BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Endometriosis adalah penyebab umum morbiditas (derajat penyakit pada suatu populasi/penyimpangan) pada wanita. Endometriosis merupakan penyakit bawaan mode multifaktorial dan dinyatakan juga dengan poligen (yaitu penyakit yang terjadi ketika fenotip ditentukan oleh kombinasi multiple gen dan pengaruh lingkungan). Penyakit endometriosis mengacu pada gen yang diwariskan dapat membantu menjelaskan pengelompokan penyakit melalui keluarga, yang menunjukkan peningkatan kerentanan individu terhadap suatu penyakit (Govindan, 2010). Guo (2014) menyatakan bahwa adanya predisposisi (kecenderungan) dalam keluarga terhadap perkembangan penyakit endometriosis. Beberapa faktor berkontribusi menyulitkan dalam memahami penyakit endometriosis karena endometriosis merupakan proses penyakit dengan lokasi berbeda ; peritoneum, endometrioma-ovarium dan endometriosis yang sangat infiltratif (kemampuan sel penetrasi ke dalam saluran darah serta saluran limfe) dan proliferatif. Faktor lain yang berkontribusi adalah eksposur terhadap toksik lingkungan, seperti dioxin (Hansen, 2010). Selain itu kerentanan terhadap endometriosis tergantung pada kompleksitas interaksi faktor genetik, imunologis, dan hormonal (Guo, 2014). Estrogen sebagai pemicu penyakit endometriosis tergolong hormon steroid, memainkan peran utama dalam fisiologi dan patologi wanita. Kadar estrogen terindikasi tinggi pada jaringan lokal endometriosis. Aktivitas biologis estrogen dimediasi oleh ikatan (ER) (Govindan, 2009). Reseptor estrogen termasuk anggota subfamil ER nuklear berperan sebagai faktor transkripsi mengaktifkan ligan. Bentuk komplek ikatan ER-estrogen bertranslokasi ke nukleus untuk mengaktivasi transkripsi gen (Wang, 2012). Hansen (2010) menyatakan bahwa varian-varian alel gen yang mengkode ER kemungkinan bertanggung jawab sebagai modulator respons estrogenik. Reseptor estrogen telah diidentifikasi terdiri dari dua isoform yaitu ERα dan ERβ, keduanya menunjukkan pola distribusi berbeda di antara sel-sel dan jaringan yang berdiferensiasi, masing-masing dikode oleh gen yang berbeda yaitu, ESR1 dan ESR2 berturutturut. ERα terdapat pada kromosom 6 (6q25) dan ERβ pada kromosom 14 (14q22-24) kedua ER memiliki 8 ekson dan 7 intron. Studi polimorfisme telah dilakukan terhadap kedua ER serta enzim yang mengenalnya, ERα mengenal PvuII dan XbaI, ERβ mengenal AluI dan RsaI (Hu, 1
2012 ; Wang, 2004; Hsieh, 2006 ; Renner, 2006 ; Xie, 2009; Govindan, 2009 ; Lamp, 201l ; Lee, 2007 ; Silva, 2011). Polimorfisme gen-gen ini telah dirumuskan sebagai kandidat penanda risiko pada sejumlah gangguan terkait estrogen, termasuk penyakit endometriosis. Studi polimorfisme ERα menyatakan bahwa gen ESR1 berpotensi sebagai kandidat biomarker untuk penilaian diagnostik dan prognostik infertilitas terkait endometriosis dan kegagalan IVF (Guo, 2014). Varian alel gen yang mengkode ER berasosiasi dengan perubahan ekspresi dari sistem responsif steroid seks (Guo, 2014). Gen ESR1 pada intron 1 mengandung 2 single nucleotide polymorphisms (SNP) rs2234693 PvuII pada (397 T/C), rs9340799 XbaI pada (351 A/G) (He, 2015). Polimorfisme ERα rs2234693 telah dipelajari pada kanker payudara, osteoporosis, endometriosis, dan fibroid pada berbagai kelompok etnis (Govindan, 2009). Studi polimorfisme kedua ER ini telah dilakukan pada wanita endometriosis dan infertilitas, ERα rs9340799 dan rs2234693 keduanya menunjukkan perbedaan dalam respons stimulasi ovarium dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat implantasi (Guo, 2014). Studi polimorfisme gen ESR1 rs9340799 dan fenotip klinis terindikasi adanya hubungan kuat antara kedua kelompok kasus (Endometriosis, 𝑃<.001 dan kegagalan IVF, 𝑃<.018) dibandingkan dengan kelompok fertilitas/kontrol (Guo,2014). Studi (Wang, 2013) menyatakan bahwa gen ESR1 (rs3798573 A/G) secara signifikan berasosiasi dengan endometriosis dan endometriosis terkait dengan infertilitas (P=.011, p=.009) pada wanita Han dari Cina sentral. Studi polimorfisme ERα gen ESR1 (PvuII) alel T (Georgio, 1999) dan ESR1 (PvuII) alel C (Hsieh ,2007) juga menunjukkan kontroversi tentang asosiasi peningkatan kerentanan terhadap endometriosis. Hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan 4 kali terhadap risiko endometriosis dan 3 kali terhadap kegagalan IVF pada wanita infertilitas gen ESR1 rs9340799 genotipe GG (Paskulin, 2013). Studi polimorfisme kedua lokus varian ERα pada wanita, tentang asosiasi infertilitas dan endometriosis di beberapa negara, masih menunjukkan hasil berbeda dalam respon menjalani IVF (in vitro fertilization). Studi polimorfisme ER telah dilakukan pada beberapa populasi namun hasil masih kontroversi (Wang, 2013). Mempelajari dan memahami polimorfisme gen ESR1 terhadap penyakit endometriosis masih banyak kelemahan-kelamahan yang ditemukan. Studi dilakukan berdasarkan perbedaan etnis, (Kaukasia atau Asia), negara (Jepang, Cina, Korea, Jerman, dan Italia) serta ukuran sampel, tidak konsisten dalam metaanalysis. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan etnis antara 2
populasi dapat mempengaruhi distribusi genotip polimorfisme ERα berbeda dalam asosiasi terhadap penyakit (Xie, 2009). Selain itu, tidak ada keseragaman dalam klasifikasi tentang "endometriosis" antara studi yang berbeda. Polimorfisme ERβ gen ESR2 ekson 8 terdeteksi situs rs4986938 G/A, posisi nukleotida 1730 AluI, daerah ekson 5 terdeteksi situs rs1256049 G/A, nukleotida 1082 RsaI. Paskulin (2013) menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir telah dilakukan studi metaanalisis tentang hubungan kedua lokus SNP gen ESR2 dengan beberapa penyakit, termasuk kanker prostat, infertilitas pria, penyakit Parkinson, osteoartritis, dan kanker payudara. Polimorfisme ERβ gen ESR2 situs rs4986938 dan rs1256049 paling banyak dipelajari. Studi ERβ terhadap wanita infertilitas dan endometriosis menyatakan bahwa polimorfime pada situs (rs4986938) posisi (1730 G/A), berhubungan dengan risiko meningkat perkembangan endometriosis (Zulli, 2010; Almae, 2007). Hasil yang sama dengan studi Bianco (2009) menyatakan bahwa polimorfisme ERβ gen ESR2 posisi 1730 G / A bersosiasi dengan risiko perkembangan endometriosis, terlepas dari tahap penyakitnya. Studi (Lee, 2014) menunjukkan bahwa variasi genotip dan frekuensi alel ERβ / ESR2 posisi 1730 tampak tidak menunjukkan perberbedaan antara endometriosis dan kontrol serta tidak didapatkan perbedaan frekuensi alel G dan A antara kelompok kasus dan kontrol. Kesimpulan menyatakan bahwa polimorfisme ERβ tidak menunjukkan perbedaan pada semua variasi genotip dan frekuensi alel antara ke dua kelompok populasi di Korea. Studi polimorfisme pada kedua ERβ menunjukkan bahwa rs4986938 dan rs1256049 masih kontroversi tentang asosiasi terhadap risiko endometriosis. Menurut Zulli (2010) bahwa ada kecenderungan polimorfisme ERβ rs4986938 berasosiasi dengan endometriosis terkait infertilitas. Hingga saat ini tidak banyak bukti mengimplikasikan polimorfisme ERβ rs4986938 dalam etiologi endometriosis terkait infertilitas dalam uji