5_6287099034851082337.pdf

  • Uploaded by: Masadie Itu Ari
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 5_6287099034851082337.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 34,618
  • Pages: 163
:s 8

JANGAN TULIS KAMI

TEROftlS

Undang..Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Llngkup Hak Clpta Pasal2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Clptaannya, yang tlmbul secara otomatls setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketan1uan Ptdana

Pasal 72: 1. Barangslapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagalmana dlmaksud dalam Pasat 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau clenda paling sedikit Rp1 .000.000,00 (satu juta rupiah), atau pldana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Clptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Clpta atau Hak Terkalt sebagalmana dimaksud pada ayat (1) dipldana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dantatau denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

LINDA CHRISTANTY

JANGAN TULIS KAMI

TEROftIS

Jakarta:

KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Jangan Tulis Kami Teroris

@ Linda Christanty KPG: 901 11 0444

Cetakan Pertama, Mel 2011 Penyuntlng Christina M. Udiani Perancang Sampul RioTupai

Fernandus Antonius Penataletak

Budl Triyanto Fernandus Antonius CHRISTANTY, Linda Jangan Tulis Kami Teroris Jakarta: KPG (Kepustakaan Popular Gramedia). 2011

147 him. ; 13,5 cm x 20 cm ISBN: 978-979-91-0350-5

x+

Dicetak oleh Percetakan Mardi Yuana, Bogor. Isl di luar tanggung jawab percetakan.

Daftar lsi

Ucapan Terima Kasih Kata Pengantar

Saya dan Islam

vii ix

1

Markaz Al lshlah Al Aziziyah

11

Semua untuk Aceh Merdeka

17

Mengenang Hasan Tiro

39

Perempuan Penjaga Perdamaian

43

Jilbab Dek Tata

47

Jangan Tulis Kami Teroris

56

Sampai Jumpa di Idaho

80

Orang-orang Sabang

85

Bahaya Neofasisme

97

Amerika, Osama, dan Israel

109

Cerita dari Selatan

118

Perpecahan dalam Persatuan

126

Tahun Nol di Kamboja

133 () ::.

"'

� 0

0

Ucapan Terima Kasih

BUKU ini tidak akan

selesai tanpa orang-orang di sekeliling saya dengan berbagai peran: adik saya Tubagus Budhi Firbany yang jenius dan mencerahkan dengan diskusijarak jauhnya; mereka yang sukarela memberi akses informasi: Rheinhardt Sirait, Jirawat Saengthong, Sonny Mumbunan, Saiful Haq, dan Gunnar Stange; Edward J. Bloom yang selalu memberi semangat dan siap menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit di mana pun dia berada; mereka yang memberi berbagai dukungan dan pe­ ngetahuan: Dewi Anggraeni di Melbourne, Ramdan Malik di Jakarta, Mbak Ita Nadia, Om Hersri Setiawan, dan Toni Ariga yang berbaik hati untuk bertukar pikiran dan menyediakan tempat menulis selama beberapa waktu di Banda Aceh; para sahabat di Komunitas Tikar Pandan, terutama Azhari Aiyub dan Reza Idria; juga orang-orang yang telah membantu saya menemui para narasumber yang berharga: Teuku Zulfahmi dan teman-temannya.

vtll LINDA CHRISTANTY

Christina M.

Udiani, editor yang selalu mengingatkan saya

agar merampungkan tulisan dan memberikan saran-saran berharga.

Teman-teman, para sahabat, dan pembaca setia saya di mana

pun.

Kata Pengantar

KETIKA menyiapkan buku ini, saya baru menyadari bahwa Aceh

menjadi titik tolak saya untuk terus bergerak ke utara, menuju negara-negaraAsia Tenggara. Meskipun sebagian tulisan dalam buku ini masih berkaitan dengan Aceh, sebagian lagi telah meninggalkannya. Saya menduga kelak saya akan benar-benar berjalan lebih jauh

dan Aceh makin sayup di belakang sana, di

masa silam yang berharga. Tempat-tempat dan pengalaman-pengalaman itu makin membuka kesadaran saya bahwa ketidakadilan dan kesewenang­ wenangan terjadi dengan mengatasnamakan apa saja: suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan, demo­ krasi. Sebagai balasannya, orang-orang yang merasa terancam juga menyatukan diri dalam identitas tunggal seperti penindas mereka. Di Aceh, orang melawan kolonialisme Jawa atau Jawanisasi dengan nasionalisme Aceh. Di Malaysia, pemerintah menerapkan hak-hak istimewa bagi bumiputra karena merasa negara terancam oleh agresifnya persaingan ekonomi dan meningkatnya populasi non-Melayu. Di Thailand, pemerintah

X LINDA CHRISTANTY

mencoba menerapkan konsep asimilasi "negara

etnis tunggal"

yang mengabaikan budaya, bahasa, dan agama orang-orang Melayu di selatan negeri itu. Konflik dan kekerasan terus terjadi dan semakin rumit ketika bersinggungan dan membaur dengan pertarungan politik dunia, yang melibatkan kepentingan negara-negara besar. Aceh adalah tempat saya belajar tentang apa saja dan membuat pemikiran serta naluri saya terasah. Negeri ini sekarang mengalami sindroma pascaperang, yang menghinggapi banyak gerakan perlawanan di seluruh dunia, ketika para pemimpin telah dibuai kekuasaan dan lupa pada tujuan utama perang yang mengorbankan waktu, harta, tenaga, dan nyawa, banyak orang terlebih rakyat biasa. Masa transisi demokrasi ini

akan panjang dan berat. Kepergian Hasan Tiro, pencetus dan pemimpin tertinggi Aceh Merdeka, ke peristirahatannya yang abadi pada 3 Juni 2010 lalu merupakan peristiwa yang akan terus lekat di benak saya. Saya tidak pernah bertemu Tiro semasa dia masih hidup, tapi hadir di pemakamannya. Di desa Meureu Lam Glumpang, Indrapuri, ketika jazad Tiro diturunkan, saya menyaksikan rasa kehilangan orang-orang, yang bahkan tidak mengenalnya dari dekat seperti saya. Saya telah mendengar dan menyaksikan banyak kematian. Tapi tidak ada yang lebih sedih

dan

membekas daripada ke­

hilangan seorang pemimpin yang baik. Banda Aceh, April 2011

Saya dan Islam

LELAI
Ia bergabung dengan klub koresponden asing di Hong Kong, seorang Inggris yang saya lupa namanya dan hadir dalam diskusi saya tentang Islam dan dunia modern. Ia kemudian bertanya apa nama keluarga ayah saya dan ketika saya men­ jawab, "Abdul Malik," ia berkata, "Ooh..." seraya menunjukkan ekspresi lebih takjub lagi. Nama saya sering menimbulkan salah paham di kalangan orang-orang yang menganggap seorang muslim biasanya ber­ nama Arab. Sebagian orang lupa bahwa penyebaran Islam telah me­ lampaui jazirah tempat ia dilahirkan dan penghuni wilayah atau negeri barunya bukan lagi orang-orang Arab. Meski saya juga tidak prates ketika adik perempuan saya menamai putra pertamanya Muhammad Faturrahman, atau adik laki-laki saya menamai putra bungsunya Muhammad Habiburrasul. Banyak pula yang menyangka saya beragama Katolk i atau Protestan gara-gara unsur "Christ" dalam nama saya, yang ke-

2 LINDA CHRISTANTY

lak mereka hubungkan dengan Yesus Kristus, sang juru sela­ mat dari Nazareth itu, atau umat Islam menyebutnya Isa Almasih, nabi dan rasul sebelum Muhammad. Secara fisik, saya bahkan lebih mirip orang-orang Cina di Hong Kong atau orang Jepang ketimbang orang-orang Arab, yang puluhan nama mereka memang tercantum dalam silsilah keluarga kami. Nama dan wujud saya terkadang memicu kejadian lucu. Ketika belajar di sekolah menengah atas di Bandung, saya memilih mata pelajaran agama Islam, lebih karena semua te­ man saya yang beragama Islam juga memilih mata pelajaran ini. Tapi saya tidak pernah mendapat giliran membaca Alquran. Tiap kali giliran saya tiba, guru kami langsung menunjuk mu­ rid yang lain untuk membacanya. Guru agama kami, perempu­ an paruh baya yang selalu menutup kepalanya dengan selen­ dang dan mengenakan baju kurung itu, mungkin menganggap saya mualaf, baru masuk Islam, sehingga ia memilih tak me­ nyiksa saya untuk melafal kalimat dalam bahasa yang tak per­ nah kami pakai sehari-hari itu. Tapi bagaimanapun ia harus memberi nilai untuk mata pelajaran agama di buku rapor saya, sehingga ia perlu tahu sejauh mana kemampuan saya. Setelah ia mengetahui Islam adalah agama saya, ia malah bingung dan berkata, "Tapi kenapa nama kamu Christanty?" Sumber masa­ lahnya ada pada ayah saya yang mengagumi petenis perempu­ an kelas dunia Chris Evert. Tambahan "Tanty" itu memang hanya sebagai penyedap nama Nah, nama depan saya dipungut .

Ayah dari nama putri Presiden Amerika Lyndon B. Johnson, yang menurutnya cerdas, gigih, dan patut dikagumi. Namun, setahu saya merek mesin jahit di rumah kami juga "Linda". Ayah saya secara bergurau pernah hendak menambahkan nama "Siti" di muka nama saya, karena ada yang memberi­ tahunya bahwa sikap membangkang dan keras kepala itu ber­ sumber pada nama saya yang tidak Islami atau tepatnya

tak

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

berbau Arab sama sekali. Tentu saja, saya menolak. Saya sudah merasa nyaman dan keren dengan nama ini. Yuk Mimi, te­ tangga kami yang anaknya sakit-sakitan juga diminta seorang ustadz untuk mengubah nama anaknya dari Dezky jadi Safruddin. Kata si ustadz, anak Yuk Mimi keberatan nama. Entah apa maksudnya. Tapi

Dezky

yang kelak jadi Safruddin

itu tetap saja sakit-sakitan. Ketika saya masih kanak-kanak, saya memahami Islam sebagai kekuatan untuk melawan sihir. Ayat-ayat Alquran di­ percaya

mampu mengusir

rub-rub jahat.

Bibi saya, sepupu ibu saya, putri tunggal

kakak

nenek

saya, yang biasa kami panggil "Mak Unggal" sering kesurupan. Ayat-ayat Alquran terdengar lebih banyak di telinganya karena kebutuhan khusus itu. Mak Unggal bukan lagi Mak Unggal yang kami kenal tiap kali ia kesurupan. Ia akan tertawa-tawa, marah-marah dan suara Mak Unggal yang kami kenal berubah jadi suara nenek tua yang menakutkan. Saya sangat menyukai Mak Unggal, karena ia pintar masak, terutama empek-empek, yaitu penganan dari adonan daging ikan dan sagu yang digoreng atau direbus. Selain itu, ia ramah

dan

gemar bercerita tentang apa saja. Suatu hari Minggu saya mendesak ibu dan ayah saya untuk

berkunjung ke rumah Mak Unggal, yang berjarak satu jam perjalanan bermobil

dari kota

kami. Ayah menyetir, Thu duduk

di sebelahnya, sedang saya dan adik-adik bertumpuk di jok belakang dengan membayangkan empek-empek bikinan Mak Unggal. Sepanjang jalan saya

dan

adik-adik menyanyi riang,

mengikuti lagu-lagu pop berbahasa Inggris yang diputar Ayah, antara lain lagu Bobby Vinton.

I love how you love me, whenever you kiss me, I love the way you always treat me tenderly...yuuu... lyyyyyyy... lop, lop miiiiiiiii....

J

4 LINDA CHRISTANTY

Oh, ya, sebelum menghidupkan mesin mobil, Ayah akan berdoa selama kurang lebih 10 menit. Ia membaca bermacam surat. Kata Ayah, doa-doa itu untuk membuat perjalanan kami lancar dan dilindungi Allah. Begitu kami sampai di halaman rumah Mak Unggal, orang­ orang tampak ramai keluar-masuk rumah. Saya buru-buru me­ nerobos ke dalam karena rasa ingin tahu. Mak Unggal terbaring di ruang tengah, menceracau dan sesekali membentak-bentak. Ia kesurupan lagi. Pak Unggal, suami Mak Unggal, duduk di sisi istrinya dan komat-kamit membaca ayat-ayat Alquran. Saya kecewa, karena Mak Unggal tidak

akan masak empek-empek hari itu.

Ketika Mak Unggal mulai berteriak-teriak diselingi tawa kerasnya, saya dan adik-adik langsung kocar-kacir masuk ke salah satu kamar dan bersembunyi di bawah ranjang besi. Kami semua terbatuk-batuk, karena ternyata kolong ranjang

itu tidak pernah disapu dan banyak sekali debu. Pak Unggal dan orang-orang di sekeliling Mak Unggal ha­ nya terperangah ketika Mak Unggal tiba-tiba bangun dan ber­ lari ke arah pohon jambu di halaman rumahnya. Gerakan Mak Unggal begitu gesit. Semua orang panik, sedang Mak Unggal secepat kilat memanjat pohon itu dan bertengger di dahan ter­ tinggi. Orang-orang lantas menghambur ke bawah pohon jam­ bu dan berteriak-teriak menyuruhnya turun, tapi ia tak peduli. Akhirnya tetangga Mak Unggal memanggil ustadz yang cukup terkenal untuk mengusir

ruh nenek tua dari tubuh Mak Unggal

kami yang tercinta. Nama ustadz tersebut Abang Suhaili bin Abang Aziz, yang tak lain dari adik ipar ayah saya. Su Abot, begitu kami biasa memanggilnya, adalah imam masjid di kam­ pungnya. Su Abot langsung komat-kamit membaca doa-doa. Berjam-jam kemudian Mak Unggal mulai lelah dan orang­ orang pun sibuk menurunkannya dari pohon jambu.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Namun, Mak Unggal masih sering kesurupan sampai kini. Usianya hampir 70 tahun. Bila ia tiba-tiba menghilang dari ru­

mah, anak dan cucunya akan memeriksa pohon-pohon di hala­ man atau kebun tetangga. Mak Unggal pasti ada di situ. Ibarat pesawat terbang, bandara Mak Unggal ada di pohon. Ia sanggup

memanjat secepat monyet, tapi celakanya tidak bisa turun sen­

diri. Anak atau cucunya akan membantu Mak Unggal kembali menginjak bumi.

Indira atau Tata, adik saya, pernah mengidap sakit aneh waktu kecil. Kakinya bersisik seperti ikan kerapu. Orangtua ka­ mi membawanya ke dokter berkali-kali, tapi sakitnya tak kun­

jun g hilang, malah makin men jadi. Sopir ayah saya, Mang Tan, berinisiatif mengobati Tata. Menurut Mang Tan, Tata terkena

basak

ular nasi, penyakit yang disebabkan kibasan ular nasi

yang kebetulan melintas di depannya atau persentuhannya de­ ngan jejak ular itu di tanah. Mang Tan membacakan ayat tertentu dalam Alquran

dan

dicampur pula dengan mantera. Tata sembuh seketika. Mang Tan bertubuh tinggi besar. Kulitnya hitam berbulu.

Sepasang matanya selalu merah. Tapi tutur katanya sopan dan lemah-lembut. Mang Tan memiliki beberapa istri, yang di ru­ mah kami kebiasaan lelaki beristri banyak dianggap hal yang buruk dan tak terpuji. Istri terakhir Mang Tan adalah cucu raja siluman buaya, Akek Rukam. Menjelang ajalnya, Akek Rukam yang berwujud manusia masuk ke sungai Perimping yang ber­

muara ke Teluk Klabat dan berubah jadi buaya selamanya. Mang Tan yang sakti tiada berkutik di depan istrinya. Ia pemah dilempar keluar jendela rumah mereka oleh sang istri

saat mereka bertengkar. Putri pertama Mang Tan dengan istri­ nya yang ganas ini dinamai Cahaya Neraka.

Kakek saya dari garis Thu tergolong taat beragama. Dulu

ia mempunyai banyak sekali azimat warisan keluarga. Ketika

5

6 LINDA CHRISTANTY

lbu menikah dengan Ayah,

Kakek memberi semua azimat ter­

sebut pada ayah saya. Berat keseluruhan barang-barang bertuah itu sekitar tiga kilogram. Ayah saya hanya memakai satu saja pemberian

Kakek, yaitu cincin bermata jingga warisan keluarga

Kakek secara turnn-temurun. Cincin itu dipakai Ayah sampai ia meninggal dunia dua tahun lalu. Sebagian azimat Kakek di­ buang Ayah ke sungai, sebagian lagi dibuang ke laut. Kakek tidak marah, karena ia sendiri tidak memakai lagi semua azi­ mat tadi. Kakek kelak ikut Muhammadiyah, sekte yang ter­ pengaruh kuat aliran Wahhabi di Indonesia. Namun, ia sama sekali tidak mendukung negara Islam, meski ia juga mempro­ tes pemerintah Orde Barn sepanjang hidupnya. Kakek memilih Muhammadiyah, karena aliran ini melarang orang menyeleng­ garakan acara doa dan makan minum untuk orang yang sudah meninggal dunia. Biaya acara tersebut kadang memberatkan orang yang masih hidup. Keluarga orang yang berduka itu ba­ rns menanggung dua beban sekaligus: ekonomi dan kesedihan. Kakek menentang adat-istiadat yang menyulitkan hidup ma­ nus1a. Ajaran Muhammadiyah antara lain menolak bidah, ku­ rafat, dan kemusyrikan. Bidah adalah praktik yang melebih­ lebihkan ibadah, sedang musyrik mernpakan tindak pemujaan terhadap selain Allah. Namun, mereka banyak melakukan keti­ dakkonsistenan dalam beragama. Orang-orang Muhammadi­ yah di Yogyakarta, misalnya, membiarkan para sultan yang beragama Islam dan menyatakan diri sebagai pemimpin ter­ tinggi agama dan wakil Allah

fatullah)

(sayiddin panatagama kali­

juga tetangga mereka di Kauman itu memuja Nyai

Roro Kidul, yang juga dianggap sebagai istri gaib seluruh sul­ tan Yogya. Mereka melarang orang berziarah kubur di Pagarnyung, menyalahkan orang Dayak menyembah batang kayu, dan menentang struktur bangsawan atau raja turun-te-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

murun di Sulawesi, tapi sama sekali tidak melawan praktik ke­ musyrikan yang dilakukan di depan mata mereka sendiri. Kebijakan standar ganda jadi bagian dari politik kepen­ tingan, juga teknik bertahan hidup. Kakek saya tak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan tiap hari Jumat ia selalu pergi ke masjid. Entah kenapa tiap kali mendengar orang menyebut "hari Jumat" saya seolah mencium parfum Kakek, sampai hari ini. Jangan kalian bayang­ kan parfum kakek saya bermerek Salvatore Ferragamo atau Hermes. Parfumnya dibeli di pasar dekat rumah. Di hari Jumat Kakek selalu memakai parfum andalannya itu, mengenakan kemeja, kain sarung dan jas! Saya tidak per­ nah melihat Kakek memakai sorban atau memanjangkan jeng­ gotnya seperti orang-orang Arab. Tapi sebagian besar orang lupa bahwa Islam sebagai aga­ ma

dan

budaya Arab tempat agama tersebut lahir adalah dua

hal yang berbeda. Islam adalah agama untuk siapa saja yang percaya, sedangkan busana, kesusastraan, gastronomi, dan mu­ sik Arab adalah budaya suatu bangsa yang tak serta-merta ber­ kaitan dengan ajaran Islam itu sendiri. Setelah waktu-waktu shalat, rumah kami selalu dipenuhi suara merdu orang mengaji Alquran. Kakek, ayah,

dan ibu saya

mengaji setiap hari, kecuali Nenek yang rabun dan tidak sang­ gup melihat huruf-huruf lagi. Sebelum Kakek meninggal dunia, ia berpesan agar saya menyayangi Ibu dan Ayah serta jangan berkata kasar pada orangtua. Berkali-kali ia menunjukkan ayat tentang sikap anak terhadap orangtua. Ia juga berkata agar selalu berbuat baik pada sesama tanpa memandang agama dan bangsa, karena perbuatan jahat maupun baik akan dibalas di dunia ini, sedang surga dan neraka adalah rahasia Allah. Agama ibarat pakaian. Orang berhak memilih pakaian yang sesuai untuknya. Sebab manusia pun difitrahkan berbeda

7

8 LINDA CHRISTANTY

sejak lahir, berbeda jenis kelamin, berbeda budaya, berbeda suku dan bangsa. Jadi penaklukan dunia yang mengatasnama­ kan satu agama sama sekali melanggar fitrah tersebut. Islam jadi menakutkan ketika suatu hari saya menemukan selebaran tentang hari kiamat. Saya masih di kelas lima sekolah dasar waktu itu. Selebar­ an tersebut tiba-tiba berserak di halaman sekolah. Murid-murid yang lain juga memungut dan membacanya. Selebaran itu mengutip kisah juru kunci makam Nabi Muhammad, yang menyatakan bahwa barangsiapa melihat benda menyerupai sebutir telur besar di langit, itulah pertanda kiamat segera tiba. Saya benar-benar panik. Setiba di rumah, saya memper­ lihatkan selebaran itu pada ibu saya, yang menenangkan saya dan berkata, "Jangan mempercayai isi selebaran seperti ini. Hanya Allah yang Maha Mengetahui." Rupanya hal itu merupakan ulah orang-orang yang men­ cari natkah dari agama. Tidak berapa lama, beberapa lelaki tampak menjual buku-buku agama dari rumah ke rumah dan banyak orang jadi pengkhotbah keliling. Sejumlah orang me­ nyebut

diri mereka sebagai ustadz dan serta-merta menyeleng­

garakan pengajian serta menghimpun orang untuk bersedekah, mengelola acara menangis bersama, menyatukan orang-orang yang putus asa dan kesepian ini dalam kasih Ilahi. "Semakin banyak orang yang mencari makan dari agama, maka penyimpangan dari ajaran Islam akan terus terjadi," kata adik saya, Budhi. Seorang keponakan ayah saya tiba-tiba jadi pemimpin tarekat dan hal itu mengejutkan keluarga kami. Bang Aton sama sekali bukan orang yang religius sebelumnya. Kini i a punya perkumpulan tarekat dan sejumlah pengikut fanatik di seantero Pulau Bangka.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 9

Barangsiapa yang jadi pengikut tarekat ini bisa bertemu ruh-ruh para nabi dan berdialog dengan mereka, tentu dengan Bang Aton sebagai perantara. Namun, latihan kebatinan ter­ sebut sama sekali tidak mempengaruhi hubungan sosialnya dengan manusia lain di luar perkumpulan tarekatnya dan juga tidak mengganggu ketertiban masyarakat. Bang Aton tetap me­ nyambut tangan saya ketika bersalaman, tidak seperti satu dua lelaki berjenggot atau yang tidak berjenggot yang menganggap bersalaman itu sebagai pintu maksiat dan menganggap kafir orang yang tidak segaris dengan mereka. Ia juga tidak pernah menyatakan Islam yang dipraktikkannya adalah yang paling benar, lalu menyatakan halal darah mereka yang berbeda pandangan. Jadi saya tidak mempersoalkannya. Ia sama sekali tidak bergabung dengan Front Pembela Islam atau FPL Di malam tertentu Bang Aton dan pengikutnya akan ma­ suk ke dalam satu

gan dan mematikan semua lampu atau

ruan

bergelap-gelapan agar bisa bercakap dengan ruh para nabi se­ cara batin. Interpretasi terhadap ajaran Islam rupanya bukan milik sekelompok orang atau para ulama saja, setidaknya itu yang terjadi dalam

g lingkup keluarga kami. Mak Sol, saya juga

ruan

meminjam namanya untuk cerpen saya "Pohon Kersen" di kumpulan cerita

Rahasia Selma,

bibi saya yang lain, telah

membuat adik-adik saya jadi pembunuh berdarah dingin di masa kecil mereka. Mak Sol menyampaikan pada mereka ajar­ an guru mengajinya di kampung tentang ciri-ciri binatang kafir dan binatang beriman. Menurut guru mengaji Mak Sol, cecak itu wajib dibunuh. Pasalnya, sewaktu Nabi Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar, dikejar orang-orang Quraishy dan terpaksa bersembunyi di sebuah gua, cecak tiba-tiba bersuara sebagai pertanda ada­ nya manusia di dalam gua tersebut. Padahal laba-laba terus

1 0 LINDA CHRISTANTY

membuat sarang

dan burung merpati

tetap bertelur seakan tak

ada manusia yang mengganggu siklus kehidupan mereka. Kata guru Mak Sol, pembunuhan cecak

di bulan Rama­

dhan akan membuat pahala sang pembunuh berlipat ganda. Alhasil saya menyaksikan adik-adik saya membunuh cecak

di

dinding dan di langit-langit rumah dengan gelang karet. Nyamuk-nyamuk pun merajalela. Tentu saja, cecak makhluk yang tak berakal dan per­ buatannya tidak bisa dinilai benar atau salah. Cecak juga hewan yang tidak beragama dan tidak perlu beragama sehingga tidak bisa digolongkan sebagai kafir. Namun, kelucuan dalam menafsirkan ajaran Islam ini ti­ dak hanya berlangsung di sekitar keluarga kami. Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan kopi luwak. Alasannya, biji kopi itu dikeluar­ kan bersama kotoran luwak. Kopi jadi halal, menurut MUI, bila kopi dicuci sampai kotoran luwak hilang. Ternyata kisah-kisah ala cecak ini pun masih terjadi di saat saya dewasa. (Aceh Feature, 30 Juli 2010, Majalah Pesona, Agustus 2010)

Markaz Al lshlah Al Aziziyah

berlantai dua ini tampak mencolok di tengah-tengah permukiman warga, di kawasan Leung Bata, Banda Aceh. Din­ GEDUNG

ding dan tiangnya dari beton. Halamannya dilapisi konblok. Di ujung halaman membentang danau buatan yang hitam airnya. Alang-alang dan semak tumbuh liar di sisi-sisi danau itu dan di seberangnya berdiri bangunan lain yang kokoh dan megah. "Dulu saya tidak ada botak ini. Nab, sekarang botak. Banyak sekali yang dipikirkan. Tanggung jawab berat," kata Teungku Bulqaini Tanjung. Ia membuka pecinya, lalu mengusap-usap kepalanya yang mulai botak. Ia kemudian berpamitan untuk shalat ashar ber­ sama istrinya dan menyilakan saya menemui anak-anak asuhnya. Salah satu pintu terbuka lebar, sehingga ranjang kayu su­ sun di dalam kamar itu terlihat jelas, putih warna catnya. Seorang anak perempuan berjilbab biru bersandar di tiang, di muka kamar. Ia mencium tangan saya. Namanya, lntan. Semu­ la ia enggan bicara, tapi kemudian tersipu-sipu menjawab per-

1 2 LINDA CHRISTANTY

tanyaan. Ia berbagi kamar dengan tiga teman. Usianya 11 ta­ hun. Tak berapa lama tiga anak perempuan datang mendekati kami. Salah seorang menyebut namanya, "Maulidar." Tubuh­ nya lebih tinggi dibanding yang lain. Ia kemudian tak berkata apa-apa lagi, meski tetap menyimak pembicaraan. Intan menyebut salah seorang temannya malas member­ sihkan kamar, sedang yang dituduh langsung cemberut. Asmaul Husna bercerita bahwa ia baru empat bulan tinggal di sini. "Ayah tiri sering berkata kasar. Ayah kandung saya dibu­ nuh tentara. Saya dibawa oleh tetangga ke sini. Belum tahu apakah Lebaran akan pulang. Kalau teringat, ya sedih," kata­ nya. Ia mengatakan bahwa saya boleh menginap di kamar me­ reka. "Tapi keadaannya begini," katanya. "Ada satu tempat tidur lagi di balik situ," lanjutnya. Kini 15 anak,

laki-laki maupun perempuan telah menge­

lilingi saya. Salah seorang di antara mereka memiliki sepasang mata dengan bulu-bulu yang lentik. Ia selalu tersenyum tiap tatapan saya terarah kepadanya. Namanya, Zia

Ul Haq. Nama

salah seorang presiden Pakistan, Jenderal Zia Ul Haq. Setelah menggulingkan Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto pada 1978, Zia Ul Haq mengangkat dirinya jadi pre­ siden. Ia juga menghukum gantung Bhutto dan para pengikut­ nya. Tapi ia kemudian tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat pada 1988, yang menandai akhir kekuasaannya. "Zia, apakah ayah dan ibu pernah cerita mengapa Zia di­ beri nama ini?" tanya saya. Ia menggeleng sambil tersenyum. Zia baru 3,5 bulan ting­ gal di sini. Usianya sembilan tahun. Ia belajar di sekolah dasar, kelas empat. Asalnya dari Desa Lumputu, Pidie.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

"Ke sini diantar Ayah. Kakak juga ada di sini. Senang ting­ gal di sini karena ramai teman. Kadang ada yang ganggu juga. Tapi senang," katanya, pelan. Zia suka membaca buku, terutama dongeng dan risalah Nabi. "Apa cita-cita Zia?" tanya saya. Beberapa anak perempuan berbisik di telinganya, tapi ma­ sih bisa saya dengar, "Polisi... polisi....

"

Tapi Zia kemudian menjawab, "Jadi teuntra (tentara),

ka­

rena Mamak dibunuh GAM (Gerakan Aceh Merdeka)." Anak-anak itu ada yang terdiam, ada pula yang senyum­ senyum mendengar jawabannya. Sekejap kemudian, mereka mulai riuh-rendah minta dipotret di halaman. Masing-masing ingin berpose sendirian, selain beramai-ramai. Tak ada lagi yang malu-malu.

Zia sengaja menjulurkan lidahnya. lntan me­

nekan telunjuknya di pipi. Maulidar yang sejak tadi membisu, langsung bergaya di depan kamera. Setelah itu semua berebut memeriksa gambar basil bidikan saya. Tapi gerimis mulai tu­ run. Kerumunan ini pun kocar-kacir. "Potensi konflik di Aceh sangat besar, dendam masih ada. Saya termasuk orang yang belum sujud syukur karena MoU Helsinki. Untuk memutus mata rantai konflik, merawat anak­ anak yatim ini penting. Mereka yang masih kecil,

masih kelas

empat SD (sekolah dasar), masih bisa dibina kepribadiannya, seperti tidak mendendam. Tapi kalau udah dewasa sulit," kata Bulqaini, setelah menunaikan shalatnya. MoU Helsinki adalah sebutan orang Aceh untuk Perjanjian Helsinki, kesepakatan da­ mai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005. Ia kini duduk bersila di teras

rumah

panggungnya yang

belum rampung dibangun, yang terletak tepat di muka asrama anak perempuan. Sesekali ia menengok ke halaman. Gerimis

13

14

LINDA CHRISTANTY

terus turun. Ia mengenakan kemeja lengan pendek, berkain sarung. Perawakannya sedang, kulit sawo matang seperti ke­ banyakan orangAceh. Ia mendirikan dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah pada 2001. Bangunan yang sekarang berfungsi sebagai asrama untuk anak perempuan itu dibangunnya pada tahun 2002, sedang asrama anak laki-laki di seberang danau sana merupakan hi­ bah tsunami dari Departemen Luar Negeri pada 2006. Tanah­ nya dibelikan seorang perwira militer. Masing-masing asrama punya 16 kamar. Satu kamar dihuni dua atau empat anak. Ada Bo anak laki-laki dan 50 anak perempuan yang tinggal di sini. Pendidikan mereka ditanggung Bulqaini, dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Bagaimana ia bisa menghilangkan dendam di hati anak­ anak asuhnya? "Saya katakan itu takdir. Kenapa orang tua dibunuh? Lebih baik dibunuh orang. Dosa yang dibunuh ditanggung yang membunuh," katanya. Selain itu, ia membutuhkan psikolog yang rutin memban­ tunya menangani trauma anak-anak. Tapi ia tak punya uang untuk membayar mereka. Di halaman, beberapa anak perempuan hilir-mudik mem­ bawa piring dan panci. Mereka tengah menyiapkan santapan untuk berbuka puasa. Sudah pukul enam sore. Hari ini tanggal 4 September, hari keempat bulan Ramadhan. Maulidar juga terlihat melintasi halaman menuju teras asrama. "Itu Maulidar, ayahnya dibunuh TNI. Ayahnya GAM. Dia pernah dibawa tentara untuk mencari ayahnya, tapi tidak da­ pat. Meski setelah itu ayahnya meninggal juga ditembak," kata Bulqaini, seraya melayangkan pandangannya ke halaman. "Maulidar itu kuat sekali. Mengangkat karung beras, cuma sebelah tangan." Ia tertawa.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Dulu Bulqaini ikut GAM, ikut perang, ikut pegang senjata. Tapi sebuah peristiwa mengubah hidupnya. Suatu hari ia membeli sebuah tabloid mingguan di Banda Aceh, tak berapa lama setelah status Daerah Operasi Militer berakhir. Di halaman muka tabloid itu terpampang wajah Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang menjabat komandan Komando Pasukan Khusus waktu itu. Dari Banda Aceh, Bulqaini sengaja pergi ke Seulimeum untuk mengunjungi gu­ runya yang mengurus dayah khusus anak-anak yatim. Iseng­ iseng ia menunjukkan tabloid tadi kepada anak-anak itu. Serentak anak-anak berkomentar, "Itu gambar kafir, pembunuh orangtua kami." Bulqaini tercenung lama. Ia jadi teringat film India yang pernah ditontonnya. "Amitabh Bachchan dalam film itu memotivasi saya karena dia bilang, api dendam tak bisa dipadamkan, kecuali oleh si pendendam itu sendiri," katanya. Amitabh Bachchan adalah bintang film India terkenal. "Untuk memadamkan api dendam ada dua jalan, pertama dengan agama dan kedua dengan kesejahteraan. Dari situlah saya tergerak merekrut anak korban konflik, korban TNI (Tentara Nasional Indonesia) maupun GAM." Menurut data yang dimiliki kantor wilayah Departemen Agama Aceh, ada 879 dayah

di seluruh Aceh. Namun, dayah

Markaz Al Ishlah Al Aziziyah merupakan satu-satunya dayah khusus untuk anak-anak korban konflik. Sumbangan tetap untuk kebutuhan anak-anak hanya di­ peroleh Bulqaini dari Perusahaan Terbatas Perkebunan Langsa, sebesar Rp5 juta tiap bulan. Jumlah itu tentu tak mencukupi. "Tapi sedekah orang buat anak-anak selalu ada," lanjutnya.

