasaran utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahanakan perfusi dan ventilasi yang adekuat, keseimbangan cairan, suasana asam-basa, mempertahankan integritas membran kapiler serta mengatasi faktor-faktor pencetus dan pemberian terapi penunjang.1,2,3,7,8

3.3.4.1 VENTILASI MEKANIK Pasien-pasien dengan kegagalan respirasi dengan tanda-tanda hipoksemia akut, terjadinya peningkatan usaha nafas merupakan pasien kandidat memerlukan bantuan ventilasi mekanik. Pamberian PEEP (Positive end Expiratory pressure) dengan tujuan membuka alveoli yang kolap dan memperbaiki fungsional residual capacity paru sehingga transport oksigen paru menjadi lebih baik. Penggunaan PEEP pada fase awal mungkin dapat sebagai propilaksis dalam mencegah ARDS.1,2,3,4,7,8 Efek samping yang kurang menguntungkan pada penggunaan PEEP adalah penurunan cardiac output Karena berkurangnya venous return. Penekanan tekanan intra pleura, resistensi kapiler meningkat, dan komplikasi barotrauma seperti pneumotorak, pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Sebelumnya penanganan ARDS menggunakan IPPV (intermiten positive pressure ventilation) dengan menggunakan volume tidal yang besar yaitu 12 ml/Kg BB dengan tujuan untuk mendapatkan oksigenasi yang sebesar-besarnya untuk mengurangi hipoksemia, mengatasi penurunan komplian paru yang kecil dan mendorong cairan inter dan intra alveolar agar kembali kedalam kapiler. Pada studi terakhir ternyata untuk mendapatkan volume tidal yang besar dibutuhkan aplikasi tekanan yang sangat tinggi dengan

konsekuensi akan terjadi ekspansi berlebihan dari sisa paru yang masih

mempunyai komplian dan mampu melakukan pertukaran gas sebab ternyata injury ARDS walaupun difus tetapi sifatnya tidak seragam. Hanya sebagian kecil paru yang terisi udara sehingga jika diberikan tekanan volume tidal yang besar akan menyebabkan terjadinya barotraumas.. Saat ini penenganan ARDS dengan tidal volume yang besar yang dikombinasi dengan airway peak pressure yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan tidal volume yang dianjurkan sebesar 6 ml/KgBB dan dipertahankan plateu

39

pressure atau P-peak < 30 CmH2O akan menurunkan angka mortalitas sebesar 9% (dibandingkan dengan volume tidal 12 ml/KgBB). 1,3,4,6,8 Terdapat bukti bahwa P-peak (tekanan puncak inspirasi) bila terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan endotel menambah edema paru . Pertimbangan inilah yang menyebabkan perubahan penataalaksanaan ventilasi mekanik kea rah modus pressure control dengan inverse ratio ventilation (PC-IRV). Pada modus ini terdap pembatas Ppeak sehingga volume tidal yang dicapai juga kecil. Sehingga untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik pada ADRS dibutuhkan PEEP dan pembalikan rasio inspirasi:ekspirasi. PEEP dapat membantu pemulihan alveoli yang kolap dan memperrtahankannya agar tetap terbuka dan mengemblikan sebagian FRC yang menurun sehingga diharapkan dapat meningkatan perfusi O2 paru. PEEP yang dipergunakan antar 5-10 CmH2O. PEEP yang lebih tinggi kadang dianjurkan tetapi hasil yang lebih baik tidak selalu didapatkan bahkan dapat meninbulkan komplikasi komplikasi berupa barotrauma dan penurunan curah jantung. Konsentrasi oksigen yang tinggi sangat toksik untuk paru yang mengalami trauma. level oksigen yang dianjurkan sekitar 60%. Pemberian PEEP dapat mengurangi kebutuhan FiO2 yang tinggi, FiO2 diupayakan dipertahankan <50-70%, walaupun pada hipoksemia berat PEEP dengan konsentrasi O2 100% kadang diperlukan. Pada modus inverse ratio akan menjadikan fase ekspirasi lebih pendek sehingga dada tetap terinflasi parsial pada setiap mulainya fase inspirasi berikutnya. Hal ini menyebabkan fenomena air trapping, sehingga tekanan akhir ekspirasi akan melebihi PEEP yang disetting. Tekanan ini disebut dengan intrinsic PEEP (PEEP-i) dan selisih bila dikurangi PEEP yang disetting disebut AUTO PEEP (yang bisa ditolerir adalah 2-5 CmH2O. Jadi P peak disini berfungsi sebagai indikator

untuk mencegah terjadinya barotraumas. P peak yang diduga dapat

meninbulkan barotrauma bervariasi antara 35-45 CmH2O, sehingga pada saat mengatur ventilator perlu diatur batas atas P peak <35 CmH2O. Konsekuensi lainnya adalah menyebabkan tingkat ventilasi yang rendah sehingga sering menyebabkan perburukan pertukaran gas CO2. Dalam batas-batas tertentu penambahan laju ventilator dapat mengatasi masalah ini tetapi bila P peak terus meningkat sampai hampir mencapai batas atas maka lebih dipilih membiarkan PaCO2 yang meningkat. Dalam hal ini kombinasi