populasi. Hasil pengamatan studi menyatakan bahwa peningkatan risiko endometriosis terkait infertilitas dapat juga disebabkan bias studi berskala kecil. Kemungkinan lain karena perbedaan populasi yang diteliti dan kekuatan statistik yang tidak memadai. Oleh karena itu perlu dilakukan studi multisenter yang lebih besar, dirancang dengan baik untuk mengevaluasi kembali asosiasi yang potensial (Guo, 2014; Hansen, 2010). Studi tentang peran polimorfisme genetik terhadap endometriosis di beberapa negara; Brazil, Jepang, China, Spanyol, Taiwan, Korea tidak konsisten. Perbedaan etnis pada populasi antara lain dapat sebagai penyebab keragaman variasi termasuk perbedaan dalam habituasi, pola makan, intake /life style antara etnis menimbulkan respon berbeda terhadap penyakit 3
endometriosis (Hansen, 2010). Interaksi gen dapat berbeda antara populasi atau etnis yang berbeda, sehingga faktor etnis, kultur dan lingkungan mempunyai peranan penting dalam penelitian faktor genetik. Latar belakang genetik akan terekspresi menjadi fenotip setelah melalui filter kultur dan lingkungan, sedangkan interaksi antara beberapa gen dengan faktor lingkungan masih perlu konfirmasi melalui penelitian lebih lanjut. Mekanisme polimorfisme gen ERα dan ERβ pada endometriosis belum diketahui secara pasti. Karena polimorfisme ERα terdapat pada intron, maka perubahan sekuen intron dapat memengaruhi ekspresi gen dengan cara memengaruhi transkripsi atau stabilitas mRNA gen tersebut (Surekha et al, 2007). Perbedaan respon variasi
genotip, frekuensi alel gen ER pada
kelompok populasi
beberapa negara menunjukkan hasil kontroversi. Oleh karena itu dalam riset ini kami ingin menentukan polimorfisme ER terhadap endometriosis pada populasi di Indonesia dibandingkan dengan normal, menentukan sejauh mana peran dan kontribusi variasi genotip dan frekuensi alel berisiko terhadap peningkatan penyakit endometriosis di Indonesia dengan metoda restriction fragment length polymorphism (RFLP). Selanjutnya dilakukan analisis fungsi transkripsi dengan menentukan ekspresi relatif (mRNA) antara kedua isoform ER pada endometriosis / ektopik dibandingkan normal (endometrium normal dengan metoda mikrokuretase (Tokoginecol Pract. 1955 di dalam Yacoeb, 2014) pada kelompok populasi berbeda di Indonesia, dengan metoda qRT-PCR. Kumari (2015) menyatakan bahwa endometrium normal merupakan jaringan yang mengalami perubahan secara kontinyu dan aktivitas sangat proliferatif selama wanita usia reproduksi. Pola ekspresi, distribusi ER dan reseptor progesteron memainkan peran penting dalam fungsi endometrium normal (eutopik) dan ektopik (endometriosis). Subtipe: ERα dan ERβ masing-masing berbeda dalam fungsi dan ekspresi. ERβ memiliki homologi tinggi (sekitar 95%) dalam domain pengikat DNA, 55% homologi dalam domain pengikat ligan dibandingkan ERα. Reseptor estogen α berikatan dengan estradiol dengan afinitas tinggi pada sekuens DNA spesifik estrogen respons element (ERE) daerah promoter gen target menstimulasi transkripsi ER (Kumari, 2015) Studi molekuler etiologi endometriosis menentukan aktivitas protein ER melalui proses fosforilasi belum banyak dilakukan. Fosforilasi adalah penambahan gugus fosfat pada suatu protein atau molekul organik lain. Fosforilasi dapat meningkatkan efisiensi katalitik enzim, yaitu dengan mengubahnya menjadi bentuk aktif dalam satu protein, sementara fosforilasi enzim lain akan mengubahnya menjadi bentuk inaktif secara intrinsik tidak efisien. Proses biokimiawi 4