15

1 6 LINDA CHRISTANTY

Ia juga berkhayal bisa membeli sebidang tanah yang telah jadi danau tersebut agar bisa beternak ikan. Hasilnya untuk membiayai kebutuhan dayah. Dari rumah panggung ini, saya melihat pintu kamar Intan telah ditutup. Gerimis sudah jadi hujan. Bulqaini bercerita bah­ wa sekarang anak-anak mulai banyak yang menginjak masa pubertas. "Bahaya ini anak-anak. Tapi untung ada danau itu yang jadi penghalang juga," katanya, tertawa. (Aceh Feature, 27 September 2008)

Semua untuk Aceh Merdeka

HUJAN turun menjelang sore sepanjang April hingga awal Mei

2009. Khalidin Daud, atau biasa dipanggil Abu Khalidin, me­ nelepon saya dan menyarankan kami berangkat ke Geumpang di pagi hari. "Kalau kesorean, nanti hujan. Jalan licin," katanya pada saya. Khalidin adalah bekas gubernur pertama Aceh Merdeka

(AM) atau kelak populer disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Usianya 59 tahun. Ia tinggal di Desa

Ulee Ceue, Pidie.

Ia akan mengenalkan saya pada sahabatnya, Syamsudin bin Ahmad atau biasa dipanggil Geuchik Din. Lelaki itu pejuang GAM angkatan pertama dan salah satu ideolog gerakan per­ lawanan tersebut. Menurut Khalidin, perjalanan menuju rumah Geuchik Din melewati jurang dalam dan tebing yang mudah longsor di mu­ sim hujan. Khalidin menyarankan kami sudah meninggalkan Geumpang di sore hari. Dalam kegelapan malam dan deras

1 8 LINDA CHRISTANTY

hujan, pengemudi mobil sul<ar melihat jurang dan tebing long­ sor itu. Teledor sedikit saja, mobil bisa tergelincir ke jurang. Perjalanan ke Geumpang ini merupakan bagian

dari pem­

buatan film saya tentang sejarah GAM. Saya akan mewawan­ carai para bekas pejuang dari berbagai generasi, termasuk me­ reka yang usianya sudah tak muda lagi, untuk merekam pengalaman mereka sebagai saksi-saksi sejarah negerinya. Azhari, direktur Komunitas Tikar Pandan, sahabat saya dan sastrawan Aceh, meminjamkan kamera dan mengutus se­ orang anggota komunitasnya untuk membantu saya. Kelak film ini akan jadi wujud kerja sama sindikasi media

Aceh Feature

dan Komunitas Tikar Pandan. Biaya pembuatannya

tak ditanggung satu sponsor pun.

Wawancara dan pengambilan gambar tak ditentukan jadwal kerja, melainkan jumlah lembar rupiah

di saku saya.

USUL Khalidin gagal terlaksana. Beberapa anggota tim tidak disiplin. Teuku Zulfahmi atau biasa disapa Fahrni, Fajri, dan Darus­ salam baru menjemput saya pukul 12.30 di restoran ayam go­ reng di kawasan Peunayong. Saya menunggu mereka hampir tiga jam! Fahrni pernah menjabat sekretaris jenderal Partai Gapthat, partai yang dibangun para ulama Aceh dan berbasis

di dayah­

dayah. Partai ini tidak lolos verifikasi sehingga gagal jadi partai peserta Pemilu 9 April 2009 lalu. Fahrni ayah dari tiga anak laki-laki. Siang itu ia mengenakan setelan kemeja dan panta­ lon. Sepatunya hitam mengilap. Kakaknya, Cut Nur Asikin, pernah jadi juru runding GAM dan dihukum 14 tahun penjara oleh pemerintah Indonesia. Di tahun kedua masa tahanan, tsunami menyapu Aceh dan mera-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

takan penjara Lhok Nga tempat Cut Nur dikurung. Sore hari­ nya Fahrni menumpang pikap tua dan disambung jalan kaki menuju Lhok Nga untuk mencari kakaknya. Ia hanya melihat dataran luas, sunyi, dan tiga tentara bersenjata yang mondar­ mandir bingung masih sempat menghardiknya. "Beberapa hari kemudian ada orang memberitahu saya bahwa dia melihat jasad kakak. Entah benar, entah tidak. Kak Cut mungkin dimakamkan di salah satu kuburan massal," katanya. Fajri keponakan Ismail Hasan Metareum, tokoh Partai Persatuan Pembangunan, partai nasional yang berpusat di Jakarta. lbunya dan Ismail kakak-beradik kandung. Namun, Fajri tak pernah ikut partai politik dan tak suka politik. Ia ayah dari dua anak. Tadinya Fajri bekerja sebagai sopir

truk antar

kota sebelum beralih profesi jadi sopir mobil sewa. Tubuhnya kurus dan rambutnya ditata seperti duri-duri landak yang ber­ diri, gaya anak muda. Saya mengenalnya dari Fahrni. Mereka teman sepermainan sejak kecil. Setelah Ismail wafat, hubungan keluarganya di kampung dengan istri dan anak-anak Ismail tidak lagi akrab. Ia mengenang almarhum pamannya sebagai orang yang santun dan murah hati. "Dia tak membeda-beda­ kan latar belakang orang," kata Fajri. Metareum adalah nama kampung mereka. Orang-orang Aceh punya kebiasaan mencan­ tumkan nama kampung kelahiran di belakang nama mereka. Darussalam atau Darus adalah adik sepupu Yahya Muad, sekretaris jenderal Partai Aceh atau PA. Penampilannya seder­ hana dan

tak banyak cakap. Suara tawanya tak sekeras yang

lain ketika menyambut cerita lucu. Ia hanya bicara kalau di­ tanya. Berbeda dengan abang sepupunya, i a sama sekali tak tertarik pada politik. Kakek mereka dulu pernah dibuang ke Pulau Jawa. "Kami memang

dari keluarga pemberontak," kata-

19

20 LINDA CHRISTANTY

nya pada saya. Ia pulang ke Aceh karena hendak ikut mencon­ treng dalam Pemilu Aceh bulan April 2009. Bertahun-tahun

di Jakarta. lstrinya bekerja sebagai pegawai ne­ geri sipil di sana. "Yang tak ada bagiannya di Pernda Aceh sini. Darus ingin Darus tinggal

istrinya pindah, tapi nggak bisa, karena nggak ada bagian itu, entah apa nama bagiannya," kata Fahrni, tertawa. Darus hanya senyum-senyurn. Di daerah Batei, rnobil kami berhenti di rnuka sebuah rnasjid yang rnerupakan bagian dari dayah. Fahrni turun dari rnobil. Saya, Fajri, dan Darus tetap

di rnobil. Fahrni hendak rnenjernput Tengku Fakhrul, bekas pengawal Abdullah Syafei, panglima tertinggi GAM yang ditembak tentara Indonesia pada Januari 2002. Fakhrul berpakaian rapi. Seperti Fahrni, ia rnengenakan kerneja dan pantalon, bersepatu kulit. Ternyata ia baru pulang dari rnenghadiri kenduri. la langsung duduk di jok tengah ber­ sama saya. Fahrni di depan, di samping Fajri sebagai penge­ mudi. Darus rnemilih rnenyendiri di jok belakang. Mobil pun bergerak lagi, melaju ke Pidie. Kami akan men­ jemput Khalidin. Sepanjang jalan Fakhrul dan Fahrni bercerita soal kepu­ langan singkat Hasan Tiro pada November 2008 lalu.

Ketika

Tiro berada di satu rumah di Pidie, seorang kawan seper­ juangannya menerobos masuk untuk menemuinya. Si teman bahkan ingin ikut bersama Tiro ke Swedia. Tengku Ishak, na­ ma lelaki itu. Ia kehilangan semua anak lelakinya dalam kon­ flik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan GAM. "Kata pendamping Wali, entah Malik Mahmud, entah siapa, jangan ikut dulu, tapi dia mernbentak, 'diam karnu, saya ada urusan dengan Tengku Hasan, saya rnau ikut dengan

dia.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 21

Sudah lama sekali saya ditinggalkan, bahkan suatu hari dulu dia menenangkan kami dengan 'halo, halo, mereka segera datang, kami dalam keadaan terdesak'. Amerika sudah datang katanya. Terns dia pergi, tidak pulang lagi' Begitu kata Tengku Ishak," tutur Fakhrul, lalu terbahak-bahak. Wall adalah sebutan orang Aceh untuk Hasan Tiro. Secara harafiah, artinya pewaris atau penjaga kedaulatan. Kami semua terbahak, membayangkan sang pemimpin berpura-pura bicara pada Amerika yang akan memerangi Indo­ nesia, tapi melalui jam weker yang disamarkannya sebagai telepon. "Siapa yang bercerita soal Tengku Ishak ini?" tanya saya. "Itu sudah rahasia umum, Kak. Suatu hari kalau Kakak menanyakan langsung pada Wali apa yang terjadi, secara pri­ badi, jangan ada orang lain ya, Wali juga akan mengatakan yang sebenarnya pada Kakak,"

kata Fakhrul, lagi.

Menurut Fakhrul, Tengku Ishak akhirnya ikut Tiro ke Swedia. "Pernahkah Tengku Ishak menceritakan keadaannya pada teman-temannya di sini?" tanya saya. "Pernah. Dia telepon Abu Muslimin, menceritakan keada­ an Wali. Ketika

dia mengeluh pada Wali bahwa mereka sudah

dilupakan atau ditinggalkan (angkatan yang lebih muda), Wali berkata memang cita-cita punya orang itu (angkatan yang lebih tua), sekarang beban yang kita pikul, biarlah anak-anak kita yang memikul. Itu yang Abu Ishak sampaikan pada Apa Gani dan Abu Muslimin, dan mereka menyampaikannya kepada kami," sahut Fakhrul. Tengku Ishak, Apa Gani atau Abdul Gani, dan Abu Muslimin atau Tengku Harun adalah tiga anggota pasukan per­ ta.ma Tiro yang masih hidup sampai hari ini.

22 LINDA CHRISTANTY

TAK berapa lama Fakhrul membuka tas plastik yang dibawa­ nya. Ia mengeluarkan beberapa helai surat dan potret seorang pria. "Ini foto abang saya," katanya. Orang dalam potret be­ rambut agak gondrong, bertubuh kurus. Fakhrul juga menyodorkan sehelai surat pada saya. Kertas itu tampak lusuh, tapi tulisan yang tertera di situ masih jelas terbaca. Penulis surat bernama Teungku M. Rasyid Meuraxa. "Setahu saya, dia dulu di bawah Panglima Daud Paneuk. Setahu saya, dia yang menguasai gerilyawan

dalam gunung,"

kata Fakhrul. Daud Paneuk adalah bekas anggota Darul Islam di Aceh. Ia salah satu pengikut Daud Beureuh. Pada 1953, Mayor Jenderal Daud Beureuh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, memimpin pemberontakan terhadap Republik de­ ngan memproklamasikan Darul Islam di Aceh, sebagai bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di tanah Jawa. Penyebab­ nya, pemerintah Sukarno tak mau memberi otonomi untuk Aceh dan menetapkan Aceh jadi bagian Sumatera Utara. Hal ini akan memperkecil basis suara untuk Masyumi, partai Islam tempat Beureuh bergabung. Di masa Sukarno, Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi pernah bekerja sama untuk meng­ gulingkan pemerintahannya dengan bantuan senjata dari Ame­ rika. Beureuh kelak menyerah dan bekas pasukannya diberi pekerjaan oleh pemerintah Sukarno, di Iembaga sipil maupun militer. Namun, Daud Paneuk

tak menyerah.

Daud mengerti strategi perang gerilya. Hasan Tiro meng­ ajaknya bergabung di GAM untuk memperkuat pasukan per­ tamanya. "Rusli Ahmad ini siapa?" tanya saya, membaca nama yang disebut Teungku Rasyid dalam suratnya.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

"Abang saya. Ini surat pemberian wewenang. Dia diberi wewenang menjabat salah satu panglima muda

sagoe

Geumpang Baru, wilayah Pidie. Surat ini bertahun 1981. Tak pernah ada yang menulis tentang Teungku Rasyid. Dia juga komandan sekuriti untuk wilayah Pidie dan menyangkut seluruh Aceh. Sekuriti dalam bahasa AM waktu itu adalah sebagai komandan BIN (Badan Intelijen Negara)," kata Fakhrul.

Sagoe adalah wilayah

setingkat kecamatan.

Di kepala surat itu tertera tulisan

"Islamic State of Aceh

Sumatera". Rupanya faksi Darul Islam cukup kuat di awal pen­ dirian GAM.

Tiro sendiri seorang sekuler, berpendidikan Barat

dan doktor ilmu hukum lulusan Universitas Columbia, Ameri­ ka Serikat.

Tiro tak mempropagandakan pembentukan negara

Islam, tapi membangkitkan nasionalisme Aceh. Ia kemudian mengumpulkan orang-orang untuk melaku­ kan perjuangan bersenjata, melawan apa yang disebutnya se­ bagai "kolonialisme Jawa". Menurut Fakhrul, surat-surat ini boleh saya baca, tapi be­ lum boleh diperbanyak dalam bentuk fotokopian. "Karena yang tinggal dari Komandan Rasyid di seluruh Aceh, cuma ini. Yang saya pikirkan nanti kalau saya memegang ini sama dengan Wali memegang mandat yang diberi oleh Tengku Cik Di Tiro. Suatu saat saya bisa mengoreksi kalau per­ juangan ini dialihkan," katanya, sungguh-sungguh. Abang Fakhrul, Rusli, meninggal dalam pertempuran de­ ngan tentara Indonesia di Temprung, Lamia, pada 1992 dan dikuburkan di ternpat itu juga. KHALIDIN Daud telah menunggu kami di muka rumahnya. Kopiah putih bertengger di kepala. Ujung bolpen menyembul di saku kemeja putih. Ia berkacamata. Wama jenggotnya sama

23

24 LINDA CHRISTANTY

dengan kopiah dan kemejanya. Delapan bulan lagi ia pensiun mengajar dari satu sekolah menengah atas

di Sigli.

Khalidin tak memperlihatkan rasa kesalnya pada kami, tapi beberapa kali ia berkata, "Saya kira batal acara kita, karena janjinya kan berangkat pagi." "Saya ada empat undangan hari ini. Tapi saya merasa yang ini lebih penting," katanya, lagi. Ia juga tampak kurang sehat dan batuk-batuk terns. Begitu ia naik, mobil pun melaju ke arah Geumpang, ke rumah Geuchik Din. "Beliau ini orang pertama yang ikut Wali Neugara. Dia orang yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan orang­ orang hari ini, yang mencari kekayaan pribadi, tidak pernah melihat anak-anak yatim dan janda-janda yang jadi korban akibat konflik ini," tutur Khalidin tentang orang yang akan kami jumpai nanti.

"Kapan terakhir Abu jumpa Geuchik Din?" tanya saya. "Hampir tiap bulan jumpa. Dia ke rumah. Kami macam kakak-beradik. Dia orang yang berbicara tegas, tak ada pan­ tang-pantang." "Apa saja yang dibicarakan kalau jumpa?" "Tentang keluarga, pribadi. Perjuangan mau bicara apa lagi? Semua sudah tahu. Sejak MoU (Perjanjian Helsinki), (perjuangan) sudah tamat. Menikmati basil perjuangan adalah bagi orang-orang yang mendapatkannya, yang berkeinginan untuk itu, sedangkan kita tidak," jawabnya. Geuchik Din bekerja di kebun kopi. Sebelum tsunami, ia beternak ayam dan bebek. Anak laki-lakinya hilang dalam tsunami, juga istrinya. "Anak laki-laki Geuchik Din satu-satunya. Dia ini sudah selamat, tapi teringat ibunya, lalu pulang lagi dia ke rumah. Di situ dia kena. Anak Geuchik Din yang perempuan tinggal di

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 25

Banda Aceh. Sekarang Geuchik Din tinggal dengan istri muda­ nya di Geumpang. Istri muda, tapi sebenarnya tidak muda juga," ujar Khalidin. "Dia menikahi istri bekas stafnya yang syahid, Muhammad Alibin, janda beranak delapan." Fakhrul menimpali ucapan Khalidin. Khalidin kemudian bercerita tentang masa lalunya. Sebe­ lum jadi gubernur pertama GAM, ia menjabat bendaharawan GAM. Ia pernah mengumpul uang sumbangan masyarakat hingga Rp2 milyar di tahun 1990-an. "Waktu itu ada bantuan pemerintah berjuta-juta untuk membangun kampung clan masyarakat memberinya untuk per­ juangan. Kalan sekarang ibaratnya dana itu sebesar 10 juta, 2 juta untuk perjuangan," katanya. Ia berhenti jadi bendahara GAM karena aparat mulai me­ ngetahui sepak-terjangnya dan melakukan pengejaran. Ia sem­ pat hijrah ke Jakarta, lalu kembali lagi ke Aceh. Di akhir masa Darurat Militer, tahun 2002 sampai 2003, ia ditahan tujuh bulan. "Di zaman Mega," katanya. Megawati Soekarnoputri ada­ lah presiden Indonesia di masa itu. Megawati membuat kami teringat pemilihan presiden di bulan April lalu. Ada tiga pasangan calon presiden

dan

wakil

presiden Indonesia: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)­ Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati Soekarnoputri­ Prabowo Subianto. "Menurut saya, GAM tetap (memilih) SBY. Orang masih senang sama SBY. Kemudian wakilnya, meski banyak partai tak senang, tapi pribadi wakil juga bagus. Wakilnya itu ahli ekonomi, kemudian hidup dengan sederhana," tutur Khalidin. "Kalan yang dua itu kan memang sudah ada masalah de­ ngan Aceh. Wiranto pernah membuat pernyataan tak perlu

26 LINDA CHRISTANTY

orang Aceh, yang perlu tanah Aceh, katanya. Nggak perlu orang Aceh, yang penting tanah Aceh. Begitu juga Prabowo, benna­ salah dengan orang Aceh," sambungnya. Saya menanyakan pendapatnya tentang calon pemimpin dari generasi muda Aceh. Apakah ada yang terbaik dari mereka untuk memimpin Aceh masa depan? "Siapa pun yang memimpin, Aceh tetap di bawah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tidak ada lagi AM . Wali pernah bilang, ini yang pertama dan terakhir. Kalau tak merdeka sekarang, tak akan ada merdeka lagi. Dia sangat opti­ mis waktu itu. Tapi yang berhak diterima orang Aceh sekarang adalah otonomi," jawab Khalidin. ''Tapi waktu Indonesia dijajah Belanda bahkan ada radio

Rimba Raya yang berpusat di Aceh dan menyiarkan soal Indo­ nesia dan tentang orang Aceh menyumbang pesawat perta.ma untuk Indonesia. Jadi tak mungkin Aceh keluar dari Indonesia. Aceh ibarat kepala bagi Indonesia. Tanpa Aceh

tak ada Indo­

nesia. Tanpa kepala, hanya badan saja," lanjutnya. "Bagaimana kekuatan GAM menjelang MoU?" tanya saya. Di Aceh, Perjanjian Helsinki lebih sering disebut MoU (Helsinki). Fakhrul menjawab pertanyaan ini, "Masih eksis. Cuma yang agak terkesan berat di segi logistik. Waktu darurat sipil, bukan darurat sipil yang saya lihat. Mereka (tentara Indonesia) melakukan operasi, istilahnya dalam bahasa kami, operasi obat nyamuk. Pokoknya waktu itu yang saya lihat sempit adalah makanan. Kalau nyali nggak bergeser sedikit pun." "Karena tsunami?" "Bukan. Karena memang faktor pencegahan TNI yang su­ dah memang puluhan ribu pasukannya. Tapi waktu itu, kedua­ duanya sudah stres,

TNI

maupun GAM. Seandainya memang

ada perang sekitar lima tahun lagi, pemerintah juga akan jatuh

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 27

kapal. GAM juga terpaksa mengganti anak pelurunya dengan buah jambu," ujarnya, lalu terbahak-bahak. Mobil mendadak penuh tawa. HUfAN tampak di kanan

kiri jalan. Hujan deras. Mobil terns

melaju. Tiba-tiba Fakhrul berkata sambil menunjuk ke hutan di kanan kami. "Saya pernah ditembak di sini. Markas kami di atas sana. Kami punya anak buah waktu itu sekitar 700 orang, 300 perempuan, 400 laki-laki. Saya pernah tinggal di sini enam bulan, sebagai asisten pelatih. Nama hutan ini Keumala Dalam," katanya. "Tahun berapa kontak senjata di sini?" tanya saya. "Sebelum jeda," katanya. Istilah "jeda" merujuk pada jeda kemanusiaan, gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 2000. Na­ mun, tak lama setelah itu perang pecah lagi. Di daerah Tangse, Fakhrul menunjuk ke hutan di kanan­ kiri jalan,"Itu semua tanah Zakaria Saman." Zakaria Saman adalah bekas menteri pertahanan GAM. "Kami sama-sama turun (gunung) setelah MoU. Kami

tak

punya apa-apa, tapi dia punya kebun seluas-luasnya," kata­ nya.

"Dia lab yang memecat kakak saya dari komisi pemantau­ an COHA," tukas Fahrni. COHA atau The Cessation of Hostilities Agreement (Per­ janjian Penghentian Permusuhan) ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM pada 9 Desember 2002. Hal itu dilakukan agar kedua pihak dapat berunding. Namun, di saat bersamaan Megawati Soekarnoputri justru meminta militer bersiaga untuk mencegah Aceh merdeka. Kekerasan tetap terjadi. Kesepakatan damai tak tercapai. Perang pun pecah lagi.

28 LINDA CHRISTANTY

Fakhrul ternyata mengetahui peristiwa itu. Kak Cut waktu "

itu dipecat bersama dengan Tengku Zulfan, karena Tengku Zulfan menceritakan pada saya, karena saya satu pasukan de­ ngan

dia waktu itu," katanya.

"Setelah dipecat, Tengku Zulfan ditembak oleh aparat, kakak saya dipenjara selama 14 tahun. Jadi kakak saya orang RI bukan, orang GAM juga bukan. Atau dia orang GAM yang

tidak diakui GAM dan dituduh RI, sementara RI menganggap dia GAM," ujar Fahrni. Apa alasan Zakaria memecat Cut Nur? "Kak Cut kan luwes. Kalau ada TNI bilang Assamualaikum Kak Cut, Kak Cut jawab wa'alaikum salam, Kak Cut bersalam, jabat tangan. Zakaria bilang, jangan jabat tangan. Misalnya, suatu hari seorang Makarim minta api rokok pada orang kita, perunding dari GAM, padahal rokok belum dimatikan, tapi be­ gitu diminta rokok langsung dimatikan. Jadi kak Cut bilang, kalau begitu cara perjuangan, nggak akan ada guna perun­ dingan. Api rokok pun kita nggak mau kasih, bagaimana kita ambil hati," katanya. "Zakaria menganggap taktik Kak Cut itu salah, ditambah lagi Kak Cut menghadiri makan malam dengan Hasan Wirayuda, menteri luar negeri Indonesia waktu itu, di Jakarta. Dipecatlah sudah," Ianjutnya. Cut Nur yang sudah dipecat GAM didatangi orang-orang dari pihak pemerintah Indonesia. Mereka menawari dia jadi gubernur transisi Aceh, menggantikan Abdullah Puteh yang di­ penjarakan di Jawa karena kasus korupsi. Ia tidak bersedia. Ia juga ditawari mengurus penambangan emas di Busang, Kali­ mantan. Ia pun menolak tawaran itu.

tak mau, itu tak mau, bagaimana kalau masuk penjara, kata RI. Kak Cut bilang, itu oke, lalu dia masuk pen­ "Kalau ini

jara. Hahaha...." Fahrni tertawa-tawa.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

JALAN yang kami lewati ini merupakan jalur pertempuran tentara Indonesia dan GAM
kecil." "1NI terjun ke sana. 80 truk jumlah mereka. Itu tahun

1999. Mereka kan diserang AM (Aceh Merdeka) dari atas, terus mereka masuk ke sini semua. Sebulan mayat mereka diambil, seperti nggak habis-habis." Fakhrul bercerita sambil menatap ke jendela. "Siapa panglima di sini waktu peristiwa igeuh?" tanya saya. "Banta Hasan, tapi dia sudah meninggal dalam satu per­ tempuran yang kalau nggak salah, di Jeunim atau Peurelak," jawab Fakhrul. " Itu cara perang tradisional Aceh, memakai senjata igeuh?" tanya saya, lagi. "ltu jebakan. Orang ini diserang dari atas, mereka terjun ke lembah. Begitu terjun bukan ke lembah, tapi masuk ke pe­ rangkap." Tapi percakapan mendadak berubah topik. "Kalau hujan gini, ngeri kita lewat sini. Makanya orang pagi-pagi ke Geumpang. Jam segini pulang," ujar Fakhrul. Hari hampir pukul tiga sore. Saya mulai khawatir, "Bagaimana kalau jalan longsor?" "Kita pulang lewat Medan, lewat Meulaboh," sahut Khalidin.

29

30 LINDA CHRISTANTY

Mobil terns melaju. Khaliclin bercerita tentang mobil yang jatuh ke jurang dan banyak penumpang meninggal dunia. Di

kiri kami jurang dalam menganga. Saya melihat dataran hijau terhampar, sejuk, sesaat me­ nyela rupa jurang itu. Fahrni tiba-tiba berkata bahwa tempat itu adalah perkampungan jin terbesar se-Asia Tenggara.

Ketika

kami tertawa mendengar pernyataannya, ia mencoba menya­ kinkan kami bahwa raja jin di kampung itu telah memperistri perempuan desa di Pidie. Fakhrul bercerita tentang seorang kenalannya yang ber­ tapa di puncak Halimun, basis gerilya angkatan pertama AM. "Pulang-pulang dia bongkok. Rupanya jin-jin pari (peri) itu menumpang

di pundaknya," katanya.

Murthada, juru kamera dari Komunitas Tikar Pandan, ka­ dang-kadang merekam pembicaraan kami, dan sesekali ia membuka jendela untuk mengambil pemandangan di luar sana. HUJAN masih deras. Mobil berhenti

di muka sebuah rumah

di kawasan Geumpang, diparkir di situ. Kami harus berjalan kaki ke rumah Geuchik Din. Di seberang jalan, di samping rumah warga, ada jalan se­ tapak. Di ujung jalan itu terbentang sebuah jembatan, yang membuat saya agak waswas menaksir kekuatannya. Jembatan gantung ini terbuat dari tali dan kayu yang ber­ ayun-ayun saat orang maupun sapi-sapi melangkah di atasnya. Saya menjejakkan kaki di situ ketika sapi-sapi dan penggem­ bala itu hampir sampai di seberang sana. Panjang jembatan sekitar 100 meter, dengan tinggi sekitar 40 meter. Di bawah sana, sebatang sungai mengalir deras. Tetes-tetes hujan meng­ hunjam permukaannya. Pandangan saya ikut memburam oleh lebat hujan. Batu-batu yang berserak di bawah jembatan tampak begitu

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

sayup. Udara begitu dingin. Angin kencang. Di ujung jembatan sana tak tampak satu rumah pun. Pohon-pohon dan semak menghijau, melindungi permukiman di belakangnya. Akhirnya saya berhasil menjejakkan kaki di seberang jem­ batan. Jalan becek. Lubang-lubang berisi air hujan ada di mana-mana. Kaki-kaki terasa berperekat dan susah melangkah begitu menginjak lumpur. Jalan setapak di antara pohon dan semak ini akan membawa saya ke rumah Geuchik Din, orang yang disebut Khalidin sebagai pejuang angkatan pertama Aceh Merdeka. Rumah itu nyaris roboh. Ibarat pakaian, ia usang dan pe­ nuh tambalan. Dulu penghuninya telah mengirim 16 anggota GAM untuk berlatih perang di Libya, Afrika Utara, dengan uangnya sendiri. Geuchik Din pernah jaya sebagai kontraktor. Zakaria Saman bahkan pernah bekerja untuknya. Dinding-dinding rumah terbuat dari papan yang dicat hi­ jau muda. Kusam dan tua.

Ketika melewati ambang pintu, saya

menjejak lantai yang dilapisi plastik biru. Langit-langit juga berlapis plastik biru-merah. Tak ada seperangkat kursi dan me­ ja tamu di ruang depan. Sehelai tikar rumbia usang terhampar menghadap pintu masuk. Tak berapa lama orang-orang me­ ributkan pacet yang masuk ke rumah. Tuan rumah berkata bahwa musim hujan membuat binatang itu datang. Ia menyambut hangat sahabatnya, Khalidin. Ia senang, tapi juga terkesan berhati-hati melihat beberapa orang yang belum dikenalnya, termasuk saya. Fahrni pun menjelaskan maksud kedatangan kami. Ia lan­ tas mengangguk-angguk, tersenyum, lalu menyilakan semua tamunya duduk. Setelah itu ia pergi ke ruang belakang. Tak berapa lama bergelas-gelas sirup dihidangkan untuk kami oleh anak perempuannya. Geuchik Din kembali ke ruang depan de­ ngan mengenakan jas abu-abu yang melapisi kaos putih her-

31

32

LINDA CHRISTANTY

kerahnya.

Kain sarungnya bermotif kotak-kotak hijau-abu-abu.

Kopiahnya putih bersih. Barangkali, ini pakaian terbaik yang ia miliki. Geuchik Din lahir tahun 1932. Ia tamat Sekolah Rendah Islam atau SRI. ''Tahun 1975 bulan 11, kami

dari

Geumpang dipesan oleh

Teungku Hasan Muhammad Di Tiro untuk datang ke Tiro. Waktu itu tanggal 30 bulan 11, kami datang ke Tiro, empat orang. Geuchik Pakeh, Pawang Rasyid, saya, Wahab Cut, sudah meninggal dia. Tanggal 4 bulan 12 tahun 1976, hari itulah di­ proklamirkan Aceh Merdeka di Kluk Kak, Tiro, Pidie. Lebih kurang kami waktu itu 40 orang," kenangnya. Menurut Geuchik Din, ada itu, yaitu Pidie

dua poros utama GAM waktu

dan Geumpang.

Setelah deklarasi tersebut

a i mulai mencari orang-orang

yang bersedia ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Ia pertama kali ditahan pada 1977 oleh aparat atas kegiatan politiknya. "Saya ditahan satu bulan

di kecamatan. Dilepas di siang

Hari Raya Haji, tak dapat sembahyang hari raya," kisahnya. Pada 1979 ia ditangkap lagi, lalu dibawa ke Sigli dan di­ jatuhi hukuman penjara tiga bulan. Ia tak langsung dilepas, tapi dibawa ke Banda Aceh dan ditahan selama dua tahun. "Setelah itu saya dibebaskan, pulang ke kampung. Sampai di kampung, dapat surat dari Panglima Daud Paneuk. Saya ditugaskan ke Meulaboh. Tugas saya adalah membawa seluruh bahan-bahan (selebaran) yang sudah dibuat Hasan Tiro, su­ paya orang Meulaboh mengikuti Aceh Merdeka," katanya. Geuchik Din mengadakan rapat dua malam berturut-turut di Meulaboh. Peserta yang hadir dalam keseluruhan rapat se­ kitar 80 orang.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

"Apa yang Abu jelaskan dalam rapat itu?" tanya saya. "Ini Tengku Hasan Tiro sudah pulang, dia ingin Aceh Merdeka kita, karena kita

dirikan

dari
Muda belum pernah menyerah. Jadi menyambung perjuangan

Indatu

(nenek moyang) kita, agar Aceh ini dapat merdeka,"

jawabnya. Ia juga berpura-pura hendak mencari tanah sawah saat masuk ke Aceh Barat. Namun, sepandai-pandai ia berkelit aparat berhasil mengetahui tujuan sejatinya. Pada 1982, Geuchik Din ditangkap lagi. Meski berkali-kali ditangkap, ia tidak pernah jera. Terakhir kali ia ditangkap pada 1990. Ia disiksa berat. Aparat bahkan memberi tanda silang pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya dan berkata, "Geuchik Din, habis!" Bekas­ bekas penyiksaan itu masih tampak jelas. Dua tonjolan besar di pangkal lengannya. Tulang-tulangnya remuk. Ia juga tak bi­ sa berjalan normal lagi. "Tapi saya tetap bekerja untuk Aceh Merdeka. Karena saya sudah sumpah. Badan saya, nyawa saya, harta saya demi Aceh Merdeka. Tidak ada lain. Tidak ada untuk damai. Tidak ada untuk menyerah," katanya. "Otonomi?" celetuk Khalidin. "Tidak ada untuk otonomi. Kalau kawan saya sudah habis, tinggal saya, tetap saya memilih merdeka. Karena saya sudah janji, janji pada Yang Maha Kuasa. Saya tak mau ikut orang tu. Tidak mau saya jumpa orang tu. Tidak pemah saya datang ma­ kan dengan orang tu. Karena orang tu menyerah, bukan darnai itu. Kalau darnai, tidak ada potong-potong senjata. Dijual Aceh ini pada orang Jawa. Mereka ambil kesenangan, mereka berpijak di atas darah bangsanya." Suaranya bergetar dan Iantang. Kami semua duduk bersila di tikar rumbia mendengar

33

34 LINDA CHRISTANTY

Geuchik Din bicara. Murthada merekam adegan dengan ka­ mera. Geuchik Din berbicara dalam Bahasa Indonesia. Kata­ nya, belum waktunya orang membuat peraturan untuk meng­ gunakan Bahasa Aceh, kecuali saat Aceh sudah merdeka. Ia juga tak mau disebut suku Aceh. "Saya adalah bangsa Aceh, bukan suku Aceh, seperti bang­ sa Jawa, bangsa Dayak di Kalimantan. Semua itu, di pulau­ pulau itu bangsa, tapi Indonesia mengecilkannya menjadi suku," katanya. PEMBUATAN film ini sempat terhenti. Azhari menelepon saya dan mengabarkan bahwa Murthada tak lagi diperpanjang masa kerjanya di organisasi mereka. Ia akan menugaskan juru kame­ ra baru untuk membantu saya. Pada 31 Mei 2010, saya menemui Apa Gani di Simpang Mesra, Banda Aceh. Panas terik terasa membakar kulit. Debu beterbangan di jalan. Lelaki ini sudah menunggu di samping sebuah kios. Tubuhnya kurus. Kulitnya hitam. Seluruh rambutnya telah me­ mutih. Ia mengenakan kemeja lengan pendek motif garis-garis putih-hitam vertikal. Pantalonnya hitam. Sandal karetnya juga hitam. Ia memakai kacamata minus. "Sudah tak bisa melihat lagi saya ini. Kacamata sudah tak cocok lagi," katanya, seraya tertawa. Ia baru saja menengok Tiro yang dirawat di rumah sakit Zainoel Abidin, yang disebutnya "sudah tak kenal orang lagi." Apa Gani berusia 65 tahun. "Waktu Jepang kalah, saya lahir," katanya. Apa, artinya "paman" dalam Bahasa Aceh. Sebelum bergabung dengan AM, ia bekerja

di kebun. "Ta­

nam cabe, tanam macam-macam," kenangnya. Setelah perda­ maian, ia kembali berkebun. Ia tak pernah mengenyam pen­ didikan.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 35

"Baca tulis, sikit-sikit (sedikit-sedikit)," ujarnya. Komandan Rasyid dan Geuchik Umar adalah orang-orang yang mengajaknya bergabung dengan AM Tengku Darul Kamal .

yang saya wawancara empat tahun lalu menyebut Geuchik Umar sebagai orang paling setia kepada Tiro. Kamal juga ang­ gota pasukan pertama Tiro. Kini ia telah almarhum. Geuchik Umar tak lain dari paman Apa Gani. Di masa konflik Indonesia dan AM tiga anak lelaki Geuchik Umar me­ ,

ninggal ditembak tentara. Ia sendiri ditembak dan gugur pada 1992 setelah status Daerah Operasi Militer yang bersandi "Jaring Merah" diberlakukan di Aceh. "Di tahun 1976, ada sekitar 150 yang ikut AM . Pada tahun 1977, tinggal 25 orang," tutur Apa Gani. Dari 25 orang pasukan pertama Tiro itu hanya tiga orang yang tak menyerah sampai Perjanjian Helsinki ditanda­ tangani. "Saya, Tengku Ishak Tiro, Tengku Harun Tepi Raya (Abu Muslimin)," katanya. "Saya belum pemah ditangkap sekalipun," katanya, lagi. "Kalau sampai ditangkap, sudah pasti mati." Poster wajah 25 orang anggota pasukan Tiro itu terpam­ pang di pos tentara dan disiarkan

di Jakarta.

