Proposal_amel_bab_123_fiks[1].docx

  • Uploaded by: ari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal_amel_bab_123_fiks[1].docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,976
  • Pages: 46
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Anak Berkebutuhan Khusus merupakan seorang anak yang mempunyai karakteristik berbeda dibandingkan dengan anak lainnya. Selain itu, Anak berkebutuhan khusus menunjukkan karakteristik bentuk fisik, tingkat intelektual, dan emosional yang lebih rendah ataupun lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal yang seumurannya sehingga dengan demikian anak akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, interpersonal, maupun secara aktivitas pendidikan yang ditempuh (Bahri, 2010).

Sedangkan

menurut

Kementerian

Pendidikan

Nasional

(Kemendiknas) Tahun 2011, bahwa berkebutuhan khusus (disability) dikategorikan menjadi tujuh yaitu; kelainan fungsi penglihatan (tunanetra), kelainan fungsi pendengaran (tunarungu), kelainan fungsi kemampuan berbicara (tunawicara), kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa), kelainan fungsi mental (tunagrahita), autisme dan kelainan kemampuan belajar (learning disability). Perkembangan manusia merupakan perubahan yang progresif dan berlangsung terus menerus atau berkelanjutan. Keberhasilan dalam mencapai

suatu

tahap

perkembangan

akan

sangat

menentukan

keberhasilan dalam tahap perkembangan berikutnya. Sedangkan, apabila

1

2

ditemukan adanya satu proses perkembangan yang terhambat, terganggu, atau bahkan terpenggal, dan kemudian dibiarkan maka untuk selanjutnya sulit mencapai perkembangan yang optimal. Tidak setiap anak mengalami perkembangan yang normal. Banyak di antara mereka yang mengalami hambatan, atau memiliki faktor-faktor resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau intervensi khusus. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai anak bekebutuhan khusus. Uraian di atas, mengisyaratkan bahwa secara konseptual anak berkebutuhan khusus yang selanjutnya akan di singkat menjadi (ABK) memiliki makna dan spectrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa, cacat, atau berkelainan (exceptional children). Anak bekebutuhan Khusus tidak hanya mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), tetapi juga (ABK) yang bersifat temporer. (ABK) temporer juga bisa disebut anak dengan faktor resiko, yaitu individu-individu yang memiliki atau dapat memiliki problem dalam perkembangan yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan belajar selanjutnya, yang memiliki kerawanan, kerentanan atau resiko tinggi terhadap munculnya hambatan atau gangguan dalam belajar atau perkembangan selanjutnya. Bahkan, dipercayai bahwa (ABK) yang bersifat temporer apabila tidak mendapatkan intervensi secara tepat sesuai kebutuhan khususnya, dapat berkembang menjadi permanen.

3

(ABK) agak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. (ABK) berproses dan tumbuh, tidak dengan modal fisikk yang wajar, karena sangat wajar jika mereka terkadang cenderung memiliki sikap defensit (menghindar), rendah diri, atau mungkin agresif, dan memiliki semangat belajar yang lemah. Selanjutnya (ABK) adalah definisi yang sangat luas, mencakup anak-anak yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ rendah, serta anak dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Gambaran (ABK) atau disabilitas di Indonesia berdasarkan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, menunjukkan bahwa terdapat 130.572 (ABK) yang terdiri dari: 19.438 anak mengalami cacat fisik dan mental, 32.990 anak mengalami tunadaksa, 5.921 anak mengalami tunanetra, 3.861 anak mengalami tunarungu, 16.335 anak mengalami tunawicara, 7.632 anak mengalami tunarungu dan tunawicara, 1.207 anak mengalami tunanetra, tunarungu, dan tunawicara, 4.242 anak mengalami tunarungu, tunawicara, dan tunadaksa, 2.991 anak mengalami tunarungu, tunawicara, tunanetra, dan tunadaksa, 30.460 anak mengalami retardasi mental, dan 2.257 anak merupakan mantan penderita gangguan jiwa (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Adanya kekhususan yang dimiliki oleh (ABK), sehingga dibutuhkan peran serta dari orangtua dalam merawat,

mendidik,

dan

memberikan

mengembangkan potensi anak dengan baik.

pelayanan

khusus

untuk

4

Menurut Heward (2002) (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk ke dalam (ABK) ((ABK)) antara lain : tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lainnya bagi (ABK) adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, (ABK) memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. (ABK) biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian A untuk tunanetra, Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian B untuk tunarungu, Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C untuk tunagrahita, Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian D untuk tunadaksa, Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian E untuk tunalaras dan Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian G untuk cacat ganda. Orang tua harus berperan penuh dalam merawat, mendidik dan membesarkan anak. Peran tersebut menjadi berbeda ketika orangtua dihadapkan pada kondisi anak yang memiliki keterbatasan dan ketergantungan seumur hidup. Orangtua dihadapkan pada tantangan dan permasalahan yang akan berpengaruh pada kesehatan mental dan keberfungsian keluarga. Adanya tantangan yang besar dalam merawat dan

5

membesarkan anak, karena anak sangat membutuhkan kasih sayang yang khusus dari pada anak normal lainnya (Head & Abbeduto, 2007). Tantangan serta tuntutan yang harus dipenuhi oleh orangtua dalam merawat (ABK) antara lain: menyediakan alat yang mendukung aktivitas anak,

menyediakan

transportasi,

dan

mengikuti

program

untuk

memperoleh pelayanan medis maupun edukasi untuk anak. Kebutuhan tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada kondisi orangtua dalam segi fisik, psikologis, maupun, finansialnya (Martin & Colbert dalam Astriamitha, 2012). Seseorang apabila mengalami keadaan tertekan, stres, dan depresi maka orang tersebut akan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhannya. Namun banyak juga orang yang berusaha meninggalkan dan menjauhi Tuhan karena merasa adanya ketidakadilan dalam hidupnya (Jain dalam Taqwa, 2016). Apabila seseorang tidak mempunyai makna dan nilai dalam hidupnya, maka akan membuat orang tersebut mengalami kehilangan atas keyakinannya, dan akan menyeb(ABK)an mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Dengan demikian diperlukan adanya tingkat kecerdasan spiritual yang baik (Yarlis, 2010). Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang dapat membantu seseorang dalam meningkatkan kemampuan diri secara utuh yang berhubungan dengan pikiran yang sadar. Adanya kesadaran ini membuat individu mampu untuk mengakui nilai-nilai yang ada dengan cara menemukan nilai-nilai yang baru ditemukan. Seseorang yang memiliki

