6829_rabies.docx

  • Uploaded by: Soller Thelavyztha
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 6829_rabies.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,382
  • Pages: 8
TUGAS VAKSIN ANTI RABIES

OLEH: Sofia Septria Nurdin (1608010031) Bartolomeus Umbu Flugentius (1608010010) Elisabeth Flora Sabu Kedang (1608010004)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2019

TUGAS

RABIES 1. Definisi 1.1 Rabies Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing. Di Indonesia sebagian besar penularannya melalui gigitan anjing. Virus rabies merupakan family Rhabdoviridae yang memiliki empat genus yaitu Lyssavirus, Vesicuovirus, Ephemerovirus, dan Novirhabdovirus. Rabies termasuk dalam genus Lyssavirus. Morfologi dari virus rhabdovirus memiliki amplop (envelope) dengan bentuk batang yang mengelilingi badan virus tersebut. Kasus rabies disebabkan oleh gigitan ataupun jilatan karena virus rabies ditemukan di kelenjar air liur hewan yang terinfeksi dan dipindahkan melalui air liur. Virus bereplikasi di daerah sekitar bekas gigitan dan menginfeksi saraf local. Selama masa inkubasi, virus bermigrasi dan bereplikasi menuju sistem saraf pusat bahkan otak. Setelah virus rabies memasuki tubuh hewan, virus akan berjalan ke otak melalui saraf perifer. Pada anjing, kucing, dan kelinci dapat menunjukan berbagai gejala termasuk ketakutan, agresif, hipersalivasi, sulit menelan, sempoyongan, kejang, serta sensitive terhadap cahaya. Pada manusia memperlihatkan gejala demam, mual, rasa nyeri di tenggorokan, sehingga takut untuk minum, gelisah, takut air (hidrofobia), takut cahaya (fotofobia), liur yang berlebihan (hipersalivasi). Inkubasi dari virus rabies masuk melalui gigitan sampai timbul gejala klinis berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, pada umumnya 3-8 minggu. Menurut WHO rata-rata 30-90 hari.

Variasi masa inkubasi ini dipengaruhi oleh letak luka gigitan semakin dekat dengan otak seperti diatas bahu gejala klinis akan cepat muncul, juga kedalaman luka, jenis virus dan jumlah virus yang masuk. 1.2 Vaksin rabies Pemberian imunisasi dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) merupakan upaya pencegahan primer yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya kasus pada manusia. Selain sebagai profilaksis pra dan paska pajanan/gigitan dengan VAR dan tatalaksana kasus pada manusia , VAR juga diberikan pada hewan peliharaan secara berkala. Vaksin rabies terdiri atas imunisasi pasif dan imunisasi aktif. 1.2.1

Imunisasi Pasif Imunisasi pasif didapat dengan pemberian serum anti rabies (SAR)

bertujuan untuk memberikan neutralizing antibodies sebelum sistem imun penderita siap untuk menghasilkan antibodi sendri yang terjadi 7-14 hari setelah VAR diberikan. Ada dua jenis SAR yang digunakan secara luas yaitu human rabies immune globulin (HRIG) dan equine rabies immune globulin (ERIG). SAR yang digunakan di Indonesia adalah serum homolog yang berasal dari serum manusia (HRIG) dengan kemasan vial 2 ml (1m= 150IU). SAR hanya diberikan sekali pada awal vaksinasi, jika SAR tidak diberikan pada awal vaksinasi masih dapat diberikan sampai hari ke-7 sejak vaksinasi awal. Setelah hari ke-7 merupakan kontraindikasi SAR karena telah terjadi respon imun aktif terhadap VAR. 1.2.2

Imunisasi Aktif Imunisasi aktif didapat dengan pemberian VAR. Ada beberapa jenis

vaksin antirabies yang telah digunakan di beberapa negara antara lain human

diploid cell vaccine (HDCV), purified chick embryo cell (PCEC) dan purified vero cell vaccine (PVRV) . PVRV merupakan jenis vaksin dengan distribusi luas, termasuk jenis vaksin yang tersedia di Indonesia. 2. Cara kerja Pemberian VAR bertujuan agar tubuh penderita mengembangkan sistem kekebalan aktif, baik melalui sistem imun humoral, yaitu antibodi yang akan menetralisir virus yang berada di luar sel dan sistem kekebalan spesifik, yaitu CTL yang akan melisiskan sel terinfeksi virus rabies. Aktivasi respon Imun humoral dimulai dengan fagositosis virus oleh antigen precenting cel (APC). Selanjutnya setelah diproses, antigen akan dipresentasikan kepada sel limfosit T helper. Sel T helper selanjutnya memproduksi berbagai mediator yang akan mengaktifkan sel B menjadi sel plasma penghasil antibody dan subset sel T lainnya menjadi sel cytotoxic spesifik. Sel langerhans yang termasuk dalam jenis APC, bertemu dengan antigen atasa pengaruh TNFα (sitokin proinflamasi) akan aktif dan melepaskan diri dari susunan jala untuk bermigrasi ke dermis dan memasuki sistem limfatik. Dari sistem aferen limfatik kemudia ke kelenjar getah bening untuk berpartisipasi dalam respons imun dan mempresentasikan antigen ke sel T helper. 3. Indikasi 3.1 Pengebalan sebelum digigit (pre exposure vaccination) Pemberian VAR untuk pencegahan rabies diperuntukkan kepada mereka yang mempunyai risiko besar untuk mendapatkan infeksi antara lain : dokter hewan, teknisi yang bekerja pada hewan, karyawan laboratorium yang bekerja dengan virus rabies, karyawan rumah potong hewan, petugas kesehatan (dokter/perawat) yang menangani kasus luka gigitan hewan penular rabies, petugas peternakan yang menangani hewan penular rabies.