Di bulan Juli 2005, sebulan menjelang Perjanjian Helsinki ditandatangani, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menge­ pung Desa Trueseb dan mencarinya. Apa Gani melarikan diri ke hutan Cot Trieng. Mereka pun mengejarnya, ikut masuk ke hutan itu. "Waktu dalam hutan, dari jarak tiga meter, dalam persem­ bunyian, saya mendengar komandan peleton bicara pada anak buahnya, agar menangkap saya hidup-hidup. Jangan ditembak katanya, biar mereka dapat informasi. Hanya saya yang jangan

36 LINDA CHRISTANTY

ditembak, yang lain tembak saja, katanya," kisahnya. Namun, ia lebih sigap ketimbang mereka. Dalam kejar­ mengejar itu, ia menembak si komandan dan dua anggota Kopassus dengan senapan Springfield tuanya. Senapan tersebut kelak dipotong Aceh Monitoring Mission, lembaga pemantau perdamaian Aceh, sebagai bagian dari proses pemusnahan sen­ jata setelah konflik pemerintah Indonesia dan AM berakhir. Tiga tahun setelah deklarasi GAM, Hasan Tiro meninggal­ kan Aceh dan memimpin sebuah pemerintahan eksil di Swedia. "Pada tahun 1990, Wali menelepon saya. Katanya, berapa orang yang tinggal sekarang. Saya jawab, ada empat orang yang tidak kena tembak. Yang meninggal lima. Dari 25 yang tak menyerah," tuturnya. "Wali juga cakap (berkata), jaga bendera, duduk di gu­ nung. Sebelum merdeka, jangan turun. Kalau saya balik, baru turun, cakap (kata) Wali," tambahnya, lagi. Ketika Tiro akan pulang ke Aceh untuk pertama kali di bulan Oktober 2008, orang-orang dari Komite Peralihan Aceh atau KPA memberitahunya. KPA organisasi mantan gerilyawan GAM. "Waktu Wali sampai di Malaysia, Wali tanya (pada orang) Apa Gani ada. Ada. Sehat? Sehat. Tengku Harun? Sehat. Tengku Ishak sehat? Sehat. Kalau saya turun dari kapal ter­ bang, saya ingin jumpa mereka, cakap Wali." Apa Gani menjemput Tiro di bandara. Namun, Tiro tak mengenalinya lagi. Setelah hampir 30 tahun berpisah, rupa dan penampilan Apa Gani pun banyak berubah. Orang-orang sibuk menyambut Tiro

dan perhatian mereka hanya terpusat pada­

nya, sehingga lupa mengenalkan kembali kedua orang ini. "Baru tahu begitu sampai pendopo (kantor gubernur). Ini yang dicari, kata Irwandi (Yusuf) pada Wali, Apa Gani. Mana?

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 37

Ini. Langsung kami berpelukan. Wali hanya calcap, 'Meutuwah, meutuwuah'. Hanya itu. Tak bisa bicara banyak. Suaranya se­ perti tak keluar," kenangnya. Meutuwuah berarti bertuah da­ lam Bahasa Indonesia. Ia masih ingat perjalanan terakhirnya bersama Tiro ke hu­ tan Jeunib. Kelak dari hutan ini, Tiro dan empat pengikutnya, termasuk Daud Paneuk, menempuh jalur laut ke Malaysia dan setelah itu pergi ke Swedia. Ia masih ingat pesan Tiro. "Kawan-kawan semua tinggal dalam hutan untuk menjaga harimau, itu cakap Wall. Apa Gani, Komandan Rasyid, semua jadi labang (paku) Bangsa Aceh, cakap Wali," katanya. "Di kantong Wali ada satu batu. Batu kecil seperti timah, tapi bukan timah. Wali bilang, emas ada, intan ada, bagaimana kayanya kita. Tapi diambil oleh Jawa. Itulah sebabnya kita ber­ juang," lanjutnya. (Aceh Feature, 15 Mei 2010)

Mengenang Hasan T iro

AISYAH ingin mengucapkan selamat tinggal untuk abangnya. Sesaat sebelum jasad Tengku Hasan Muhammad Ditiro atau Hasan Tiro diturunkan ke liang lahat, dia minta dibolehkan menciumnya untuk terakhir kali. Kain kuning penutup jenazah pun dibuka, Aisyah mencium wajah terbungkus kafan itu. Para lelaki di sekitar liang kemudian mulai bekerja, me­ nurunkan dan membaringkan abangnya di sana. Berkali-kali mereka adik-beradik berpisah dan yang ter­ lama sepanjang tiga puluh tahun itu, setelah Hasan Tiro men­ deklarasikan kemerdekaan Aceh dari negara Indonesia. Na­ mun, sekarang dia dan lelaki yang dipanggilnya "Cut abang" ini berpisah selamanya. Di pemakaman tak hadir Karim, putra tunggal abangnya yang belum pernah dia lihat. Karim tengah menjaga ibunya yang sakit di negeri yang jauh dan juga tak pernah dia kun­ jungi. Tiro meninggal dunia akibat infeksi jantung, gangguan pernapasan dan leukemia, di usia menjelang 85 tahun.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Lebih seribu orang menyaksikan upacara pemakaman pe­ mimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, atau biasa mereka panggil "Wali", di Desa Meureu Lam Glumpang, Indrapuri. Para pelayat beragam usia dan latar belakang. Orang de­ wasa, anak muda, anak-anak. Penduduk kampung, aktivis, politisi, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya juga melihat bekas panglima GAM yang kini menjabat ketua Partai Aceh, Muzakkir Manaf. Gubernur Irwandi Yusuf tampak di antara rombongan duka. Hari menjelang maghrib, pukul 18.30. Teriakan takbir "Allahu Akbar" terdengar lantang, berkali-kali, mengiringi ja­ sad Tiro bersatu dengan tanah. Sejumlah perempuan terisak. Ada yang saling menatap, lalu berpelukan. Di pintu masuk makam terlihat papan bertuliskan "MA­ KAM PAHLAWAN NASIONAL TGK CIK DITIRO". Tiro dima­

kamkan di sebelah Tengku Cik Ditiro, yang terhitung kakeknya dari sebelah Ibu. Penggagas kemerdekaan Aceh ini adalah doktor hukum lulusan Universitas Columbia, Amerika Serikat. Di masa kuliah dia bekerja sebagai staf bagian penerangan delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, pada 1954 dia meng­ umumkan dirinya sebagai duta besar Darul Islam/Negara Islam Indonesia, membelot dari republik. Ketika itu dia memang orang kepercayaan Daud Beureuh, bekas gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo yang memberontak dan mem­ proklamasikan Darul Islam di Aceh sebagai bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di tanah Jawa. Tiro memprotes Per­ dana Menteri Ali Sastroamidjojo, yang dituduhnya melakukan pembasmian etnis. Tiro menuntut pengbentian serangan pe­ merintah Indonesia

di basis-basis Darul Islam di Jawa, Sula­

wesi, dan Kalimantan.

39

40 LINDA CHRISTANTY

Setelah Beureuh menyerah dan para pengikutnya meneri­

ma tawaran bergabung dengan militer Indonesia atau di lem­ baga negara, Tiro tak mengikuti jejaknya. Dia mengajak se­ jumlah pengikut Darul Islam untuk melanjutkan perjuangan bersamanya, tapi mengubah taktik jadi lebih sekuler, tidak lagi berbasiskan Islam melainkan nasionalisme Aceh. Pemerintah Indonesia berganti. Sukarno tak berkuasa lagi. Tiro mengusulkan bentuk negara federal untuk Aceh pada Soeharto, penguasa baru. Namun, usulnya ditolak mentah­ mentah. Soeharto juga mengeluarkan perintah untuk menang­ kapnya. Jalan damai telah ditutup negara Indonesia. Pada 1974, dia kembali ke Aceh setelah meninggalkannya lebih dari 20 tahun. Di kepulangan yang berikutnya, pada 4 Desember 1976, Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dan memimpin perjuangan bersenjata melawan pemerintah Indo­ nesia. Dua tahun setelah itu, dia kembali meninggalkan Aceh dan memimpin perlawanan dari pengasingannya di Stockholm, Swedia. Ketika GAM mulai melemah akibat gempuran militer Indonesia, bencana tsunami melanda Aceh. Peristiwa ini mem­ percepat proses perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM. Pada 15 Agustus 2005, di Helsinki, kedua pihak sepakat

mengakhiri perang. Tiro pun pulang ke Aceh untuk pertama kalinya di bulan Oktober 2008. Anak-anak kecil yang berdiri di sekeliling saya ikut men­ doakan Tiro. Mereka mengangkat tangan dengan khusyu saat imam melafal Al Fatihah. Sebelum jenazah Tiro datang, saya berbicara dengan se­ jumlah perempuan di muka pos ronda, di tepi jalan desa, seki­ tar satu kilometer dari makam. Mereka menunggu mobil jena­

zah lewat. Sebagian ingin ikut menyaksikan pemakaman.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 41

Hamna bercerita bahwa dia sedang berada di sawah ketika putrinya, Nurul, berlari-lari mengabarkan, "Tengku sudah tak ada, Tengku sudah tak ada, Mak!" Nurul baru saja menonton televisi yang menyiarkan kematian Tiro di rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. "Bukan main sedihnya saya. Sudah tak ada lagi orang yang memperjuangkan negeri ini, memperjuangkan bangsa Aceh," katanya, lirih. Hamna tidak pernah bertemu Tiro secara Iangsung. "Tapi di masa konflik, Meureu ini tempat yang gawat. Kalau orang-orang (tentara Indonesia) tu datang, tak peduli orang sedang makan, sudah... langsung dipukul terus dituduh GAM," katanya. Nurhayati lebih beruntung. "Saya pernah melihat Tengku waktu Tengku ziarah ke ma­ kam Cik Ditiro, waktu dia pertama pulang Oktober itu. Wajah­ nya putih, bersih sekali," tuturnya, dengan nada riang. "Tapi saya sedih Tengku tak ada lagi. Sedih ingat waktu konflik. Kami di sini sangat susah, apalagi Tengku di sana pasti lebih susah lagi memikirkan

di sini." Suaranya sengau. Mata­

nya langsung memerah, berkaca-kaca. Nurhayati tengah menggendong anaknya yang masih ba­ lita. Dia tidak akan ikut ke pemakaman. "Anak-anak masih

kecil, nanti siapa yang menjaga. Biar mendoakan saja," kata­ nya. "Tadi ada gempa,

Kak. Mungkin bumi juga ikut berduka,"

tutur Rita, yang baru tiga bulan tinggal di desa ini, ikut suami. Sore tadi, gempa 5,8 skala Richter memang mengguncang Aceh. Tiga hari sebelum kematian Tiro, saya berjumpa salah se­ orang anggota pasukan pertamanya di Banda Aceh. Abdul

42

LINDA CHRISTANTY

Gani, berusia 65 tahun. Dia baru saja pulang dari menjenguk Tiro di

rumah sakit. "Wali sudah tak kenal orang lagi. Sudah pakai (masker)

oksigen. Badannya diselimuti kain batik," tuturnya. Dia melihat Aisyah, adik Tiro, duduk menunggui abangnya di kamar pas1en. Hampir tiga puluh tahun Tiro dan para pendukungnya berjuang. Tapi Aceh tak jadi merdeka. "Kalau Wali sudah tidak ada, Aceh pun tidak merdeka, biarlah saya pergi dari Indonesia," katanya. Areal pemakaman penuh orang. Para pelayat memenuhi jalan. Mobil-mobil diparkir di tanah kosong di sela-sela sawah. Dengan dimakamkannya Tiro di makam pahlawan ini, di sam­ ping seorang pejuang, kakeknya sendiri, menjadi peringatan bagi siapa pun bahwa tiap darah di Aceh yang menetes akibat kesewenang-wenangan akan membangkitkan perlawanan tanpa henti, turun-temurun. Bukan hanya dari keturunan Ditiro, tapi seluruh bangsa Aceh. (Aceh Feature, 4 Juni 2010)

Perempuan Penjaga Perdamaian

RUANG kelas di satu sekolah menengah ini telah dipenuhi 35

murid. Semuanya perempuan. Usia mereka beragam. Dua pu­ luhan, 30-an, 40-an, 50-an, 60-an... Bahkan dua nenek juga hadir dalam kelas. Ada pula ibu muda yang mendekap bayinya sambil menyusui. Beberapa membawa serta anak-anak yang masih balita. Tapi tidak ada tangis bayi atau jerit kanak-kanak dalam ruang. Para perempuan, ibu dan nenek duduk tertib. Mereka ber­ pakaian rapi, mengenakan setelan baju panjang dan kerudung. Bibir kedua nenek itu tampak merah bata oleh gincu. Mereka siap belajar menulis. Buku catatan dan bolpen tampak di atas meja. Sekolah ini terletak di Kecamatan Bener Meriah, Aceh Tengah. Satu ruang kelas sengaja dipinjam Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras Aceh) un­ tuk melatih para ibu menulis. Saya diminta mengajar di kelas tersebut.

44 LINDA CHRISTANTY

Aceh Tengah juga dijuluki "dataran tinggi Gayo'', terkenal sebagai daerah penghasil kopi di dunia. Gerai kopi macam Starbuck juga menjual kopi Gayo. Di sini udara sejuk masih terasa sampai siang hari. Di pagi hari saya lebih memilih man­ di dengan air hangat. Sekitar setengah jam berkendaraan dari lbukota Takengon, ada tempat yang disukai pelancong: Danau Laut Tawar. Danau yang begitu luas dengan bukit dan sawah hijau terhampar membuat perasaan tenang dan mata sejuk. Pada 1942 kakek saya Tubagus Abdul Malik bin Ismail bin Zainuddin Talib menjejakkan kakinya

di Tanah Gayo setelah

memberontak terhadap tentara pendudukan Jepang di Palem­ bang. Sesudah

Tuk Malik, saya orang kedua dalam keluarga

kami yang menjejakkan kaki di sini.

Ketika konflik bersenjata masih berlangsung antara peme­ rintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, dae­ rah yang indah dan harum kopi ini terkena imbasnya. Masya­ rakat yang terdiri dari suku Gayo, Aceh, dan Jawa tidak hanya jadi korban, melainkan terseret dalam pusaran konflik. Suku Jawa dianggap mendukung tentara Indonesia, sedang suku Aceh dianggap mendukung GAM. Suku Gayo dianggap men­ dukung suku Jawa. Hal itu tecermin dalam kelas. Para peserta tidak saling membaur dan lebih suka duduk mengelompok berdasarkan kedekatan suku. Setelah memperkenalkan diri, saya minta mereka menge­ nalkan diri. Saya kemudian bertanya, "Apa gunanya menulis? Apa gunanya bercerita?" Ada yang menjawab untuk berbagi pengalaman. Ada pula yang malah bertanya, "Iya, ya, apa gunanya?" Berkebun meng­ hasilkan panen, memasak menghasilkan makanan. Tapi me­ nulis menghasilkan apa? Bukankah setelah kelas ini berakhir,

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 45

kami tidak jadi wartawan dan kembali lagi ke kebun atau sibuk dalam kerja rumah tangga? Seorang dari mereka menyahut agar dari cerita itu orang­ orang mengetahui kebenaran di masa konflik
dan tidak men­

jadi "tuan" di rumah sendiri ini kelak menjadi alasan GAM untuk meraih dukungan warga. GAM juga menggunakan ke­ kuatan bersenjata untuk memerdekakan Aceh. Negara Indo­ nesia menganggap tindakan GAM mengancam persatuan

dan

kesatuan negara. Namun, kesepakatan damai antara dua pihak

46 LINDA CHRISTANTY

yang bertikai berlangsung di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Konflik secara resmi berakhir. Tapi dampak yang ditinggalkannya belum hilang. Salah seorang ibu berkata bahwa tuntutan GAM ada be­ narnya. Sebab tanpa ada GAM pun terlihat kurangnya perhati­ an pemerintah pusat terhadap daerah. Tapi suku Jawa tidak layak jadi sasaran. Pemerintahan Indonesia di Pulau Jawa ti­ dak berdasarkan suku, katanya. Ada lagi yang berkata bahwa dia selama ini menganggap semua orang Aceh adalah GAM. Akhirnya peserta kelas menulis ini sepakat bahwa konflik yang mereka bahkan tak terlibat langsung telah membuat mereka saling bermusuhan dan terpecah-belah. Menceritakan pengalaman tersebut secara tertulis membuat anak-cucu dan bahkan dunia mengetahuinya, sehingga tidak lagi terulang hal yang sama. Pada 21 Mei 2009, di hari terakhir kelas menulis n i i para peserta menjadi dekat satu sama lain. Mereka saling membaur dan tertawa. Maemunah, nama salah seorang nenek, menya­ nyikan lagu Gayo untuk saya sebagai tanda perpisahan. "Lagu ini biasa dinyanyikan untuk mengiringi anak perem­ puan yang akan menempuh hidup berkeluarga," katanya. Suaranya merdu sekali. Dia menyanyi penuh perasaan. Semua orang terharu. Beberapa waktu lalu, saya mendengar para ibu dan perem­ puan ini mendeklarasikan kampung cinta damai. Perempuan dari tiga suku mengucap ikrar dan melepas burung merpati. Mereka berjanji akan membangun kampung-kampung cinta damai yang lain. (Majalah Marie Claire, April 2011)

Jilbab Dek Tata

INDIRA atau Tata, adik saya, berjilbab sejak ia masih kuliah di semester dua jurusan statistika FMIPA, Universitas Padja­ djaran, Bandung. Dua puluh tahun lalu, ketika Tata memutus­ kan berjilbab, pemerintab Soeharto justru mewaspadai peng­ gunaannya. Menjelang kelulusannya, Tata diminta berpotret untuk fo­ to di ijazah sarjananya. Ia juga diminta melepas jilbab saat dipotret. Tata menolak melepas jilbab. Akhirnya ia harus me­ nandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak akan menuntut apa pun di kemudian hari bila foto itu ber­ dampak terbadap hidupnya, termasuk susah memperoleh pe­ kerjaan. Di SMAN 3, Jalan Belitung No. 8, Bandung, tempat adik saya Budhi bersekolah, para siswi secara resmi dilarang ber­ jilbab waktu itu. Jilbab dianggap bukan bagian dari ajaran Islam, melainkan proses Arabisasi (dan uniknya pengusung Arabisasi anti terhadap Westemisasi yang mereka sebut seba­ gai "Barat''). Sementara pemerintah Indonesia menganggap ge-

48 LINDA CHRISTANTY

rakan berjilbab merupakan bagian dari propaganda kaum fundamentalis Islam, yang hendak menyeragamkan ajaran Islam berdasarkan penafsiran mereka sendiri dan tindakan tersebut dianggap mengancam demokrasi-meski dalam praktiknya, pemerintah Soeharto juga melanggar demokrasi. Ketika itu pengajian-pengajian marak di Bandung, ter­ masuk pengajian yang diselenggarakan Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym yang berpusat di rumahnya sendiri,

di saat ia

belum terkenal dan berkhotbah di televisi. Saya pernah datang sekali ke pengajiannya bersama Tata untuk mengetahui isi ceramahnya. Gaya ceramah Aa Gym agak berbeda dengan Kyai Haji Zainuddin Mz yang sudah terkenal. Ia bertutur kalem dan menyelipkan ungkapan-ungkapan lucu, sedang Zainuddin lebih lugas dan penuh sindiran yang juga lucu. Yang saya ingat, logat Sunda Aa Gym kental sekali, dan hal itu membuat ia terdengar makin lucu di telinga saya. Kelak ia berpoligami dan tidak populer lagi. Zainuddin belakangan lebih gawat. Dia mencabuli seorang siswi sekolah menengah dan kasus ini baru terungkap setelah sembilan tahun berlalu. Sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung seingat saya punya lingkaran pengajian sendiri, begitu pula mahasiswa Universitas Padjadjaran. Di belakang sekolah saya, SMAN 1, ada masjid Salman dan istilah "anak-anak Salman" begitu po­ puler sebagai julukan untuk mahasiswa yang giat mengikuti pengajian. Apa yang disebut pengajian di Bandung ternyata berbeda dengan pengertian pengajian yang saya pahami selama ini. Ia bukan kegiatan membaca Alquran bersama-sama, me­ lainkan kegiatan mendengar ceramah-ceramah tentang Islam dan tidak seorang pun terdengar membaca Alquran. Beberapa kampus melarang mahasiswi berjilbab. Perempu­ an yang mengenakan jilbab ke kantor juga mendapat teguran dari atasan mereka. Sejumlah perempuan sukar memperoleh

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 49

pekerjaan, karena berjilbab. Mereka yang berjilbab dianggap aneh dan keanehan itu dianggap berbahaya. Tapi orangtua ka­ mi punya pandangan terbuka dan menghargai perbedaan. "Mungkin inilah pakaian yang sesuai dengan hati adikmu," kata Ibu pada saya. Sejak kecil selera berbusana Tata agak unik. Baju-baju yang dibeli Ibu

di toko jarang sekali berkenan di hatinya. Ia

tidak suka hiasan pita, kerah renda, apalagi lengan ber­ karet. Jangankan baju,Tata kecil pun tidak suka mengenakan pakaian dalam bikinan pabrik. Kakek kami bahkan berinisiatif merancang celana dalam dari bahan katun untuk Tata dan menjahit sendiri celana dalam untuk cucunya ini, yang tentu saja berukuran dua kali lipat ukuran semestinya demi kenya­ manan si pengguna. Apa jawaban Tata sendiri tentang jilbabnya? "Tata berjilbab agar Allah mencintai Tata, Kak," katanya pada saya, belum lama ini. Oh.... "Selain itu, Tata juga merasa nyaman dengan pakaian ini," lanjutnya. Percis penjelasan Ibu kami. Saya kemudian bertanya kenapa Tata tidak memaksa saya memakai jilbab agar Allah mencintai saya juga. "Memakai jilbab atau tidak, itu urusan pribadi!

Tidak bo­

leh dipaksakan sama sekali. Keyakinan tiap orang berbeda. Tidak siapa pun berhak memaksa orang lain untuk punya ke­ yakinan yang sama dengannya," katanya, sambil terheran­ heran mendengar penuturan saya tentang penerapan hukum Islam di Aceh pascakonflik. Tata tidak pernah mencela celana jins atau blus lengan pendek saya, seperti halnya saya tidak mempersoalkan jilbab­ nya. Kami menghargai pilihan busana masing-masing.

50 LINDA CHRISTANTY

Dalam keluarga besar kami tidak satu perempuan pun mengenakan jilbab sebelum Tata memecah rekor tersebut. Para nenek saya dari sebelah ayah, para syarifah itu, ibu saya dan bibi-bibi saya juga tidak berjilbab. Seingat saya, mereka me­ ngenakan selendang atau kerudung untuk menutup kepala di saat menghadiri acara kenduri. Anak-anak perempuan menge­ nakan setelan selendang dan baju kurung saat hendak pergi mengaji. Berbeda dengan masa Soeharto, kini jilbab jadi tren dan di Aceh, ia malah wajib dikenakan oleh perempuan muslimah. Seperti halnya memelihara jenggot dan bersorban, jilbab ada­ lah fenomena yang berulang. Gerakan penampilan ini kemu­ dian dihubung-hubungkan dengan kebangkitan kembali Islam. Namun, apa yang disebut "kebangkitan kembali" justru tidak sesederhana apa yang terlihat. Dinamikanya ternyata lebih dari sekadar jilbab, sorban, dan jenggot itu. "Kebangkitan kembali" tadi juga tidak merujuk pada ga­ gasan tunggal, melainkan terpecah dalam dua aliran: funda­ mentalisme dan revivalisme. Kaum fundamentalis ingin mengembalikan ajaran Islam ke masa ribuan tahun lalu, atau seperti di zaman kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, dan menganggap masa-masa terse­ but sebagai bentuk sempurna penerapan Islam dibanding sela­ ma 1n1. Revivalisme adalah kebangkitan kembali Islam melalui cara-cara yang sesuai peradaban manusia dan kemajuan zaman. Alquran dan hadist ditafsirkan dengan semangat kekinian. Cara berpakaian Tata memang ala kaum fundamentalis, tapi cara pandangnya adalah cara pandang revivalis. Ia tidak menganggap muslimah yang tidak berjilbab sebagai kaum sesat. Ia juga tidak setuju terhadap wajib jilbab dan kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan syariat Islam.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 51

Kaum fundamentalis juga mencoba menerapkan ajaran Islam yang mereka terjemahkan sebagai penerapan budaya Arab, bahkan sama sekali tidak mempraktikkan ajaran-ajaran penting Islam, seperti penghormatan terhadap martabat manu­ sia dan kaum perempuan. Penerapan budaya Arab ini sering­ kali dengan cara kekerasan, yang bertentangan dengan ajaran agama mana pun. Peristiwa serupa pemah terjadi di Kesultanan Banten pada abad ke-17. Suatu hari Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Gusti kembali dari naik haji dan perjalanannya ke negara-negara Timur Tengah serta Turki. Ia langsung mengeluarkan dekrit yang isinya mewajibkan seluruh rakyat Banten mengenakan baju ala Muslim Arab! Ayahnya, Sultan Agung Tirtayasa, langsung membatalkan dekrit itu. Sultan bahkan meminta para ulama

di Banten, ter­

masuk Syeh Yusuf Al Makassari, untuk menasihati putranya. Kelak Pangeran Gusti berambisi jadi sultan. Ia membe­ rontak terhadap ayahnya dengan dukungan VOC. Pada April 1684 Pangeran Gusti dilantik Belanda sebagai Sultan Banten ke-7, dengan nama penobatan Sultan Abu Nazar Abdul Qohhar,

dan digelari Sultan Haji, karena ia sudah dua kali naik haji ke Mekah sebelum dilantik jadi sultan. Ayahnya, Sultan Agung Tirtayasa, menghabiskan sisa hidup sebagai tawanan perang di kastil Batavia dan wafat setelah dipenjara selama sembilan ta­ hun oleh voe, musuh besar yang dibencinya seumur hidup. Selain memutuskan berjilbab, Tata juga ikut tarekat. Ia memilih Qadiriyah wal Naqsabandiyah, gabungan tarekat Qadiriyah

dan tarekat Naqsabandiyah.

Tarekat Qadiriyah merupakan tarekat tertua. Pelopor tare­ kat ini adalah Abu Shalih Sayyid Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az Zahid bin Muhammad bin Dawud bin

52 LINDA CHRISTANTY

Musa Al Jun bin Abdullah Al Mahdi bin Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Sayyidina Ali, r.a, atau terkenal dengan nama Syeh Abdul Qadir Jaelani

Al Baghdadi, yang lahir di Jilan,

Iran, pada 1077 Masehi dan wafat di Baghdad, Irak pada 1166. Ia seorang Sunni, guru besar mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali. Tarekat mulai marak di abad ke-10. Namun, baru pada abad ke-12 dikenal istilah baiat atau para murid bersumpah untuk mengikuti ajaran sang guru. Ilmu yang diajarkan tidak terbuka untuk umum. Tapi ibarat sekolah, lebih banyak murid gagal ketimbang yang lulus. Tata menyatakan masih bertarekat sampai kini. Saya

ma­

sih ingat bagaimana ia berdzikir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya itulah salah satu ciri tarekatnya. Adik saya, Budhi, pernah mengingatkan Tata bahwa cara semacam itu bisa merusak tulang leher, membahayakan kesehatan. Menurut Budhi, guru Tata sudah ada yang lehemya terkulai dan tidak mampu menegakkan lagi kepalanya secara normal, kemung­ kinan akibat cedera tulang leher. Namun, belum lama ini se­ orang pengikut tarekat berbagi pengalamannya di situs saya, yang berbeda dengan pendapat Budhi. Katanya,

a i justru me­

nemukan kenikmatan dalam berdzikir sambil memutar-mutar tulang leher dan menyentak-nyentakkan kepala dengan ken­ cang. Katanya, tubuhnya terasa ringan. Katanya,

a i seperti me­

layang-layang. Katanya, pikiran positif memenuhi benaknya.

Ada yang mengatakan bahwa tarekat merupakan ibadah dan latihan tambahan bagi orang-orang yang telah sempurna dalam menjalankan syariat, ibadah-ibadah wajib atau pokok dan ibadah-ibadah sunat. Ada pula yang menyebut bahwa ke­ jumudan orang terhadap dunia hari ini membuat tarekat di­ minati, semacam pelarian spiritual dari masalah-masalah du­ niawi.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 53

Namun, Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, mursyid Tarekat Syaziliyah, menyatakan bahwa orang boleh menjalani disiplin tarekat untuk meningkatkan kualitas takwa dan ke­ imanannya kalau ia sanggup dan

pu secara jasmani dan

mam

rohani. Tarekat lebih tepat untuk mereka yang telah menunaikan tanggung jawab duniawinya, memenuhi kebutuhan hidup diri­ sendiri maupun keluarga. Tapi seringkali terdengar seorang lelaki mendalami tarekat dengan meninggalkan pekerjaan dan tidak menatkahi anak-istri dalam waktu tak terbatas. Kembali ke soal jilbab. Setelah Tata, Donna Lestari, sekretaris kantor Aceh Feature, merupakan salah seorang ter­ dekat saya yang berjilbab. Berbeda dengan Tata yang mengenakan jilbab sebagai pi­ lihan, Donna mengenakan jilbab akibat penerapan wajib jilbab di Aceh. Ia mengenakan jilbab karena terpaksa. Suatu hari Donna mengenakan selendang, mengikuti suri tauladan pahlawan nasional Cut Nyak Dien, pejuang Islam Aceh dan pahlawan perang melawan kolonialisme Belanda. Cut Nyak Dien seorang muslimah dan ia berbusana ala muslimah Aceh di masa itu, tidak berjilbab melainkan berselendang. Pot­ ret-potret tua dari masa kejayaan kesultanan Islam di Aceh bahkan menampilkan perempuan Aceh sama sekali tidak me­ nutupi kepala mereka dengan selendang. Cut Nyak Dien juga mengenakan celana panjang dengan rencong terselip di ping­ gang, bukan mengenakan rok seperti yang diwajibkan untuk perempuan di Meulaboh, Aceh Barat, atas nama syariat Islam itu. Pemaksaan penerapan jilbab di Aceh ini bersifat ahis­ toris. Gara-gara tidak memakai jilbab, Donna sudah dua kali ditangkap polisi syariah atau di Aceh populer disebut Wilayatul Hisbah (WH). Menurut komandan WH di Banda Aceh, pe-

54 LINDA CHRISTANTY

nangkapan yang ketiga kalinya bisa membuat si pelanggar aturan ini disidang dan dikenai hukuman cambuk di bagian pantat sebanyak tiga kali. Tapi ada juga WH yang mengancam akan "membina" Donna di ruangan dan menyatakan telah ber­ diri penjara khusus untuk para perempuan pelanggar wajib jilbab seperti Donna. Namun, Donna tidak gentar terhadap WH Ia hanya kha­ .

watir keluarganya diintimidasi, seperti dulu militer menginti­ midasi keluarga orang-orang yang menentang kediktatoran di masa Orde Baru atau yang dituduh anggota Gerakan Aceh Merdeka. Dulu orang takut terhadap militer, kini takut terha­ dap syariat Islam. Kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnama­ kan syariat Islam menemukan bentuknya yang paling buruk di Langsa, Aceh Timur, akhir tahun lalu: pemerkosaan. Tiga WH membawa mahasiswi berusia 20-an ini ke kantor mereka, lalu memperkosanya secara bergiliran. Si perempuan dituduh ber­ buat maksiat, tapi tidak terbukti. Pasangannya dipersilakan pulang ke rumah, sedang ia diperkosa. Reaksi di kalangan WH bermacam-macam. Ada yang menyebut itu tindakan oknum, tapi ada pula yang membela para pelaku dengan menyatakan pemerkosaan tadi wajar terjadi lantaran si perempuan sudah ''bolong" alias tidak perawan lagi. Korban sudah "bolong" atau tidak "bolong", tetap saja disebut pemerkosaan dan tindak ke­ jahatan berat seperti ini harus dihukum berat pula. Di Republik Yaman, negara yang menerapkan sebagian hukum Islam saja ganjaran untuk pemerkosa tidak main-main. Pemerkosa digiring ke lapangan terbuka. Sehelai kain merah dibentangkan. Pemerkosa diminta tengkurap, lalu algojo me­ nembak kepalanya dengan senapan otomatis. Di hadapan ke­ luarganya

dan publik, ia dieksekusi mati.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Belum lama ini tersiar kabar tentang penerapan syariat Islam di kabupaten Bireuen, Aceh. Masyarakat diimbau se­ kelompok orang agar tidak menolong perempuan yang terluka parah dalam kecelakaan lalu-lintas bila si perempuan tidak me­ ngenakan jilbab. Pemyataan semacam ini sungguh menggang­ gu Nabi Muhammad (sebab menurut keyakinan umat Islam,

para nabi dan rasul tidak mati). Seorang teman bercerita bahwa mayoritas kaum akademi­ si di Aceh pun tidak bisa diharapkan dalam menentang ke­ kerasan terhadap perempuan. Banyak yang mengajak me­ lupakan kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan Aceh

di masa konflik
pemerkosaan itu tidak pernah terjadi. Rata-rata tidak mau membicarakan kekerasan dan pemerkosaan terhadap perem­ puan akibat penerapan syariat Islam. Seorang dosen bahkan berkata dengan lantang bahwa ke­ kerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan ce­ ngeng. Oh ya? Kalau begitu, kaum perempuan di Aceh dan di mana pun mari kita bersatu dan melawan, jangan pemah me­ neteskan airmata sampai musuh-musuh kita tumpas. (www.lindachristanty.com, 20 Agustus 2010)

55

Jangan Tulis Kami Teroris

TENGKU Mustafa berusia 20-an. Tubuh kecil. Kurus. Kulit hi­ tam. Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis. Kopiah hitam beludru bertengger di kepala. Jaket dari bahan plastik mem­ bungkus tubuhnya. Pagi itu dia tidak banyak bicara. Berkali­ kali dia tertidur. Ketika terjaga, tatapannya lurus ke depan. Tegang. Dia duduk di sebelah saya, di jok belakang. Mustafa santri lulusan Darul Istiqomah, Bireuen. Sekarang dia dipanggil "ustadz"

dan sering berkhotbah di berbagai tem­

pat. Dia tahu jalan menuju Darul Mujahiddin. Dia mengenal pemimpin dayah itu, menyebutnya "beliau". Teuku Zulfahmi atau biasa disapa Fahrni duduk di jok depan, di sebelahnya Tu Nazir yang mengemudi mobil. Tak berapa lama, Mustafa menghubungi seseorang dengan telepon selulernya. Setelah itu dia berpaling pada saya dan ber­ kata, "Haros pakai jilbab. Tidak boleh pakai celana. Haros pa­

kai rok atau sarong." Dia menyampaikan apa yang dikatakan orang di telepon tadi.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 57

Saya mengenakan setelan kemeja katun dan celana pan­ jang, dengan selendang melilit leher. "Kalau pakai selendang?" tanya saya, menunjuk selendang saya. "Tidak boleh. Haros pakai jilbab," jawab Mustafa, terdengar seperti perintah. "Berarti saya tidak dibolehkan masuk dayah itu?" tanya saya. Dayah sebutan untuk pesantren dalam bahasa Aceh. Tu Nazir menukas, "Kalau mau pakai selendang juga boleh. Tak pakai juga boleh. Mana yang nyaman saja. Bisa. Nanti kita bisa masuk. Siapa saja boleh bertamu ke dayah. Mana ada tamu ditolak." "Mana ada yang tak bisa

di dunia ini. Yang nggak bisa

cuma bikin Mamak dan Bapak, atau bikin Alquran," sambung­ nya, sambil terus mengemudi. Fahrni tergelak, "Kalau ada Tu tak ada yang tak bisa, Kak."