6

kecerdasan spiritual tinggi akan menyikapi permasalahan dengan cara memaknai dan menilai segala sesuatu dengan pandai menempatkan perilakunya supaya bersikap positif dalam setiap hal (Zohar dan Marshall, 2007). Kecerdasan spiritual membantu seseorang untuk menemukan makna hidup dan kebahagiaan. Inilah sebabnya, kecerdasan spiritual dinilai kecerdasan yang paling penting dalam kehidupan dan kebahagiaan adalah tujuan dari setiap orang dalam hidupnya. Untuk apa mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi bila hidupnya tidak bahagia. Untuk dapat meraih kesuksesan, baik itu dalam krier, kekayaan, maupun dalam kehidupan sosial, bila tidak bisa merasakan kebahagiaan. Itulah sebabnya, kecerdasan spiritual dikatakan sebagai kecerdasan yang paling penting dan tinggi. Jika memang kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang paling penting dan tinggi terkait dengan kemampuan seseorang dalam meraih kebahagiaan, pertanyaan yang muncul adalah apakah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional menjadi tidak penting lagi dalam kehidupan manusia? Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sangat penting untuk dikembangkan dalam diri manusia. Ketiganya merupakan karunia Tuhan yang tidak boleh diabaikan agar manusia dapat menjalani dan menikmati kehidupannya dengan baik. Akan tetapi, hal yang tidak diinginkan adalah adalah mengembangkan kecerdasan yang satu, namun mengabaikan

7

kecerdasan yang lainnya. Misalnya, kebanyakan orang tua dan guru merasa bangga bila anak-anak mencapai prestasi yang baik dalam kecerdasan itelektualnya, dan mereka seakan lupa bahwa masih ada kewajiban untuk mengembangkan kecerdasan lainnya dalam diri anak, yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Jadi, hal yang penting untuk diperhatikan adalah porsi dalam mengembangkan masingmasing kecerdasan yang ada dalam diri anak dengan baik. Menurut Drs. Akhmad D. Marimba pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Bagaimana langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua dalam mendampingi tumbuh dan kembang anak-anak agar dapat mengembangkan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual ini jangan sampai diabaikan oleh para orang tua karena bahagia atau tidaknya anak-anak kita dalam menjalani kehidupan ini sangat tergantung dari kecerdasan spiritualnya. Jika kecerdasan

spiritualnya

tinggi,

seseorang

akan

mudah

meraih

kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan adalah inti atau hakikat dari tujuan hidup seorang anak manusia. Kecerdasan spiritual tidak tumbuh ketika dewasa. Kecerdasan spiritual perlu dipupuk dan dibangkitkan sejak usia dini. Menurut Banach dalam artikel Hartmann (2012) menyebutkan bahwa terdapat beberapa emosi yang dialami oleh orang tua pada awal ketika tim medis mendiagnosis anaknya mengalami autisme, diantaranya

8

yaitu: orang tua mengatakan sangat sedih dan merasa kehilangan sebanyak 42%, sangat syok sebanyak 29%, dan orang tua menyalahkan dirinya sendiri sebanyak 10%. Sedangkan menurut penelitian Dinna (2016) terdapat 20% orangtua menggunakan kecerdasan spiritual untuk mengatasi masalahnya, sehingga selalu bersyukur atas kondisi yang ditakdirkan kepada anaknya. Sedangkan menurut data hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Arjunawadi (2015) menunjukkan hampir separuh dari orangtua yang memiliki anak syndrom down menerapkan mekanisme koping maladaptif, dengan jumlah persentase sebanyak 42,4%. Kategori maladaptif terjadi karena sebagian orangtua kurang mendapatkan informasi mengenai kondisi yang dialami oleh anaknya, sehingga mekanisme koping orangtua cenderung ke arah negatif yang kemudian mempengaruhi konsep diri orangtua menjadi berperilaku dan bersikap secara maladaptif.

Berdasarkan dari hasil observasi yang telah dilakukan di SLB Negeri Purbalingga melalui wawancara pada 5 orangtua yang memiliki (ABK), diperoleh hasil 3 orangtua merasa terbebani ketika merawat anak dengan mengatakan bahwa memiliki (ABK) adalah sebuah hukuman baginya, sehingga merasa marah kepada Tuhan dan terdapat 1 orang tua yang mengatakan bahwa sempat mencoba menggugurkan anaknya serta tidak mengakui anak tersebut. Kemudian pada 2 orangtua merasa sedikit terbebani ketika merawat anak dengan mengatakan bahwa memiliki

9

(ABK) adalah sebuah anugrah dari sang Ilahi yang perlu untuk disyukuri dan orangtua menjadi orang pilihan dari Tuhan yang dipercayai mampu untuk merawat anaknya dengan baik, serta semenjak memiliki anak tersebut orangtua menjadi lebih rajin beribadah dan berdoa untuk kesembuhan anaknya. Oleh karena itu peneliti tertarik meneliti gambaran kecerdasan spiritual pada orang tua yang memiliki (ABK) di SLB Negeri Purbalingga. B. Rumusan Masalah Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang dapat membantu seseorang dalam meningkatkan kemampuan diri secara utuh. Pada orangtua yang memiliki (ABK), maka diperlukan adanya kecerdasan spiritual yang baik. Sehingga peneliti mengangkat permasalahan yang akan diteliti yaitu “Bagaimana gambaran kecerdasan spiritual pada orang tua yang memiliki (ABK) ((ABK)) di SLB Negeri Purbalingga?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui gambaran kecerdasan spiritual pada orang tua yang memiliki (ABK) ((ABK)) di SLB Negeri Purbalingga. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan karakteristik demografi responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, jenis kebutuhan khusus dan riwayat kesehatan keluarga

10

b. Mendeskripsikan kecerdasan spiritual orang tua c. Mengidentifikasi

hubungan

karakteristik

demografi

dengan

kecerdasan spiritual D. Manfaat Penelitian 1. Bagi institusi Sekolah Luar Biasa (SLB) Memberikan informasi sebuah data dasar bagi pihak sekolah mengenai gambaran kecerdasan spiritual pada orang tua yang memiliki (ABK) (ABK) didalam memberikan kegiatan sekolah seperti: sosialisasi yang melibatkan orang tua dan anak, penyuluhan terkait pendidikan kesehatan anak dan orang tua, serta turut memberikan dukungan kepada orang tua terkait perkembangan yang dialami oleh anaknya. 2. Bagi institusi Keperawatan Hasil dari penelitian ini menambah pengetahuan terkait kecerdasan spiritual pada orang tua yang memiliki (ABK) untuk memberikan intervensi keperawatan pada orang tua yang memiliki (ABK) untuk dapat mempertahankan tingkat kecerdasan spiritual yang sudah di milikinya. 3. Bagi peneliti selanjutnya Dijadikan sebagai bahan referensi mengenai kecerdasan spiritual pada orangtua yang memiliki (ABK) untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

11

E. Penelitian Terkait Penelitian yang sehubungan tentang kecerdasan spiritual telah banyak dilakukan, antara lain penelitian yang berjudul : 1.