40

PC-IRV dengan permissive hypercapnia (PH) menjadi pilihan. Konsep PH ini juga merupakan cara untuk menurunkan beban kerja ventilasi yang cukup besar, sebab tenaga ventilasi dan juga tekanan transpulmoner berbanding lurus dengan kuadrat volume semenitnya. PaCO2 dibiarkan meningkat secara gradual, untuk memberikan kesempatan proses kompensasi pada ginjal untuk meretensi bikarbonat atau dapat juga diberikan infuse buffer. Peningkatan tersebut kadang sampai 70 mmHg, asalkan PaCO2<80mmHg atau pH>7,15 efek patologis yang tidak diinginkan umumnya masih reversible. Jika PaCO2 sampai 120 mmHg atau lebih maka asidosis yang terjadi biasanya tidak bisa dikoreksi lagi.Konsep ini dikontraindikasikan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, tumor otak dan pada pasien dengan gagal ginjal. Menurut The American-European Consensus onfrence on ARDS adalah: 1. Tujuan manajemen ventilasi mekanik adalah tercapainya oksigen delivery pada organ-organ vital dan penyesuaian pengeluaran karbon dioksida untuk mempertahankan keadaan homeostasis. 2. Minimalkan terjadinya oksigen toxicity. Gunakan FiO2 serendah mungkin (<60%) untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik dengan mengoptimalkan faktor-faktor lainnya. 3. Alveoli dipertahankan tetap mengembang(terbuka) dengan menggunakan PEEP. Total PEEP 10-15 CmH2O. 4. Meminimalkan high airway pressure. Dengan menggunakan tehnik Permisive Hypercapnia (PH), Pressure controlled ventilation dan pressure limited, volume cycled ventilation. Tekanan di dalam transalveolar tidak boleh melebihi 25-30 CmH2O, tergantung komplian paru dan dinding dada. 5. Cegah terjadinya atelektasis. Bisa menggunakan tidal volume yang besar secara periodik. Tekanan saluran nafas yang tinggi dengan durasi inspirasi yang lebih panjang dapat mencegah terjadinya atelektasis bila menggunakan tidal volume yang kecil atau PEEP yang rendah. 6. Gunakan sedasi dan obat pelumpuh otot jika diperlukan, untuk meminilkan oksigen demand terutama pada penggunan PC-IRV. 3.3.3.2 FARMAKOTHERAPI

41

1. Recombinant human activated protein protein C (rhAPC) Direkomendasikan untuk pasien resiko tinggi mengalami kematian (APHACE score >25, sepsis induce MOF, septic shock atau ARDS) dan ada kontra indikasi seperti terjadinya perdarahan, riwayat stroke hemorargik dalam 3 bulan terakhir, riwayat operasi spinal dalam 2 bulan terakhir, pernah mengalami cedera kepala berat, trauma dengan ancaman perdarahan, keganasan intra kranial, adanya hernia cerebral. Kemampuan bertahan hidup ditingkatkan dengan protein C. 2. Anti endotoxin immunotherapy Meskipun ada bermacam-macam pendekatan potensial terhadap antagonis endotoksin hanya antibody monoclonal yang dapat diterima secara luas. 3. Kortikosteroid Kortikosteroid masih menjadi kontroversi dalam penanganan ARDS karena pemberian kortikosteroid tidak terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan insiden terjadinya ARDS sebagai komplikasi sepsis. Kortikosteroid mungkin berfungsi pada varian ARDS seperti sindroma emboli lemak pneumociystic carinii pneumonia (PCP) dimana kortikosteroid dapat mengurangi kerusakan paru memperbaiki permiabilitas kapiler apabila dipergunakan sejak awal. Pada kepustakaan lain menyebutkan sebaiknya kortikosteroid diberikan pada fase proliferatif. Dosis yang dianjurkan metil prednisolon 1-2 gr/hari selama 24-48jam atau 30 mg/KgBB tiap 6 jam. Sedangkan untuk septik syok dipergunakan hidrokortison intra vena melalui infus kontinyu 200-300 mg/hari dibagi dalam 34 kali pemberian selama 7 hari. 4. Cyclo oxygenase inhibitor Metabolit siklooksigenase asam arakidonat memegang peranan dalam pathogenesis

sepsis

dari

ARDS.