Mustafa diam. Dia tidak sanggup berdebat lagi. Dia benar­ benar letih dan mengantuk. Semalaman dia, jumlah santri

Tu Nazir dan

se­

di satu dayah di Darussalam, Banda Aceh, be­

gadang untuk memanjatkan doa pengangkat harta karun. Bantuan para jin pun sudah mereka kerahkan dengan sogokan madat Turki yang terbuat dari getah kayu gaharu. Tapi wujud barang-barang antik yang diharapkan belum muncul dari da­ Jam tanah. Yang tampak baru pecahan porselen, sedikit emas, dan beberapa koin mata uang bergambar kakek bangkok ber­ tongkat. Yang terbanyak ya... kulit-kulit kerang. Mustafa kemudian benar-benar

tak bersuara. Dia tidur.

Tu Nazir bertubuh sedang, berkulit sawo matang. Tepat di

tengah keningnya yang kehita.man akibat kelewat banyak sujud

58 LINDA CHRISTANTY

di lantai itu ada kerut dalam melintang. Di seputar mata Tu tampak lingkaran hitam, menandakan orang yang jarang tidur cukup. Kumisnya lumayan lebat, tapi dia tidak memelihara jenggot. Pagi itu dia mengenakan kemeja batik coklat kemerahan. Tu adalah panggilan penghormatan orang terhadapnya. Nama lahirnya, Naziruddin. Usia 52 tahun. Beristri empat, beranak empat. Ketika saya bertanya kenapa dia sampai beristri empat, Tu menjawab, "Mereka yang mengejar-ngejar saya, melamar pula. Itu karena kebodohan mereka sendiri. Mana ada buaya menolak mangsa kan?" "Kakek moyang saya
tutur Tu. Serambi Indonesia atau populer disingkat Serambi meru­

but pelakunya, GAM,"

pakan harian terbesar di Aceh. Selain memadamkan listrik satu kabupaten,

Tu

pernah

membakar kantor kecamatan. Di kantor itu pula bermarkas

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 59

polisi

dan tentara. Komando Pasukan Khusus atau Kopassus

lagi-lagi menuduh GAM pelakunya. Setelah situasi makin genting, Tu memutuskan pergi ke Jakarta. Dalam pelarian, Tu hidup tak menentu. Di tengah kesusahan ini, menurut

Tu, dia berkenalan de­

ngan lelaki bernama Habib Sultan, pemilik sebuah toko di Bekasi. Habib Sultan anggota Jamaah Tabliq.

Tu minta peker­

jaan padanya. Tak berapa lama Tu sudah ikut rombongan Jamaah itu ke Thailand dan India selama 40 hari. Orang-orang Jamaah Tabliq mengelana dari kota ke kota, dari negeri ke negeri untuk berdakwah dengan bekal seadanya. Jamah Tabliq berpusat di Pakistan. Setelah ikut Jamaah Tabliq, Tu pun mulai berhubungan dengan kelompok Islam radikal.

Kelak dia diberi tugas khusus oleh militer yang tidak ingin di­ jelaskannya pada saya secara rinci. "Saya diberi alamat seseorang bernama Amrozi. Saya se­ benarnya salah orang. Tapi ya sudah. Dari sanalah saya jadi kenal Imam Samudra. Orang-orang itu banyak uangnya. Saya jumpa

di Nagoya, nama satu diskotik di Batam," katanya, sam­

bil mengemudi. Namun,

Tu tidak ingat lagi tahun dia bertemu mereka.

Nama Imam Samudra mulai dikenal saat dia dituduh ter­ libat pengeboman gereja di Batam pada malam Natal tahun 2000. Bekas panglima GAM, Fauzi Hasbi, yang kelak bekerja sebagai mata-mata militer Indonesia, juga dinyatakan terlibat dalam aksi-aksi born Natal pada tahun tersebut dan awal 2001. "Dateline'', program di jaringan televisi Australia SBS, pa­ da 12 Oktober 2005 menayangkan film dokumenter

Inside

Indonesia's War and Terror yang mengurai keterlibatan militer

60 LINDA CHRISTANTY

Indonesia dalam rangkaian aksi born tadi. Lamkaruna Putra, putra Fauzi, di film tersebut menunjukkan dokumen-dokumen resmi penugasan Fauzi dari militer Indonesia. Dokumen itu bertahun 1990 dan 1995. Fauzi adalah putra seorang pemimpin Darul Islam (DI) di Aceh, Abu Hasbi Geudong, yang dikenal sebagai orang

kedua

setelah Daud Beureuh dalam gerakan DI Aceh. Diceritakan da­ lam film dokumenter tersebut, Hasbi Geudong kelak berangkat ke Malaysia pada 1985, bersamaan dengan kedatangan dua tokoh DI Jawa Tengah, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir ke negeri tersebut. Pada 2002 Fauzi bekerja sebagai agen khusus Badan Intelijen Negara. Dia meninggal secara misterius di Ambon pada 22 Februari 2003. Umar Abduh, yang dulu terlibat pembajakan pesawat Garuda ke Bangkok dan ditahan selama 10 tahun di masa Orde Baru, menyatakan Fauzi hadir dalam sebuah pertemuan pen­ ting JI

di Kuala Lumpur pada Januari 2001 yang menyiapkan

aksi kekerasan. Mereka yang hadir antara lain Abu Bakar Ba'asyir, Abu Rela dari Mindanao, Abdul Fatah dari Patani, dan sejumlah orang dari Sulawesi dan Jawa Barat. Hambali memimpin pertemuan itu. Tapi menurut Lamkaruna, semua orang di situ tidak tahu bahwa Fauzi bekerja sebagai mata­ mata intelijen. Sebulan sebelum film dokumenter ini ditayang­ kan

SBS,

Lamkaruna tewas dalam satu kecelakaan pesawat.

Tu mengenal Fauzi dan punya informasi berbeda tentang tempat Fauzi meninggal. "Dia mati di Poso," cetusnya. Nama Imam Samudra kembali mencuat saat born meledak

di Bali. Pada 12 Oktober 2002 born meluluhlantakkan dua tem­ pat hiburan di Kuta. Sekitar 300 orang tewas. Imam Samudra dan Amrozi dinyatakan terlibat pengeboman itu. Mereka berdua dieksekusi regu tembak pada 9 November 2008. Keduanya

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 61

disebut sebagai anggota Jamaah Islamiyah atau JI, organisasi yang dikategorikan jaringan teroris Asia Tenggara oleh Perseri­ katan Bangsa-Bangsa. "Apa pekerjaan Tu sekarang?" tanya saya. "Apa saja. Menggali di parit-parit juga iya," katanya, menggambarkan kerja kuli. Tu keponakan Humam Hamid dan Farhan Hamid. Ibunya

adalah kakak kandung kedua Hamid itu. Humam politikus Par­ tai Persatuan Pembangunan yang mencalonkan diri sebagai gubernur Aceh pada 2006, tapi dia dikalahkan Irwandi Yusuf, mantan GAM. Sementara Farhan wakil ketua Majelis Permu­ syawaratan Rakyat Republik Indonesia. Ayah Tu seorang ula­ ma yang disegani, Tengku Muhammad Amin Arbi alias Abun Tanjungan Samalanga. Karena itu pula Tu mudah berhubung­ an dengan orang-orang dayah dan mereka pun menghormati­ nya. "Ayah Tu adalah guru Abati. Abati adalah guru Tengku Muslim At-Tahiry," kata Fahrni pada saya. Tengku Muslim adalah pemimpin Darul Mujahiddin, dayah yang akan kami kunjungi. Kali ini Fahrni menyertai perjalanan saya lagi. Dua tahun lalu dia menemani saya mencari

dan mewawancarai para ge­

rilyawan tua yang dulu mendeklarasikan Aceh Merdeka ber­ sama Hasan

Tiro, mulai dari Pidie sampai Aceh Barat.

Penampilannya pagi ini cocok untuk musim dingin, bukan untuk orang-orang di negeri tropis: mantel biru laut dari kulit domba tiruan lengkap dengan kerah bulu domba tiruan pula. Karena mobil ini ber-AC, mantel Fahrni berfungsi sempurna menahan dingin. Fahrni tak suka dingin AC, sementara saya semaput tanpa dingin AC. Fahrni memang kurang sehat. Dia mengeluh mual dan pening kepala.

62

LINDA CHRISTANTY

MOBIL akhirnya menikung ke Jalan Line Pipa, kampung Blang Weu Panjoe. Rutan belukar

di kanan kiri. Bukan hutan lebat

dan rapat seperti di jalan menuju Pidie atau Geumpang, Aceh Barat. Mobil terns melaju sampai saya melihat papan nama dayah tegak di kanan jalan. Zawiyah Darul Mujahiddin. Di mu­ ka kompleks dayah ada warung yang menjual makanan ringan dan minuman. Seorang perempuan berjilbab duduk

di muka

warung itu. Pos jaga tak jauh dari warung. Kain merah bertulis huruf­ huruf Arab dengan gambar sebilah rencong di bawahnya meng­ hias pos itu. Seekor sapi langsing diikat

di depan pos. Di be­

lakang sapi yang tampak pendiam ini tegak gedung baru yang belum rampung dibangun dan tiap sisinya ditopang tiang-tiang bambu sebagai penyangga. Dua orang kuli berjalan-jalan di atas gedung tersebut. Wujud bangunan di kompleks dayah Darul Mujahiddin begitu sederhana. Beratap seng atau nipah. Berdinding papan atau setengah papan. Saya berjalan ke salah satu bangunan, lalu memotret pe­ ngumuman yang terpasang di dindingnya: tata tertib dayah. Tiba-tiba seorang lelaki menghampiri saya dan bertanya apa maksud kedatangan saya. Dia memberi perintah, "Turunkan lagi kerudungnya. Rambutnya masih kelihatan." Wajahnya ke­ lihatan tegang. Fahrni langsung menengahi dan berkata bahwa kami ingin bertemu pemimpin dayah. Santri ini menjawab, "Tengku Muslim sedang tidak di tempat. Beliau berada di Langsa untuk berceramah." Dayah ini sempat jadi berita besar di media. Pertama, ka­ rena para santrinya melakukan razia busana yang meresahkan warga. Kedua, sekretaris dayah, Tengku Mukhtar Ibrahim, di­ nyatakan aparat terlibat dalam pelatihan teroris di Pegunungan

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 63

Jalin, Jantho, Aceh Besar. Tapi sebelum ditangkap, Mukhtar menyerahkan diri pada polisi. Dia juga menyerahkan sepucuk senapan M 16, tiga pistol jenis Colt dan ratusan peluru. Tengku Muslim yang menyarankan Mukhtar melakukan hal ini, karena dia mendengar Mukhtar menjadi target polisi. Ujung-ujungnya, Muslim malah diinterogasi polisi. Mukhtar langsung ditahan, tapi dia bebas. Mukhtar kelak dijebloskan ke penjara Jantho. Hampir setahun lalu, pada Februari 2010 polisi sibuk me­ ngejar sekitar 120 orang yang ikut pelatihan militer di Jantho. Mereka dituduh menyiapkan diri untuk melakukan serangan ke sejumlah hotel dan kedutaan besar. Mereka juga dicurigai menyiapkan aksi pembunuhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus tahun itu. Polisi mengejar para pelaku dan menggelar operasi pe­ nangkapan terhadap kelompok tersebut sampai ke Medan dan Jakarta. Dulmatin, salah seorang pemimpin mereka, tewas da­ lam satu penyergapan di Pamulang, Tangerang. Abu Bakar Ba'asyir terancam hukuman mati. Dia didakwa merancang dan mendanai pelatihan militer di Aceh. Ba'asyir terjerat pasal-pa­ sal tindak pidana terorisme. Ba'asyir sempat beberapa kali ke Aceh. Pada 2006, dia menginap di kamp pengungsi tsunami di Jantho, Aceh Besar, selama seminggu. Keponakannya, Abdul Rozak Ba'asyir, tinggal di kamp pengungsi Jantho sebagai relawan Buddha Tzu Chi, lembaga bantuan kemanusiaan yang berpusat di Taipeh, Tai­ wan. Buddha Tzu Chi membangun rumah untuk korban tsu­ nami Aceh. Ketika perumahan Buddha Tzu Chi sedang dibangun di Neuheun, Krueng Raya, Ba'asyir kembali datang dan menginap selama tiga hari di tempat Rozak.

64 LINDA CHRISTANTY

Dalam video tentang rekonstruksi Aceh yang dibuat Buddha Tzu Chi dan beredar di situs Youtube, Master Cheng Yen-pendiri Buddha Tzu Chi-menyebut Rozak sebagai "pem­ beri inspirasi dan pemberi semangat" bagi para pengungsi tsu­ nami. Di video itu Master Cheng Yen juga menyatakan Rozak adalah keponakan "seorang aktivis Islam radikal". Rozak ber­ usia sekitar 50 tahun, berkulit hitam, dengan brewok yang mu­ lai ditumbuhi uban. Di pipi kirinya ada bekas Iuka sayat me­ manjang. Fahrni pernah bertemu langsung dengan Rozak. Ketika itu Fahrni masih bekerja sebagai pengemudi becak motor dan mengantar seorang wartawan asing menemui Rozak di bulan Agustus 2006. Saat itu dia tidak sempat berbicara dengan Rozak. Suatu kali tanpa sengaja mereka bertemu lagi saat Fahrni mengantre bantuan rumah Buddha Tzu Chi. "Rozak berkata bahwa dia membenci masyarakat Aceh yang jadi pengemis gara-gara tsunami. Tapi kami orang Aceh tidak mengemis. Lembaga-lembaga bantuan itu yang datang ke Aceh. Kata Rozak, itulah sebabnya semua dinding rumah Buddha Tzu Chi sengaja dibuat dari ashes dan tidak permanen. Dalam lima tahun dinding rumah itu akan rontok, katanya, biar masyarakat berusaha sendiri untuk membangunnya lagi, biar

tak hidup dari mengemis. Hahaha...." Ianjut Fahrni, ter­

bahak-bahak. Dia tidak mendapat bantuan rumah karena tidak dianggap korban. "Waktu itu ada seorang perempuan, hos Rozak. Dia me­ nemui saya. Wajahnya kelihatan tidak senang. Perempuan ini berkata bahwa suaminya adalah perwira tinggi Kopassus (Ko­ mando Pasukan Khusus) di Jakarta. Dia lancar berbahasa Indonesia," kenang Fahrni. Abu Bakar Ba'asyir, paman Rozak, dikenal sebagai pendiri Jamaah Islamiyah atau JI bersama Abdullah Sungkar. Pada

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 65

1996 mereka berdua membangun JI setelah gerakan Darul Islam atau belakangan dikenal sebagai Negara Islam Indonesia pecah atas beberapa faksi. JI kelak dinyatakan aparat berada

di balik rangkaian teror born di Indonesia, termasuk penge­ boman gereja di berbagai kota, tempat hiburan di Bali, keduta­ an besar dan hotel-hotel di Jakarta. Dayah Mujahiddin sempat disebut-sebut sebagai salah sa­ tu tempat pelatihan militer orang-orang yang menamai diri mereka "mujahiddin" atau "pejuang" ini, selain Jantho. Santri di hadapan saya mulai gelisah dan berkata bahwa dia tidak punya wewenang untuk berbicara tentang dayah. "Lebih baik Tengku Muslim saja nanti yang menjelaskan," katanya. Kami pun saling memberitahu nama masing-masing. "Hairul Riza," katanya. Dia sudah tiga tahun belajar di Darul Mujahidin. Dia menamatkan sekolah menengah atasnya di Paya Bakong, Aceh Utara. Di masa konflik, desa itu dikenal sebagai zona merah. Kontak senjata militer Indonesia dan GAM sering terjadi di Paya Bakong, kawasan kilang gas Exxon Mobil yang juga dikenal dengan nama PT. Arun. Perusahaan yang berbasis di Amerika itu mendukung dan memberi fasiitas pada militer Indonesia melakukan kejahatan kemanusiaan di wilayah ter­ sebut, termasuk penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan. Pada Maret 2006, setelah memeriksa bukti-bukti dan pe­ ngaduan 11 warga, ketua majelis hakim wilayah Amerika Seri­ kat Louis Oberdorfer menyilakan warga Paya Bakong menggu­ gat Exxon Mobil. Hairul berambut pendek. Usianya 20 tahun. Dia menge­ nakan baju koko warna kuning dan sarung motif kotak-kotak putih-merah muda. Kulitnya sawo matang. Tatapan matanya tajam dan penuh selidik.

66 LINDA CHRISTANTY

"Dik, tolong tunjukkan kakak tempat latihan yang disebut­ sebut dalam koran itu," kata saya. Fahrni kemudian berbicara dalam bahasa Aceh kepada Hairul. "Tapi sudah jadi hutan," kata Hairul kepada kami. "Tidak ada lagi." "Tidak apa-apa, kakak hanya ingin melihatnya saja," kata saya. Dia pun mengantar kami mendaki tebing itu. Mustafa ikut serta, sedang Tu memilih menunggu di warung. Lapangan rumput yang tak seberapa luas terhampar di ha­ dapan saya. Semak-belukar hijau mengelilingnya. Di kejauhan terlihat pepohonan dan hutan. Tapi di dekat sini tak ada hutan lebat. Langit putih bersepuh abu-abu. Dari tebing ini saya dapat melihat sebuah pondok kayu

di

bawah sana. Tiang-tiangnya tidak lagi tegak. Setengah dinding­

nya terbuat dari anyaman bambu dan sisanya dibiarkan ter­ buka. Lantainya terdiri dari susunan bilah bambu dan papan. Tidak rapat, tapi bercelah-celah. "Itu tempat santri perempuan mengaji,"

kata Hairul.

"Bentuknya pun sudah mau sujud ke tanah," kata Mustafa, dengan suara pelan pada saya. Rumah tinggal Tengku Muslim tak jauh dari pondok ini. Temboknya hereat putih. Sedan hitam tua terparkir di halaman muka rumah tersebut. Setelah saya memotret, kami bertiga menuju warung dan duduk di sana. Saya mulai mewawancarai Hairul. "Dik, kenapa tertarik masuk pesantren?" tanya saya. Hairul anak sulung dalam keluarga. Adiknya enam orang. "Mengingat kewajiban yang diperintahkan Allah," katanya. Tentu saja, itu jawaban resmi. Tengku Muslim nanti ber-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 67

cerita kepada saya bahwa orangtua Hairul tak sanggup lagi mengatasi kenakalan anak mereka dan mengirim Hairul ke dayahnya untuk dididik. Ada sekitar 100 orang santri laki-laki dan perempuan menghuni dayah ini. "Apa yang adik tahu tentang pelatihan itu?" "Tidak ada pelatihan teroris di sini, seperti kata koran. Ka­ lau pelatihan mujahiddin (pejuang) memang ada. Untuk mem­ bela Palestina. Jumlah yang ikut latihan sekitar 100 orang. Pa­ ra pelatihnya

dari

FPI (Front Pembela Islam). Mereka sudah

minta izin pada pimpinan. Aktivitas mereka juga tidak sem­ bunyi-sembunyi dan dipublikasikan di media," tutur Hairul. Fahrni membenarkan penjelasan Hairul. "Jauh sebelum pelatihan ini ketua FPI daerah pernah membuka posko pendaftaran. Nama ketuanya, Yusuf Al Qardhawi," katanya. "Mereka melatih bela diri, semacam karate. Selain itu be­ lajar Alquran, tes mental berdiri di depan kelas dan ceramah. Peserta pelatihan ini ada sekitar 100 orang. Dari seluruh Aceh. Aceh Timur, Aceh Barat, seluruh

Aceh. Saya sempat ikut-ikut

juga," lanjutnya. Tapi Hairul tidak berangkat ke Palestina. Alasannya? "Se­ dang menyiapkan

diri untuk mempelajari ilmu kitab dan Al­

quran." Hairul juga anggota FPL "Kadang-kadang ada seminar, saya ikut. Yang baru lewat kemarin temanya "Jihad Yes, Teroris No". Di Banda Aceh. Saya jadi panitianya juga," katanya, bangga. "Mengapa tertarik ikut FPI?" tanya saya. "Karena ini organisasi ahlul sunnah

waljamaah. Kewajib­ an orang Muslim untuk melakukan amar makruh nahi mung­ kar. Selain itu, saya belum kenal organisasi lain."

68

LINDA CHRISTANTY

"Tapi FPI sering melakukan kekerasan dan mengancam pemeluk agama lain. Apakah itu salah satu program FPI?" tanya saya. "Kalau orang Kristen sudah mengganggu agama Islam ha­ rus dibalas. Itu sudah menghina agama," jawabnya. "Apa bentuk penghinaan itu?" "Sekarang sudah berlaku hukum HAM (hak asasi manusia). Kalau mendidik anak secara kekerasan, itu katanya melanggar HAM. Padahal kalau menurut Islam, mengajar anak itu bisa.

Seandainya negeri Islam, lalu orang Kristen masuk, tidak menghargai, dalam Islam disuruh perangi." "Tapi Indonesia bukan negara Islam," kata saya. Dia terdiam. "Kenapa FPI tidak ikut membela orang-orang Aceh yang jadi korban di masa konflik, malah membela Palestina yang jauh di sana?" tanya saya, lagi. "FPI memang tidak membahas tentang Indonesia. Mereka membantu Palestina saja." Saya juga menanyakan apa sebabnya saya harus menutup kepala saya. Sebab tadi dia meminta saya menurunkan keru­ dung untuk menyembunyikan rambut saya.

Dia tersenyum, ti­

dak langsung menjawab. "Kenapa rambut perempuan tidak boleh terlihat?" desak saya. "Karena aurat. Mungkin perhiasan. Dan menarik bagi laki­ laki." "Bagaimana dengan rambut uban kakak ini? Apakah me­ narik laki-laki juga?" kata saya, seraya tertawa. Hairul tersipu, lalu berkata, "Nafsu laki-laki itu yang mem­ buatnya jadi tertarik. Mungkin ada juga godaan syaitan." "Kalau begitu kenapa yang disalahkan perempuan, kalau sumber masalah ada pada laki-laki, Dik?"

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 69

Dia tertawa, kemudian menyahut, "Ilmu saya belum cu­ kup. Belum sampai situ untuk menjawab." Telepon seluler Hairul berdering. Dia menjawab panggilan itu. Ternyata dari Tengku Muslim. Setelah itu Hairul menye­ rahkan telepon selulernya kepada Tu Nazir. Tengku Muslim rupanya ingin bicara dengan Tu. Saya mendengar Tu berbicara bahasa Aceh. Hanya bebe­ rapa kalimat yang saya pahami. Tu mengatakan bahwa dia da­ tang bersama Fahrni, sekretaris Abi Lampisang, pendiri Partai Gapthat. Begitu Tu mengembalikan telepon pada Hairul, kami pun kembali bercakap-cakap. Menurut Hairul, dana untuk dayah ini diperoleh para santri dari warga. Mereka turun ke sawah dan pasar untuk mengumpulkan dana. Tidak ada bantuan pe­ merintah. Tiba-tiba telepon seluler Hairul berdering lagi. Sesudah se­ lesai bicara, Hairul berkata bahwa kami dipersilakan mampir ke rumah Tengku Muslim karena istrinya sudah menyiapkan minuman. "Tengku, amanah Tengku (Muslim)

dalam

geyu meulangkah u

(dipersilakan melangkah ke dalam)," kata Hairul pada

tiga lelaki yang bersama saya ini. Dia tidak mengatakan apa pun pada saya. Ketika saya sudah mendaki jalan menuju rumah itu, Fahrni, Tu dan Mustafa masih berada di warung. Dari arah posko Palestina di samping gedung baru terde­ ngar seruan,

"Hai, ka jok ija krong (hai, kau berikan kain sa­

rong)!" Perintah ini tertuju pada Hairul. Menurut Hairul, di situ para dewan guru sedang duduk­ duduk. Mereka tidak terima saya mengenakan celana panjang dan tidak berjilbab masuk ke rumah sang pemimpin.

70 LINDA CHRISTANTY

"Ayo, Kak, kita pulang!" seru Fahrni pada saya. "Lain kali saja kita ke sini. Apa maksudnya Kakak disuruh-suruh pakai sarung!" ujarnya, marah. Saya langsung berbalik arah, menuruni jalan terjal itu. Kami pun bergegas ke mobil. Hairul terhenyak

Sebelum masuk mobil, saya memotret papan dayah. Tiba­ tiba terlihat sepeda motor yang dikendarai lelaki berjubah putih, sedang di boncengannya seorang lelaki berpakaian se­ rupa. Mereka menuju tempat saya berdiri. Lelaki yang dibon­ ceng berteriak,

"Hei Peu ka poto-poto nyan?

(Apa yang kau

foto-foto itu?)" Motor berhenti dan diparkir. Saya tidak mempedulikan mereka, lalu berjalan ke mobil dan membuka pintu. Di jok belakang sudah ada Tengku Mustafa. Salah seorang dari duet jubah putih itu menghampiri mobil kami dan bertanya-tanya dengan suara keras pada

Tu

Nazir yang sudah memegang kemudi. Pipinya agak tembam. Brewokan. Matanya nyalang. Tu menjawab tenang, "Ini wartawan mendengar dayah

kalian dituduh sebagai sarang teroris. Dia ini ingin tahu apa benar atau tidak." Sementara Fahrni masih berdiri di sisi pintu depan dan sibuk berbicara dengan seseorang lewat telepon selulernya. Dia sama sekali acuh terhadap lelaki berjubah yang sibuk bercelo­ teh di sampingnya itu. Orang berjubah ini membalas ucapan Tu, "Wartawan? Dulu ada wartawan BBC datang ke sini. Untuk wawancara,

dia

membawa 50 sak semen. Kalau ke sini wajib menyumbang." Hairul menghampiri lelaki berjubah putih yang tadi bicara pada Tu. Entah apa yang dikatakannya. Saat keduanya sedang terlibat percakapan, mobil bergerak menuju jalan raya.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 71

Tak berapa lama terdengar teriakan lantang orang-orang berjubah, "Jangan tulis kami teroris! Jangan tulis kami tero­ ris!" Kelak Tu menghubungi Tengku Muslim dan menceritakan ulah para santri di dayahnya. Tengku Muslim minta maaf dan berkata bahwa mereka itu memang preman dan sebagian lagi mantan narapidana, bahkan ada yang dia jemput langsung dari penJara. Mustafa kelihatan syok. Barangkali dia tidak menyangka orang-orang dayah berperilaku macam tadi. Mustafa lantas berkata, "Orang Aceh
ulama, masih calon, sudah begitu perilaku," komentar Tu. "Percuma jubah panjang, kalau isi jubah tak ada apa-apa."

Mustafa menimpali Tu. Fahrni lantas bercerita tentang latar belakang politik Tengku Muslim. Dulu dia ikut Partai Bintang Reformasi atau PBR, partai Zainuddin MZ. Dia juga pendiri Partai Gapthat di Lhokseumawe. Fahrni sendiri pemah menjabat sekretaris jen­ deral partai tersebut. "Saya heran kenapa dia ikut FPL Dulu waktu Partai Gapthat pasang bendera di Masjid Raya, Yusuf Al Qardhawi, ketua FPI Aceh, mencabut bendera-bendera kami dan mema­ sukkannya dalam karung dan mengantamya ke kantor. Alasan­ nya itu masjid. Tak boleh pasang bendera partai," kenangnya. "Yusuf sempat mengirim surat edaran ke kantor Gapthat, mengajak berjuang ke Palestina. Dipandangnya kami ini lahan empuk, karena dianggap kami tidak terwadahi memperjuang­ kan Islam di Aceh dan tekad kami dianggap satu untuk Islam,

72 LINDA CHRISTANTY

sehingga bisa dialihkannya di Palestina," lanjut Fahrni. Partai Gaphat tidak lolos verifikasi, sehingga gagal ikut pe­ milihan umum di Aceh tiga tahun lalu. Namun, Fahrni tidak mengerti alasan aparat mengaitkan Darul Mujahiddin dan FPI dengan terorisme. "Ajakan berjihad ke Palestina itu tidak sembunyi-sembu­ nyi. Iklannya dimuat suratkabar Serambi tiga hari setelah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menyatakan mendukung negara Palestina yang berdaulat. Artinya, FPI menyambut pernyataan pemerintah Indonesia lewat tindakan. Tapi setelah itu ada isu mereka teroris. Ini mungkin kontraintelijen. Tapi ini juga me­ nunjukkan skenario mereka yang kurang matang dan mudah terbaca." Fahrni teringat masa Soeharto dulu. "Pemerintah Soeharto tahu betul tentang cara-cara sema­ cam ini. Apalagi Soeharto dulu dekat dengan pemerintah Ame­ rika. Soeharto mendekati dayah-dayah. Di Aceh misalnya ber­ kembang isu Abu Usman Kuta Krueng diberi porn bensin oleh pemerintah. Itu s i u. Perlu diselidiki kebenarannya. Kemudian Jenderal Try Sutrisno pernah menginap dua bulan di rumah­ nya waktu DOM (Daerah Operasi Militer). Artinya, apa? Militer dekat dengan dayah." FPI berdiri pada 17 Agustus 1998 di Jakarta. Tujuan orga­ nisasi ini untuk menegakkan hukum Islam. Pada 2002 FPI mendesak pemerintah menambahkan kalimat "kewajiban men­ jalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya" dalam sila per­ tama Pancasila "Ketuhanan yang Maha Esa". Struktur FPI keti­ ka itu terdiri dari empat dewan: dewan pimpinan pusat, daerah, wilayah dan cabang. Habib Rizieq merupakan salah satu pengurus di Dewan Pimpinan Pusat, sedangkan Abu Bakar Ba'asyir masuk dalam Dewan Pimpinan Daerah sebagai ketua FPI Surakarta.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

FPI memobilisasi aksi-aksi penutupan tempat hiburan ma­ lam atau apa yang mereka kategorikan tempat maksiat. Mereka tidak segan-segan melancarkan serangan terhadap pemeluk agama lain. Mereka terkenal dengan sikap anti asing. Menurut situs Detikcom, pada Juni 1999 FPI membuat rancangan penyelesaian masalah Aceh, termasuk mencantum­ kan penerapan syariat Islam. Sebulan kemudian rancangan ini dibahas di markas Tentara Nasional Indonesia di Cilangkap dan disetujui militer, lalu diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Ketika itu presiden Indonesia masih dijabat BJ. Habibie. Tiga bulan sesudahnya pemerintahan Indonesia meng­ alami perubahan. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meng­ gantikan Habibie pada 20 Oktober 1999. Dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, kami mampir ke Darul Istiqomah, Bireuen. Mustafa ingin menunjukkan bahwa wajah Islam di Aceh tidak hanya seperti yang ditampilkan san­ tri-santri Darul Mujahiddin. Dia berkata bahwa Darul Istiqomah adalah dayah salafiyah. "Tapi kalau orang-orang pesantren tadi melihat kami ini, me­ reka akan menganggap kami sudah keduniawian. Memangnya kita ini tinggal di akhirat? Kita justru menyiapkan untuk di akhirat." Salafi berarti "kuno" dalam bahasa Arab. Orang-orang Salafi menjalankan ajaran Islam dengan mencontoh kehidupan di masa Nabi Muhammad. Para ulama salafi hanya mengakui empat mazhab fiqih Sunni (Hanafi, Hambali, Syafii dan Maliki) dan satu mazhab Syiah (Assyariah atau mazhab Imam 12 atau mazhab Ja'fari). Orang-orang Salafi juga menolak eksistensi tasawuf. Menurut ulama Ibnu Taimiyah, panutan para Salafi, tasawuf tak lebih dari candu dalam agama. Salafi, misalnya anti terhadap Wahhabi, yang dianggapnya telah menyelewengkan ajaran

73

74 LINDA CHRISTANTY

Muhammad. Ajaran Wahhabi satu-satunya ajaran dalam Islam yang menghalalkan darah umat Islam sendiri yang dianggap­ nya tidak menjalankan Islam murni. Di Arab Saudi, sebuah negara Wahhabi, pemimpin dipilih berdasarkan keturunan, bu­

kan berdasarkan kemampuan dan suara rakyat. Hal ini ber­ tentangan dengan nilai-nilai demokrasi ala Nabi Muhammad. Mobil memasuki halaman dayah dan saya melihat ba­ ngunan-bangunan permanen ada dalam kompleks Darul Istiqomah. Keadaan dayah ini secara fisik jauh lebih baik

di­

banding Darul Mujahiddin. Semua santri di sini laki-laki. Mustafa dengan suara pelan meminta saya menutup kepala sa­ ya dengan selendang sampai rambut tak kelihatan. Tak ada bedanya dia dengan

Hairul di Darul Mujahiddin ternyata, tapi

dengan cara yang lebih sopan. Mustafa mengenalkan saya dengan beberapa pengurus da­ yah. Tapi saya akhirnya berbicara dengan Tengku Jamaluddin. Tu dan Fahrni tampak akrab dengan orang-orang dayah ini.