Putrie (2017), yang meneliti tentang “Hubungan spiritualitas terhadap harga diri orang tua yang memiliki anak dengan syndrom down di Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS)”. Pemilihan sampel menggunakan total sampling yang berjumlah 95 orang. Penelitian ini menggunakan metode korelasi koefisien dengan desain penelitian cross sectional yang diperoleh nilai p<0,05. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada variabel spiritual, pemilihan sampel dan desain penelitian. Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian, yaitu orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

2. Naghmeh, Akram, dan Tahereh (2017), yang meneliti tentang “The relationship between mental health and spiritual intelligence of parents of hospitalized premature neonates in the NICU”. Pemilihan sampel menggunakan total sampling yang berjumlah 152 orang. Penelitian ini menggunakan metode korelasi koefisien dengan desain penelitian cross sectional yang diperoleh nilai p= 0,02. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada variabel kecerdasan spiritual, pemilihan sampel dan desain penelitian. Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian, yaitu orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

12

3.

Bagheri, Akbarizadeh, Hatami (2010), yang meneliti tentang “The relationship between nurses spiritual intelligence and happiness in Iran”. Pemilihan sampel menggunakan total sampling yang berjumlah 125 perawat. Penelitian ini menggunakan metode korelasi dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini menggunakan metode korelasi koefisien dengan nilai signifikansi atau p< 0,01. Persamaan penelitian ini terletak pada variabel kecerdasan spiritual, pemilihan sampel dan desain penelitian. Sedangkan perbedaannya terletak pada dan subjek penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Landasan Teori Penelitian ini mempunyai landasan teori diantaranya mencakup penjelasan (ABK), pengertian, aspek, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual.

1.

Anak Berkebutuhan Khusus Istilah (ABK) menurut Heward (2002), adalah anak yang

memiliki karakteristik khusus dan berbeda dari kondisi anak pada umumnya.

Keterbatasan

ini

tidak

selalu

menunjukkan

pada

ketidakmampuan mental, emosi atau fisik saja. Anak dengan kebutuhan khusus (children with disability) dapat diartikan pula sebagai anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang secara formal membutuhkan pelayanan khusus. Menurut Kauff dan Hallahan (2005), (ABK) di klasifikasikan menjadi tujuh bagian. Pertama, tunanetra adalah seseorang yang mempunyai ketidakmampuan penglihatan dengan akurasi kurang dari 6/60 atau sama sekali tidak dapat melihat. Kedua, tunarungu adalah individu yang memiliki ketidakmampuan atau kehilangan pendengaran sebagian dan seluruhnya. Hal ini diakibatkan oleh ketidakberfungsian alat pendengaran secara sebagian ataupun keseluruhan. Ketiga, tunawicara adalah kelainan seseorang dalam berbicara yang ditandai

13

14

dengan kemunduran artikulasi pengucapan suara, kefasihan, dan bunyi suara yang diucapkan. Kategori gangguan dalam aspek berbicara antara lain: gangguan artikulasi, gagap, dan bicara yang tidak jelas. Keempat, tunadaksa adalah individu yang memiliki kecatatan fisik, sehingga mengalami gangguan koordinasi pergerakan tubuh yang diakibatkan oleh adanya kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan atau sakit yang termasuk cerebral palsy, amputasi, polio, dan kelumpuhan. Kelima,

tunagrahita

adalah

seseorang

yang

mengalami

ketidakmampuan fungsi kecerdasan dibawah rata-rata dengan nilai intelligence quotient (IQ) ≤ 70 yang disertai ketidakmampuan anak untuk belajar serta berperilaku secara adaptif atau positif. Keenam, autisme

adalah

seseorang

yang

mengalami

gangguan

dalam

berhubungan dan berinteraksi sosial. Ketujuh, learning disability dibagi menjadi 2 macam, diantaranya adalah learning disability (kesulitan belajar umum) dan specific learning disability (kesulitan belajar khusus). Kesulitan belajar umum adalah kesulitan yang ditunjukkan dengan prestasi belajar rendah untuk seluruh pelajaran yang diterima baik formal maupun non formal, sedangkan kesulitan belajar khusus adalah kesulitan yang ditunjukkan dengan berprestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti: membaca dan menulis.

2.

Orang tua Anak Berkebutuhan Khusus

15

Kondisi anak yang khusus kerap kali menimbulkan penolakan dan ketidakikhlasn orang tua dalam menerima kehadiran anak di dunia ini. Ketidakikhlasan ini ditandai dengan perilaku, seperti: mengabaikan anak, kasar terhada anak, dan tidak menginginkan dalam merawat anaknya dengan baik. Hal ini akan membuat anak merasa bahwa hal itu adalah suatu yang menyakitkan bagi dirinya. Dalam hal ini anak akan merasa tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai seorang anak karena merasa terdzalimi dengan perialku dan sikap dari orangtuanya. Pada rentang perkembangan hampir seluruh dari anak yang melakukan sebuah penolakan, sehingga pada akhirnya anak tersebut akan menjadi pribadi yang tertutup dan tidak penurut (Chomaria dalam Roihah, 2015). Selain itu menurut Reichman (2008) yang memaparkan dua sisi dampak kehadiran (ABK) dalam sistem keluarga. Sisi positif, hal tersebut akan memperluas wawasan, meningkatkan kekuatan batin orangtua, meningkatkan kebersamaan keluarga, dan mendorong hubungan baik dalam sebuah komunitas khusus. Sisi negatifnya, hal tersebut akan menghabiskan banyak waktu dan keuangan keluarga, memberikan tuntutan fisik dan emosi yang berhubungan dengan membesarkan (ABK). Akibat yang ditimbulkan tergantung pada kondisi dan keparahannya, seperti kondisi fisik, emosi, dan finansial yang diperlukan sesuai dengan sumber daya keluarga.

16

Dilihat dari bentuknya, spirit menurut Helge, paling tidak ada 3 tipe : subyektif, obyektif, dan obsolut. Spirit subyektif berkaitan dengan kesadaran, pikiran, memori, dan kehendak individu sebagai akibat pengabstraksian diri dalam relasi sosialnya.Spirit obyektif berkaitan dengan konsep fundamental kebenaran (right, recht), baik dalam pengertian legal maupun moral.Sementara spirit obsolut yang dipandang Helge sebagai tingkat tertinggi spirit adalah sebagai bagian dari nilai seni, agama, dan filsafat. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual memiliki dua proses, pertama proses ke atas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan tuhan, kedua proses ke bawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhan di dalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri, Apakah ada perbedaan antara spiritual dan agama? Spiritualitas adalah kesadaran diri atau kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib.Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia.Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama

17

memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Sesorang bias saja mengikuti agama tertentu, namun memiliki spiritual. 3.