Tromboxan

A2

(TXA2)

merupakan

vasokonstriktor dan pemicu agregasi platelet , prostasiklin (PG12) sebuah vasodilator dan penghambat agregasi platelet dan prostaglandin (PGE2) sebagai vasodilator dengan efek imunokompresif pada leukotrin. Penggunaan Ibuprofen

42

pada pasien sepsis menunjukkan adanya penurunan level mediator tersebut diatas. 5. Antagonis sitokin pro inflamasi Sitokin-sitokin pada sepsis dan ARDS aantara lain TNFα, interleukin-Ib (IL-1), IL-6 dan IL-8. Normalnya sitokin tersebut didapatkan dalam jumlah yang sedikit dan dipengaruhi

oleh

pertahanan

tubuh

host. Peningkatan

TNFα

dapat

mengakibatkan sepsis dan berhubungan dengan mortalitas pasien. Dengan pemberian antibodi terhadap TNFα dapat menurunkan mortalitas pasien sepsis, mekipun tidak spesifik sepsis yang timbul karena ARDS. 6. Pentoxyfiline Merupakan derivate xantin yang dipergunakan untuk meningkatkan perfusi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer, menghambat pelepasan radikal bebas, agregasi platelet dan fagositosis. Pentoxyfiline juga menghambat pelepasan TNF kedalam sirkulasi pada tikus coba dan manusia yang diberikan secara intravena. 7. Mediator lipid (prostaglandine E1 dan E2) ARDS berhubungan dengan perubahan hemodinamik pulmoner yang mengakibatkan vasokonstriksi aktif dan kehilangan mikrovaskuler. Prostaglandin E1 merupakan vasodilator mediator lipid yang dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner dan akumulasi cairan ekstravaskular paru, meningkatkan pertukaran gas, pelepasan leukotrin B4, radikal oksigen dan enzim sitotoksik dari aktivasi granulosit 8. Antioksidan Hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH) dilepas dari aktivasi fagosit inflamasi. Komponen-komponen tersebut secara normal dikeluarkan secara normal dikeluarkan dari paru sebagai mekanisme pertahanan, melalui system enzim (seperti superoksidase dismutase/SO, katalase dan glutathione/GSH siklus redoks), juga vitamin E, betacaroten, vitamin C dan asam urat. Pada ARDS mekanisme pertahan ini gagal sehingga paru dan jaringan lainnya terpapar radikal bebas. Terapi untuk meningkatkan pertahanan pulmoner terhadap antioksidan dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain dengan meningkatkan

43

simpanan enzim anti oksidan (SOD, katalase), peningkatan simpanan glutathione (N-acetylcistein, oxothiazolidine carboxylate, glutathione), penambahan vitamin E. Terapi antioksidan terhadap metabolit O2 yang toksik dapat meningkatkan angka penyembuhan, misalnya vitamin E 400 IU peroral, Vitamin C 1 gr iv/8jam, N-Asetil sistein 6 gr per oral/6 jam dan selenium 50 mcg iv/6 jam.2 9. Antiprotease Enzim-enzim seperti protease serin, elastase, kolagenase dan gelatinase merupakan produk penting dari sel fagositik inflamasi dan dapat terlibat dalam ARDS. Pada pasien ARDS didapatkan peningkatan enzim proteolitik. Pda hewan coba dikatakan pemberian antiprotease eksogen dapat memblok injuri paru. 10. Inhaled Pulmonary vasodilators (nitric oxide, prostacyclin: PGE1,PGE2) Nitric oxide merupakan relaksan otot polos yang berasal dari endothelium. Nitric oxide memiliki peranan penting dalam neurotransmisi, pertahanan tubuh host, agregasi platelet , adesi leukosit dan bronkodilatasi. Dalam dosis 60 bagian permiliar inhaled nitric oxide (iNO) dapat meningkatkan oksigenasi paru. Tetapi pada penanganan ARDS hanya diperlukan 1-40 bagian per juta. iNO dapat diberikan terus menerus. Hanya 40-70% pasien ARDS yang mengalami perbaikan oksigenasi, hal ini kemungkinan karena NO sebagai vasokonstriktor pulmoner aktif. Namun pada uji klinik tidak didapatkan penurunan angka mortalitas tetapi jika dibandingkan dengan placebo terjadi peningkatan oksigenasi yang signifikan. PGI2 (lebih dari 50 ng/Kg per min) meningkatkan oksigenasi sama efektifnya dengan iNO paada pasien ARDS. PGI2 secara terus menerus diberikan melalui nebulizer karena waktu paruhnya singkat (2-3 menit). Keuntungannya adalah peningkatan pelepasan surfaktan dan menghindari komplikasi yang diakibatkan oleh iNO, juga memiliki toksisitas yang minimal. Meskipun PGI2 terlarut dalam buffer alkalin glisin, yang dapat mengakibatkan inflamasi jalan nafas. Iloprost merupakan derivate PGI2 dengan aktifitas yang sama dengan durasi lebih lama tanpa buffer alkalin. Tapi tidak satupun dari agen tersebut menunjukkan peningkatan outcome pasien ARDS.