Tengku Jamaluddin ternyata salah satu tim pengangkat harta karun, sekutu mereka. Dia baru saja sembuh dari sakit lambung. Tubuhnya ma­ sih lemas. Wajahnya pucat. Dia mengenakan jaket, berkain sa­ rong. Kopiah putih melekat di kepala. Di dinding ruang tamu terpampang papan berisi struktur kepengurusan dayah dan nama-nama pengurus. Di situ ada namanya. Jamaluddin tidak mendukung jalan kekerasan untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia Islam

hari ini. Dia

juga tidak mendukung tindakan memerangi pemeluk agama lain dalam pengertian fisik.

"Di masa Nabi Muhammad, memang disuruh pilih orang­ orang itu; diperangi atau masuk Islam. Cuma di zaman seka­ rang sudah beda sistemnya. Kini kita pun ada presiden dan pemerintahan, berbeda dengan masa Nabi. Kecuali orang Kris-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

ten merongrong kita, itu lain. Ini kan mereka tidak merong­ rong kita. Yang ada perang urat syaraf saja. Perang ideologi. Maraknya Kristenisasi sekarang harus dilawan dengan penda­ laman ideologi, bukan dengan memerangi orang Kristen," katanya. Menurut Jamaluddin, Islam harus berkembang tanpa membunuh. "Karena itu

akan menimbulkan konflik yang baru. Orang

Kristen masuk ke Aceh statusnya harus dilindungi. Islam itu artinya, selamat dan sejahtera," katanya. SUARA lelaki di telepon membuat saya teringat penyanyi dang­

dut Rhoma lrama. Tengku Muslim At Tahiry berbicara dalam Bahasa Indonesia berlogat Arab. Tapi mendadak berubah jadi Bahasa Indonesia berlogat Aceh, setelah mendengar saya sudah mengunjungi dayahnya bersama Tu dan Fahrni. "Oh, ya, ya, dengan

Tu

Nazir ya waktu itu," katanya,

ramah. Pada 2004 dia mengajar di satu dayah di Aceh Utara. Na­ ma dayah tersebut Madaiyatul Islam. Namun, dayah tadi ber­ diri di atas tanah orang lain. Dia merasa tidak nyaman, lantas memutuskan mencari lokasi untuk mendirikan dayah baru dan menemukannya di Jalan Line Pipa. Muslim sering memimpin para santri untuk menutup tem­ pat-tempat hiburan malam. Akibatnya mereka jadi berhadapan dengan aparat keamanan. Aksi mereka dianggap melanggar hukum. "Akhirnya kami berkumpul untuk mendirikan organisasi. Namanya, Ikatan Masyarakat Anti Maksiat. Tapi ada saran ja­ ngan mendirikan organisasi lain, lebih baik bergabung dengan organisasi tingkat nasional," ujarnya. Dalam proses ini, dia kemudian menelaah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FPI, yang sama-sama beraliran

75

76 LINDA CHRISTANTY

ahlul sunnah waljamaah. "Karena Wahhabi itu susah (diterima) di Aceh," katanya. "Apa beda ahlul sunnah waljamaah dan Wahhabi?" tanya saya. "Sebenarnya Wahhabi mengakunya ahlul sunnah wal jamaah juga. Cuma di Aceh susah diterima, karena orang di sini fanatik. Tiap Maulid, orang Aceh buat kenduri, memperingati hari lahir Rasulullah. Di tempat orang meninggal, orang bikin tahlilan dan mendoakan yang meninggal. Nab, bagi Wahhabi peringatan Maulid dan tahlilan itu bidah atau menyekutukan Allah. Guru-guru kita di Aceh bermazhab Syafi'i dan sukar bagi mereka untuk menerima Wahhabi." Setelah melihat kecocokan cita-citanya dengan FPI, Muslim mengundang Yusuf Al Qardhawi, ketua FPI Aceh, untuk me­ maparkan seluk-beluk FPL Muslim jatuh hati pada organisasi itu dan memutuskan masuk FPL Dia kini sekretaris FPI Lhokseumawe. ''Tapi kita tidak pernah melibatkan santri dalam berorgani­ sasi. Karena mereka dititipkan orangtuanya untuk belajar bu­ kan untuk berorganisasi. Kalau ada yang tertarik, ya mereka silakan ikut FPI," katanya. "Kenapa ustadz atau santri yang harus menertibkan tem­ pat hiburan, bukankah itu tugas polisi atau aparat negara yang lebih berwenang?" tanya saya. "Sebenarnya kalau pemerintah sudah baik, untuk apa lagi ulama terjun mengurus yang begini. Tugas ulama berdakwah. Nyatanya pemerintah tidak mengerjakannya," jawab Muslim. "Aksi-aksi FPI brutal," kata saya. Dia mengelak, "Itu tindakan di luar garis komando. Di Aceh tidak ada tindak kekerasan macam di Jakarta. Tapi ja­ ngankan ormas seperti FPI, negara saja melakukan apa yang di luar prosedur. Yang ikut FPI itu kan tidak semuanya paham agama. FPI sebenarnya tidak boleh merusak, tidak boleh me-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 77

nyimpan senjata." "Ada yang menganggap pemberdayaan ekonomi hal prio­

ritas di Aceh pascakonflik? Mengapa FPI tidak menjalankan program itu?" "Kalau syariat berjalan, maka semua benar, ekonomi juga berjalan. Sebab Allah memberi rezeki yang tak disangka-sangka, dengan takwanya masyarakat Aceh. Sawah dan kebun akan menghasilkan yang baik dengan takwa. Karena itu, ekonomi bukan prioritas FPL" "Kenapa FPI juga mengurus pakaian perempuan?" "Kalau wanita baik, maka masyarakat baik. Kalau laki-laki hidung belang berbuat, itu karena perempuan ada yang mem­ buka aurat." "Apa tanggapan Tengku tentang isu Kristenisasi?" "Itu bukan isu baru. Karena misi-misi untuk mengembang­ kan agama ini ada sejak dulu. Di Aceh ini masih banyak yang harus dikerjakan selain mengurus Kristenisasi. Kalau masya­ rakat sejahtera, tidak akan tertipu. Kalau masyarakat miskin, siapa yang kasih makan itu yang diikuti. Pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah itu perlu," katanya. Kalimat ter­ akhirnya justru mementahkan penyataannya sendiri tentang pemberdayaan ekonomi bukan prioritas. "FPI berafiliasi dengan partai-partai Islam?" tanya saya. "Kalau di tingkat pusat, FPI berafiliasi dengan P3 (Partai Persatuan Pembangunan). FPI ini bukan ormas politik. FPI juga tidak menutup demokrasi. Kalau teroris anti terhadap Indonesia. Kalau FPI tidak anti Indonesia, asal diwarnai Islam," jawab Muslim. "Kenapa FPI tidak membela korban konflik Aceh, tapi lebih suka mengurus soal Palestina misalnya?" "Begini ya, FPI itu anti perpecahan. Salah satu untuk menghancurkan kita adalah orang-orang asing itu, yang ber­ upaya memisahkan Aceh dari Indonesia. FPI mencintai per-

78 LINDA CHRISTANTY

satuan dan anti perpisahan. Makanya kita dalam tiap perte­ muan, kita mengatakan dendam masa lalu barns ditanam atau dibuang jauh-jauh. Kita juga desak pemberdayaan ekonomi masyarakat. Karena kalau kenyang mereka tak mau konflik la­ gi." Kalimat terakhirnya tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi lagi-lagi mementahkan pendapatnya sendiri yang me­ nyatakan ekonomi bukan prioritas. "Apa pendapat Anda tentang pemaksaan beribadah di Aceh melalui pelembagaan syariat Islam?"

"Di masa Nabi tak ada polisi syariah dan tak ada pemaksa­ an ibadah, juga tak ada pelembagaan syariat Islam. Sebab di masa Nabi, semua orang tunduk." Setahu saya, Nabi justru berhadapan dengan banyak orang yang menentangnya saat menyebarkan ajaran

Islam.

"Makna jihad?" "Jihad itu lebih fokus pada diri sendiri. Untuk melawan hawa nafsu, itu jihad yang terbesar. Kenapa manusia korupsi. Itu hawa nafsu. Selain itu ada jihad melawan kebodohan. Arti­ nya, orang-orang Barat hebat itu karena mereka punya ilmu. Makanya saya tidak setuju dengan jihad yang brutal, kecuali mereka menjajah daerah Islam. Seperti di Palestina," tutur­ nya "Tapi di Palestina bukan perang agama. Itu masalah po­ litik, bukan agama," kata saya. "Ada kaitannya juga dengan agama. Karena di dalam Islam itu diperintahkan untuk menjaga masjid. Menjaga Masjidil Aqsa yang mau dikuasai Israel dan akan tergusur oleh permu­ kiman Yahudi. Itu katanya. Saya sendiri belum pernah ke sana,

jadi nggak tahu. Hehehe...."

"Di masa Abdul Muthalib, kakek Nabi, tersebutlah kisah tentang penyerangan pasukan gajah Raja Abrahah ke kota Me­

kah. Abdul Muthalib mengatakan pada penduduk kota bahwa

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 79

Allah akan menjaga sendiri ka'bah. Kenapa orang harus men­ jaga masjid, bukankah Allah bisa menjaganya?" Dia menjawab, "Itu karena di masa Abdul Muthalib umat Islam sangat sedikit. Kalau kita terjepit, ya lebih baik lari. Se­ karang ini kita mayoritas, kenapa harus takut." Setahu saya, agama Islam belum lahir di masa Abdul Muthalib. "Dari mana sumber dana untuk dayah Anda?" "Dari bantuan orangtua santri dan warga. Kalau saya ber­ dakwah ada VCD-nya dan santri-santri menjual VCD dakwah

saya itu ke kampung-kampung. " "Waktu saya datang ke dayah dan Anda tidak ada, ada dua santri berjubah putih berteriak-teriak menghardik saya. Kena­ pa mereka begitu?" "Di dayah ini banyak anak putus sekolah yang kami teri­ ma. Ada mantan narapidana. Lebih sukar menjaga satu manu­ sia ketimbang seribu lembu. Yang kami tampung anak yang sudah

di sini anak­

tidak terpakai lagi. Pesantren ini dianggap

tong sampah. Hehehe. Mendidik mereka tidak mudah. Yang penting nanti mereka bisa dihargai." (Aceh Feature, 20 Februari 2011)

Sampai Jumpa di Idaho

JANGAN lupa datang ke Idaho! Sekelompok anak muda melam­ baikan tangan sebelum mobil mereka melaju. Sore itu mereka menjemput dua teman yang baru tiba dari Jakarta di bandara Sultan Iskandar Muda. Kebetulan saya dan orang-orang yang dijemput tadi naik pesawat yang sama. Salah seorang dari mereka bernama Echa. Ia pernah bertemu saya di pesta ulang tahun seorang teman

di Banda Aceh. Akhirnya sa­

ya pun memperoleh tumpangan gratis. Idaho, semula saya sangka nama negara bagian di Amerika. Tapi rupanya ini singkatan dari International Day Against Homophobia and Transphobia. Konferensi Hak Asasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) pada 26-29 Juli 2006

di Montreal, Kanada,

menghasilkan kesepakatan untuk melawan homofobia secara serentak. Peserta konferensi menetapkan 17 Mei sebagai Idaho atau Hari Melawan Homofobia dan Transfobia Sedunia. Pasal­ nya, WHO mencabut homoseksualitas dari kategori penyakit

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 81

kejiwaan pada 17 Mei 1990. Hari itu dianggap hari bersejarah bagi kaum LGBT. VIOLET Grey atau VG, organisasi anak-anak muda tadi, akan menyelenggarakan Idaho di satu hotel Banda Aceh. VG berdiri pada 2007. Penggagasnya tiga anak muda yang resah terhadap diskriminasi dan pencitraan yang buruk ter­ hadap LGBT. Mereka adalah Echa,

Faisal, dan Erik. Kini ang­

gota aktif VG sekitar 20 orang. Sebagian besar gay dan waria. Para lesbian cenderung tertutup. VG juga terlibat dalam ber­ bagai kegiatan jaringan "Kenapa

dan komunitas di Aceh.

dinamai Violet Grey?" tanya saya.

"Ungu dan abu-abu, dua wama ini ada maknanya. Ungu lambang feminis. Sebab kami menggunakan kerangka feminis­ me untuk membongkar ketidakadilan dan diskriminasi. Semen­ tara warna abu-abu menjadi lambang untuk menjawab oposisi biner, bahwa di dunia ini tidak hanya ada hitam dan putih, tetapi di tengah-tengahnya ada abu-abu. Di dunia tidak hanya ada laki-laki dan perempuan yang hetero, tetapi ada juga di antaranya homoseks," jawab Toni, nama panggilan Iriantoni Almuna Ariga, salah seorang anggota VG. Malam itu, 17 Mei 2010, saya berangkat ke Idaho. Namun tak ada tanda-tanda perayaan apa pun di muka ruang hotel yang disewa VG . Pintu tertutup rapat. Tak ada meja penerima tamu di koridor. Tak ada kerumunan orang yang bercakap-cakap, menunggu acara dimulai. Tak ada tamu­ tamu yang lalu-lalang di muka pintu. Tiba-tiba seorang lelaki berkaos oblong hijau pudar, ber­ celana selutut, bersepatu merah jambu, datang. Ia buru-buru meminta saya masuk ruangan, seraya menunjuk pintu tertutup itu. Ia ternyata Echa. Saya hampir tak mengenalinya. Biasanya Echa mengenakan blus atau gaun dan merias wajahnya: kelo-

82

LINDA CHRISTANTY

pak mata, hihir, pipi dipulas warna. Waktu kami hertemu di handara, ia tampak anggun mengenakan gaun panjang hitam, sepasang anting besar, kalung panjang,

dan ramhut palsu.

"Hari ini Echa seperti tukang parkir," kata saya. Ia sama sekali tidak marah. Ia sedang panik. Echa sengaja tidak mengganti pakaiannya. ''Tadi di kamar mandi, aku ketemu sama orang mencurigakan ho. Ya udah deh, aku hegini aja. Yang penting acara ini sukses dan teman­ teman selamat," katanya, kemhali menyuruh saya masuk ru­ angan. Kekhawatiran ini heralasan. Pada tahun 2006 pemah ter­ jadi kekerasan bermotif diskriminasi dan homofohia di Banda Aceh. Dua lelaki homoseksual disiksa dan dilecehkan secara seksual oleh aparat kepolisian. Tak satu pun lemhaga yang he­ rani memhela mereka secara terang-terangan. Tak hanya apa­ rat, masyarakat pun masih mengidap homofohia. Waria, ter­ utama, seringkali jadi hahan ejekan, pelecehan dan tindak sewenang-wenang. Dandanan dan tingkah laku mereka yang dianggap herbeda jadi penyehahnya. "Kalau orang tanya jenis kelamin saya, ya saya laki-laki. Tapi kalau orang tanya orientasi seksual saya, ya saya menyu­ kai sesama lelaki atau homoseksual. Kalau ada yang hertanya

identitas gender saya, saya ini transgender atau waria," kata Echa, suatu kali. Pertemuan yang ia hadiri di Jakarta sempat dihuharkan Front Pembela Islam atau FPL Panitia kemudian memindah­ kan acara ke Bandung, memhawa seluruh aktivis LGBT dari seluruh Indonesia itu menginap di hotel yang lehih aman. "Dan hisa sekalian jalan-jalan ho. Baju-haju di sana aduh hagus­ hagus dan murah," kisahnya. Dalam ruangan sudah hadir sejumlah orang. Mereka du­ duk mengeliling meja-meja hulat bertaplak putih, makan kue

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 83

dan buah, minum teh atau kopi, sambil bercakap-cakap dan tertawa.

Di atas panggung tersedia mimbar untuk pidato. Pem­

bawa acara dan panitia terlihat mondar-mandir mengatur panggung. Di belakang mimbar terbentang spanduk bertulis "International Day Against Homophobia and Transphobia". Faisal, pembawa acara malam itu, memakai busana tradisional Aceh, hitam-hitam. Para waria duduk di sebelah saya. Rambut tergerai ke­ coklatan atau hitam pendek. Rok mini atau gaun panjang. Stoking hitam atau tanpa stoking. Salah seorang dari mereka mengeluarkan cermin kecil, lalu mulai merapikan rias wajah­ nya, sedang yang lain memandang ke arah panggung.

Di meja

yang lain tampak sejumlah lelaki berpakaian rapi. Ada yang berambut pendek gaya Bart Simpson, tokoh film kartun Amerika, atau duri landak. Saya tidak tahu apakah para lesbian juga hadir. Tamu-tamu tak hanya dari kalangan LGBT saja. Saya bertemu aktivis perempuan, wartawan, dan politikus par­

tai di sini, yang setahu saya heteroseksual. Acara dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran. Suara sang qori begitu merdu. Orang-orang terkesima. Lantun­ an ayat-ayat ini bagaikan nyanyian. Setelah itu ada pertunjuk­ an tari ranup lam puan. Semua penari waria. Mereka menari dengan luwes. Begitu tarian selesai, para penari mengedarkan bakul berisi sirih. Hotli Simanjuntak, fotografer dan wartawan yang bekerja untuk satu media di Jakarta, memotret orang-orang dalam ruangan. Sesekali ia mencatat dalarn buku kecilnya. Ia pernah menulis tentang waria dan rnewawancarai anggota VG. Malam itu puncak acara adalah diskusi. Pembicara dua orang, Toni dan Musdawati, dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Agarna Islam Negeri Ar Ranicy. Menurut Musdawati, seksualitas itu adalah permasalahan yang alami dan manu-

84 LINDA CHRISTANTY

siawi, sehingga s i u-isu yang terkait dengan seksualitas, seperti isu LGBT, harus direspons secara manusiawi pula. "Jangan dijadikan isu yang ukhrawi dengan menganggap­ nya tabu dibahas, berdosa, dan lain sebagainya," katanya. Malam itu jadi perayaan pertama Idaho di Banda Aceh. Saya

tak bisa meninggalkan ruangan lewat pintu masuk tadi,

melainkan pintu samping. Pintu masuk dikunci dan disegel de­ ngan palang kayu. "Demi keamanan," kata perempuan berjil­ bab yang berjaga di situ. (Aceh Feature, 30 Mei 2010)

Orang-orang Sabang

PARA penumpang kelihatan ingin cepat-cepat meninggalkan kapal, seolah daratan di luar sana akan segera menjauh dan lenyap. Laki-laki, perempuan, tua-muda, ibu-ibu menggendong anak, lelaki memanggul kardus, berdesak-desakan untuk men­ capai pintu keluar lebih dulu. Sementara itu, kuli-kuli pelabuh­ an sudah tak sabar ingin rnenyerobot rnasuk ke dalam kapal se­ akan kapal ini siap berlayar lagi dalam sekejap Sore itu, 11 Februari 2006, kapal cepat

.

Pulo Rondo telah

merapat di derrnaga pelabuhan Balohan, Pulau Weh, salah satu kabupaten di provinsi Aceh, setelah mengarungi laut sekitar 50 menit dari pelabuhan tnee Lheue, Banda Aceh. Sejurnlah pelancong berkebangsaan asing kelihatan lebih sabar mengantre dibanding yang lain. Mereka adalah pekerja di lembaga-lembaga bantuan intemasional yang mencari hi­ buran di pantai-pantai Pulau Weh ini. Pakaian rnereka juga bergaya santai. Kaos oblong, celana pendek, sandal jepit. Pascatsunami Aceh diramaikan berbagai lembaga kemanusiaan

dan pekerjanya yang terdiri dari beragam bangsa, terlebih lagi

86 LINDA CHRISTANTY

Perjanjian Damai telah ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus tahun lalu. Dari Balohan, saya menumpang angkutan umum ke pusat kota. Tapi tak ada angkutan umum menuju pantai-pantai di luar kota sana. Para pelancong itu

harus beramai-ramai me­

nyewa mobil. Laut yang tenang tampak di kiri jalan, begitu pula pohon­ pohon hijau yang menyejukkan

mata. Mobil terus bergerak di

atas jalan yang menikung dan turun naik. Debu-debu beter­ bangan. Ketika mobil mendekati kota, saya melihat berjenis mobil berderet dan kelihatan masih baru di satu lapangan. Sopir ang­ kutan mengatakan pada saya bahwa mobil-mobil itu datang dari Singapura dan dijual murah. "Tapi kalau mau membawanya keluar Sabang, harus meng­ urus surat-surat lagi," katanya. POHON-pohon asam meneduhi jalan. Lalu-lintas terhitung sepi. Tata kota kelihatan rapi. Sabang lebih mirip orang-orang usia lanjut, tidak bergegas dan banyak istirahat. Pagi itu saya memutuskan melihat-lihat pasar yang tak jauh dari penginapan. lni pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Sabang, kota pelabuhan yang pernah dikuasai Belanda pada akhir abad ke-19. Sabang terkenal sebagai pelabuhan bebas sampai ditu­ tup Soeharto pada 1995

dan dibuka kembali oleh Abdurrahman

Wahid saat ia menjabat presiden. Toko-toko tampak berderet

di kanan kiri jalan. Bengkel,

bank, warung telepon, rumah makan, kedai kopi, toko serba ada, kios buah dan sayur, toko pakaian. Toko-toko ini akan

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 87

tutup tengah hari nanti dan buka kembali di sore hari. Kera­ maian jual-beli lebih terasa di malam hari. Kalau Anda terbiasa bangun siang, jangan harap bisa kebagian menyantap mie Sa­ bang yang terkenal itu. Di muka salah satu toko, seorang perempuan tua duduk menunggu pembeli. Ia menyilakan saya mampir, lalu bercerita tentang hal remeh-temeh dan akhirnya sampai juga ke soal pribadi. Tjan tjoei Lan atau A Lan tersipu mengenang masa muda­ nya. Ia hidup melajang, tapi bukan lantaran patah hati. "Saya anak paling tua, punya banyak saudara. Saya waktu itu ingin mengurus adik-adik
di Kanton, Tiongkok, pada 1935, beragama

Buddha. Pada saat Perang Dunia II, A Lan dan orangtuanya me­ ninggalkan kampung halaman mereka Kanton menuju Sabang. A Lan melalui masa kecilnya di Sabang. Ia menuntut ilmu di sekolah dasar berbahasa Mandarin "6 Kiau". "Pemiliknya orang asing," kenangnya. A Lan berjualan minuman ringan, kopi, dan teh hangat atau dingin di tokonya, yang terletak di tepi jalan raya ini. Usia toko A Lan sudah 20 tahun. Dulu, ia pernah berjualan

es

cam­

pur, kwee tiaw goreng, mi goreng, dan nasi goreng. Setelah itu, ia beralih ke minuman, karena tidak menyita banyak te­ naga. Lagipula ada seorang pria, ayah empat anak yang ber­ jualan nasi dan lauk-pauk di situ, dengan menyewa gerobak di muka tokonya, per hari Rp10 ribu.

88 LINDA CHRISTANTY

"Kasihan,

dia kena tsunami. Kalau ada bantuan, tolonglah

dia dibantu," katanya pada saya. Sang penyewa orang asli Sabang. ''Waktu tsunami, korban dibantu, satu orang dapat Rp90 ribu per bulan. Tapi deretan saya dibilang orang kaya, jadi tidak diberi bantuan." Menjelang kejatuhan Soeharto,

di Jawa merebak isu anti

Cina yang sebenarnya untuk mengalihkan perhatian orang dari memuncaknya perlawanan terhadap rezim Orde Baro. Namun, tak ada kerusuhan anti etnis Tionghoa di Sabang seperti di Jakarta pada 1998 itu. "Dia orang baik sekali. Tidak ada rasa benci pada Tionghoa. Sabang punya Indonesia nggak kayak tempat lain," ujar A Lan. A Lan melanjutkan belajar di sekolah menengah pertama di Medan, Sumatera Utara. Di sekolah Katolik. Setelah lulus, ia sempat mengajar di sekolah dasar di Tebing Tinggi selama setahun. Ia kemudian pulang ke Sabang dan mengajar di alma­ maternya, SD "6 Kiau", yang kelak berganti nama jadi Sekolah Dasar Negeri 7.

Selama 15 tahun A Lan jadi guru di situ.

Ia mengajar Bahasa Mandarin. Tapi karena peristiwa 1965, pelajaran Bahasa Mandarin dilarang. A Lan pun tak mengajar lagi. "Sekolah ditutup, karena Indonesia tidak ada hubungan lagi sama Cina. Gara-gara masa PKI (Partai Komunis Indo­ nesia)," katanya. Segala hal berbau Tiongkok di masa itu dianggap punya hubungan dengan komunisme. Pasalnya, PKI punya hubungan erat dengan Partai Komunis Tiongkok. Tapi saat orang-orang komunis dibantai di Jawa dan Bali, "Di Sabang aman," katanya. Meskipun begitu ada beberapa warga yang ditangkap.

Tap to turn on Super saving mode

"Semua dikumpulkan

di toko mas Delima, yaitu orang­

orang Cina yang diketahui sebagai komunis. Sekitar 30 orang. Mereka itu dikumpulkan tentara. Tapi tak lama sesudah itu,

sekitar dua sampai tiga bulan. mereka dibebaskan. Toko mas itu besar sekali, lima pintu. Pemilik tokonya ditangkap, karena dia pasang bendera RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kalau dia nggak pasang bendera RRT, nggak akan ditangkap," lanjut A Lan. Ia jarang keluar pulau, apalagi meninggalkan Aceh. Seumur hidupnya, A

Lan baru dua kali ke Jakarta, ibukota negara Indonesia. Adik laki-lakinya, pemilik sebuah toko fotokopi di Pasar Peunayong, Banda Aceh. Di pertigaan jalan, sebelum toko A Lan,

ada rumah makan

gado-gado yang cukup ra.mai di malam hari. Pemiliknya, Abdul Majid,

asal Medan. "Di Sabang ini penduduknya kebanyakan pendatang. Saya ini misalnya, sudah 15 tahun di sini. Sabang nggak seperti tempat lain. Di sini orang menghargai perbedaan, karena ini kota pelabuhan," ujarnya, seraya tersenyum dan te­ rus melayani pembeli. KEDAI kopi "Pulau Baru"

tepatnya

bersebelahan dengan toko A Lan,

di Jalan Perdagangan No.

29 B. Di sini orang-orang

sengaja mampir untuk makan mi rebusnya yang terkenal. Dalam semangkuk mie terlihat kecambah, daging ayam,

baso

ikan, kecap asin, dan daun bawang. Kuah mi terasa segar di lidah dan tidak pedas, berbeda dengan mi Aceh yang berbumbu tajam dan pedas. Para pembeli berjumlah sekitar 100 sampai 150 orang per hari. "Tapi sejak isu formalin, (pembeli) jadi menurun," kata salah seorang pegawai. Suatu hari surat-suratkabar memberitakan tentang mi yang dicampur formalin. Pedagang yang ingin cepat kaya de-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 87

tutup tengah hari nanti dan buka kembali di sore hari. Kera­ maian jual-beli lebih terasa di malam hari. Kalau Anda terbiasa bangun siang, jangan harap bisa kebagian menyantap mie Sa­ bang yang terkenal itu. Di muka salah satu toko, seorang perempuan tua duduk menunggu pembeli. Ia menyilakan saya mampir, lalu bercerita tentang hal remeh-temeh dan akhirnya sampai juga ke soal pribadi. Tjan tjoei Lan atau A Lan tersipu mengenang masa muda­ nya. Ia hidup melajang, tapi bukan lantaran patah hati. "Saya anak paling tua, punya banyak saudara. Saya waktu itu ingin mengurus adik-adik
di Kanton, Tiongkok, pada 1935, beragama

Buddha. Pada saat Perang Dunia II, A Lan dan orangtuanya me­ ninggalkan kampung halaman mereka Kanton menuju Sabang. A Lan melalui masa kecilnya di Sabang. Ia menuntut ilmu di sekolah dasar berbahasa Mandarin "6 Kiau". "Pemiliknya orang asing," kenangnya. A Lan berjualan minuman ringan, kopi, dan teh hangat atau dingin di tokonya, yang terletak di tepi jalan raya ini. Usia toko A Lan sudah 20 tahun. Dulu, ia pernah berjualan

es

cam­

pur, kwee tiaw goreng, mi goreng, dan nasi goreng. Setelah itu, ia beralih ke minuman, karena tidak menyita banyak te­ naga. Lagipula ada seorang pria, ayah empat anak yang ber­ jualan nasi dan lauk-pauk di situ, dengan menyewa gerobak di muka tokonya, per hari Rp10 ribu.

88 LINDA CHRISTANTY

"Kasihan,

dia kena tsunami. Kalau ada bantuan, tolonglah

dia dibantu," katanya pada saya. Sang penyewa orang asli Sabang. ''Waktu tsunami, korban dibantu, satu orang dapat Rp90 ribu per bulan. Tapi deretan saya dibilang orang kaya, jadi tidak diberi bantuan." Menjelang kejatuhan Soeharto,

di Jawa merebak isu anti

Cina yang sebenarnya untuk mengalihkan perhatian orang dari memuncaknya perlawanan terhadap rezim Orde Baro. Namun, tak ada kerusuhan anti etnis Tionghoa di Sabang seperti di Jakarta pada 1998 itu. "Dia orang baik sekali. Tidak ada rasa benci pada Tionghoa. Sabang punya Indonesia nggak kayak tempat lain," ujar A Lan. A Lan melanjutkan belajar di sekolah menengah pertama di Medan, Sumatera Utara. Di sekolah Katolik. Setelah lulus, ia sempat mengajar di sekolah dasar di Tebing Tinggi selama setahun. Ia kemudian pulang ke Sabang dan mengajar di alma­ maternya, SD "6 Kiau", yang kelak berganti nama jadi Sekolah Dasar Negeri 7.

Selama 15 tahun A Lan jadi guru di situ.

Ia mengajar Bahasa Mandarin. Tapi karena peristiwa 1965, pelajaran Bahasa Mandarin dilarang. A Lan pun tak mengajar lagi. "Sekolah ditutup, karena Indonesia tidak ada hubungan lagi sama Cina. Gara-gara masa PKI (Partai Komunis Indo­ nesia)," katanya. Segala hal berbau Tiongkok di masa itu dianggap punya hubungan dengan komunisme. Pasalnya, PKI punya hubungan erat dengan Partai Komunis Tiongkok. Tapi saat orang-orang komunis dibantai di Jawa dan Bali, "Di Sabang aman," katanya. Meskipun begitu ada beberapa warga yang ditangkap.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 89

"Semua dikumpulkan di toko mas Delima, yaitu orang­ orang Cina yang diketahui sebagai komunis. Sekitar 30 orang. Mereka itu dikumpulkan tentara. Tapi tak lama sesudah itu, sekitar dua sampai tiga bulan, mereka dibebaskan. Toko mas itu besar sekali, lima pintu. Pemilik tokonya ditangkap, karena dia pasang bendera RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kalau dia nggak pasang bendera RRT, nggak akan ditangkap," lanjut A Lan. Ia jarang keluar pulau, apalagi meninggalkan Aceh. Seumur hidupnya, A Lan baru dua kali ke Jakarta, ibukota negara Indonesia. Adik laki-lakinya, pemilik sebuah toko fotokopi di Pasar Peunayong, Banda Aceh. Di pertigaan jalan, sebelum toko A Lan, ada rumah makan gado-gado yang cukup ramai di malam hari. Pemiliknya, Abdul Majid, asal Medan. "Di Sabang ini penduduknya kebanyakan pendatang. Saya ini misalnya, sudah 15 tahun di sini. Sabang nggak seperti tempat lain. Di sini orang menghargai perbedaan, karena ini kota pelabuhan," ujarnya, seraya tersenyum dan te­ rns melayani pembeli. KEDAI kopi "Pulau Baru" bersebelahan dengan toko A Lan, tepatnya di Jalan Perdagangan No. 29 B. Di sini orang-orang sengaja mampir untuk makan mi rebusnya yang terkenal. Dalam semangkuk mie terlihat kecambah, daging ayam, baso

ikan, kecap asin, dan daun bawang. Kuah mi terasa segar di lidah dan tidak pedas, berbeda dengan mi Aceh yang berbumbu tajam dan pedas. Para pembeli berjumlah sekitar 100 sampai 150 orang per hari. "Tapi sejak isu formalin, (pembeli) jadi menurun," kata salah seorang pegawai. Suatu hari surat-suratkabar memberitakan tentang mi yang dicampur formalin. Pedagang yang ingin cepat kaya de-

90 LINDA CHRISTANTY

ngan sedikit modal mengambil jalan pintas. Mereka men­ campur adonan makanan untuk dijual dengan cairan pengawet mayat itu agar tidak cepat basi. Pemilik toko ini bernama Sukianto, orang Tionghoa, ber­ usia 52 tahun. Sejak usia 18, ia sudah berjualan mi. Dulu a i menjajakan dagangannya dengan gerobak. Raut wajah Sukianto kelihatan tak begitu ramah. Mungkin ia takut resep mi an­ dalannya dicuri. Mungkin a i juga berprinsip waktu adalah uang sehingga menghindari pembicaraan yang tidak menghasilkan uang. Setelah menghabiskan semangkuk mi di situ, saya mening­ galkan kedai Sukianto dan bersiap-siap menyeberang jalan. Tiba-tiba sebuah becak berhenti

di muka saya. Pengemudinya

menawarkan diri untuk mengantar saya melihat-lihat kota. Tawar-menawar ongkos dan jarak pun terjadi. "Lima puluh ribu, boleh, katanya, tertawa. n

Namanya, Faisal. Ayah dua anak. Dua-duanya perempuan. Si sulung bernsia dua tahun, sedang si bungsu barn lima bulan.

Faizal memiliki banyak angka 7 dalam hidupnya. "Saya lahir 7 Juli 1977. Ayah saya orang Sabang. Thu saya orang Banda Aceh," katanya, terns bercerita sepanjang jalan.