Kecerdasan Spiritual a. Pengertian Kecerdasan Spiritual Kecerdasan

spiritual

(SQ)

adalah

kecerdasan

jiwa,

yaitu

kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dirinya secara utuh. Banyak sekali manusia saat ini yang menjadi hidup penuh luka dan berantakan dikarenakan merindukan kebahagiaan dan keharmonisan dalam kehidupannya. Kecerdasan spiritual (SQ) secara teoritis berada di dalam diri seseorang yang berhubungan dengan kearifan di luar ego (dirinya) atau pikiran sadar. Menggunakan potensi kecerdasan spiritual manusia tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi secara kreatif menemukan nilainilai baru (Danah Zahar, 2002: 8). Pada perakteknya Kecerdasan spiritual

(SQ)

merupakan

kecerdasan

untuk

menghadapi

dan

memecahkan persoalan makna dan nilai, sehingga seseorang mampu mengetahui apakah perilaku atau tindakan hidupnya lebih bahagia (bermakna) dibandingkan dengan yang lain. Runtuhnya moralitas dan akhlak bangsa yang pada gilirannya berakibat pada wabah kegersangan spiritual, munculnya beberapa pakar untuk mencari jalan keluar krisis multidimensi, diantaranya melakukan reformasi pendidikan dengan

18

membangkitkan aspek emosional dan spiritual sebagai isu utama pengembangan pendidikan anak. Salah satu pakar pada permasalahan kecerdasan spiritual dan menjadi tokoh dalam penelitian adalah Ary Ginanjar Agustian. Menurut pendapat Ary Ginanjar Agustian

dalam bukunya Rahasia Sukses

Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ (Emosional Spiritual Quotient) berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rikun Islam, untuk menumbuhkan

kecerdasan

spiritual

perlulah

untuk

mengadakan

pelatihan dan pembiaasaan sedangkan prinsipnya ialah berdasarkan rukun iman dan islam, sehingga diharapkan tercipta generasi berkarakter ilahiyah dan akhlaq al-karimah (Ginanjar,2002). Pentingnya kajian ini bahwa pemikiran Ary Ginanjar Agustian ini telah menggabungkan antara pemikiran ilmiah dengan pendekatan normative islam ( Al-Qur’an Hadist). Pemikiran Ary Ginanjar Agustian ini juga telah menunjukan kebenaran ajaran islam melalui rukun iman dan rukun islam, yang sekaligus sebagai jawaban atas teori-teori barat tentang kecerdasan spiritual (Yafie, 2006). Kecerdasan spiritual tidak hanya mengajak seseorang untuk memaknai hidup secara lebih bermakna, melainkan untuk meraih kebahagiaan yang sejati. Karena sesungguhnya seseorang tidak hanya membutuhkan kecerdasan material (IQ) dan emosional (EQ) saja, sehingga jarang diperkenalkan dengan kebahagiaan spiritual (SQ). Padahal kebahagiaan yang sejati justru terletak pada kebahagiaan

19

spiritual, karena, ini jenis kebahagiaan yang membuat hati dan jiwa seseorang menjadi bahagia, tentram, dan penuh dengan kedamaian (Sukidi, 2004). Adapun penjelasan bahwa kecerdasan spiritual tidak mesti berhubungan dengan keagamaan, karena seseorang yang beragama tidak menjamin memiliki tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi. Hal ini ditunjukkan bahwa banyak orang humanis dan ateis justru memiliki tingkat kecerdasan spiritual yang sangat tinggi, sedangkan banyak orang yang aktif dalam beragama justru memiliki kecerdasan spiritual yang sangat rendah dibandingkan dengan yang tidak beragama (Zohar dan Marshall, 2007). b. Aspek Kecerdasan Spiritual Menurut King dalam Vancea (2014) terdapat 4 aspek kecerdasan spiritual.

Pertama,

critical

existential

thinking

(CET)

adalah

kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan merenungkan lebih dalam tentang makna, tujuan, eksistensi, kematian, dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang sedang dan akan dihadapi. Selain itu, hal ini sebagai konsep secara aktif dan kreatif untuk menganalisis, menerapkan, dan mengevaluasi lebih dalam terkait informasi yang didapatkan

dari

pengalaman

yang

sudah

didapatkannya,

baik

pengalaman positif ataupun negatif. Kedua, personal meaning production (PMP) adalah kemampuan untuk membangun makna pribadi serta tujuan dari semua pengalaman hidup yang didapatkan. Makna pribadi didefinisikan dengan memiliki tujuan didalam hidup,

20

sehingga membuatnya memiliki arah dan merasakan keteraturan dalam kehidupan. Ketiga, transcendental awareness (TA) adalah kemampuan untuk mengenali keunggulan yang tertera didalam diri (transformasi internal dan eksternal) dalam keadaan normal maupun dalam keadaan membangun area kesadaran. Kemampuan ini adalah untuk merasakan dimensi spiritual kehidupan, mencerminkan apa yang sebelumnya digambarkan dengan merasakan kehadiran yang lebih nyata. Keempat, conscious state expansion (CSE) adalah kemampuan untuk mengatasi keadaan sadar dan memasuki tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Pada orang yang memiliki kesadaran tinggi akan selalu berpikir beberapa kali dalam merespon setiap kondisi yang menimpanya dengan cara mengambil waktu sejenak untuk memahami apa yang terjadi, serta menunjukan respons awal yang baik dan selalu bertindak secara hatihati. c. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Spiritual Terdapat lima faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual seseorang. Pertama, faktor jenis kelamin. Pada perempuan akan lebih cenderung tinggi tingkat kecerdasan spiritualnya karena tekun untuk melakukan ritual keagamaan yang sudah diyakininya dengan sangat baik. Kedua, faktor usia. Usia seseorang dari masa kanak-kanak hingga tua mempunyai perilaku dan sikap yang berbeda-beda dalam mengaplikasikan kecerdasan spiritualnya dalam kegiatan sehari-hari. Ketiga, faktor pendidikan. Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang

21

sangat

mempengaruhi

pada

pemahamanan

seseorang

terkait

keyakinannya serta bagaimana cara mengaplikasikan sikap dan perilakunya. Keempat, faktor psikologis. Faktor psikologis atau mental pada seseorang dapat mempengaruhi oleh bagaimana kecerdasan spiritualnya diterapkan. Kelima, faktor stratifikasi sosial. Kecerdasan spiritual seseorang diukur sesuai dengan kedudukannya atau tingkatan orang tersebut didalam lingkungan masyarakat. Tingkatan ini dapat diukur melalui kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan tigginya ilmu pengetahuan (Ramayulis dalam Lesmana, 2014). Selain itu, menurut buku Zohar dan Marshall (2007) terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat kecerdasan spiritual seseorang, yaitu: Pertama, sel saraf otak. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 1990-an dengan menggunakan alat yang bernama MEG

(Magneto–Encephalo–Graphy)

telah

membuktikan

bahwa

terdapat osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz. Pada rentang ini merupakan suatu basis khusus untuk kecerdasan spiritual. Kedua, God spot. Bagian ini terletak di dalam otak, lebih tepatnya di lobus temporal. Pada bagian ini akan meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual sedang berlangsung yang ditunjukkan dengan adanya cahaya yang timbul ketika seseorang melakukan aktivitas spiritual.