44

11. Pendekatan pro inflamasi Mekanisme pendekatan pro inflamasi adalah dengan menurunkan atau membatasi infeksi untuk mencegah perluasan respon inflamsi yang dapta membahayakan paru. 12. Surfactan replacement therapy Aproprotein surfaktan penting untuk mencegah inaktivasi surfaktan pada paruparu yang mengalami inflamasi dan meningkatkan fungsi biofisikl. Studi saat ini difokuskan untuk membuaat surfaktan sintetis yang berisikan apoprotein atau analog apoprotein. Terapi replacement ini potensial untuk digunakan pada neonates dengan respiratory distress syndrome. telah dilakukan uji coba pada hewan tetapi pada manusia masih memerlukan studi lebih lanjut. 13. Ketokonazole Ketokonazole merupakan obat anti jamur yang berfungsi dalam menghambat sintesa tromboksan dan 5-lipooksigenase. 14. Heparin Heparinisasi diberikan bila terjadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). 15. Terapi Gen Pengetahuan tehnologi biomolekuler telah maju dimana pada beberapa tahun terakhir intervensi terapeutik dengan DNA merupakan tehnik yang dapat dijalankan. Tehnik ini sukses dilakukan terhadap binatang coba. II.3 PENATALAKSANAAN SUPPORTIF 1. Cardiac, Circulation support dan Transport Oksigen (DO2) Resusiitasi cairan yang adekuat adalah suatu aspek yang fundamental dalam penatalaksanaan

hemodinamik pada

pasien kritis. Data-data

spesifik

memperlihatkan bahwa DO2 dapat meningkatkan outcome penderita ARDS. Meski demikian banyak ilmuan mengatakan bahwa tidak ada target level dari DO2 global yang cukup untuk pasien Acute lung injury (ALI). 2. Terapi cairan Untuk mempertahankan hemodinamik maka diperlukan terapi cairan yang cukup dan sebaiknya dipasang CVC. Pemkaian koloid seringkali digunakan untuk

45

memperbaiki tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic. penggunaan albumin dan diuretic juga bermanfaat untuk mengurangi kelebihan cairan. 3. Kontrol terhadap infeksi nosokomial Higiene rumah sakit yang baik dan penggunaan tehnik aseptic standar merupakan hal yang penting dan mendasar dalam mencegah infeksi nosokomial. Penggantian kateter hendaknya dilakukan secara rutin untuk mencegah infeksi. Penggantian Pipa endotrakeal secara rutin tidak direkomendasikan. Posisi supine merupakan posisi yang riskan terjadinya superinfeksi pulmoner. Penggunaan antibiotika profilaksis secara rutin tidak dibenarkan pada pasien non immunocompromised. Aspirasi subglotis secara kontinyu merupakan profilaksis non antibiotika yang baik untuk menurunkan insiden pneumonia nosokomial. Pemberian antibiotika sebaiknya berdasarkan hasil kultur. 4. Terapi Nutrisi Nutrisi perlu diberikan agar tidak terjadi kelemahan otot, penurunan imunitas yan mempermudah terjadinya infeksi serta hipoalbumin yang dapat memperberat edema paru.Tiga komponen nutrisi yaitu karbohidrat, protein dan lemak harus diberikan. Trace element dan vitamin juga dimasukkan dalam terapi nutrisi. Makanan sebaiknya diberikan secara enteral karena dapat menurunkan insiden kolonisasi gaster oleh gram negative, stress ulcer dan atrofi mucosal. Pemberian makanan secara enteral dapat meningkatkan respon imun. 5. Non Pulmonary Organ Support Penggunaan

ventilator

biasanya

memerlukan

obat-obatan

yang

bisa

meningkatkan kenyamanan pasien, sedative, analgetika pelumpuh otot dan opioid. Penggunaan pelumpuh otot harus diminimalisir dan penggunaan narkotika yang lama akan mengganggu motilitas usus.. Perubahan posisi tubuh harus dilakukan secara berkala untuk melancarkan pertukaran gas, mencegah dekubitus. Penggunaan antitrombosis juga direkomendasikan. 6. Fisioterapi Tujuan untuk mengeluarkan secret dari paru, dengan cara mengubah posisi secara berkala menurunkan resiko pneumonia ortostatik dan atelektasis.

46

Penggantian posisi prone da supine atau lateral sangat membantu dalam memperbaaiki pertukaran gas paru. 7. Extra Corporeal membrane Oxygenator (ECMO) Dengan menggunakan ECMO diharapkan paru-paru dapat beristihat sehingga dapat membantu penyembuhan fungsi paru dengan cepat. kanulasi biasanya dilakukan pada vena femoralis (drainage cannula) dan di vena jugularis interna (return cannule) yang biasa disebut femoro-jugular bypass. 8. High Frequency Ventilation (HFV) HFV ini digunakan pada kasus ARDS neonates. Selain kasus ARDS juga digunakan pada kasus fistel bronkopleura, trauma cerebro cranial, operasi laring, toraco lung surgery (reseksi trakea, pemasangan Stent), operasi bedah saraf, jetbroncoscopy dan breathing therapy mucolysis. HFV dibagi menjadi 3 berdasarkan frekuensi ventilasinya: •

High frequency positive pressure ventilation (HFPPV) frekuensi ventilasi 60-110/menit (1-2 Hz)



High frequency Jet Ventilation (HFJV). Frekuensi ventilasi 110-600/menit (2-10 Hz).