Ketika tsunami pada 26 Desember 2004 itu ia sempat me­ lihat ikan menggelepar-gelepar di laut yang surnt dan "Barn tiga kali isapan rokok, gelombang besar langsung datang meng­ gulung," kisahnya. Faisal anak-beranak selamat setelah lari ke tempat tinggi, tapi banyak sanak saudaranya yang hilang dan meninggal di Banda Aceh. "Di Sabang tak sampai sepuluh orang meninggal dunia, karena begitu melihat air laut, naik, orang langsung lari ke tempat tinggi." "Saya ingin punya 20 anak, karena tsunami membuat ba­ nyak keluarga kami mati. Dan ada yang bilang, 'kamu kuat

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 91

sekali'. 'Apa kuat', tanya orang-orang ke saya." Faisal tertawa­

tawa mendengar pemyataannya sendiri. Namun, bagi Faisal, konflik Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia lebih membuatnya trauma ketimbang tsunami. "Ayah mertua saya meninggal ditembak tentara saat status Darurat Militer

di Aceh, di Sigli. Ayah pergi ke kebun

dan kemudian dia dibunuh," tuturnya. Megawati Soekamoputri memberlakukan Darurat Militer di Aceh pada 19 Mei 2003. Juru runding Gerakan Aceh Mer­ deka (GAM) di Aceh ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Gencatan senjata antara GAM dan pemerintah Indonesia pada 2002 berakhir dengan konflik lagi. Hari berangsur gelap. I.ampu-lampu jalan hanya terpasang di kawasan tertentu saja. Faisal mengayuh becaknya ke Pantai Ibung, membawa saya untuk melihat para nelayan menangkap

ikan teri. Di perahu-perahu kayu mereka tergantung lampu­ lampu neon hijau untuk menarik perhatian ikan ikan Seka­ -

.

rang musim angin timur, waktu yang tepat untuk menangkap teri. Faisal pun membagi kiat menangkap ikan pada saya. "Jala disebar, begitu ikan masuk, jala langsung ditarik," katanya, bersemangat. Secara teori, saya juga paham cara menangkap ikan. Tidak ada hal baru dalam kiatnya. SETENGAH jam bermobil dari Sabang, ada pantai-pantai yang

menarik para pelancong untuk singgah dan mendekati laut: Gapang dan lboih. Sebelum mencapai Iboih, Anda akan me­ lewati Gapang. Saya melihat monyet-monyet duduk di pinggir jalan, besar maupun kecil, di sepanjang jalan ke Gapang. Mobil sewa yang saya tumpangi beberapa kali mengurangi kecepatannya saat

92 LINDA CHRISTANTY

berada di jalan yang berbatu dan berlubang-lubang. Rutan lebat

di kanan dan kiri jalan. Pengemudi mobil ini bercerita

tentang rencana pemerintah membangun jalan beraspal sam­ pai ke Kilometer Nol, tugu di ujung pulau ini, batas wilayah Indonesia di bagian barat. Tapi saya tak berhenti di Gapang. Saya melanjutkan per­ jalanan ke lboih yang lebih "alami", menurut cerita orang. Ternyata apa yang disebut "alami" itu tidak seindah yang saya bayangkan. Kebersihan pondok-pondok

kayu beratap ni­ pah atau seng yang disewakan di Iboih sama sekali tak terjaga.

Lantai pondok yang saya sewa berlubang dan keropos seba­ gian. Kotoran kambing berserak di terasnya. Pondok bergaya rumah panggung ini terletak paling tinggi dibanding sesama­

nya, dan menghadap laut terbuka. Ia bertengger di

atas tebing

dengan kondisi tiang-tiang penyangga yang membuat saya ti­ dak akan sanggup tidur nyenyak. Namun, pemandangan laut di hadapan saya dan hutan

di

belakang sana pelan-pelan menghalau rasa kesal dan kha­ watir. Di pagi hari, sekitar pukul tujuh, serombongan monyet menyeberang dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan. "Jangan menggantung sesisir pisang di teras pondok, kalau tidak ingin diserbu monyet," pesan pemilik pondok, ke­ marin sore. Saya bahkan tidak membawa sebutir pisang pun ke sini. Pantai Iboih lumayan bersih. Kebanyakan pelancong asing menyewa alat selam dan ikut perahu bermotor ke tengah laut yang berjarak sekitar setengah jam dari pantai. Mereka akan terjun di tempat yang indah pemandangan bawah lautnya. Sejumlah orang sengaja datang ke lboih untuk memperoleh sertifikat menyelam resmi. Orang-orang yang tidak bisa me­ nyelam cukup terhibur dengan snorkeling. Saya melihat pa-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 93

sangan yang asik hilir-mudik dengan pipa kecil mencuat di permukaan air, mengintai ikan-ikan. Hiu, pari, dan lumba­ lumba sering terlihat di sini. Di pantai beberapa perempuan asing berbikini duduk melihat laut atau berjalan hilir mudik. Salah seorang pemilik pondok sewaan bernama Icut. "Saya lahir tahun

lahir tahun 1962," katanya. Tapi perempuan ini

tampak berusia 20 tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Ram­ butnya putih beruban. Gigi-giginya hitam. Cara berpakaiannya juga aneh. Tubuhnya yang kurus kering itu dibalut blazer pen­ dek warna pink dengan bawahan celana jins biru pudar. Rambutnya yang panjang digulung dan diikat dengan kain se­ hingga bentuknya menyerupai sorban pawang ular kobra di India. Saya terus-terang mengatakan bahwa a i terlihat lebih tua dari usianya. Ia menyahut, "Ya, santet ini memang membuat orang jadi begini." Ketika saya bertanya siapa yang menyihirnya hingga jadi seperti ini, ia menjawab, "Orangnya di Banda Aceh, tapi saya nggak mau bilang, takut nanti yang di dalam laut itu men­ dengar." "Saya kena santet hampir 20 tahun yang lalu, karena orang iri pada kecantikan dan kesuksesan saya," lanjutnya.

Menurut Icut, ia pernah bekerja sebagai tenaga adminis­ trasi di kantor Persatuan Wartawan Indonesia di Banda Aceh. Entah benar, entah tidak. Suaranya sangat lantang ketika bercerita. "Saya ini bangun vila juga bisa, kalau tangan nggak patah. Sama monyet, sama anjing saya senang. Sama babi hutan saya juga senang, kalau dia nggak kejar-kejar saya. Saya waktu itu lari sampai naik ke atas pohon gara-gara dikejar babi hutan," katanya. Babi hutan memang masih banyak di sekitar sini. Mereka sering masuk ke kebun warga.

94 LINDA CHRISTANTY

Icut memelihara beberapa ekor anjing, "Ingat cerita ten­ tang Nabi (Muhammad) yang ditolong sama anjing? Nab, an­ jing itu paling bagus dipelihara," katanya. Ia pernah menikah, dua kali. Dengan suami pertama,

a i

istri keempat. Sesudah bercerai dari suami pertamanya, ia ka­ win lagi dan bercerai lagi. "Ada turis yang suka sama saya dan baik sekali. Tiap datang, pasti minta dimasas (dipijat)," ujarnya, bangga. Para tetangganya menganggap Icut kurang waras. Bagi saya, ia unik. Perempuan paruh baya yang biasa dipanggil "Mama" juga cukup terkenal di kalangan pelancong di Iboih. Ia menyewakan pondok yang kondisinya lebih baik daripada pondok Icut. Selain pondok, Mama punya restoran sederhana di tepi pantai. Restoran n i i menyediakan makan malam untuk tamu-tamunya atau pelancong lain. Salah satu anak perempuan Mama menikahi lelaki Inggris, Aaron. Mama tidak bisa melafal nama menantunya dengan benar. Ia memanggilnya, "Arun'', mirip nama pabrik gas di Lhokseumawe, Aceh Utara. Putri Mama dan Aaron dikaruniai bayi laki-laki bemama Gabriel. Tidak jelas apa pekerjaan Aaron sebelum ia terdampar di Iboih dan menikahi perempuan se­ tempat. Saya melihat Gabriel dimandikan ibunya di samping sumur yang berada di belakang restoran Mama, dikelilingi dua bibinya yang masing-masing berusia sekitar sembilan dan 12 tahun. Putri Mama yang lain menikah dengan lelaki Italia dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Tapi mereka tidak tinggal di Iboih. Entah di mana. Keluarga campuran ini sesekali pulang kampung untuk berlibur. Mama memasak pizza tuna malam itu, sesuai pesanan. Aaron membantunya. Mereka memasak dengan kompor mata-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 95

hari. Semula saya menyangka itu antena untuk televisi, ternya­ ta sebuah kompor. Semeja dengan saya, para turis Jerman dan di antara me­ reka terselip seorang pemuda Rumania. Di depan kami, laut membentang dan gemuruhnya terdengar jelas. Angin tidak ter­ lalu kencang. Si Rumania ini berkata pada salah satu perempu­ an Jerman, "Kamu dan saya sama, kita ini sama-sama produk komunis." Si Rumania juga bercerita bahwa di masa rezim komunis berkuasa, pemuda di sana menggunakan pasta gigi sebagai krim rambut karena mereka begitu miskin

dan tidak punya

cukup uang untuk membeli krim rambut. Barangkali ia ber­ gurau, tapi ia sama sekali tidak tertawa ketika bercerita.

Ironisnya, Nicolae Ceausescu, presiden Rumania dan be­ kas sekretaris jenderal Partai Komunis Rumania, dituduh me­ lakukan korupsi jutaan dolar. Tanpa proses pengadilan, ia

dan

istrinya dihukum tembak pada 25 Desember 1989 setelah Ceausescu memerintah selama 15 tahun. Cara kematian Ceausescu sempat populer di Indonesia dan selintingan "gan­ tung Soeharto" mulai terdengar saat itu untuk mengakhiri ke­ diktatorannya. Namun, nasib Soeharto tidak setragis Ceausescu. Meski tiap kali panggilan pengadilan membuatnya kalang ka­ but

dan harus mencari keterangan dokter untuk menghindar,

bekas presiden Indonesia ini tutup usia dengan tenang dan di­ keliling anak-anaknya di sebuah rumah sakit di Jakarta. Peme­ rintahannya korup dan berdiri di atas pelanggaran hak asasi manusia terbesar dalam sejarah Asia Tenggara: pembantaian jutaan orang komunis dan yang dicap komunis. Malam itu saya mendengar para pelancong ini sibuk bica­ ra tentang bertemu ikan hiu dan pari yang tak jauh dari pantai

.

Salah seorang mengisahkan pengalaman menyelamnya, "Seekor

96 LINDA CHRISTANTY

Barracuda besaar sekali berenang cepat ke arah saya. Saya pikir, tamatlah saya

di sini. Ternyata sebelum menabrak saya,

ia sudah berbelok arah. "Mereka pun tertawa-tawa dan ber­ bicara dalam bahasa campuran, Jerman

dan lnggris.

DI atas kapal cepat Pulo Rondo menuju Banda Aceh, saya bercakap-cakap dengan beberapa pekerja lembaga inter­ nasional. Salah seorang berkata bahwa pantai-pantai Pulau Weh cukup menarik untuk mereka yang jenuh dengan suasana kota dan pekerjaan di Banda Aceh, terutama saat libur pendek di akhir pekan. Namun, penerapan syariat Islam di Aceh mulai

Dari seorang teman, saya mendengar peraturan cara berpakaian untuk para turis telah terpampang di papan pengumuman di jalan masuk pantai Iboih. Mereka memasuki pulau ini.

dilarang mengenakan busana yang memperlihatkan aurat. Bikini sudah pasti dilarang. Polisi syariat pun mulai menda­ tangi pondok-pondok sewaan untuk mencari pasangan yang tidak menikah. (Aceh Feature, 26 Oktober 2010)

Bah aya Neofasisme

SEJUMLAH orang berpawai di Bratislava, Slovakia, pada Maret 2010 lalu. Mereka adalah anak-anak muda. Mereka mendu­ kung penerapan undang-undang patriotisme. Di antara mereka bahkan ada yang mengusung poster pastor yang jadi presiden negara boneka Slovakia dukungan Nazi di masa Perang Dunia II. Fotografer Jozef Ondzik memotret adegan tadi untuk Inter­

national Herald Tribune, suratkabar yang saya baca siang itu. Undang-undang patriotisme mengharuskan bendera-ben­ dera Skovakia dipajang di tiap kelas di sekolah. Lagu kebang­ aan negeri itu akan berkumandang tiap pukul delapan pagi dari pengeras-pengeras suara. Slogan "Kita Bangsa Slovak" akan terpampang di berbagai tempat di negeri tersebut. Pemerintah Slovakia bahkan telah mewajibkan pegawai ne­ geri sipil ataupun dokter untuk bicara dalam bahasa Slovak, bukan bahasa Hungaria atau etnis lainnya. Bagi pelanggarnya akan diganjar denda 5.500 Euro atau sekitar Rp 66.000.000. Menteri pendidikan negeri itu telah mengumumkan ter­ bitnya buku pelajaran sejarah yang baru, yang menggembar­ gemborkan kejayaan bangsa Slovak.

98 LINDA CHRISTANTY

Undang-undang patriotisme di Slovakia tentu saja meng­ ancam budaya dan bahasa etnis-etnis lain yang menghuni ne­ geri bekas Cekoslovakia itu dan berpotensi memicu konflik barn. Pada awal 2010 situs berita independen di Rusia,

Moskow

News, menyebut Moskow dan St. Petersburg sebagai kota-kota paling berbahaya di Rusia untuk orang asing non-kulit putih. Tercatat 71 pembunuhan dan 333 kekerasan bermotif rasial terjadi di Rusia tahun sebelumnya. Semua itu dampak dari aksi-aksi dan perang jalanan yang keras, yang melibatkan anak-anak muda neofasis dan para penentangnya. Situs

Antifa

misalnya, memberitakan seorang pemuda

Rusia anggota kelompok mereka dikeroyok sejumlah pemuda neofasis dan ditikam sampai mati saat menonton musik. Antifa juga memperingati terbunuhnya para aktivis mereka di berbagai negara.

Antifa

adalah jaringan anak-anak muda antifasisme

dan antirasisme di sejumlah negara Eropa, Amerika, dan lnggris. Di halte bus

di kawasan Alexanderplatz, Berlin, saya per­ nah melihat anak-anak muda Antifa. Mereka berdandan ala punk, berambut gaya Mohawk dan bercelana ketat. Aktivis Antifa biasa membubarkan demonstrasi National­ demokratische Partei Deutschlands atau NPD, partai fasis di Jerman. "Pada bulan Februari 2010, front kaum kiri dan kaum de­ mokratik Jerman, termasuk Antifa, berhasil memblokade de­ monstrasi neo-Nazi seluruh Eropa, yang berlangsung di Dres­ den dalam rangka peringatan pemboman kota Dresden dalam Perang Dunia II," tulis Sonny Mumbunan dalam surat elek­ troniknya kepada saya. Sonny teman saya yang tengah belajar di Leipzig, Jerman.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS 99

Meskipun mengkhawatirkan para aktivis dan pendukung gerakan antifasisme, pemerintah Jerman membolehkan NPD ikut pemilihan umum (Pemilu) dengan alasan demokrasi. "Pada Pemilu seluruh Jerman tahun lalu, NPD memper­ oleh 1,5 persen suara. Di negara bagian tempat saya tinggal, Sachsen, salah satu pusat kekuatan NPD, pada Pemilu negara bagian tahun lalu, partai ini menang 5,6 persen suara. Leipzig dan Dresden adalah dua kota penting di negara bagian Sachsen," tulis Sonny, dalam suratnya. Ketegangan kelompok neofasis dan penentangnya tak ha­ nya terjadi di Jerman, juga di Rusia. Puncak ketegangan ini adalah pelarangan buku Adolf Hitler,

Mein Kampf, di

negara

tersebut. Buku itu dianggap pemerintah Rusia telah mengilhami ke­ bangkitan fasisme pasca-Nazi. Mein Kampfdinyatakan berwa­

tak militeristik dan membenarkan diskriminasi serta penghan­ curan ras-ras non-Arya, dan pemah memicu Perang Dunia II. FASISME seringkali dihubungkan dengan gerakan kaum nasio­

nalis Italia yang dimulai pasca Perang Dunia I dan menguat ke­

tika Benito Mussolini berkuasa. Fasisme mendukung sebuah negara berpartai tunggal, mengkampanyekan perang dan keke­ rasan, juga perbaikan ras manusia. Kelak Adolf Hitler melalui Partai Nazi mempraktikkan fasisme dalam bentuknya yang jauh lebih buruk, yaitu Naziisme. Hitler menyaksikan kehancuran Jerman pasca Perang Dunia I dan ia bertekad membalas dendam, dengan membang­ kitkan semangat bangsa Jerman untuk menguasai dunia de­ ngan konsepnya tentang ras unggul. Hitler juga menganggap kaum kiri berkhianat terhadap Jerman. Mereka menggerakkan pemogokan besar-besaran ka-

100

LINDA CHRISTANTY

um buruh untulc menuntut hak-haknya, yang menurut Hitler dilakukan saat ekonomi Jerman mengalami krisis berat. "Fasisme itu antisosialis dan juga berkoalisi dengan indus­ tri besar. Mereka bekerja sama dengan pabrik gas atau industri lain yang menyokong gerakan ini," kata Frans Magnis Suseno, pastor keturunan Jerman dan pengajar filsafat, dalam satu dis­ kusi tentang fasisme di Universitas Indonesia, Jakarta. Nazi mengeksekusi mati para tahanannya dengan menye­ kap mereka dalam kamar gas.Pabrik gas memasok gas untuk kebutuhan kamar-kamar kematian tersebut. Gereja Protestan dan Katolik pun bekerja sama dan men­ dukung Nazi.

Di awal kekuasaan Nazi, gereja sempat melan­

carkan kritik, tapi kemudian membiarkannya. Kalangan gereja percaya bahwa Yesus Kristus atau Isa Almasih dikhianati orang-orang Yahudi, lalu dihukum salib. Itu pula yang mem­ buat gereja Katolik selama hampir dua ribu tahun bersikap anti Yahudi. Ironisnya, Yesus adalah orang Yahudi dan Hitler men­ coba membelokkan fakta sejarah ini. Paus Pius XII bahkan memajang potret Hitler di seluruh gereja. Paus Yohanes Paulus II, hampir setengah abad sesudah itu, minta maaf atas pembantaian orang-orang Yahudi yang didukung gereja waktu itu dan sekaligus mengakui negara Israel. Menurut Magnis, ciri-ciri fasisme antara lain menolak in­ telektualitas dan menghancurkan apa yang dianggap lemah. "Fasisme berasal dari kebencian kolektif yang amat sangat," katanya. Selain membasmi ras non-Arya, termasuk Yahudi, Hitler juga mengirim orang cacat, orang gila dan kaum homoseksual ke kamar gas demi memurnikan ras Arya, ras unggul yang di­ pujanya. Hitler mengirim orang-orang komunis maupun orang­ orang Kristen Yehovah yang menolak memberi "Salam Hitler"

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

ke kamar gas. Sekitar enam juta orang mati akibat kekejaman Nazi. Parlindoengan Loebis, orang Indonesia yang tengah kuliah kedokteran di Belanda dan aktif di organisasi mahasiswa Per­ himpoenan Indonesia ditangkap Nazi, karena ditudub komu­ nis. Dia mendekam di sejumlah kamp konsentrasi di Eropa

dan jadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah merasakan pengalaman sebagai tahanan Nazi. Dia selamat dan kelak me­ nulis otobiografinya yang berjudul

Orang Indonesia di Kamp

Konsentrasi Nazi. Tapi penelitian tentang genetika kemudian membuktikan bahwa ras Arya itu tidak pernah ada. Ia hanya ras yang di­ khayalkan. Sebagian besar penduduk dunia justru memiliki gen bangsa Semit dalam darahnya, kakek moyang bangsa Arab dan Yahudi. Di Indonesia masa kolonial bahkan pemah berdiri Partai Fasis Indonesia. Partai ini dideklarasikan di Bandung pada Juli 1933. Notonindito, pendirinya, terilhami oleh kemenangan Partai Nazi Hitler pada Juni 1933 di Jerman untuk menyebar­ kan ideologi Nazi ala ras Jawa. "Naziisme dianggap gerakan sosial baru di Eropa waktu itu, yang membawa pada pembebasan setelah dunia dilanda Depresi atau krisis ekonomi di tahun 1930-an. Orang tak sadar pada bahayanya. Orang-orang Belanda , orang-orang Indo juga membentuk organisasi fasis di Hindia Belanda," kata Wilson, yang menulis buku

Orang dan Partai Nazi di Indonesia.

Wilson pula yang pertama kali menemukan bukti sejarah ten­ tang berdirinya Partai Fasis Indonesia. Sebagian kaum pergerakan pun ikut terilusi. Sutomo, pe­ mimpin Partai Indonesia Raya dan pendiri Boedi Oetomo, mendukung Nazi Jerman dan fasisme Jepang. "Wacana fasisme di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada sebelum Hitler menang. Dua tokoh Indonesia, Tan Malaka dan

101

102

LINDA CHRISTANTY

Hatta, pernah memperingatkan tentang bahaya fasisme. Tan Malak.a pernah mengeluarkan pernyataan bahwa negara kolo­ nial adalah negara fasis, setelah terjadi pemogokan buruh besar-besaran yang dipimpin serikat buruh dan orang-orang komunis pada 1923 yang diiringi dengan penangkapan mereka oleh pemerintah kolonial," kata Wilson, lagi. Kebencian Hitler terhadap Yahudi sampai ke hal-hal fisik. Ia misalnya mengatakan Yahudi tidak suka mandi, bau badan,

mengenakan kain kafan dan tampak loyo. Saking bencinya, da­ lam Mein

Kampf, ia berkata bahwa ketika tubuh Yahudi dibe­

dah maka akan ditemukan telur-telur ulat di dalamnya. Betapapun irasional, mistis dan penuh mitos, ideologi Hitler tak pernah mati. Kebangkitan nasionalisme sempit atau neofasisme temya­ ta tak hanya berlangsung di Eropa hari ini. Kelompok supremasi kulit putih berpawai di Los Angeles, Amerika Serikat. Selain membawa bendera Amerika, mereka mengibar bendera swastika-lambang Nazi. Berbeda dengan anak-anak muda kaum patriot

di Slovakia yang mengkampa­

nyekan berkuasanya identitas mayoritas, demonstran pendu­ kung fasisme di Amerika ini melawan para imigran gelap yang dianggap pesaing dalam memperoleh kesempatan kerja. Di Amerika bahkan ada kelompok rahasia yang mengu­ sung simbol salib terbakar, Ku Klux Klan, yang menjadikan orang-orang kulit hitam sebagai sasaran utama, sebagai ke­ lanjutan Perang Sipil yang berakhir pada 1865. Di tahun itu Abraham Lincoln menghapus perbudakan terhadap orang­ orang kulit hitam setelah melancarkan perang melawan kon­ federasi negara-negara Selatan yang mendukung perbudakan. Hari ini pukulan terakhir Lincoln melawan perbudakan dan rasisme mencapai klimaks dengan terpilihnya Barack Hussein Obama Jr. sebagai presiden Amerika Serikat ke-44.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

KETIKA Eropa dan Amerika berhadapan dengan neofasisme saat ini, maka negara-negara Asia dan Afrika tengah menyong­ song fundamentalisme agama. Lord's Resistance Army, gerakan Katolik fundamentalis di Kongo, membunuh penduduk desa atas nama Tuhan. Pemim­ pinnya bekas putra altar. Ia telah malang-melintang hampir dua puluh tahun untuk apa yang diyakininya sebagai perbuat­ an suci yang direstui Tuhan. Para anggota gerakan ini juga me­ nyekap perempuan dalam harem, dengan alasan untuk melin­ dungi mereka. Di Sudan, gerakan fundamentalisme Islam Janjaweed ber­ operasi di Darfur dan juga merambah Chad, negara tetangga Sudan. Mereka terdiri dari orang-orang Arab. Pasukan Jan­ jaweed atau "Setan di Punggung Kuda" memperkosa perem­ puan dan membantai sekitar 400 ribu jiwa suku-suku Afrika. Di Indonesia, born meledak di kafe-kafe di Bali. Born rne­ ledak di hotel di Jakarta. Sekelompok orang yang terkait de­ ngan pelaku born Bali dan Jakarta ditangkap polisi antiteror di Aceh.Jika kaurn fasis

di Eropa menyerang irnigran atau pelan­

cong non kulit putih, rnaka sasaran kebencian mereka justru orang kulit putih dan Yahudi atau Kristen. Tapi kebanyakan korban ledakan born adalah pekerja hotel, satpam, atau keluar­ ga yang berlibur, orang-orang Indonesia sendiri, bahkan sesa­ ma pemeluk Islam. Ada yang rnengatakan bertumbuh dan rneluaskan gerakan Islam radikal merupakan dampak propaganda antiteror Ame­ rika atau sikap Islarnofobia negara-negara Barat. Ada juga yang menyebut konflik Israel-Palestina ikut rnenyuburkannya. Tapi tentu saja hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk tin­ dakan para peneror tersebut. Perbuatan rnereka jelas kejarn

103

104

LINDA CHRISTANTY

dan mematikan. Apakah soidaritas l terhadap bangsa di Timur Tengah harus diwujudkan dengan membunuh sesama di negeri sendiri? Seorang teman berkata bahwa kaum Islam fundamentalis menginginkan negara yang dipimpin seorang khalifah. Mereka bercita-cita mewujudkan negara Islam sejagat yang makmur di dunia dan para penghuninya pasti masuk surga. Atas dasar itu pula mereka melakukan apa saja untuk mewujudkan cita-cita tersebut: kekerasan, teror, perlawanan bersenjata, subversi. Istilah "Islamofasisme" dilekatkan kepada kelompok ini oleh sejumlah sejarawan. Tapi saya tidak mau menggunakan istilah yang rancu dan bias ini.Meskipun di akhir tulisan saya nanti,

akan terungkap kerja sama pemimpin Palestina dengan Nazi Jerman. Kerja sama politik itu tidak identik dengan ajaran Islam. Ketika Hitler mendirikan Nazi, Jerman tengah terpuruk dan depresi ekonomi tengah melanda dunia. Hitler mencoba membangkitkan harga diri bangsa Jerman serta mewujudkan sebuah kekaisaran dunia dengan manusia-manusia pilihan. Dunia hari ini juga tengah dilanda krisis ekonomi, mes­ kipun dengan kondisi yang sudah berbeda dibanding pasca Perang Dunia I. Sebagian cita-cita kaum penerus Hitler dan pendukung fundamentalisme agama agaknya bertemu

di satu

titik hari ini: dominasi dan hegemoni di berbagai aspek ke­ hidupan. Tapi ada hal yang menarik dalam Mein

Kampf, yang saya

kira membuatnya laris di toko-toko buku Indonesia

dan tidak

dilarang beredar seperti di Rusia. Sikap Hitler yang anti Yahudi dan anti gerakan Zionisme itu menemukan ruang tumbuhnya di negara ini. Seperti kebanyakan orang Indonesia, saya mendukung ke-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

merdekaan negara Palestina. Saya menentang penjajahan bang­ sa mana pun di muka bumi dan karena itu tidak mendukung penjajahan wilayah Palestina oleh pemerintah Israel. Meskipun pemerintah Israel tak mewakili sikap seluruh bangsa Yahudi di dunia, orang awam di Indonesia kemudian menganggapnya sa­ ma saja. Semangat anti Yahudi dalam

Mein Kampf pun jadi

relevan dengan semangat anti Yahudi yang diserukan kaum fundamentalis Islam di Indonesia.

Mein Kampf juga tidak dilarang beredar di Palestina dan beberapa kali cetak ulang. Pada Perang Dunia II Amin Muhammad

Al Husseini, se­

orang mufti agung Palestina, secara terang-terangan memihak Nazi Jerman. Dia bertemu langsung dengan Adolf Hitler di Berlin pada 1941 dan menyatakan bahwa perjuangan Nazi Jerman

dan bangsa-bangsa Arab sama, yaitu melawan Yahudi.

Seorang perwira SS, Heinrich Himmler, bahkan mengirim surat dukungan kepada Al Husseini, yang menyebutkan bahwa Nazi mendukung kemerdekaan Palestina.

Al Husseini memegang peran penting dalam pembentukan Palestinian Liberation Organization atau PLO pada 1964. Dia adalah ayah angkat Yasser Arafat, presiden pertama Palestina.

Al Husseini tidak memiliki pilihan lain, kecuali bersekutu dengan Nazi. Dia dibakar kecewa dan dendam yang luar biasa atas pengkhianatan dan penderitaan yang dialami bangsa Arab. Dulu bangsa Arab

dan Yahudi pemah hidup damai. Tapi

kolonialisme Inggris memicu perang dua bangsa ini. Orang-orang Arab mendukung Inggris pada Perang Dunia I untuk melawan kekhalifahan Turki Usmani yang menjajah mereka. Ketika itu Inggris berjanji akan memberi orang-orang Arab ini negara kalau Turki kalah. Kekhalifahan Islam Turki

105

106

LINDA CHRISTANTY

pun tumbang. Tapi apa yang terjadi? Menteri luar negeri Inggris, Lord Arthur James Balfour, malah mengeluarkan deklarasi atas nama pemerintah Inggris yang isinya mendukung rencana pendirian negara Israel,

di

atas negara Palestina yang sudah berdiri. Deklarasi Balfour pada 1918 itu dianggap orang-orang Arab sebagai pengklllanat­ an lnggris terhadap mereka. Tidak hanya itu, lnggris mendanai para gangster Yahudi yang tergabung dalam organisasi ber­ nama Irgun untuk masuk ke wilayah Palestina dan melancarkan aksi teror mengusir orang-orang Arab dari tanah itu, bahu­ membahu dengan orang-orang Yahudi yang telah dilatih Sekutu. Pemerintah lnggris tidak pernah memberi hadiah secara cuma-cuma. Dukungan orang-orang Arab melawan Turki
di Indonesia sebenamya sungguh

ironis. Seorang ulama besar, pujangga dan pahlawan nasional, bapak Bahasa Indonesia, Raja Ali Haji bin Raja Ahmad bin Raja Haji Fisabilillah dalam kitab prosa semi sejarahnya Tuhfat

Al Nafis

jelas-jelas menuliskan bahwa bangsa Bugis adalah

keturunan Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman, yang artinya me-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

rupakan keturunan bangsa Yahudi tulen. Seperti kita ketahui, Nabi Sulaiman yang kita cintai itu adalah raja bangsa Yahudi yang tersohor. Ratu Balqis adalah ratu negeri Saba, Yaman. Dengan pikiran yang sangat sempit dalam menafsirkan Alquran dan hadits, umat Islam

di Indo­

nesia bisa saja terjerumus untuk berjihad memerangi bangsa Bugis sampai akhir zaman! Jangan pula dilupakan bahwa orang Tionghoa di Indone­ sia seringkali disetarakan dengan Yahudi, kaum diaspora yang menguasai perekonomian dan politik Amerika. Orang tak lagi membedakan pengusaha-pengusaha Cina yang menyuap aparat negara atau bahkan berada di balik kemenangan seorang pre­ siden dari orang-orang Tionghoa miskin di Tangerang atau Singkawang yang jadi korban diskriminasi. Bukan tak mungkin sikap anti Cina menemukan pembenaran mistisnya dalam

Mein Kampf Hitler juga antikomunis. Sebagaimana kita ketahui, anti­ komunisme merupakan landasan negara Orde Baru. Stigma "komunis" tetap hidup sampai sekarang untuk membungkam siapa pun yang berpikir kritis dan melawan penguasa. Hitler membunuh orang-orang komunis, karena dianggap­ nya berkhianat terhadap Jerman. Soeharto, seorang perwira TNI-Angkatan Darat dan para pendukungnya, termasuk ormas Islam, membantai jutaan orang komunis dan yang dituduh komunis, dengan menyatakan mereka berkhianat terhadap Pancasila. Pemuda Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama atau NU, sangat gencar melakukan pembantaian massa komu­ nis dan yang dituduh komunis ini di masa tersebut, bersama TNI-AD. Kini NU dianggap organisasi yang mengusung plu­ ralisme atau keberagaman. Setelah itu, Soeharto jadi presiden Indonesia selama 32

107

108

LINDA CHRISTANTY

tahun. Dan salah satu peristiwa pembantaian terbesar di dunia modern merupakan puncak perseteruan politik antara TNI­ Angkatan Darat dengan para elite Partai Komunis Indonesia.