22

B.

Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka mengenai kecerdasan spiritual, berikut ini kerangka teori penelitian: Klasifikasi (ABK): a.Tunanetra b.Tunarungu c.Tunawicara d.Tunadaksa e.Tunagrahita 1. f.Autisme g.Learning disability

Dampak pada orangtua

Positif

Negatif

Kecerdasan Spiritual

Faktor yang memengaruhi kecerdasan spiritual: a. Sel saraf otak b. God spot c. Jenis kelamin d. Usia e. Pendidikan f. Psikologis g. Stratifikasi sosial

Aspek kecerdasan spiritual: 1. Critical existential thinking 2. Personal meaning production 3. Transcendental awareness 4. Conscious state expansion

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber: Chomaria dalam Roihah, 2015, Heward (2002), Irwanto & Rahmi (2010), Kauff & Hallahan (2005), King dalam Vancea (2014), Ramayulis dalam Lesmana (2014), Reichman dkk (2008), Sivilintar dalam Robby (2013), Sukidi (2004), Taqwa (2016), dan Zohar & Marshall (2007).

23

C.

Kerangka Konsep Orangtua yang memiliki (ABK) Faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual: 1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Pendidikan 4. Sel saraf otak 5. God spot/ titik Tuhan 6. Psikologis

Keterangan: : Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Kecerdasan spiritual (Tinggi, sedang, dan rendah) 1. Critical existential thinking 2. Personal meaning production 3. Transcendental awareness 4. Conscious state expansion

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dalam prosesnya banyak menggunkan angka-angka dari muali pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan hasil (Arikunto, 2005). Penelitian kuantitatif ini menggunakan penelitian korelasional, dimana menurut Suryabrata penelitian korelasional merupakan sebuah penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan koefisien korelasi (Suryabrata, 2003). Sedangkan menurut Suharmisi Arikunto penelitian korelasional adalah penelitian yang dimaksud untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara dua variabel atau beberapa variabel. Dalam menganalisis data digunakan perhitungan statistic korelasi product-moment, sehingga penelitian ini dimaksud untuk mengungkap fenomena yang terjadi dan menyesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitiam metode kuantitatif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Terdapat dua Sekolah Luar Biasa yaitu; SLB Negeri Purbalingga dan SLB Yakut Purwokerto. SLB Negeri Purbalingga memiliki beragam jenis (ABK) dan di SLB Yakut Purwokerto hanya memiliki satu jenis

24

25

(ABK) yaitu tunagrahita, sehingga oleh peneliti SLB Yakut Purwokerto digunakan untuk uji validitas sedangkan SLB Negeri Purbalingga digunakan untuk penelitian. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November - Desember 2018. C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampel 1. Populasi Menurut Saryono (2010) populasi merupakan keseluruhan sumber data yang dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua orangtua yang memiliki (ABK) di SLB Negeri Purbalingga pada Tahun ajaran 2017/2018 sebanyak 108 orang terdiri dari orangtua yang memiliki anak sekolah dasar dengan tunanetra sebanyak 5 anak, tunarungu wicara 19 anak, dan tunagrahita 50 anak. Selain itu orangtua yang memiliki anak sekolah menengah pertama dengan tunanetra sebanyak 1 anak, tunarungu wicara 11 anak, tunagrahita 20 anak, dan tunadaksa 2 anak. 2. Sampel Menurut Saryono (2010) sampel adalah populasi yang digunakan oleh peneliti sebagai subjek penelitian.Sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebesar 30 sampel yaitu orangtua yang memiliki (ABK) di SLB Negeri Purbalingga. 3. Teknik Sampeling Pengambilan sampel pada penelitian ini akan menggunakan teknik total samplingdi SLB Negeri Purbalingga.

26

Dalam penelitian keperawatan, kriteria sampel meliputikriteria inklusi dan kriteria eksklusi, dimana kriteria tersebut dapat menentukan bisa atau tidaknya sampel tersebut digunakan (Hidayat, 2007). Kriteria inklusi adalah gambaran karakter umum dari subjek penelitian suatu populasi yang menjadi target yang terjangkau dan akan diteliti (Saryono, 2010). Kriteria Inklusi : 

Orangtua yang memiliki (ABK) di SLB Negeri Purbalingga



Orang tua yang bersedia menjadi responden Kriteria

ekslusi

ditentukan

dengan

menghilangkan

atau

mengeluarkan subyek yang memeliki kriteria inklusi dari studi yangdiakibatkan oleh berbagai sebab (Nursalam, 2003). Kriteria Ekslusi : 

Orang tua yang tidak bersedia menjadi responden



Orang tua yang tidak hadir sampai saat penelitian berakhir

D. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah karakteristik yang dijadikan sebagai subjek penelitian yang berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini terdapat variabel independen dan variabel dependen. 1. Variabel Independen (Variabel Bebas)

27

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya variabel terikat (dependen) (Sugiyono, 2010). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan spiritual pada orangtua yang memiliki (ABK). 2. Variabel Dependen (Varibel Terikat) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Bungin, 2010).Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, pendidikan, penghasilan, jenis kebutuhan anak dan riwayat kesehatan keluarga. E. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan menghindari perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel (Saryono, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 3.1 Definisi Operasional Definisi Operasional Variabel: Kecerdasan Kecerdasan dalam maknai Spiritual dan memberikan tujuan pada setiap kejadian yang terjadi dalam hidup. Variabel

Alat Ukur Skoring menggunakan alat ukur The Spiritual Intelligence Self Report Inventory (SISRI), yang terdiri dari 24 pernyataan dengan 23 favourable dan 1unfavourable. Pernyataan ini memiliki pilihan jawaban dengan nilai 0= sama sekali tidak mencerminkan diri saya 1= hampir tidak mencerminkan diri saya, 2= agak mencerminkan diri saya, 3= mencerminkan diri saya, 4= sepenuhnya mencerminkan diri saya.