WHO merekomendasikan VAR diberikan sebanyak tiga kali dengan dosis yang penuh (0,5 ml PVRV atau 1,0 ml HDCV/PCEC) pada hari ke-0, ke-7 dan ke-21 atau ke-28. 3.2 Pemberian vaksin sesudah digigit (Post exposure vaccination) Pencegahan rabies setelah gigitan terdiri dari tiga komponen yaitu penanganan luka gigitan, pemberian SAR dan VAR. setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan segera dengan air mengalir dan sabun atau detergent selama 1015 menit kemudia diberikan antiseptic ( alcohol, betadine, obat merah, dll). Pemberian profilaksis tetanus dan antibiotic dipertimbangkan pada luka resiko tinggi antara lain: luka gigitan multipel, luka dalam dan ebar, luka didaerah muka, kepala, leher, jari tangan/kaki, dan jilatan pada mukosa. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Disekitar luka gigitan yang terpaksa dijahit, perlu disuntik SAR sebanyak mungkin, sisanya disuntikan secara intramuscular. Terhadap luka risiko rendah yang tidak berbahay seperti: jilatan pada kulit, luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki, cukup diberikan VAR saja. Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies) tetapi tidak ada luka, terjadi kontak tidak langsung atau tidak ada kontak maka tidak perlu diberikan VAR atau SAR. 4. Cara Pemberian 5.1 VAR Pemberian VAR

untuk indikasi

kekebalan

sebelum

digigit,

secara

intramuscular di daerah deltoid pada dewasa dan anterolateral paha pada anak-anak. Dibeberapa Negara dimana biaya menjadi masalah utama dan pemberian dilakukan

secara missal dalam waktu yang bersamaan, dosis VAR yang diberikan 0,1 ml secara intradermal. Sedangkan untuk di Indonesia pedoman VAR adalah dua kali vaksinasi dasar dengan dosis 0,5ml (PVRV) intramuscular pada hari ke-0 dan ke-28, kemudian VAR ulangan 1 tahun setelah pemberian pertama dan ulangan selanjutnya tiap 3 tahun. Pedoman VAR setelah digigit adalah 4 kali pemberian dengan dosis 0,5 ml intramuscular di daerah deltoid (anak-anak di daerah paha). Sedangakan pada kasus yang memerlukan SAR, diberikan bersamaan dengan VAR hari ke-0 dengan dosis 20 IU/kgBB

disuntikkan

secara

infiltrasi

disekitar

luka,

sisanya

disuntikkan

intramuscular. Bila seseorang pasien yang telah divaksinasi secara komplit dan dalam jangka waktu 3 bulan setelah divaksinasi digigit lagi oleh hewan pembawa rabies, maka pasien tersebut tidak memerlukan VAR, bila digigit antara 3 bulan-1 tahun cukup diberi VAR 1 kali, sedangkan lebih dari 1 tahun dianggap penderita baru. Bagi yang kontak dengan penderita rabies, pemberian VAR tidak rutin dikerjakan. VAR dan SAR diberikan bila terjadi kontak dengan air liur (saliva) pada kulit yang luka, selaput lender dan mukosa. 5.2 SAR SAR jenis HRIG diberikan dengan dosis 20 IU/kgBB, sedangkan ERIG:40 IU/kgBB. SAR yang digunakan di Indonesia adalah serum homolog yang berasal dari serum manusia (HRIG) dengan kemasan vial 2 ml (1ml = 150 IU). 5. Manajemen penyimpanan Masa simpan vaksin anti rabies adalah 2-3 tahun, asalkan disimpan pada suhu 2-8⁰C dan terlindungi dari sinar matahari. Setelah rekonstitusi dengan pengencer steril, vaksin harus digunakan segera atau dalam waktu 6 jam jika disimpan pada suhu 2-8⁰C, karena botol yang digunakan sebagian dari vaksin rabies dapat terkontaminasi.

6. Kontra indikasi Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi pada pemberian VAR. pemberian VAR setelah terjadi kontak/gigitan dengan hewan rabies merupakan tindakan yang tepat untuk melindungi ibu dan bayi yang dikandungnya. 7. Efek samping dan penanganan Efek samping yang terjadi seperti kemerahan dan indurasi ringan pada bekas suntikan, jarang terjadi demam. Bila terjadi reaksi penyuntikan berikan antihistamin sistemik atau local jangan diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dan obat-obatan imunosupresif dapat menyebabkan kegagalan vaksinasi.

Daftar Pustaka 1. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis rabies. Jakarta Selatan; 2014. 2. Subawa N, Sutirta Y, Diah S, Dewi R. Vaksinasi antirabies intradermal memberikan respons kekebalan humoral yang sama dibandingkan vaksinasi antirabies intramuskular pada anak. 2013; 3. Artanto R, Priastomo I, Khoirinaya C. Vaksin rabies oral harapan baru untuk pengendalian rabies di Indonesia. ResearchGate. 2009; 4. World Health Organization. Expert Consultation on Rabies. Third report. In Geneva; 2018. 5. NM S, AA R. Profilaksis rabies. Medicina (B Aires). 2009;40.

More Documents from "Soller Thelavyztha"

Materi.docx
May 2020 5
6829_rabies.docx
May 2020 4
Sifilis.docx
May 2020 4
Abasto Parte 1.docx
June 2020 6