High Frequency Oscillation (HFO). Frekuensi ventilasi 600-2400/menit (10-50 Hz)

Tehnik ini tidak digunakan di klinik. 9. Intra Venous Oxygenation Sebagai alternative dimungkinkannya pertukaran gas secara extra corporeal dengan menggunakan Intra Venous membrane Oxygenator (IVOX). tehnik ini masih dalam tahap uji coba dan belum digunakan secara umum.

47

3.4 Pneumonia Pneumonia adalah penyebab utama kematian di dunia dan penyebab kematian paling umum keenam di Amerika Serikat. Ini adalah penyebab kematian nomor satu akibat penyakit menular di Amerika Serikat. Setiap tahun, di Amerika Serikat, ada 5-10 juta kasus Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yang menyebabkan sebanyak 1,1 juta pasien harus dirawat inap dan 45.000 diantaranya mengalami kematian. Di Eropa, keseluruhan insiden infeksi saluran pernapasan bawah (LRTI) ditemukan 44 kasus per 1.000 populasi per tahun dalam satu praktek umum. Namun, insiden tersebut dua sampai empat kali lebih tinggi pada orang berusia di atas 60 tahun dibandingkan pada mereka yang berusia 50 tahun.14 Angka kematian di kedua benua kurang dari 1% untuk orang dengan CAP yang tidak memerlukan rawat inap, namun, tingkat mortalitas rata-rata berada pada jangkauan 12% hingga 14% di antara pasien rawat inap dengan CAP. Di antara pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), yang mengalami bakteremia atau yang dirawat dari panti jompo, tingkat mortalitas rata-rata dari 30% hingga 40%. Pasien dengan penyakit lain seperti PPOK, Diabetes Melltus (DM), gagal ginjal, gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, keganasan, penyakit neurologis kronis dan penyakit hati kronis telah meningkatkan insidensi CAP. Pasien dengan CAP dan komorbiditas tertentu mengalami peningkatan mortalitas. Faktor risiko ini termasuk diabetes mellitus, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, imunosupresi, penyakit neurologis, keganasan aktif, konsumsi alkohol, peningkatan usia, bakteremia, leukopenia, hipotensi, perubahan status mental, takipnea, hipoksemia, pneumonia aspirasi, dan infeksi karena organisme gram negatif. Streptococcus pneumoniae adalah etiologi tersering dari pneumonia komunitas. Organisme gram positif tersebut menyumbang sekitar dua pertiga dari etiologi pneumonia bakteremik dengan mortalitas tertinggi. Resistensi multi-obat (seperti beta-laktam, makrolida, doksisiklin, dan baru-baru ini fluoroquinolone antibiotik) adalah masalah yang muncul dan mempersulit manajemen pneumonia komunitas. Patogen lainnya adalah Hemophilus influenzae (biasanya jenis nontypeable), Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Neisseria

48

meningitides, Moraxella catarrhalis, Klebsiella pneumoniae, dan batang gram negatif lainnya, spesies Legionella dan virus influenza. Jika pasien dengan pneumonia komunitas memerlukan masuk ke ICU, seseorang harus mempertimbangkan Streptococcus pneumoniae, patogen atipikal (terutama Legionella) dan organisme gram negatif enterik sebagai organisme yang bertanggung jawab untuk infeksi.14 Pseudomonas aeruginosa bertanggung jawab untuk infeksi pada beberapa pasien dengan pneumonia berat dan harus dipertimbangkan pada pasien dengan dijelaskan sebelumnya faktor risiko spesifik karena memerlukan rejimen pengobatan yang berbeda. Skor untuk menilai tingkat keparahan penyakit, seperti kriteria CURB-65 (penurunan kesadaran, uremia, laju pernapasan, tekanan darah rendah, usia 65 tahun atau lebih), atau model prognostik, seperti Pneumonia Severity Index (PSI), dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan pneumonia komunitas yang mungkin menjadi kandidat untuk pengobatan rawat jalan. Perawatan ruang terapi intensif (RTI) diperlukan untuk pasien dengan syok septik yang membutuhkan vasopressor atau dengan kegagalan pernafasan akut yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis.14 Selain 2 kriteria utama (kebutuhan untuk ventilasi mekanis dan syok septik), seperangkat kriteria minor yang diperluas (laju pernapasan, 130 napas per menit; tekanan oksigen arteri/fraksi oksigen inspirasi (PaO2 / FiO2), infiltrat multi-lobar, penurunan kesadaran atau bingung, kadar nitrogen urea darah, 120 mg/dL, leukopenia akibat infeksi; trombositopenia; hipotermia; atau hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif) diusulkan untuk dimonitor. Terdapatnya minimal 3 dari kriteria tersebut menunjukkan perlunya perawatan RTI, namun tetap memerlukan validasi prospektif.