Hasil Ukur Tinggi: 65-96 Sedang: 3364 Rendah: 032

Skala Ukur Ordinal

28

Definisi Operasional a. Critical Kemampuan existential untuk berfikir thinking secara kritissaat pengisiankuesio ner dalam memecahkan masalah. b. Personal Kemampuan meaning untuk production membangun makna pribadi serta tujuan hidup. c.Transcend Kemampuan entalawaren untuk mengenali ess keunggulan diri. Variabel

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala Ukur

Terdapat 7 pernyataan yang terdiri dari pernyataan favourable.

Tinggi: 20-28 Sedang: 1119 Rendah: 0-10

Ordinal

Terdapat 5 pernyataan yang terdiri dari pernyataan favourable.

Tinggi: 15-20 Sedang: 9-14 Rendah: 0-8

Ordinal

Terdapat 7 pernyataan yang terdiri dari 6 pernyataan favourable dan 1 pernyataan unfavourable.

Tinggi: 20-28 Sedang: 1119 Rendah: 010

Ordinal

d. Conscious Kemampuan state untuk memasuki expansion tingkat spiritualitas yang paling tinggi.

Terdapat 5 pernyataan yang terdiri dari pernyataan favourable.

Tinggi: 15-20 Sedang: 9-14 Rendah: 0-8

Ordinal

Jenis kelamin

Karakteristik seks yang dibedakan sejak lahir dalam segi fisiologis.

Lembar kuesioner karakteristik demografi

1. Laki-laki 2. Perempuan

Ordinal

Usia

Lama waktu hidup seseorang sejak dilahirkan.

Lembar kuesioner karakteristik demografi

1. Dewasa awal (18-40 tahun) 2. Dewasa madya (41-60 tahun) 3. Dewasa lanjut (>60 tahun) (Hurlock, 2001)

Ordinal

29

Variabel Pendidikan

Definisi Operasional

Alat Ukur

Pendidikan Lembar kuesioner formal terakhir karakteristik demografi yang sedang atau pernah dicapai.

Penghasilan Jumlah uang yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu.

Lembar kuesioner karakteristik demografi

Jenis Kebutuhan Anak

Karakteristik anak yang berbeda dari anak lainnya.

Lembar kuesioner karakteristik demografi

Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat atau informasi kesehatan masa lalu pada keluarga.

Lembar kuesioner karakteristik demografi

Hasil Ukur

Skala Ukur

1.Pendidikan Ordinal dasar (SD dan SMP) 2. Pendidikan menengah (SMA/ sederajat) 3. Pendidikan tinggi (Diploma/ sarjana) 1. ≥ Nominal 1.589.000 2. < 1.589.000

1. Tunanetra 2. Tunarungu wicara 3. Tunadaksa 4. Tunagrahita 5. Autisme 6. Learning disability 1. Tidak Nominal 2. Iya

F. Instrumen Penelitian Menurut Saryono (2010) instrumen atau kuesioner penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mendapatkan data supaya lebih mudah pada saat dilakukan pengolahan data. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner karakteristik demografi dan kecerdasan spiritual. Instrumen atau

30

kuesioner yang digunakan untuk mengukur kecerdasan spiritual adalah kuesioner The Spiritual Intelligence Self Report Inventory (SISRI) dari penelitian King (2008) yang terdiri dari 24 pertanyaan dengan 23 pertanyaan bersifat favourable dan 1 pertanyaan bersifat unfavorable. Kuesioner ini terdiri dari 24 item pernyataan dimana penilaian ini menggunakan skala likert yang memiliki 5 pembatasan yaitu; nilai 0 (sama sekali tidak mencerminkan diri saya), nilai 1 (hampir tidak mencerminkan diri saya), nilai 2 (agak mencerminkan diri saya), nilai 3 (mencerminkan diri saya), dan nilai 4 (sepenuhnya mencerminkan diri saya). Instrumen ini telah divalidasi dengan sampel 619 mahasiswa di universitas Canada (488 perempuan dan 131 laki-laki) dengan rata-rata usia 22,53 tahun (SD = 5,5; rentang umur = 17-59 tahun). Hasil uji menunjukan nilai alpha .92. Subskala individu CET, PMP, TA, dan CSE juga menampilkan ratarata koefisien alpha yang memadai dari .78, .78, .87, dan .91. Analisa ini menunjukan sifat psikometrik yang sangat baik dari SISRI-24. Berikut ini kisi-

kisikuesioner kecerdasan spiritual dalam King (2008) : Tabel 3.2 Distribusi Pernyataan Skala Kecerdasan Spiritual Aspek Kecerdasan Spiritual Critical existential thinking (CET) Personal meaning production (PMP) Transcendental awareness (TA) Conscious state expansion (CSE) Jumlah

Item Favorable 1,2,3,4,5,6 dan 7 8,9,10,11 dan 12 13,14,15,16,17,18 20,21,22,23 dan 24

Jumlah Unfavorable - - 19 19 - -

7 5 7 5 24

31

G. Metode Pengumpulan data 1. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menurut Arikunto (2006) meliputi: a. Tahap Persiapan Dalam tahap persiapan ini berisikan beberapa kegiatan pengumpulan data meliputi: 1) Persiapan materi studi pustaka dan studi pendahuluan yang mendukung penelitian. 2) Pembuatan proposal penelitian yang dilanjutkan dengan pengujian proposal penelitian. 3) Melakukan koordinasi dan meminta ijin pada tempat penelitian dalam hal ini adalah pihak SLB Negeri Purbalingga. 2. Tahap pelaksanaan Pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi dengan memulai tahap pengumpulan data primer dan data sekunder, dalam penelitian ini di peroleh dari dua sumber data yaitu : a.

Data primer Data primer adalah data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data (Sugiyono, 2009). Data ini diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Orang tua yang telah memenuhi kriteria sampel akan diberikan kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti disertai dengan surat persetujuan menjadi responden dengan terlebih dahulu

32

peneliti menjelaskan maksud dari penelitian dan cara pengisian kuesioner pada responden, apabila responden setuju untuk dijadikan sampel, maka responden diharuskan untuk mengisi dan menandatangani surat persetujuan menjadi responden, serta mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti sesuai dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun. b.

Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara membaca,

mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literatur, buku-buku serta dokumen perusahaan (Sugiyono, 2009). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait, yaitu data dari SLB Negeri Purbalingga. c.

Tahap evaluasi hasil pelaksanaan Menyusun laporan mengenai jalannya penelitian serta hasil

penelitian yang berupa interpretasi menurut analisa data. H. Pengeolahan dan Analisa Data 1.