Amerika, Osama, dan Israel

PADA Juli 2010 Michel Germaneau, seorang lelaki Perancis, di­ culik dan dibunuh di Mali, Afrika Utara. Televisi Al Jazeera me­ nyebut pelakunya adalah orang-orang Al Qaida in the Islamic Maghreb atau disingkat AQIM, kelompok Islam beraliran Salafi yang menjadi cabang Al Qaida di Afrika Utara dan Afrika Barat. AQIM menuntut tentara Perancis meninggalkan Afghanistan. Sejak Osama bin Laden, pemimpin utama

Al Qaida, di­

tuduh bertanggung jawab terhadap tragedi World Trade Center (WTC) di New York pada 2001, pemerintah Amerika me­ ngerahkan pasukan tempur dan sekutunya di Afghanistan de­ ngan satu tujuan: menangkap Osama, hidup atau mati. Germaneau tua renta. 78 tahun usianya. Ia pensiunan insinyur, warga biasa dan barangkali penasaran sampai akhir hayatnya mengapa ia dibunuh untuk hal-hal yang tak berkaitan langsung dengan kepentingan dirinya. matiannya,

Al Jazeera

Ketika menyiarkan ke­

menayangkan pemandangan gurun

Sahara, senjata-senjata sitaan berderet

di pasir, lelaki-lelaki

Arab yang ditangkap dan marah, lalu di layar televisi muncul

110

LINDA CHRISTANTY

potret lelaki kulit putih berambut gondrong awut-awutan de­ ngan kemeja amat longgar karena tubuhnya yang kurus kering, dan a i tak lain dari Germaneau, korban kebiadaban tersebut. Kata "Al Qaida" makin populer dalam sepuluh tahun ter­ akhir. Pertama kali saya mendengar nama Al Qaeda ketika WTC ditabrak pesawat penumpang yang dibajak pada 11 September 2001. Sekitar tiga ribu orang meninggal dunia dalam serangan tadi. Tayangan gedung yang hancur dan terbakar di jantung Amerika ini disiarkan televisi berulang-ulang. Mereka yang ter­ libat pembajakan pesawat berasal dari Arab Saudi, Lebanon, Mesir, dan Uni Emirat Arab, dan yang terbanyak dari Arab Saudi. Potret Osama, pemimpin Al Qaida, kemudian tampil di layar kaca. Seruan kemarahan terhadap lelaki Arab asal Saudi itu dilancarkan pemerintah George W. Bush. Perang terhadap Osama pun diserukan pemerintah Amerika ke seluruh dunia sebagai perang melawan teror, yang kelak dipropagandakan para musuhnya sebagai perang melawan Islam. Bagaimana keadaan

di Jakarta setelah tragedi WTC? Tak

berapa lama setelah peristiwa itu, pedagang asongan justru menjajakan poster Osama di jalan-jalan seolah ia pahlawan. Poster-poster itu dipajang pedagang-pedagang kaki lima bersa­ ma poster penyanyi pop dunia dan bintang-bintang sepak bola, sebagaimana mereka menjual poster bapak revolusi Kuba Ernesto "Che" Guevara menjelang kekuasaan rezim otoriter

dan setelah itu, sebagai k i on perlawanan. Di jalanan Jakarta, saya juga melihat anak kecil menge­

Soeharto tumbang

nakan kaos bergambar Osama di punggungnya dan dibonceng di jok belakang sepeda motor dengan kedua tangan melingkar di pinggang ayahnya yang tengah mengemudi dalam macet lalu-lintas. Si ayah barangkali tak paham bahwa wajah lelaki di baju anaknya adalah wajah seorang buronan dunia. Jangan-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

jangan a i menyangka Osama yang berjenggot panjang tak beda dengan pemimpin tarekat Qadiriyah asal Irak yang juga ber­ jenggot itu, cucu Nabi Muhammad yang terkenal dengan sikap pluralismenya, Syech Abdul Qadir Jaelani. Atau ia menganggap tiap lelaki Arab mewarisi sifat kasih sayang Nabi Muhammad. Buku-buku tentang Osama bin Laden dan Al Qaida dipa­ jang di bagian "buku baru" di toko-toko buku, baik isinya pro maupun kontra. Saya bahkan membeli otobiografi perempuan yang suaminya adalah anggota keluarga bin Laden. Ia meng­ gambarkan kehidupan masa lalunya di tengah keluarga itu se­ bagai pengalaman buruk. Putra bungsu Osama yang beristrikan seorang perempuan Inggris muncul dalam sebuah wawancara

di majalah Vanity Fair. Ia berbeda pendapat dengan ayahnya, hidup secara hedonis. Namun, di sisi lain malah mempropa­ gandakan betapa teguh pendirian sang ayah dan misterius pribadinya. Perang ideologi pada akhirnya menciptakan pasar dan bis­ nis baru. Itu baru contoh kecil. Bisnis yang lebih nyata terbentang di wilayah-wilayah kon­ flik dan memperlihatkan apa yang jadi tujuan perang itu sen­ diri secara sistematis: sumber mineral, industri senjata, bisnis jasa keamanan serta kebutuhan pihak yang berperang juga pe­ kerja kemanusiaan dan proyek-proyek pembangunan setelah penghancuran besar-besaran terjadi. Beberapa orang yang saya temui dan sama sekali tidak bergabung dengan kelompok Islam fundamentalis, mereka yang bersama saya pergi ke kafe, ke salon atau plaza di waktu tertentu, ikut menyatakan isi hatinya. Ada yang mengutuk tindakan itu, tapi banyak pula yang berkata bahwa di luar simpati mereka terhadap korban yang meninggal dunia, tindakan presiden Bush yang mengacak-acak negeri orang sudah sepantasnya dibalas dengan pukulan telak di jantung Amerika. Mereka yang terakhir ini tanpa sadar telah

111

112

LINDA CHRISTANTY

mendukung propaganda Osama dan terlibat dalam perangnya: menyetujui pemusnahan manusia! Namun, ada juga teman yang menyebut aksi bajak-tabrak tadi berkaitan dengan

ulah pemerintahan Bush sendiri. Mayo­

ritas orang yang terlibat penabrakan WTC ternyata warga Arab Saudi beraliran Wahhabi, dari negara sekutu erat Amerika di Timur Tengah dan rekanan dalam bisnis minyak. Ia percaya teori konspirasi. Barangkali masih banyak orang yang ingat sejarah kerja sama Osama dan pemerintah Amerika di masa lalu. Osama me­ rupakan orang kepercayaan mereka untuk mengusir Soviet dari Afghanistan. Di masa itu pemerintah Amerika menyokong re­ zim militer Zia ul Haq di Pakistan. Osama dekat dengan Zia tentunya. Jenderal Zia pula yang menyalurkan dana ke seluruh pesantren Deobandi di Pakistan yang mencetak mujahiddin da­ ri 35 negara, termasuk Indonesia, untuk melawan tentara Soviet di Afghanistan. Soviet akhirnya hengkang dari Afghanistan. Nab, kini orang-orang yang dulu bersekutu itu sating bermu­ suhan. Di film dokumenter tentang kementerian luar negeri Amerika yang ditayangkan saluran televisi

graphic sekitar bulan April

National

Geo­

2011, menteri luar negeri Hillary

Clinton terus-terang menyatakan, "Kami yang menciptakan mujahiddin, melatih dan mernpersenjatai mereka, yang kini di pihak yang berbeda." Di Pakistan, sebelum Clinton mengunjungi negara ter­ sebut, 9 dari 10 orang Pakistan membenci negara Amerika. Setelah kunjungannya dan upayanya memperbaiki citra Ame­ rika, angka tadi berubah sedikit. Dari 10 Pakistan, 8 yang tidak suka Amerika. Dalam satu sesi tanya jawab Clinton dengan warga, seorang peserta berkata bahwa perang Amerika bukan­ lah perang rnereka.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Namun, sekutu Amerika di Afghanistan sendiri bukan sekutu sejati. Ketika pemerintah Amerika menuntut Hamid Karzai, presiden Afghanistan, untuk memberantas korupsi di

pemerintahannya, Karzai mengancam akan bergabung dengan Taliban. Korupsi pejabat

di negeri itu gila-gilaan. Di salah satu

operasi badan intelijen Amerika untuk menangkap Osama, para sekutu Afghanistan ini harus dibayar dengan berkoper­ koper uang dolar. Saat pasukan khusus Delta Force berhasil mendekati gua tempat Osama dan sekitar 700 pasukannya ber­ lindung, siap melancarkan serangan mematikan, pasukan Afghanistan justru berbondong-bondong pulang ke rumah un­ tuk tidur. Seorang perwira Afghanistan malah menyilahkan Osama pergi saat berpapasan dengannya di jalan. Mereka

se­

sama veteran perang jihad melawan Soviet dulu. HAMPIR satu dekade berlalu setelah WfC terbakar dan hancur, tapi trauma dan kebencian yang timbul akibat peristiwa itu ma­ sih terasa. Sebulan setelah kematian Germaneau, di bulan Agustus 2010, saya menerima surat elektronik dari Edward. Ia teman dekat saya, seorang Amerika. Ia bercerita tentang debat panas dalam keluarga besarnya, karena sebuah masjid dan pusat kajian Islam akan dibangun dekat bekas menara kembar itu. Edward mendukung pembangunan masjid tersebut, se­ hingga kelompok penentang dalam keluarganya jadi begitu gaduh. Sebagian anggota keluarga berpandangan negatif terha­ dap Islam setelah tragedi

n

September. Beberapa mulai ber­

debat tentang praktik Islam dan penafsiran kitab-kitab suci. Edward mengirim beberapa surat elektronik berisi obrolan sanak saudaranya kepada saya. Di sini saya kutipkan surat-surat mereka. Tom adalah abang Edward, profesor

di satu universitas di Minnesota. Sam

adalah keponakannya yang pengacara.

113

114

LINDA CHRISTANTY

Edward: Perang kita melawan teror, bukanlah perang

melawan Islam. Kaum (Islam) radikal itu minoritas. Kita dapat merangkul Islam moderat untuk bersama-sama melawan ektremis di dunia Islam. Kamu misalnya tidak bisa mengata­ kan bahwa semua orang Afghanistan adalah Taliban. Orang­ orang yang kamu sebut Taliban itu datang dari berbagai negara. Itu faktanya. Sam: Dengan kata lain, kamu menyatakan bahwa para

ektremis ini datang dari berbagai negara dengan populasi mus­ lim yang besar. Ekstremis ini memang minoritas, tapi ada ling­ karan di sekeliling mereka yang secara aktif mendukung, me­ nyediakan makanan, tempat tinggal, uang dan transportasi. Saat ini ada sekitar 100 juta orang yang digerakkan dan dibenarkan oleh keyakinan mereka atas agama. Ini bukan lagi radikal yang minoritas, melainkan

mainstream.

Sumber masalahnya sebenarnya terletak pada bagaimana Alquran ditafsirkan, bahkan dalam bentuk-bentuk yang lebih lunak, sama seperti yang terjadi pada Injil ratusan tahun lalu. Diperlukan kesadaran dan pengetahuan umat Islam sendiri un­ tuk melawannya. Orang-orang Kristenlah yang pertama kali melawan perbudakan, meski dalam Injil ada sejumlah ayat yang membenarkan perbudakan. Orang-orang Kristen pula yang memimpin perlawanan terhadap diskriminasi, meski ada sejumlah ayat dalam Injil yang membenarkan diskriminasi. Orang-orang ini memimpin gerakan dan pawai menentang perbudakan. Itu di l akukan Martin Luther King bukan

Mullah

King. Sejak 11 September tidak ada demonstrasi atau pawai besar di mana pun di dunia yang melawan ide-ide Muslim ra­ dikal. Artinya, ini bukan gagasan minoritas, tapi

mainstream.

Tom: Bagaimana dengan Iran? Bukankah di sana ada

protes besar-besaran terhadap Ahmadinejad?

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Sam: Protes itu berkaitan dengan masalah internal Iran,

tidak punya kaitan dengan orang-orang Muslim yang kita bi­ carakan ini. Debat keluarga Edward sangat menarik. Kitab suci me­ mang statis, ayat-ayatnya tetap sama, tapi zaman berubah dan umat manusia yang harus menafsirkannya sesuai

zaman

atau

bahkan mengkritisinya untuk menciptakan dunia yang lebih beradab. Presiden Obama dan walikota New York juga mendukung pembangunan masjid dan pusat kajian Islam di dekat menara kembar itu. Namun, televisi Indonesia hanya menyiarkan aksi Pendeta Terry Jones yang menyerukan pembakaran Alquran sebagai tindakan menentang keputusan Obama. Banyak orang Indonesia marah menyaksikan tayangan itu. Mereka tak terima kitab suci akan dibakar. Ada yang be­ reaksi akan membakar manusia-manusia Kristen. Mereka lupa bahwa kertas dan nyawa manusia merupakan dua hal yang jauh berbeda. Kertas dapat diproduksi lagi. Alquran bisa dicetak ulang terus-menerus, begitu pula Injil. Tapi nyawa manusia tidak. Karena keterbatasan informasi, mereka yang marah-marah itu tentu tidak tahu bahwa ribuan orang dari berbagai agama dan bahkan mereka yang tidak beragama-kaum atheis-me­ lakukan aksi mendukung pembangunan masjid dan pusat ka­ jian Islam di dekat menara kembar tersebut. Orang-orang ini berdemonstrasi di pusat kota New York, mendukung Presiden Obama. APA tujuan Osama menghancurkan WTC, membunuh war­ ga sipil yang tidak terlibat langsung dalam perangnya dengan negara Amerika? Ada yang menarik dari pemikiran ahli konstruksi dan insinyur teknik sipil lulusan Universitas Riyadh ini.

115

116

LINDA CHRISTANTY

Sebagai orang Islam, ia menafsirkan bahwa tidak boleh ada orang musyrik di Arab Saudi, yang berwujud pangkalan militer Amerika di Dhahran dan sekaligus jadi benteng monarki dinasti Ibnu Saud untuk menghadapi rakyatnya sendiri. Ia hendak mensucikan Arab Saudi dari apa yang disebut­ nya "musuh Tuhan", yang tidak datang sebagai turis ke negeri itu melainkan membawa kekuatan bersenjata. Berdasarkan pengalamannya dalam perang Afghanistan dan setelah mempelajari perang Arab-Israel selama bertahun­ tahun, Osama menyimpulkan bahwa persoalan utama dalam konflik Arab-Israel adalah Amerika,

dan persoalan utama bang­

sa-bangsa Arab adalah Israel. Dengan melancarkan teror ke negara Amerika, ia berharap rakyat Amerika dapat menekan pemerintahnya untuk mengu­ bah kebijakan negara tersebut terhadap Israel, mengubah po­ litik luar negeri Amerika. Strategi menekan warga sipil dan propaganda menciptakan teror yang lebih besar dianggapnya tepat. la, misalnya,

tidak akan menyerang instalasi militer ne­

gara adikuasa yang tidak mungkin dikalahkannya. Salah satu tujuan Osama melancarkan politik kekerasan ke seluruh dunia tak lain dari penghancuran negara Israel. Al Qaida mengakui Israel sebagai satu bangsa, tapi tidak meng­ akui eksistensi negaranya. Tapi

di masa Presiden Obama negara Amerika justru ter­

lihat makin mendukung Israel.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluar­ kan resolusi untuk Palestina yang isinya memerintahkan Israel menghentikan pembangunan permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dewan Keamanan menyatakan tindakan ne­ gara Israel tersebut sebagai bentuk pendudukan yang tidak sah terhadap wilayah Palestina. Pada i967 negara Israel mencaplok

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

tiga wilayah Palestina: Jalur Gaza, Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Sampai hari ini tiga wilayah itu masih dikuasai Israel. Empat belas anggota Dewan Keamanan dan 130 negara anggota PBB mendukung resolusi tersebut pada 18 Februari 2011. Tapi resolusi tadi diveto Amerika. Osama gagal meraih tujuan utama strateginya. Pemerintah Amerika tetap mendukung Israel. Ternyata rakyat Amerika pun malah bersatu dengan peme­ rintahnya untuk melawan teror, tidak seperti harapan Osama. Intinya, orang tidak bisa didikte melakukan suatu kebaikan dengan cara kekerasan. Tapi logika Osama ini terus diterapkan para pengikutnya di seluruh dunia. Mereka melakukan aksi-aksi pengeboman di tempat-tempat publik dan membunuh warga sipil dengan tuju­ an menekan pemerintah tertentu atau setempat. Perang ini tampaknya tidak akan usai. Orang-orang yang bernasib seperti Michel Germaneau akan terus ada. Epilog TIGA minggu setelah tulisan saya ini dimuat di Facebook, pada 1 Mei 2011, Presiden Obama mengumumkan kematian Osama bin Laden. Pasukan khusus Amerika menyerang rumah persembunyian Osama di Abbottabad, Pakistan. Dia, seorang anaknya, dan dua pengawalnya tewas dalam serangan tersebut. Menurut keterangan resmi pemerintah Amerika, jenazah Osama dikuburkan di laut. Tapi selama masalah utama perang tetap ada, kematian Osama tidak akan mengakhiri rangkaian teror dan kekerasan di mana pun. (Facelx>ok, 9 April 2011)

117

Cerita dari Selatan

HURUF-HURUF Arab yang terukir di sekeping kayu itu merang­ kai kata "Allah" dan "Muhammad". Tamu-tamu yang datang

akan langsung melihatnya, karena hiasan tersebut terpasang di dinding beranda, menghadap ke jalan. Rumah ini terletak di pinggiran kota Patani, bergaya panggung, dinding-dindingnya coklat kusam. Suara pemilik ru­ mah terdengar menyuruh naik. Kaki saya pun menjejak anak­ anak tangga yang terasa goyah. Lantai itu juga terdiri dari su­

sunan papan yang mulai lapuk dan di sana-sini berlubang dimakan rayap. Hujan baru saja berhenti. Orang-orang bercakap dalam Bahasa Thai

dan Melayu, disela Bahasa lnggris.

Perempuan berusia sekitar 70 tahun ini menyatakan dia tidak tahu apa-apa tentang konflik. Dia duduk di bangku yang kayunya telah terkelupas dan koyak, dengan tiang rumah yang compang-camping dan keropos dimakan rayap dan tampak se­ karat di belakangnya. Dia mengenakan setelan baju kurung dan kain batik. Selendang putih menutupi kepala. Wajahnya

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

murung atau memang seperti itu ekspresinya setiap hari, bu­ kan sekadar cerminan perasaan saat ini. Putranya yang biasa dipanggil Aek adalah pengemudi mo­ bil Universitas Walailak di Nakhon Si Thammarat, provinsi yang berjarak empat jam dari Patani. Aek gemar melucu, tapi juga perasa. Sepanjang jalan dia memutar lagu-lagu Melayu tentang patah hati

dan kerinduan.

Selain ibu Aek, kakak dan keponakannya bercakap-cakap dengan kami. "Tahun 2003, ada yang melempar granat ke balai kota. Tapi tidak terjadi kerusakan yang berarti," kisah si keponakan. Dia tidak tahu dengan jelas siapa pelakunya. "Bukan orang dari sini," katanya, dalam Bahasa Melayu. Rasa khawatir terpancar di wajah pemuda 20-an ini ketika bercerita. Dia kemudian menggelengkan kepala tiap kali ditanya lagi tentang situasi Patani. Kakak Aek menyuguhkan limun berwarna hijau bening di gelas-gelas. Dia berjilbab, mengenakan rok panjang dan baju kurung, busana yang biasa dikenakan perempuan Melayu di sini. Kebanyakan warga Patani seperti keluarga Aek, orang­ orang Melayu dan beragama Islam, bercakap dalam bahasa Melayu. Pemerintah Thailand pernah melarang identitas ter­ sebut secara paksa dan akibatnya memicu masalah yang

tak

kunjung selesai hingga sekarang. Mayoritas penduduk Thailand terdiri

dari etnis Thai, beragama Buddha.

Rombongan kami terdiri dari lima orang. Peng dan Bancha, dua mahasiswa Universitas Walailak, Tat atau Tassana yang kuliah di Universitas Thammasat, saya dan Rheinhardt Sirait, yang mengajar di Universitas Walailak dan mengupayakan per­ jalanan saya ke selatan. Para mahasiswa ikut serta untuk me­ nemani. Peng sekalian pulang kampung. Orangtuanya tinggal

119

120 LINDA CHRISTANTY

di Patani. Bancha hendak mengenalkan saya pada temannya yang mau diwawancarai tentang konflik. Tat salah satu peserta seminar tentang hubungan Indonesia dan Thailand

di Univer­

sitas Walailak yang baru berakhir kemarin sore, 25 November 2010. Di ujung lorong kampung ini, sebelum mobil berbelok ke jalan raya yang basah, saya melihat seorang tentara berseragam hijau loreng berdiri tak jauh dari mulut lorong. Dia memegang M 16. Di seberang sana, dua temannya mengawasi lalu lintas di tikungan. Tentara ada di mana-mana, di pinggiran maupun pusat kota.

Di muka pertokoan yang sejajar dengan jalan masuk ke

pasar Rusamile, dua tentara berdiri menyandang M 16. Mereka mengenakan rompi anti peluru. Satu pikap penuh tentara di­ parkir di seberang pertokoan, di tepi jalan. Sementara itu pasar begitu ramai dan gaduh. Lalu-lintas padat dan bising. Darurat militer tengah berlangsung di tiga provinsi di Thailand Selatan: Patani, Yala, dan Narathiwat. "Ketika Jenderal Prem memerintah Thailand, wi l ayah sela­

tan relatif tanpa gejolak. Prem berasal dari Patani dan dekat dengan monarki," tutur Rheinhardt, yang ketika mahasiswa aktif dalam gerakan melawan pemerintah Soeharto di Indo­ nesia. Prem Tinsulanond jadi perdana menteri Thailand dari tahun 1980 sampai 1988. Dia mendukung berkembangnya bu­ daya Melayu di Patani, menjamin kebebasan beragama, mem­ perbaiki taraf hidup rakyat, dan memberi amnesti kepada me­ reka yang terlibat gerakan politik melawan pemerintah. Tapi konflik di provinsi-provinsi selatan punya akar jauh di masa silam. Pada abad ke-18 Kerajaan Buddha Siam menaklukkan Kerajaan Melayu Patani. Bekas kerajaan Melayu Patani itu

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

termasuk tiga provinsi di Thailand Selatan yang sekarang jadi basis gerakan kemerdekaan Patani. Semula tak banyak gejolak berarti

di wilayah ini, tapi ke­

bijakan Perdana Menteri Phibun Songkhram pada 1938 me­ nimbulkan masalah besar. Aurel Croissant, profesor ilmu poli­ tik dari Universitas Heidelberg, dalam tulisannya "Muslim Insurgency, Political Violence, and Democracy in Thailand, me­ nyebut Phibun menerapkan kebijakan asimilasi "negara beret­ nis tunggal". Pemerintahan Phibun berupaya melenyapkan identitas Melayu Patani di segala bidang, baik bahasa, cara ber­ pakaian, pendidikan, dan agama demi nasionalisme Thailand. Penindasan lazim menuai perlawanan. Gabungan Melayu Patani Raya berdiri pada 1947, diikuti Barisan Nasional Pem­ bebasan Patani pada 1959. Selama lebih dari dua puluh tahun bentrokan para aktivis perlawanan dan aparat keamanan terus terjadi sampai akhirnya Prem berkuasa. Para pengganti Prem, sipil maupun militer ternyata tidak seberhasil dia. Beberapa organisasi perlawanan yang baru juga berdiri kemudian, seperti Gerakan Mujahiddin Islam Patani, yang dibentuk oleh para veteran perang Afghanistan dan punya hubungan dekat dengan Kumpulan Mujahiddin Malaysia, dan Barisan Kemerdekaan Patani, organisasi payung dari berbagai organisasi perlawanan baik yang sekuler maupun yang berbasis agama. Namun, tiap kali terjadi pergantian perdana menteri atau kudeta, hal tersebut tidak mempengaruhi keberlangsungan mo­ narki yang dipimpin Raja Bhumipol Adulyadet. Sang raja justru jadi penentu dan perestu siapa yang dianggapnya layak me­ merintah. "Daerah selatan memanas di masa Thaksin," kata Rheinhardt, lagi. Di awal kekuasaannya sebagai perdana menteri di tahun

121

122

LINDA CHRISTANTY

2001, pemerintah Thaksin mendukung propaganda dan perang

melawan teror yang dilancarkan pemerintah Amerika pasca tragedi World Trade Center di New York. Hal itu memicu situasi yan lebih represif di selatan. Para pemberontak dikaitkan dengan Al Qaida dan Jamaah Islamiyah, tapi sidang pengadilan yang digelar pemerintah belum dapat memberi cukup bukti adanya hubungan kelompok perlawanan lokal dengan jaringan Islam militan tersebut. Pada April 2004, 108 anggota kelompok perlawanan dan lima aparat keamanan terbunuh dalam satu kontak senjata. Di bulan Oktober tahun itu juga, tentara menangkap orang-orang yang protes di Tak Bai, menyebabkan 80 orang terbunuh gara­ gara dimasukkan ke dalam truk dan ditumpuk seperti karung beras. Peristiwa berdarah juga terjadi di masjid Krue Se ketika militer menyerbu masjid itu untuk menangkap pemberontak Islam militan yang mereka anggap bersembunyi di situ. Tiga puluh dua orang yang beribadah dalam masjid Krue Se me­ ninggal dunia akibat serangan militer yang membabi-buta. Para ustadz dicurigai dan dibunuh. Kelompok pendukung militer turut melakukan aksi-aksi kekerasan. Di lain pihak, pe­ santren memang jadi basis perekrutan para militan. Selain gerakan politik tadi, daerah selatan terkenal dengan perdagangan senjata gelap dan obat-obat terlarang di Asia Tenggara. Korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan lemahnya penegakan hukum membuat bisnis gelap bisa ber­ jalan sempurna. Orang-orang Gerakan Aceh Merdeka dulu membeli senjata di Thailand Selatan. "Aparat lantas menggunakan alasan untuk memburu para kriminal, padahal target mereka yang sebenarnya bukan itu," kata Rheinhardt. Bancha tiba-tiba mengajak kami menemui temannya yang

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

akan bicara soal musik. Musik? Ujung-ujungnya,

dia menga­

takan bahwa dia tidak punya teman yang bisa diwawancarai

soal konflik. Hah? Dia juga berkata bahwa rencana perjalanan kami ke Narathiwat sangat berbahaya. Rasa takutnya tidak bisa disembunyikan. Bagaimana Aek? Sebagai orang selatan, dia tentu mengerti situasi. "Tidak masalah. Kita terus," sahut Aek. Narathiwat , kota yang tenang. Kota ini juga tidak seperti bayangan saya tentang daerah-daerah yang jadi terlantar akibat tak mendukung Partai Golkar di masa Soeharto dulu. Jalanan bagus, tidak ada lubang menganga. Udara bersih. Tata kota cantik. Di kota ini ada istana peristirahatan raja dan ratu. Tiap

tahun, selama beberapa minggu, Ratu Sirikit menghabiskan waktunya

di Narathiwat.

Cemara-cemara berjajar di jalan menuju pantai Naratas. Cemara-cemara juga tumbuh subur di pantai. Warung-warung berderet menghadap pantai, menyediakan masakan laut, seper­ ti ikan bakar atau cumi goreng. Sekelompok anak muda, laki dan perempuan tampak duduk di bak belakang sebuah pikap yang membawa mereka mencari tempat untuk turun. Orang­ orang bercengkrama, berpasangan atau bersama teman atau keluarga. Sesekali mereka menatap ke arah kami. Seperti tidak ada bahaya di tempat ini. Jirawat Saengthong, teman Rheinhardt sesama pengajar di Walailak, memberi saya sejumlah tulisan tentang perlawan­ an bersenjata di Thailand Selatan, termasuk yang ditulis Duncan McCargo, profesor politik Asia Tenggara dari Univer­ sitas

Leeds, Inggris. Bagaimanapun kata Lek, begitu dia dipanggil, "Ada banyak

"akar" konflik, sebut saja kesadaran sejarah, agama, ekonomi,

gerakan separatis, kebijakan-kebijakan pemerintah...."

123

124

LINDA CHRISTANTY

Dalam jurnal Pacific Review, terbit pada bulan Desember 2005, Duncan Mccargo menulis "Network Monarchy and Legitimacy Crises in Thailand" yang mengungkap cerita menarik setelah 500 orang terbunuh di selatan akibat kebi jakan Thaksin di tahun sebelumnya. Bekas Perdana Menteri Prem berpidato pada 28 Februari 2005 di Bangkok, meminta agar Thaksin menerima saran raja dan campur tangan dirinya dalam penyelesaian krisis di selatan. Menurut Mc Cargo, tindakan ini merupakan penegasan tentang adanya "jaringan monarki". Raja menganggap Thaksin tidak dibutuhkan lagi. Empat bulan sebelumnya, 13 Oktober 2004, di Narathiwat dua pegawai istana dibunuh saat sedang membeli buah-buahan untuk Ratu Sirikit. Masih menurut Mccargo yang mengutip suratkabar

Xinhua, di hadapan seribu orang di lstana Chitrlada, ratu me­ nyatakan bahwa orang-orang muslim yang "dia tidak pernah kenal" sebagai pembunuh brutal banyak pejabat pemerintah dan warga biasa. Ratu menyerukan agar 300 ribu orang Thai­ Buddha di kawasan ini tetap bertahan dan tidak pergi, menga­ takan bahwa orang-orang Thai dapat mempertahankan diri dengan belajar menembak, dan dia berucap bahkan di usianya yang sudah 72 tahun, dia akan belajar bagaimana menembak­

kan senjatanya tanpa memakai kacamata. Pemerintahan Thaksin akhirnya jatuh oleh sebuah kudeta militer yang didukung raja. Di sela lagu yang mengalun dari tape mobil,

Aek tiba-tiba

bergurau, "Apa mau ke Sungai Kolok kita? Dari sana kita ke Malaysia." Sungai Kolok adalah kota perbatasan Malaysia dan Thailand di Provinsi Narathiwat. Bulan Januari 2011 born meledak di satu pasar di Patani,

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

melukai pendeta Buddha dan aparat. Tapi suratkabar tidak me­ nyebutkan nama pasar itu. Apakah Rusamile atau yang lain?

Di bulan Maret puluhan senjata milik aparat dirampas pem­ berontak di Narathiwat. Status darurat militer pun diperpan­ jang

di Thailand Selatan.

125

Perpecahan dalam Persatuan

SETELAH makan di daerah Permatang Batu Maung, di satu ru­ mah makan terkenal yang digemari orang Melayu, Tionghoa, dan India, saya pun berkeliling kota George Town. Sebelanga kari kepala ikan Kerapu, semangkuk besar Tom Yam udang, sepinggan telur dadar dan tumis sawi pahit membuat rasa lapar barangkali baru muncul besok pagi. Pulau Pinang, Malaysia, memang surga makanan. Tak berapa lama taksi berhenti di seberang bilbor "1 Malaysia". Lampu merah tengah menyala rupanya. Slogan itu diciptakan Perdana Menteri Najib Tun Razak. "Slogan bagus, tapi sukar terwujud. Di Malaysia ada Me­ layu, ada Cina, ada India... Tapi orang Cina harus masuk Islam kalau ingin kawin dengan Melayu. Bagaimana percampuran bisa terjadi kalau ada ras dan agama yang dominan? Kalau ada kebebasan, baru semua orang dapat campur-baur dan "1 Malay­ sia" terwujud," kata A Bong, sopir taksi yang saya Politik ras dan agama tengah berlangsung

sewa.

di Malaysia.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

"Ini contoh kecil saja. Bumiputra (sebutan untuk orang Melayu) dapat diskon lima persen saat membeli rumah, tapi India dan Cina tidak dapat. Meskipun India dan Cina itu jadi Muslim, tetap tak dapat," lanjutnya. Ia sendiri orang Tionghoa, beragama Buddha. "Lelaki atau perempuan Tionghoa yang pindah agama dan menjadi muslim lantaran menikah dengan orang muslim Me­ layu, kalau suatu hari dia meninggal dunia dan istri atau sua­ minya sudah tak ada atau bercerai, keluarganya yang Tionghoa ini tak boleh ambil jenazahnya," lanjut A Bong. Diskriminasi dilakukan negara, tapi di saat yang bersama­ an negara memaksa orang bersatu. Sebenarnya kekhawatiran orang Melayu terhadap penda­ tang yang semakin menguat juga beralasan. Berdasarkan fakta sejarah yang terjadi di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada, India, dan negara-negara Amerika Latin mem­ buktikan bahwa pendatang yang kuat dengan berbagai macam cara akan menguasai politik wilayah barunya. Tak tertutup kemungkinan hal itu dilakukan dengan pemusnahan. Praktik itu sampai hari ini masih terjadi di dunia modern, seperti pe­ musnahan etnis di Balkan dan di Afrika. Di Malaysia, warga juga tidak berani mengkritik kebijakan pemerintah atau kerajaan secara terbuka. "Kamu bisa diinterogasi 7 x 24 jam tanpa pengacara. Ka­ lau belum puas juga, mereka itu akan menjerat kamu dengan ISA, Internal Security Act. Kamu akan ditahan 6 bulan sampai 2 tahun tanpa pengadilan," kisah Rajiv, yang juga sopir taksi.

Kemarin ia mengantar saya ke Little India, kawasan bisnis orang-orang India, tempat saya membeli beberapa helai kain untuk pelapis tempat tidur. ISA adalah undang-undang untuk memberantas komunis, teroris, dan orang-orang yang dianggap membahayakan ne-

127

128

LINDA CHRISTANTY

gara. Namun, kriteria

sasaran

ISA sepenuhnya di bawah ken­

dali pemerintah. Menurut Rajiv, situasi di Indonesia pasca Soeharto jauh lebih baik dibanding Malaysia dalam hal kebebasan berpen­ dapat. Apa yang dikatakan Rajiv ada benarnya di awal-awal reformasi
lain melarang media memuat tulisan atau gambar atau tayang­ an cabul. Menteri kemudian mengirim surat edaran kepada perusahaan penyedia layanan internet yang isinya mewajibkan mereka memasang

screening

untuk memblokir situs tertentu

berdasarkan daftar yang dikeluarkannya. Akibatnya, suatu hari situs harian Kompas dan Detikcom yang jelas-jelas bukan situs cabul sempat tak bisa diakses. Isu moral, seperti antipomografi sebenarnya hanya merupakan lapis luar dari agenda politik yang lebih strategis, yaitu menyensor media dan menutup ke­ bebasan berpendapat. Menjamurnya situs berita atau blog pribadi pasca Soeharto membuat cemas siapa pun yang meng­ inginkan kebenaran tunggal hanya pada pihaknya. Sebab me­ lalui situs atau blog tersebut, orang bisa menyatakan pen­ dapatnya secara terbuka

dan menulis kritik dengan bebas.

Sentimen rasial yang terjadi di Indonesia hari ini bahkan dampak dari kebijakan pemerintah Soeharto di masa lalu. Di saat Soeharto memerintah ia menerapkan Jawanisasi. Bangsa Jawa mendominasi pemerintahan, baik sipil maupun militer. Sentralismenya membuat Indonesia identik dengan Pulau Jawa sebagai pusat kekuasaan. Budaya nusantara identik

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

dengan budaya Jawa. Di lain pihak, atas

nama persatuan dan

kesatuan Indonesia, Soeharto menabukan isu SARA (suku,

dan antar golongan). Media tidak boleh memuat atau menyiarkan tulisan yang menyinggung SARA, yang se­

agama, ras,

benarnya merupakan bentuk sensor terhadap kebebasan ber­ pendapat. Di akhir kekuasaan Soeharto, isu anti Tionghoa se­ ngaja ditiupkan untuk mengalihkan perhatian massa dari membesarnya gerakan anti reziin. Pemerintah Soeharto yang korup juga mengangkut ke­ kayaan alam dari daerah-daerah luar Jawa untuk kepentingan

diri dan kroninya. Hal ini kelak memicu pemberontakan di daerah-daerah seperti Aceh, atau protes di Papua. Namun, pro­ tes rakyat terhadap ketidakadilan n i i disambut negara Indo­ nesia dengan penangkapan, pemenjaraan, dan penghilangan paksa. Orang di daerah-daerah lantas menyatukan diri mereka dalam sebuah identitas tunggal atau kategori tertentu untuk melawan secara SARA pula. Di Aceh, tidak hanya tumbuh sikap anti Jawa sebagai pusat kekuasaan, melainkan juga anti etnis Jawa yang berwujud transmigran dan tentara. Di Riau, sempat tercetus gerakan bangsa Melayu. Di Kalimantan, orang-orang Dayak memerangi orang Madura yang mereka anggap pen­ datang yang agresif. Politik anti agama tertentu pun tengah berupaya membe­ lah negara Indonesia. Isu anti Kristenisasi dicetuskan seke­ lompok orang di Jakarta. Gereja Huria Kristen Batak Protestan

dirusak. Orang-orang Batak pemeluk Kristen diancam keluar dari kota itu. Padahal mereka sudah turun-temurun tinggal di situ. Di Aceh pascatsunami, di awal 2006, sekelompok organi­ sasi massa Islam bahkan berdemonstrasi di pusat kota dengan isu anti Kristenisasi. Mereka ingin mengusir lembaga-lembaga bantuan asing, karena curiga lembaga-lembaga tersebut hendak

129

130

LINDA CHRISTANTY

melakukan pemurtadan terhadap orang-orang Aceh yang muslim. Media juga ikut serta mengobarkan permusuhan antar­ agama. Sebuah koran lokal di Aceh, misalnya memberitakan orang-orang yang masuk Islam hampir tiap hari sebagai hal yang positif, tetapi memuat berita Kristenisasi dengan pen­ citraan yang buruk. Salah satu beritanya belum lama ini disertai potret perempuan berjilbab yang memegang bukti-bukti Kris­ tenisasi berupa kitab Zabur dan Taurat. Lucunya, lelaki yang memberi si perempuan ini dua kitab suci tua tadi tidak pemah diketahui jati dirinya dan disebut melarikan diri ke Medan, ibukota Sumatera Utara, wilayah yang dihuni mayoritas orang Batak dan pemeluk Kristen. Berita ini dimuat sebelum peristi­ wa perusakan gereja di Bekasi. Kelihatannya, ada benang me­ rah antara aksi di pusat dan di daerah. Berbeda dengan Malaysia, Indonesia bukan negara Islam. Undang-undang dasar negara ini memberikan kebebasan orang untuk memilih agama dan beribadah sesuai agamanya. Ada enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Tapi jangan coba-coba tidak beragama. Ateisme dikaitkan dengan komunisme, ideologi ter­ larang di Indonesia sampai hari ini. Pada 1965 militer dan organisasi massa Islam yang mereka mobilisasi membantai hampir tiga juta orang komunis dan yang dituduh komunis. Inilah pembantaian manusia terbesar dalam sejarah dunia, selain yang dilakukan Hitler di masa Partai Nazi berkuasa di Jerman. Selain Yahudi, orang-orang komunis adalah sasaran Hitler. Dulu Rajiv seorang wartawan, seperti saya. "Tapi di Malaysia, wartawan bukan pekerjaan bergengsi. Seluruh surat­ kabar

mainstream

milik partai-partai. Semua membawa ke-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

pentingan sendiri-sendiri. Akhirnya saya memilih jadi sopir taksi," katanya, dalam Bahasa Inggris. Ketika saya siap-siap turun di toko kain, ia sekali lagi ber­ kata, "Saya wartawan yang putus asa. Hahahaha...." Saya ikut tertawa. Getir. Namun, perlawanan selalu ada. Pada 3 Oktober 2010,

The

Star, suratkabar berbahasa Inggris di Malaysia, memberitakan tentang Datuk Seri Nazri Aziz yang menentang rasisme. Seba­ gai pelopor, ia sendirian. Tapi langkah yang ditempuhnya se­ bagai orang Malaysia-Melayu (Nazri menekankan identitas sebagai orang Malaysia ada di depan identitas lainnya) tidak begitu berisiko dibanding seorang Malaysia-India atau Malaysia­ Tionghoa yang mencoba prates terhadap diskriminasi ini. Sudah sepatutnya bumiputra bersikap seperti Nazri, sehingga membuat slogan "1 Malaysia" benar-benar terwujud dan ber­ asaskan keadilan. Di hari berikutnya, 4 Oktober

2010,

terbit surat pembaca

yang menanggapi wawancara Nazri itu. Penulisnya, Mohan Nerjoo, tinggal di Johar. Ia menyatakan rasisme laksana kanker, yang perlahan tapi pasti akan membunuh siapa pun yang terinfeksi olehnya. Ia menyebut Nazri pahlawan. Bagaimana dengan Indonesia? Banyak orang memprotes tindakan perusakan gereja di Bekasi dan pengusiran orang­ orang Batak. Orang-orang yang mendukung perusakan

dan pengusiran

itu tidak mau kalah. Mereka punya alasan tersendiri. Mereka berkata bahwa pendirian gereja tersebut melanggar hukum. Puncaknya, seorang pendeta ditikam sejumlah orang bulan lalu. Pengurus gereja yang

tak taat aturan dan pemerintah da­

erah yang lamban memberi respons terhadap permintaan izin pembangunan gereja adalah wujud kekacauan administrasi,

131

132

LINDA CHRISTANTY

salah satu dari ribuan

kasus yang sering terjadi di Indonesia.