49

BAB IV DISKUSI KASUS

Kategori Preoperatif

Pasien

Teori

Pasien datang sadar rujukan RS Preeklampsia adalah hipertensi Bali Jimbaran dengan keluhan yang timbul setelah 20 minggu kejang sebanyak 2 kali, lama kehamilan kejang

±

5

menit,

pertama

kali

kejang didiagnosis dan disertai dengan

dikatakan seluruh tubuh. Keluhan adanya komponen protein pada nyeri

perut

hilang

timbul urine atau yang disebut dengan

disangkal, keluar air pervaginam proteinuria,

sedangkan

disangkal. Keluhan nyeri kepala, eclampsia adalah preeklampsia pandangan kabur, nyeri ulu hati yang disertai komplikasi berupa disangkal. Gerak janin dikatakan kejang

tonik-klonik

yang

aktif sejak Desember 2017. Pasien bersifat umum. Pada pasien ini hamil anak kedua dengan HPHT tidak terdapat keluhan nyeri 11/8/2017 dan TP 18/5/2018. kepala, pandangan kabur, nyeri Diketahui TD tinggi baru saat ulu hati, maka diagnosis sudah datang ke RS Bali Jimbaran tepat, karena tidak meng-assess (25/3/2018). Pasien didiagnosis pasien

dengan

impending

dengan G2P1001 32 minggu T/H eclampsia. + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome. Pasien disiapkan untuk dilakukan Rapid sequence induction (RSI) anestesi

umum

sequence

dengan

induction

rapid dilakukan

dibunyikan,

green

serta

set

mencegah

(RSI) aspirasi isi lambung pada pasien

disiapkan juga peralatan jika yang sewaktu-waktu

untuk

mengalami

code pengosongan untuk diketahui

resusitasi bayi dan ventilator bayi. refluks

gangguan

lambung

memiliki lambung.

atau

riwayat Tantangan

pada sistem respirasi yang harus

50

dihadapi ahli anestesi selama operasi adalah penanganan jalan napas pasien, sehingga induksi menggunakan intravena

obat-obatan

menjadi

pilihan

dibandingkan obat inhalasi. Algoritma penanganan pasien dengan kemungkinan intubasi atau jalan nafas yang sulit dapat dijadikan

pegangan

dalam

pengambilan keputusan untuk penanganan jalan nafas. Intraoperatif

Setelah semua alat-alat anestesi Secara umum, target manajemen dan resusitasi serta obat-obat anestesi adalah menjaga jalur anestesi dan resusitasi siap, pasien nafas pasien untuk menjaga diberikan preoksigenasi dengan ventilasi. oksigen 6 liter/menit. Oksigenasi oksigen

Karena cadangan ibu

dan ventilasi memakai sungkup kehamilan, dengan posisi kepala head up.

menurun desaturasi

pada arteri

yang signifikan akan terjadi jika pasien menjadi apnea bahkan untuk

waktu

yang

singkat.

Ventilator

mekanik

disesuaikan

untuk

harus menjaga

PCO2 dalam kisaran 30 hingga 32 torr. Dilakukan

intubasi

dengan Intubasi yang dilakukan dalam

memasang pipa endotrakea no 7 keadaan bangun pada pasien dengan

cuff,

kemudian

cuff dengan

ancaman

terjadinya

dikembangkan, setelah itu Sellick peningkatan

tekanan

Manuver dilepas dan dievaluasi intrakranial bukan merupakan pengembangan paru kanan dan suatu pilihan karena akan terjadi kiri simetris, dilakukan fiksasi.

rangsangan

simpatis

yang

51

semakin meningkatkan tekanan intrakranial

dan

dapat

memperburuk keadaan pasien. Pada literatur, berbagai teknik termasuk

LMA,

fiberoptik,

serta

SGA

intubasi penggunaan

digunakan

mengatasi

untuk

jalur nafas

sulit.

Tongue spatula merupakan alat yang mudah didapatkan dan dapat digunakan dengan mudah dalam membantu intubasi pasien ini. Pemeliharaan

anestesi

compressed

air,

dengan Edema paru tergolong jarang Oksigen, terjadi

dalam

preeklampsia.

sevoflurane, Dilakukan respirasi Pasien pre-eklampsia biasanya kendali dan posisi pasien durante mengalami deplesi volume, dan operasi supine dengan kepala head edema paru paling sering terjadi up. Prinsip-prinsip pencegahan pada periode postpartum awal hipotermia

dilakukan

dengan dan sering dikaitkan dengan

blanket warmer dan infus warmer. penggantian cairan intrapartum Dilakukan tindakan SC dengan yang agresif. Faktor-faktor lain irisan

midline,

lahir

bayi yang dapat berkontribusi pada

perempuan BBL 1180 gram AS 3- patogenesis 4, anus +, mekonium hijau dengan mengurangi ketuban

berwarna

berbau.