Pengolahan data Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan komputer

melalui tahap-tahap sebagai berikut (Sugiyono, 2007). a. Editing Editing telah dilakukan dengan cara memeriksa kembali jawaban atas kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan oleh responden. Apabila

33

ada jawaban responden yang belum lengkap akan dikembalikan lagi dan meminta responden untuk melengkapi jawabannya. b. Coding Coding adalah mengklarifikasikan jawaban dari para responden kedalam kategori-kategori. Klasifikasi telah dilakukan dengan cara menandai masing-masing jawaban dengan kode berupa angka, kemudian dimasukan kedalam lembar tabel kerja guna mempermudah membacanya. c. Scoring Scoring telah dilakuakan untuk mengetahui skor dari jawaban responden atas kuesioner. d. Tabulating Tabulating merupakan kegiatan memasukan data hasil penelititan kedalam tabel selanjutnya diolah dengan bantuan komputer. e. Prosesing Prosesing adalah memperoleh data agar

dapat

dianalisis.

Memproses data yang telah dilakukan dengan cara memasukan data dari kuesioner ke paket program komputer. f. Cleaning Cleaning (Pembersih data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientri apakah ada kesalahan atau tidak.

34

2.

Analisa Data a. Analisis univariat Analisis

ini

hanya

menghasilkan

distribusi

frekuensi

dan

representase. Tujuan dari analisis univariat yaitu untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Menurut Budiarto (2002) perhitungan menggunakan perhitungan rata-rata, yaitu rumus persen.

𝑃=∑

𝐹 𝑋 100% 𝑁

Keterangan : P

:

Persentase (100%)

F

:

Frekuensi kategorik

N

:

Jumlah seluruh sampel yang diobservasi

Analisa pervariabel

univariat yang

untuk

diteliti.

menjelaskan

Analisa

univariat

data

tentang jumlah

untuk

menganalisis

Relegiusitas pada remaja, kelompok teman sebaya pada remaja, akses informasi pada remaja dan prilaku seksual remaja. b. Analisis Bivariat Analisa yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen yaitu dengan menggunakan uji statistic Chi-square.

35

Tehnik analisa yang dilakukan yaitu dengan analisa Chi-square dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% dengan α 5%, sehingga jika nilai p (p- value) < 0,05 maka hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukan ada hubungan antara variabel dependen dan independen, dan apabila nilai p value > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel dependen dan independen. Uji chi square mempunyai rumus:

𝑛

𝑋² = ∑ 𝑖=1

(𝑜𝑖 − 𝑒𝑖 )² 𝑒𝑖

Keterangan : k: banyaknya kategori/sel 1,2,..k oi: frekuensi observasi untuk ke-i ei : frekuensi ekspektasi untuk kategori ke-i Derajat bebas (db) = k - 1 Untuk melihat hasi lkemaknaa nperhitungan statistik digunakan batas kemaknaan α = 0,05. Penerimaan terhadap hipotesa apabila nilai p< 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan. Sedangkan penolakan terhadap hipotesa apabila nilai p> 0,05 artinya tidak ada hubungan yang signifikan.

36

I. Etika Penelitian Dalam melakukan penelitan, peneliti sebelumnya mengajukan permohonan ijin kepada pihak SLB Negeri Purbalingga. Kemudian kuesioner di berikan kepada responden dengan menekankan masalah etika yang meliputi (Hidayat, 2008) : 1.

Informed concent(lembar persetujuan) Informed concent merupakan cara persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian. Lembar persetujuan ini akan diberikan kepada responden yang telah memenuhi kriteria inklusi, disertai judul dan manfaat. Tujuannya yaitu responden mengetahui maksud dan tujuan dari penellitian serta manfaat dari penelitian. Bila responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. Peneliti meminta persetujuan dan menjelaskan maksud dan tujuan serta manfaat penelitian kepada responden sebelum responden mengisi lembar kuesioner. 2.

Anonimity (tanpa nama) Anonimity merupakan masalah etik dalam penelitian keperawatan

dengan cara tidak akan memberikan nama responden pada lembar alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.Peneliti meminta kepada responden untuk mengisi identitas nama menggunakan inisial untuk menjaga privasi responden. 3.

Confidentially (kerahasiaan)

37

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti hanya akan mengelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Peneliti akan menjaga betul kerahasian data yang telah didapat termasuk data dari responden yang telah diterima oleh peneliti, dan kemudian akan di hilangkan setelah peneliti memasukan data –data yang dibutuhkan. 4.

Beneficence(manfaat) Peneliti

akan

memberikan

informasi

tentang

pentingnya

pengetahuan masyarakat terhadap penerimaan masyarakat kepada penderita gangguan jiwa. Hal ini perlu peneliti lakukan agar responden mengetahui pentingnya manfaan penelitian ini.

5.

Non-maleficience (tidak membahayakan) Pada penelitian ini peneliti sudah anak memperhitungkan bahwa

subjek penelitian (responden) tidak dirugikan sedikitpun baik dari segi materil maupun non-materil. Penelitian ini tidak merugikan pada responden

yang

telah

bersedia

menjadi

responden

dengan

menandatangani informed consent. 6.

Balancing Harms and Benefits Pada penelitian ini peneliti akan berusaha meminimalisasi dampak

yang merugikan bagi subjek penelitian. 7.

Respect of Person Penelitian ini akan menghormati martabat manusia : pertama setiap

individu (responden) diperlakukan sebagai manusia yang memiliki

38

otonomi (hak untuk menentukan nasib sendiri) : kedua, setiap individu yang otonomi berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan. Memiliki hak otonomi apabila responden menolak. Maka tidak menandatangani informed consent.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta: RinekaCipta Ary Ginanjar, A., Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ melalui 6 Rukun Iman dan 5 Rukum Islam, Jakarta : Arga Wijaya, 2002. Syaiful, B., 2010, Guru dan Anak Didik dalam Interaktif Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, Jakarta: Rineka Cipta. Head & Abbeduto, 2007, Recognizing The Role of Parents in Developmental Outcomes: A Systems Approach to Evaluating The Child With Developmental Disabilities, Mental Retardation and Developmental Disabilities. Hadis,

A.,2006.Pendidikan Austistik.Alfabeta:Bandung

Anak

Berkrbutuhan

Khusus-

Heward, 2002, Exceptional Children: An Introduction to Special Education, New Jersey: Prentice Hall. King, Davis., 2008, Rethinking Claims of Spiritual Intelligence: A Definition, Model, and Measure, Thesis, Trent University Ontorio Canada. Kauffman & Hallahan, 2005, Special Education: What It Is and Why We Need It, Boston: Pearson Education Inc. Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2008, Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta: CV. Agung Seto. Nursalam. (2010). Konsep dan Penerapan Metodoligi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo, S., (2012). Metodologo penelitian kesehatan / Soekidjo Notoatmodjo – Ed.Rev.Jakarta: Rineka Cipta. Reichman, Corman, & Noonan, 2008, Impact of Child Disability on The Family, Maternal and Child Health Journal, Vol.6, No.12. Riwidikdo, H., 2010, Statistik untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi Program dan SPSS, Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Saryono, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan: Penuntun Praktis Bagi Pemula, Jogjakarta: Mitra Cendekia. Sukidi, 2004, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Mengapa SQ Lebih Penting dari pada IQ dan EQ , Jakarta: Gramedia. Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persaja Taqwa, N., 2016, Gambaran Tingkat Kecerdasan Spiritual pada Lansia di Kelurahan Pudak Payung, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Yarlis, A., 2010, Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Spiritual dengan Aspek Konsep Diri Pada Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budhi Luhur. Yogyakarta: PSIK FK UGM. Zohar & Marshall, 2007, Kecerdasan Spiritual (SQ) Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Bandung: Mizan.