Tapi menikam seseorang dengan risiko kematian adalah tindak kriminal. Para pelaku harus clihukum. Pembiaran terhadap aksi mereka sama artinya dengan tindakan mendukung kejahatan. "Harusnya Indonesia dan Malaysia belajar pada Singapura. Berikan kesejahteraan dan pendidikan yang baik buat seluruh warga, tidak usah melihat ras

dan agama. Dengan begitu ma­

salah pun tidak sebanyak sekarang," ujar A Bong. Mobil kem­ bali bergerak mengikuti arus lalu-lintas malam itu. Sebenarnya negara Singapura yang mini itu tak bisa di­ bandingkan dengan Malaysia atau terlebih lagi dengan Indo­ nesia yang jauh lebih luas

dan kompleks. Lagipula tak ada de­

mokrasi di negeri itu. Seperti Indonesia di masa Soeharto, Singapura dikuasai oleh keluarga Lee Kuan Yew dan kroninya. Setelah 31 tahun jadi perdana menteri, Lee Kuan Yew menye­ rahkan pemerintahannya ke tangan Goh Chok Tong. Tapi pada 2004, Goh Chok Tong meletak jabatan dan menyerahkannya pada putra Lee, Lee Hsien Loong. Tak ada pemilihan umum. Tak ada oposisi. Tapi esensi kalimat A Bong lebih penting. Politik ras dan agama hanya membuat sebuah negeri akhirnya pecah-belah di dalam.

(Aceh Feature, 6 Oktober 2010)

Tahun Nol di Kamboja

TANAH merah telah menjelma lumpur. Orang-orang meniti di atas sekeping papan yang diletakkan di atasnya. Sementara itu tetes-tetes air terus berjatuhan dari pohon-pohon yang daun­ daunnya tak sanggup menanggung deras hujan. Udara terasa dingin. Di ujung jalan masuk yang membelah hutan ini, saya me­ nyaksikan pohon-pohon spung bertakhta di atas singgasananya yang hitam dan berlumut, berumur 10 abad. Akar-akar raksa­ sanya menjulur dan mencengkeram bangunan-bangunan candi itu, seperti jari-jari mahkluk jahat bernama masa silam mem­ belit kenangan orang-orang Kamboja dan tidak ingin melepas­ nya. Di sebelah sana, sejumlah kuli tengah bekerja dikelilingi reruntuhan. Suara mesin terdengar bagai jerit, panjang dan tinggi, lalu berhenti, terdengar lagi sesaat, diam dan kembali lagi, berulang-ulang. Proyek pemugaran sedang berlangsung di Ta Phrom, salah satu kompleks candi di kawasan Angkor. Di jalan keluar Ta Phrom, sejumlah lelaki memainkan alat musik tradisional Khmer. Mereka berteduh di pondok kecil di

134 LINDA CHRISTANTY

kanan jalan. Kaki-kaki mereka buntung. Sebuah desa bernama Phum Chon Pika atau "desa orang cacat" berada tidakjauh dari kompleks Angkor. Barangkali, mereka berasal dari desa ter­ sebut. Tiap keluarga di Phum Chon Pika mempunyai anggota yang jadi korban ranjau darat. Bukan hanya Khmer Merah yang memasang ranjau-ranjau tersebut, tentara Viet Cong atau Vietnam Utara juga mena­ namnya di sepanjang jalur strategis untuk memasok logistik mereka ketika berperang melawan Amerika. Dari 12 juta ranjau darat yang tersebar di seluruh Kamboja, baru sekitar tiga per­ sen yang dijinakkan. Dekat para musisi tadi ada pengumuman dalam Bahasa Inggris yang menyatakan bahwa mereka sama sekali bukan pengemis, melainkan pemain musik. Sekitar 15 meter dari pondok pemain musik, serombongan bocah, laki-laki dan perempuan, berjajar menyanyi lagu ber­ bahasa Khmer, yang di sela-sela baitnya terselip kalimat Bahasa Inggris yang tidak sempurna,

"Give

" money. Usia mereka an­

tara enam sampai delapan tahun. Anak-anak ini sengaja me­ minta uang kepada pelancong dengan pesan tersembunyi da­

lam lagu. Sukry baru berusia tujuh tahun ketika Khmer Merah ber­ kuasa di negerinya. "Saya masih ingat apa yang terjadi dan tidak akan melupakan," katanya, dalam Bahasa Inggris, saat menunggui saya memotret. Di usia menjelang 30 tahun, pertumbuhan rambut Sukry telah bergeser dari letak normal, sehingga membuat dahinya makin lebar. Matanya sipit. Gigi-giginya terlihat rapi saat ter­ tawa. Kulitnya sawo matang. Dia mengenakan kemeja biru yang telah pudar warnanya, dengan lengan digulung sampai siku. Ketika dia berdiri di depan saya, sobekan kecil tampak di bagian punggung kemeja tua itu.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Tentara Khmer Merah sering datang ke desa-desa di ma­ lam hari. Mereka menembaki rumah-rumah warga. Sukry, ibu, ayah dan saudara-saudaranya harus bersembunyi dengan ber­ desak-desakan dalam lubang perlindungan yang mereka gali sendiri di lantai rumah. Lubang perlindungan itu disamarkan keberadaannya

di siang hari, ditutupi dengan berbagai barang

atau pakaian. Selain rasa takut, hal lain yang dikenang Sukry dari masa kanak-kanaknya adalah nyala api dari kain perca. Listrik belum masuk desa. Warga menggunakan minyak ikan untuk bahan bakar penerangan. Kain dicelupkan dalam minyak, lalu dinyalakan dengan korek api. "Awalnya Khmer Merah tidak bertindak brutal. Mereka itu melawan Jenderal Lon Nol yang merupakan pemerintahan boneka dan didukung Amerika Serikat. Artinya, mereka ber­ juang untuk rakyat Kamboja. Ketika kesepakatan damai terjadi

atas imbauan Sihanouk dan kedua pihak sepakat meletakkan senjata, Khmer Merah pura-pura setuju dan setelah itu mem­ bantai siapa saja," kisahnya. "Sebelum Khmer Merah berkuasa, negara saya bahkan le­ bih maju daripada sekarang. Ada perkebunan-perkebunan karet. Warga bekerja

di sana," kenang Sukry.

Perkebunan tadi merupakan peninggalan penjajah Perancis. Orangtua Sukry kini tinggal di desa dekat lbukota Phnom Penh. Ayahnya masih trauma terhadap apa yang mereka alami

di masa Khmer Merah dulu. "Masalah Kamboja dan Thailand, soal perbatasan itu juga selalu membuatnya was was," lanjut Sukry. Ayahnya tidak ingin ada perang lagi. Siem Reap, kota yang saya kunjungi ini, daerah

taklukan

kerajaan Siam atau Thailand di masa lalu. Hubungan peme­ rintah Kamboja dan Thailand terns diwamai masalah sampai

135

136

LINDA CHRISTANTY

sekarang, temasuk sengketa kepemilikan kuil Preah Vihear. Pada 1962 Mahkamah Intemasional Perserikatan Bangsa-Bang­ sa telah memutuskan kuil tersebut milik Kamboja. Namun, Thailand tidak peduli. Ketika saya bertanya kepada Sukry, apakah dia tahu alasan Khmer Merah membunuh begitu banyak orang, dia menjawab, "Khmer merah tidak suka pada orang bijak. Mereka juga mem­ bunuh guru sekolah." Ironisnya, para pemimpin utama Khmer Merah terdiri da­ ri kaum terpelajar. Pol Pot, Khieu Samphan, dan Ieng Sary sama-sama jebolan Perancis. Khieu Samphan yang kelak jadi presiden Kamboja bahkan seorang doktor ekonomi dan politik. Sudah hampir empat tahun Sukry bekerja sebagai penge­ mudi

tuktuk

atau becak motor untuk menghidupi keluarga.

Sebelumnya dia berbisnis jual-beli pakaian bersama seorang teman. Namun basil yang didapat dari bisnis tersebut tidak cukup membiayai kebutuhan sehari-hari. Dia memutuskan banting setir jadi pengemudi

tuktuk.

"Sebentar lagi saya jadi ayah," ujamya, dengan mata ber­ sinar gembira. Akhir bulan ini Sukry akan menyusul istrinya ke Phnom Penh untuk mendampinginya melahirkan anak per­ tama mereka. Sukry seorang muslim. lbunya semula beragama Buddha lalu masuk Islam setelah menikah dengan ayahnya. Ibunya orang Thai, ayahnya orang Champa. Akibatnya, Sukry punya dua nama. "Nama Kamboja saya, Shopeak." Dia tersenyum. Shopeak berarti beruntung. "Sukry, dalam Bahasa Arab, artinya berterima kasih," katanya.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

PADA 8 Oktober 2009 saya pergi ke Desa Bakong, sekitar 40 menit naik

tuktuk dari

Siem Reap. Dari desa ini ada perahu

motor yang disewakan untuk orang-orang yang ingin berkun­ jung ke Danau Ton Le Sap. Perjalanan ke danau itu melewati Kampong Pluk, sebuah kampung

di atas sungai.

Rumah-rumah warga di Kampong Pluk berbentuk pang­ gung, dengan kaki-kakinya yang sebagian terendam di air. Penduduk kampung berjumlah 3.065 orang, terdiri dari 565 kepala keluarga. Pintu-pintu rumah yang terbuka memperlihatkan keadaan tiap keluarga nelayan. Baju-baju dijemur di teras dan pot-pot bunga tersusun

di lantainya, menghias rumah-rumah seder­

hana berdinding papan, daun nipah ataupun tambalan plastik itu. Saya melihat bocah laki-laki terlentang di salah satu ru­ mah, telanjang dengan burung mungilnya terarah ke jalan. Sepasang suami istri duduk di ambang pintu, menatap lalu­ lintas tanpa bicara. Anak perempuan kecil melamun sendirian

di tangga, sedang kaki-kakinya yang mungil menyepak-nyepak air sungai. Di muka satu rumah, anak laki-laki yang masih balita itu berenang hilir-mudik dengan pelampung ban bekas. Tidak ada orang dewasa di dekatnya. Dia terkekeh-kekeh sambil mema­ merkan kemahirannya meluncur di permukaan air dengan ke­ dua tangan sesekali menepuk-nepuk air, gaya berenang yang belum pemah saya lihat di mana pun, saat mengetahui bahwa beberapa pasang mata di atas perahu ini menonton aksinya.

Di

ujung sana ada satu sekolah. Pasangan kakek-nenek berkulit putih tampak di berandanya. Si kakek memegang kamera, me­ nyandang ransel, tertawa lebar. Alis-alisnya seputih kapas. Setelah melalui Kampong Pluk, perahu memasuki hutan preikub. Daun-daun pohon preikub yang hijau rimbun sampai

137

138

LINDA CHRISTANTY

menyentuh air. Tiap kali ada warga yang meninggal dunia

di

Kampong Pluk, orang-orang mengantar jenazahnya ke sini. Tu­ buh mereka yang mati beristirahat di bawah akar-akar preikub, di dasar sungai. Kadangkala mayat-mayat itu dihanyutkan di Ton Le Sap, danau yang berjarak setengah jam dari hutan lill.

"Ada lima provinsi dilalui Danau Ton Le Sap. Warga di sekitarnya bekerja sebagai nelayan. Waktu Khmer Merah ber­ kuasa, orang tak boleh mengambil

ikan di danau. Akibatnya

setelah Khmer Merah tak lagi berkuasa, ada banyak sekali ikan di danau. Tapi juga ada jenis ikan yang hilang," tutur Sukry, yang menyertai perjalanan saya. Pengemudi perahu motor yang kami tumpangi bernama Somnang. Dia baru lahir saat Khmer Merah memerintah Kamboja. Somnang seperti halnya Sukry, berkulit sawo matang. Rambutnya lurus. Dia orang Khmer, etnis mayoritas di negeri­ nya. Matanya sipit dengan sepasang alis hitam. Bentuk wajah­ nya persegi, mirip kebanyakan orang Tapanuli di Indonesia. "Tapi lima tahun setelah mereka kalah, pengaruhnya masih terasa," cetus Somnang. Dia berbicara dalam bahasa Khmer dan Sukry menerjemahkan kalimat Somnang untuk saya. "Khmer Merah berkuasa tiga tahun, sembilan bulan, dan 22 hari." Sukry menimpali Somnang.

Khmer Merah membenci Vietnam. "Kalau di satu desa ditemukan orang Vietnam, dia langs­ ung dibunuh, selain mereka membunuh orang Kamboja sen­ diri," tutur Sukry. Khmer Merah juga membunuh etnis minoritas Champa yang beragama Islam, bahkan membunuh orang-orang Khmer sendiri. Dalam hal agama, Khmer Merah tak pandang bulu. lbadah agama Buddha, Islam, dan apa pun dilarang.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Tragedi di Kamboja berawal dari perang Vietnam dan Amerika. Kamboja bertetangga dengan Vietnam dan awalnya tidak terlibat langsung dalam konflik itu. Gempuran Amerika yang makin gencar membuat pasukan komunis Vietnam Utara terdesak sampai ke pedalaman Kamboja. Born-born juga dijatuhkan Amerika di perbatasan Kamboja untuk menghancurkan basis-basis komunis Vietnam. Amerika antara lain didukung Vietnam Selatan, Australia, dan Thailand. Vietnam Utara didukung Tiongkok dan Uni Soviet. Perang berebut pengaruh dan wilayah antara dua ideologi di dunia ini, komunisme dan kapitalisme, berlangsung selama 12 tahun. Kamboja akhirnya terseret dalam pusaran konflik. Puncak­ nya, ketika pemerintah Nixon mendukung Jenderal Lon Nol untuk menggulingkan raja Kamboja, Norodom Sihanouk, pada 1970. Sihanouk dianggap sebagian kalangan sebagai simbol pe­ mersatu negerinya. Dia memimpin Kamboja setelah menang dalam pemilihan umum yang dipantau Perserikatan Bangsa­ Bangsa. Sebelum itu hampir seratus tahun Kamboja dijajah Perancis. Untuk berkuasa, Sihanouk menyingkirkan orang­ orang Komunis dan lawan-lawan politiknya dengan kejam. Tapi setelah digulingkan Lon Nol, Sihanouk justru berbalik menjadikan orang-orang komunis sebagai sekutu menghadapi Lon Nol. Pasukan Khmer Merah yang dipimpin Saloth Sar atau populer disebut Pol Pot kelak mengalahkan Lon Nol. Pada 1 April 1975 pasukan Lon Nol kalah dan sang jenderal hengkang ke Amerika. Kini giliran Sihanouk yang menerima balasan politik. Khmer Merah ingin memerintah Kamboja sendirian. Mereka antimonarki. Pol Pot menyingkirkan Sihanouk, memenjarakan­ nya di istana kerajaan lap pun dimulai.

di Phnom Penh. Tahun-tahun yang ge­

139

140

LINDA CHRISTANTY

Semula Khmer Merah adalah sayap militer Partai Komunis Kamboja, tapi kemudian jadi faksi tersendiri dan mendomi­ nasi. Rezim Khmer Merah bahkan mengeksekusi seluruh pemimpin Partai Komunis Kamboja yang dianggap bersebe­ rangan, membunuh kaum intelektual dan siapa saja yang dicap pendukung Lon Nol dan mata-mata Barat. Mereka mencanang­ kan "Tahun Nol", menyatakan sejarah Kamboja dimulai di ma­ sa mereka berkuasa. Penduduk dipindahkan dari kota ke desa-desa sebagai langkah membangun negara agraris. Ibukota Phnom Penh jadi kota hantu. Tidak hanya itu, Henry Kamm dalam bukunya

Cambodia: Report from a Striken Land menyebutkan bahwa di masa tersebut suratkabar, buku, kaset, film, radio, televisi, alat-alat musik, AC, sekolah, rumah ibadah, pengobatan mo­ dern dilarang. Semua itu dianggap pengaruh asing atau yang mengancam komunisme ala Khmer Merah. Berdasarkan praktiknya, Khmer Merah tidak lebih dari re­ zim fasis di Indochina. Perang Vietnam dan Amerika berakhir dengan kemenang­ an komunis Vietnam pada 1975. Negeri yang tadinya terbagi dua, utara dan selatan, itu bersatu lagi. Tapi Kamboja sudah jadi neraka. Pada 1979 Vietnam memutuskan menginvasi Kamboja dan membentuk pemerintahan boneka yang dipimpin bekas kader Khmer Merah, Heng Samrin. Pol Pot

tak mau menyerah. Dia

melarikan diri ke perbatasan Thailand. Tiongkok yang semula mendukung Khmer Merah berbalik menyerang. Uniknya, kali ini Amerika justru memasok dana untuk Khmer Merah. Lebih dari satu juta orang mati di bawah Pol Pot, karena kelaparan, penyiksaan, dan pembunuhan. Jejak dan kenangan perang itu masih hadir sampai kini. Wajah Pol Pot yang lembut

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

bertolak belakang dengan tindakannya. Dia dijuluki "Setan Berwajah Rembulan". Saat saya menanyakan pendapat Sukry tentang pemerin­ tah Kamboja sekarang, wajahnya langsung cerah. Dia men­

dukung Perdana Menteri Hun Sen. Dia menyebut Hun Sen "mengerti tentang orang-orang miskin". "Karena dia juga dulu memulai dari hidup susah. Dia be­ lajar di pagoda, sampai jadi orang berpengaruh," lanjutnya. Faktanya, korupsi merajalela di kalangan pejabat dan ma­ yoritas rakyat hidup miskin. Hun Sen dikenal dekat dengan Vietnam. Cambodian People's Party atau Partai Rakyat Kamboja adalah partai Hun Sen. "Funcipec tidak bagus. Meski dulu ayah saya ikut partai itu," kata Sukry, lagi. Funcipec adalah partai Sihanouk. "Partai kerajaan," lanjutnya. Dulu Somnang menarik

tuktuk seperti Sukry dan lumayan

lancar berbahasa lnggris lantaran sering berbicara dengan para pelancong. Bertahun-tahun bekerja sebagai pengemudi perahu membuatnya jarang menggunakan bahasa tersebut. Dia masih mengerti apa yang dibicarakan orang dalam Bahasa Inggris, tapi dia telah kehilangan kemampuan berbicaranya dalam bahasa itu. Somnang belum lama berkeluarga.

Anak pertamanya laki­

laki, baru berusia satu tahun. Perahu tidak lagi melaju. Somnang mematikan mesinnya. Kami mengambang di atas Ton Le Sap. Sejauh mata memandang

hanya air dan air. Ton Le Sap mirip laut ketimbang danau. Begitu luas.

Kedua sisinya tak terlihat dari sini. Airnya keruh

kecoklatan. Gerimis mulai turun. Namun, matahari bersinar.

141

142

LINDA CHRISTANTY

Di atas

tuktuk

Sukry yang meninggalkan desa Bakong,

saya melihat lelaki paruh baya menyeberang jalan. Kakinya cuma sebelah. Gambar tengkorak dan tulang menyilang tampak tanah lapang. Tanda bahaya. Ranjau darat tertanam

di satu

di situ.

POSTER "Year Zero" terpampang di dinding ruang senjata Cambodian Land Mine Museum, yang letaknya tak jauh dari kompleks Angkor. Poster tersebut berwarna

dasar merah, ber­

gambar siluet hitam senjata dan siluet putih orang berkaki satu dan bertongkat. Di poster lain tertera sejarah ranjau darat. Tiga puluh delapan negara telah menghentikan pembuatan ranjau darat, tapi 13 negara masih memproduksinya sampai sekarang. Sembilan negara pembuat ranjau darat terletak di

Asia, yaitu

Burma, Tiongkok, India, Nepal, Korea Utara, Korea Selatan, Pakistan, Singapura, dan Vietnam. Satu negara di Timur Te­ ngah, yaitu Iran. Dua negara di benua Amerika, yaitu Amerika Serikat dan Kuba. Di halaman belakang museum ada pengumuman untuk wartawan, fotografer dan pembuat film. Mereka dilarang me­ motret atau merekam anak-anak korban ranjau darat yang tinggal di situ tanpa izin. Sebuah rumah tampak di kejauhan, rumah yang dihuni keluarga pemilik museum dan anak-anak asuhnya. Halaman belakang museum temyata pekarangan de­ pan rumah tersebut. Antara museum dan pekarangan rumah hanya dipisahkan pagar kayu dan bambu setinggi pinggang. Saya melihat anak perempuan dengan sebelah kaki palsu melangkah ke pintu pagar, sedang seorang lagi berjalan-jalan di muka rumah. Tak berapa lama seorang anak laki-laki ber­ lengan buntung sampai siku masuk ke museum. Dia menatap saya sejenak, lalu berjalan ke pintu depan. Usianya sekitar 13 tahun.

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Peluru mortir dan meriam, born udara, roket penghancur tank, bawka dan tabung peluncur roket dipajang di ruang­ ruang museum. Dalam bangunan berbentuk bundar dan ber­ lapis kaca yang terletak di tengah museum berjejalan berjenis­ jenis ranjau darat. Bangunan khusus ini dikelilingi kolam buatan yang airnya hijau berlumut.

Pendiri museum bernama Aki Ra. Orangtuanya dibunuh Khmer Merah. Dia dipaksa jadi tentara anak di pasukan Pol Pot dan bertugas menanam ranjau. Setelah kekuasaan Khmer

Merah berakhir, Ra bekerja sukarela menjinakkan ranjau di Siem Reap sampai ke perbatasan Kamboja dan Thailand. Pengunjung museum hanya membayar tiket masuk US$2 yang digunakan untuk keperluan merawat museum ini. Sepulang

dari museum, karni mampir di satu rumah ma­

kan yang di belakangnya mengalir satu sungai kecil. Buku me­ nu tertulis dalam huruf Khmer yang merupakan pengembang­ an dari huruf Palawa, bukti Indianisasi. Sejarah menunjukkan bahwa Bangsa Khmer memang bangsa yang paling ter-Indiani­ sasi di Indochina, sebagaimana Vietnam ter-Sinonisasi. Dengan bantuan Sukry, saya memesan

amok,

masakan khas Khmer

yang terdiri dari parutan kelapa dan ikan. Sukry memesan sup bebek dan mulai bercerita tentang masa-masa sekolahnya
Dia sempat belajar di Makhad Umukula selama lima tahun setelah menyelesaikan sekolah dasar. Di buku catatan saya, Sukry menulis nama sekolah itu dalam huruf Arab. Sukry me­ nyebut sekolahnya sebagai "center". Di sana

dia belajar Mate­

matika, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Melaju Jawi. Gurunya orang Kamboja yang lama tinggal

di Malaysia.

Guru Sukry pernah ditangkap gara-gara membawa tas ber­ tuliskan huruf Arab setelah menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, ditabrak pesawat yang dibajak pada 11 September 2001.

143

1 44 LINDA CHRISTANTY

"Dia sempat ditahan selama tiga minggu karena dicurigai sebagai teroris," tutur Sukry. Sukry tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, karena harus membantu ibunya bekerja untuk membia­ yai keluarga. Dia cukup senang karena dua adik laki-lakinya kuliah di Phnom Penh. Sukry anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya tidak lagi bisa bekerja karena menderita diabetes dan hernia. "Ayah saya suka sup bebek," katanya, tiba-tiba. Matanya berkaca-kaca. Saya menanyakan pendapatnya tentang kelompok Islam militan yang berkembang akhir-akhir ini, yang identik dengan teror dan kekerasan. "Islam mengajarkan untuk mencipta perdamaian, bukan musuh," katanya. Desa Sukry dikelilingi pemeluk Buddha dan dia tak merasa mereka mengancamnya sebagai muslim. Di Kamboja 60 persen penduduk beragama Buddha dan 40 persen muslim. "Jangankan perbedaan agama, perbedaan manusia juga perlu dihargai. Di sini ada hotel yang pemilik dan pegawainya waria. Golden Banana Hotel, namanya," katanya. Baginya, se­ tiap orang sating menghargai satu sama lain itu sudah cukup. SAYA meninggalkan Siem Reap pada 10 Oktober 2009, menuju Phnom Penh. Mobil berkapasitas 14 penumpang itu terasa nya­ man dan sejuk oleh AC. Sukry memberi nomor telepon teman­ nya di Phnom Penh, sesama pengemudi

tuktuk. Namanya, Ban

Mao. "Dia pasti akan membantu. Dia teman baik saya," kata­ nya siang itu. Dia berdiri di muka kantor mobil sewa ini sampai mobil yang saya tumpangi bergerak, meluncur ke jalan raya. Jarak Siem Reap ke Phnom Penh sekitar empat jam. Tiap 300 atau 500 meter ada papan nama "Cambodian People's

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

Party" terpancang di kiri atau kanan jalan. Saya menyadari betapa banyaknya papan nama partai Hun Sen tersebut saat mobil berada

di provinsi Kampong Thom, yang ternyata tem­

pat kelahiran Pol Pot. Ironisnya, saya hanya menemukan se­ kitar empat papan nama "Funcipec" di perjalanan ke Phnom Penh. Di provinsi Kandal, sekelompok remaja berjilbab terlihat duduk-duduk di satu pondok kecil di kanan jalan. Sementara di jalanan, di atas sepeda motor yang melaju itu, pendeta Buddha berjubah oranye duduk di boncengan dan jubahnya berkibar-kibar dilanda angin. Mobil mengurangi lajunya saat bertemu sapi-sapi. Jumlah mereka begitu banyak, mengingatkan saya pada sapi-sapi di Aceh. Sapi-sapi berkeliaran di kanan kiri jalan, besar dan kecil. Tua dan muda. Mobil terpaksa berhenti saat seekor sapi tua melenggang santai menyeberang jalan. Rumah-rumah panggung mulai tampak. Bekas banjir mu­ lai terlihat. Di kanan jalan ada kolam coklat yang di tengahnya mencuat sebuah tugu. Ternyata itu halaman sekolah yang te­ rendam air. Mobil terns melaju ke arah Phnom Penh. Pohon-pohon, kebun menghijau. Di satu daerah, sawah menghampar luas di kanan-kiri jalan. Mata yang penat terasa segar lagi. Desa-desa di Asia Tenggara tak jauh beda. Kebun, sawah, rumah pang­ gung....

Phnom Penh bahkan tak beda jauh dengan salah satu su­ dut Jakarta. Lalu-lintas ramai dan toko-toko berderet di kanan­ kiri jalan. Permukiman kumuh berada

di belakang rumah­

rumah kalangan menengah dan atas. Cuaca masih seperti ketika saya tiba

di Siem Reap. Hujan

turun tak tentu waktu. Kadang pagi hari, kadang tengah hari, kadang menjelang sore. Di pagi pertama di Phnom Penh, saya

145

146

LINDA CHRISTANTY

sarapan di kafe di sebelah hotel dan membeli suratkabar yang ditawarkan seorang bocah laki-laki,

The Cambodian Daily.

Suratkabar ini berbahasa Inggris, tapi dengan beberapa halam­ an berbahasa Khmer. Kebanyakan beritanya saduran dari kan­ tor berita asing. Ada berita tentang Indonesia: penembakan teroris yang terlibat pengeboman hotel Ritz Carlton dan Marriot di Jakarta. Tiga hari kemudian saya membaca suratkabar berbahasa Inggris yang lain dan memuat basil liputan warta­ wannya sendiri,

The Phnom Penh Post.

Di halaman pertama

ada berita seputar pengadilan tribunal para pemimpin Khmer Merah dan pernyataan pengacara Ieng Sary yang menyebutkan investigasi terhadap kliennya tidak transparan dan adil. Siang harinya saya berkunjung ke Choeung Ek Genocidal Museum diantar Ban Mao. Museum ini sekaligus monumen untuk mengenang keke­ jaman Pol Pot, yang didirikan di bekas kamp pembantaian. Halamannya merupakan bekas-bekas tempat eksekusi. Dalam bangunan utama terdapat lemari kaca bertingkat­ tingkat yang berisi tengkorak-tengkorak, tulang-belulang manu­ sia dan pakaian-pakaian korban. Tengkorak, tulang dan pakaian usang itu ditata seakan-akan barang-barang mewah di rak pa­ jang sebuah butik atau gerai ternama. Anehnya saya tak merasakan apa pun ketika menyaksikan pemandangan ini. Tidak sedih atau gembira.

Tidak juga ngeri.

Datar-datar saja. Di bangunan lain dipamerkan pakaian kader laki-laki dan perempuan Khmer Merah. Setelan hitam-hitam dan syal kotak­ kotak merah. Di dindingnya saya melihat potret Hou Nim, be­

kas menteri informasi rezim Khmer Merah, yang dieksekusi di Choeung Ek. Dia mengenakan jas dan dasi. Bibirnya tersenyum. Sepasang matanya bersinar lembut. Perdana Menteri Pol Pot tidak hanya memerintahkan pembunuhan siapa saja yang

di-

JANGAN TULIS KAMI TERORIS

anggap musuh, bahkan tega melenyapkan nyawa teman, para pejabat dan tentara-tentaranya sendiri yang dianggap menen­ tangnya. Poster-poster berisi kisah kekejaman dan para pelaku terpampang di seluruh dinding. Salah satu poster menampil­ kan aksi tentara Khmer Merah membanting bayi. Benar-benar sadis. Terlebih lagi seorang juru kamera sengaja mereka minta

untuk mengabadikan adegan ini. Ban Mao lebih pendiam ketimbang Sukry, juga lebih tua. Usianya sekitar 50 tahun. Tubuhnya kurus kering. Pipi-pipinya tirus. Pakaiannya lusuh. Setelah membawa saya menyusuri Riverside yang indah dan meminta saya berpotret dengan burung-burung merpati yang hinggap dan beterbangan di situ, "Biar ada kenang-kenangan", katanya, Ban Mao bercerita ten­ tang masa Khmer Merah berkuasa. "Orang meninggal dibunuh (dengan memperagakan ta­ ngan memenggal kepalanya) atau mati kelaparan," katanya. Dia pernah selama 15 hari tak makan. Kadang-kadang dia memperoleh semangkuk nasi atau lebih tepatnya, bubur de­ ngan banyak air. "Tapi semangkuk kecil." Ban Mao tertawa, getir. Suatu kali Ban Mao pergi dengan delapan temannya keluar desa mereka, menyelamatkan diri dari pasukan Pol Pot. Hanya dia sendiri yang hidup sampai hari ini. Delapan teman­ nya mati dan sekali lagi dia memperagakan cara mereka mati dengan gaya memenggal kepalanya sendiri dengan tangan. Pol Pot meninggal dunia pada 1998 dalam tahanan

rumah

yang dijatuhkan komandan militernya, Ta Mok, setelah dia mengeksekusi menteri pertahanannya Son Sen berikut anggota keluarga sang menteri. (Facebook, 7 April 2011)

147

/

Dari Jawa Menuju Aljeh adalah kumpulan catatan perjalanan, pemikiran, dan kepedulian Linda Christanty terhadap sejurnlah orang dari Jawa sampai Aceh. Mereka adalah orang-orang yal)g merasakan getimya hidup dalam suatu sistem kekuasaan dan sosial yang membungkam dan antiperbedaan. Dari sejumlah orang itu tercatat nama-nama seperti Pramoedya Ananta Tuer, sastrawan besar Indonesia, W tji Thukul, penyair yang sejak 1998 hilang tanpa jejak, Bre Redana, seorang wartawan dan cerpenis, dan Dede Oetomo, tokoh Gaya Nusantara, majalah gay pertama di Indonesia. Turcatat pula Kebo, seorang preman yang mati dibakar massa di Jakarta. Lebih daripada sekadar catatan biasa, Linda mengungkap kegetiran hidup tokoh-tokoh dalam buku ini lewat proses urnalistik j dan menuliskannya secara sastrawi, sebagai prosa. Membaca buku ini mata kita seolah dibuat tercelik atas kenyataan hidup yang sedang kita bangun bersarna.

More Documents from "Masadie Itu Ari"