Operasi

hijau

termasuk kadar

serum

dan albumin, peningkatan afterload

berlangsung ventrikel kiri, dan disfungsi

selama 1 jam 30 menit dengan miokard sistolik dan diastolik. perdarahan



800

cc)

dan Peningkatan

hemodinamik dengan TD 150- kapiler

juga

110/50-90 mmhg, heart rate 122- diperparah 140

x/menit.

Pemeliharaan bersamaan

permeabilitas dapat

terjadi,

oleh

kondisi

seperti

sepsis,

52

kecukupan cairan durante operasi abrupio dengan cairan kristaloid 1500 cc.

placentae,

atau

perdarahan masif. Jika edema paru berkembang, perawatannya termasuk

oksigen,

pembatasan

diuretik,

cairan

untuk

mencapai pengurangan preload dan after load, dan ventilasi tekanan positif intermittent.15 Paska operatif

Analgetika pasca operasi dengan Penanganan nyeri post operasi fentanyl 300 mcg via syringe harus dilakukan. Apabila tidak pump dan pasien dirawat pasca diatasi operasi di ICU.

dapat

agitasi,

menyebabkan

takikardi,

peningkatan

dan

komplikasi

pulmonal. Nyeri post operasi dapat diatasi dengan analgesia kerja cepat. Obat kerja singkat biasanya dipilih saat opioid diindikasikan

pada

masa

pemulihan segera. Penggunaan intravena memungkinkan titrasi dosis yang lebih akurat dan menghindari penggunaan dosis "standar" yang

berdasarkan

dapat

overdosis

berat,

menyebabkan

atau

underdosis.

Fentanyl, sampai dosis 2 μg / kg, adalah

obat

pilihan

untuk

penggunaan intravena.16 Pasca operasi pasien diekstubasi Preeklampsia, eklampsia, dan setelah sadar baik dan dirawat di sindrom HELLP adalah kondisi ICU, pasien dikontrol dengan serius dan mengancam jiwa ventilator.

yang

dihadapi

oleh

wanita

53

hamil.

Diagnosis

dini

dan

pengobatan yang cepat melalui tim

multidisiplin

dalam

pengaturan ICU dapat mencegah komplikasi

dan

mengurangi

morbiditas

dan

mortalitas.

Penyebab paling umum untuk intubasi dan ventilasi mekanis adalah kegagalan pernapasan, ketidakstabilan dan

riwayat

hemodinamik, seksio

sesaria

darurat. Pasien dengan sindrom HELLP

yang

membutuhkan

ventilasi

mekanis

prognosis

yang

memiliki

buruk.

Hal

tersebut dapat meningkatkan kebutuhan

akan

mekanis. bahwa

ventilasi

Telah

dilaporkan

tingkat

mortalitas

antepartum dan postpartum dari ARDS adalah 23% dan 50%, masing-masing. Satu hal yang harus diingat dalam pengaturan ini adalah bahwa pasien tersebut memiliki edema

potensi laring

mempersulit

mengalami yang

intubasi

menyebabkan kematian.16

dapat dan

54

BAB V KESIMPULAN

Preeklampsia, eklampsia, dan sindrom HELLP adalah kondisi serius dan mengancam jiwa yang dihadapi oleh wanita hamil. Telah dilaporkan sebuah kasus dengan eklampsia + HELPP Syndrome + Post SC hari I dengan suspek oedem pulmonum. Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat melalui tim multidisiplin dalam pengaturan ICU dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Penyebab paling umum untuk intubasi dan ventilasi mekanis adalah kegagalan pernapasan, ketidakstabilan hemodinamik, dan riwayat seksio sesaria darurat. Pasien dengan sindrom HELLP yang membutuhkan ventilasi mekanis memiliki prognosis yang buruk. Hal tersebut dapat meningkatkan kebutuhan akan ventilasi mekanis. Jika edema paru berkembang, perawatannya termasuk oksigen, diuretik, pembatasan cairan untuk mencapai pengurangan preload dan after load, dan ventilasi tekanan positif intermittent. Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta memberikan prognosis yang lebih baik.