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Yth. Saudara/saudari Di tempat

Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Amelia Wahyuningsih NIM

: 1511020039

Status : Mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Dengan ini saya mengajukan permohonan kepada saudara/i untuk menjadi responden dalam penelitian saya dengan judul “Gambaran Kecerdasan Spiritual Pada Orangtua yang Memiliki (ABK) di SLB Negeri Purbalingga”. Identitas dijamin kerahasiannya dan hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam penelitian ini akan dilakukan pembagian kuesioner satu variabel dengan skala likert. Keuntungan berpartisipasi dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecerdasan spiritual pada setiap orangtua yang memiliki (ABK). Atas perhatian dan kesediaan saudara/i untuk berpartisipasi dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

(Amelia Wahyuningsih)

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama Orangtua

:

Nama Anak

:

Nomer Hp/telepon

:

Alamat

:

Setelah mendapatkan penjelasan tentang maksud dan tujuan serta memahami penelitian dengan judul: “GAMBARAN KECERDASAN SPIRITUAL PADA ORANGTUA YANG MEMILIKI (ABK) DI SLB NEGERI PURBALINGGA”

Yang dilakukan oleh: Nama

: Amelia Wahyuningsih

NIM

: 1511020039

Dengan ini saya menyatakan bersedia/menolak* untuk berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian tersebut.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Purwokerto,……………….. Yang membuat pernyataan,

(...........................................) Keterangan * coret yang tidak perlu Petunjuk pengisian

Berilah tanda ceklist (√) pada pertanyaan berikut ini:

1. Usia Orangtua

:

2. Jenis kelamin

:

tahun Laki-laki Perempuan

3. Apakah pendidikan terakhir Anda? : Tamat SD

Tamat SMA

Tamat SMP

Diploma/ Sarjana

4. Berapa penghasilan perbulan Anda? : ≤ 1.589.000 ≥ 1.589.000

5. Apa jenis kebutuhan khusus anak Anda? : Tunanetra

Tunadaksa

Kesulitan Belajar

Tunarunguwicara

Tunagrahita

Autisme

6. Ada atau tidak anggota keluarga dengan ketunaan yang sama? : Tidak

Iya

*Jika Iya, karena : Keturunan

Trauma kehamilan

Trauma jalan lahir

Sakit atau infeksi

Lahir premature

Aborsi

Lainnya

Kuesioner Kecerdasan Spiritual (King, 2008)

The Spiritual Intelligece Self-Report Inventory (SISRI 24)

Petunjuk: Bacalah pernyataan di bawah ini dengan seksama. Beri tanda (√) pada pilihan jawaban sejujur-jujurnya sesuai dengan keadaan diri anda. Keterangan : STS

: Sangat Tidak Setuju

TS

: Tidak Setuju

KS

: Kurang Setuju

S

: Setuju

SS

: Sangat Setuju

No.

Pernyataan Ketika memiliki (ABK)

1.

Saya seringkali bertanya dan merenungkan mengenai makna kehidupan dibalik kehadiran anak dengan kebutuhan khusus

2.

Saya sering merenungkan mengenai tujuan dan alasan atas kehadiran anak dengan kebutuhan khusus

3.

Saya mampu mengambil hikmah atas peristiwa yang terjadi setelah kematian

4.

Saya telah memahami tentang arti kehidupan, kematian, dan makna atas kehadiran anak dengan kebutuhan khusus, baik di dunia maupun di akhirat

5.

Saya selalu berfikir mampu memecahkan atau mengatasi masalah dalam hidup saya atas kehadiran anak dengan berkebutuhan khusus

6.

Saya sering menganalisis antara kehadiran

STS

ST

KS

S

SS

(ABK) dengan perbuatan yang saya lakukan di dunia

7.

Saya memikirkan, adanya kekuatan lain yang lebih besar dari kekuatan Tuhan

8.

Saya mampu menemukan makna dan tujuan hidup untuk membantu saya beradaptasi dengan kondisi stress yang muncul atas kehadiran anak kebutuhan khusus

9.

Saya mampu menemukan tujuan atau alasan saya hidup di dunia ini

10.

Ketika mengalami kegagalan atau masalah dalam memiliki anak. Saya masih dapat menemukan makna yang terdapat didalamnya

11.

Saya mampu membuat keputusan dengan baik dalam mengasuh anak sesuai dengan tujuan hidup saya

12.

Saya mampu menemukan makna dan tujuan hidup dari permasalahan dalam merawat (ABK)

13.

Saya mengetahui bahwa diri saya mampu dalam merawat (ABK) meskipun dengan keadaan fisik saya saat ini

14.

Saya dapat berhubungan baik dengan orang di sekitar saya meski memiliki (ABK)

15.

Saya mengartikan diri saya sebagai seseorang yang tidak mudah tersinggung atas kehadiran anak dengan kebutuhan khusus

16.

Saya sangat menyadari bahwa saya memiliki potensi didalam diri untuk mengasuh dan merawat anak dengan baik

17.

Saya mampu mengenali dan mengontrol emosi saya ketika mengalami masalah dalam merawat anak

18.

Saya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan diri

19.

Sangat sulit bagi saya untuk merasakan hal-hal lain (seperti: bahagia) setiap kali melihat keadaan fisik anak saya

20.

Saya sadar bahwa anak saya tidak sempurna dan saya tidak kurang percaya diri, sehingga tingkat emosi saya selalu terjaga

21.

Saya dapat mengendalikan diri saya ketika ditakdirkan harus memiliki (ABK)

22.

Saya mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik meskipun harus merawat dan mengasuh anak

23.

Saya selalu menerima berbagai masalah yang terjadi dengan ikhlas

24.

Saya mempunyai teknik atau cara untuk menyelesaikan masalah dalam merawat anak dengan baik

More Documents from "ari"