55

DAFTAR PUSTAKA 1. Chestnut, David H. Chestnut’s Obstetric Anesthesia: Principles and Practice 5 th ed. Philadelphia (USA): Elsevier; 2015, p. 521, 532-533, 2056-2062 2. Umesawa M dan Kobashi G. Epidemiology of hypertensive disorders in pregnancy: prevalence, risk factors, predictors andprognosis. Hypertension Research 2016;1-8. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Infodatin Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 4. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. ACC / AHA / AAPA / ABC / ACPM / AGS / APhA / ASH / ASPC / NMA / PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol 2018;71:e127-e248. 5. Sirait AM. Prevalensi Hipertensi pada Kehamilan di Indonesia dan Berbagai Faktor yang Berhubungan (Riset Kesehatan Dasar 2007). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 15 No. 2 April 2012: 103–109. 6. Jayakusuma, AAN. 2004. Manajemen Resiko pada Pre Eklampsia (Upaya Menurunkan Kejadian Pre Eklampsia dengan Pendekatan Berbasis Resiko). Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah 7. Lam, Chun, et al. “Circulating Angiogenic Factors in the Pathogenesis and Prediction of Precelampsia”, Hypertension-Journal of the American Heart Association, 2005;3(1)1-6. 8. Keqing Wang, Shakil Ahmad, Meng Cai, Jillian Rennie, Takeshi Fujisawa, Fatima Crispi, James Baily, Mark R. Miller, Melissa Cudmore, Patrick W. F. Hadoke, Rui Wang, Eduard Gratacós, Irina A. Buhimschi, Catalin S. Buhimschi and Asif Ahmed. Dysregulation of Hydrogen Sulfide Producing Enzyme Cystathionine γ-lyase Contributes to Maternal Hypertension and Placental Abnormalities in Preeclampsia. Circulation. 2013;127:2514-2522. 9. American College of Obstetricians and Gynecologists - Task Force on Hypertension in Pregnancy. 2013. Hypertension in Pregnancy. Washington DC: ACOG. 10. Harmon, Ashlyn Cornelius, Denise Amaral, Lorena Paige, Adrienne Herse, Florian Ibrahim, Tarek Wallukat, Gerd Faulkner, Jessica Moseley, Janae Dechend, Ralf LaMarca, Babbette. (2015). IL-10 supplementation increases Tregs and decreases hypertension in the RUPP rat model of preeclampsia. Hypertension in pregnancy. 34. 1-16. 10.3109/10641955.2015.1032054. 11. Hafizur Rahman. Pinning Down HELLP: A Review. Biomed J Sci & Tech Res 1(3)-2017. 12. Bearelly D, Hammoud GM, Koontz G, Merrill DC, Ibdah JA (2012) Preeclampsia-Induced Liver Disease and HELLP Syndrome. Maternal Liver Disease 74-91. 13. Fan E, Brodie D, Slutsky AS. Acute Respiratory Distress Syndrome Advances in Diagnosis and Treatment. JAMA. 2018;319(7):698-710. 14. Bellani G, Laffey JG, Pham T, et al; LUNG SAFE Investigators; ESICM Trials Group. Epidemiology, patterns of care, and mortality for patients with acute

56

respiratory distress syndrome in intensive care units in 50 countries. JAMA. 2016;315(8):788-800. 15. Dhar R. Pneumonia: Review of Guidelines. Supplement TOJAPI 2012;60:25-28. 16. Borkar S, Barad D, Bharne S. Anesthetic management of a case of severe preeclampsia with antepartum hemorrhage with pulmonary edema for caesarean section. Anesthesia, Essays and Researches. 2012;6(2):213-214. doi:10.4103/0259-1162.108337. 17. Lam MTC, Dierking E. Intensive Care Unit issues in eclampsia and HELLP syndrome. International Journal of Critical Illness and Injury Science. 2017;7(3):136-141. doi:10.4103/IJCIIS.IJCIIS_33_17. 18. Papadacos P.J. Haaitsma J.J Acute Respiratory Distress Syndrome In Critical Care, The Requsities in Anesthesiology, Elsivier Mosby, Philadelpia.2005.176-80 19. Bersten A.D. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Oh’s Intensive Care

Manual,5th Ed. Elsivier, Western Australia.2004 20. Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders; 2008. 21. WWW. Medline Plus Medical Enciclopedia: Acute Respiratory Distress Syndrome, Last Update August2nd 2011. 22. www.LearningRadiology.com.AdultRespiratoryDistressSyndromeARDS. last

update August3rd.2011. 23. Dixon J.M,Gunning KEJ,The Incidence of ARDS Interim Result Of The East Anglian ARDS Registry, from 20th International Symposium on Intensive Care and Emergency MedicineBrussels, Belgium. 21–24 March 2000Critical Care 2000, 4(Suppl 1):P130 24. WWW.HealthCommunities.com,Acute Respiratory Distress Syndrome.ARDS Treatment.Last Update 17 May 2011 25. Marino.P.I,The ICU Book 3rd Ed. Lippincot Williams and Wilkins, Philadelphia,pp.419-35 26. Holly Stark,Acutte Respiratory Distress Syndrome, march 2007.

More Documents from "Elma Karamy"

Drowning Materi.docx
October 2019 27
Kasus Sufokasi
October 2019 46
April 2020 28
Termokimia.docx
December 2019 20
Retorika Kel 10.docx
October 2019 22