(menentukan posfat) pada proses fosforilasi pada riset ini menggunakan antibodi anti estrogenik mengenal asam amino serin situs 105 dari ER. Aktivitas fosforilasi fosfat pada jaringan endometriosis dapat ditentukan, dibandingkan aktivitas fosfat normal. Aktifitas fosfat pada studi ini menggambarkan ekspresi protein ER pada endometriosis. Riset kedepannya dalam perkembangan terapi pengobatan endometriosis, sebagai pengganti estrogen dapat menggunakan senyawa /ligan dari bahan alami / tanaman
bersifat anti estrogenik berperan menghambat
mekanisme kerja proliferasi pada endometriosis. Oleh karena itu perlu dilakukan studi menentukan bahan alami tanaman bersifat anti estrogenik yang mengenal situs serin 105 dari ER dengan metoda in silico. Struktur biokimia tanaman bersifat anti estrogenik ini secara tepat akan menghambat proliferasi sel pada endometriosis, hal tersebut dapat bermanfaat ke depannya dalam terapi pengobatan penyakit endometriosis. Terapi obat menggunakan metoda in silico dengan cara docking belum banyak diterapkan dan perlu dikembangkan terutama pada penyakit multifaktor seperti endometriosis, untuk menghindari efek samping pengobatan dari bahan kimia yang tidak diharapkan terhadap organ bukan sasaran. Studi pengobatan terapi penyakit endometriosis diperlukan riset dibidang fitofarmaka dalam desain obat, menentukan jenis-jenis tanaman obat dengan bahan aktif anti estrogenik dari ekstrak tanaman yang ada di Indonesia. Studi Xu (2008) menyatakan bahwa tanaman umbi rumput teki (Cyperus rotundus) bersifat estrogenik anti inflamasi digunakan sebagai pengobatan tradisional pada penyakit wanita di Cina dan India. Ekstrak umbi Cyperus rotundus telah diidentifikasi mengandung lebih dari 60 sesquiterpenes dan senyawa flavonoid, furochromones, triterpenes and sterol yang bermanfaat dalam anti peradangan, kemungkinan dapat dikembangkan sebagai anti estrogenik dari reseptor estrogen mampu menghambat aktivitas proliferasi reseptor estrogen pada endometriosis dan bermanfaat dalam penanganan penyakit endometriosis ke depannya. I.2. Rumusan Permasalahan Endometriosis ditandai kadar estrogen tinggi pada jaringan lokal dengan gejala nyeri daerah perut waktu menstruasi, nyeri waktu berhubungan suami isteri, infertilitas, umumnya dengan prevalensi 10-15% pada wanita usia reproduktif (Bulun, 2012). Aktivitas biologis estrogen dimediasi oleh reseptor estrogen (ER). Hansen (2010) menyatakan bahwa varian-varian alel yang mengkode gen ER kemungkinan bertanggung jawab sebagai modulator (alat untuk
5
menyesuaikan) respons estrogenik. Mempelajari keanekaragaman genetik dengan menentukan variasi genotip dan frekuensi alel ER pada kasus endometriosis merupakan salah satu upaya memahami etiologi endometriosis yang hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa studi polimorfisme (menentukan variasi genotip, frekuensi alel gen ER) dari etnis dan negara yang berbeda telah dilakukan terhadap penyakit endometriosis. Hasil tidak konsisten dan masih kontroversial diantara populasi di beberapa negara. Penyakit endometriosis terindikasi kuat dipengaruhi oleh interaksi dari beberapa faktor ; genetik, lingkugan dan imunologi. Kemungkinan faktor ras atau etnis berperan kuat dalam perbedaan signifikansi genotip dan alel pada populasi yang berisiko terhadap peningkatan penyakit endometriosis. Studi polimorfisme gen ER terhadap penyakit endometriosis di Indonesia, saat ini kami belum mendapatkan data/informasi tentang gambaran pola variasi genotip dan frekuensi alel yang berisiko terhadap peningkatan penyakit endometriosis pada populasi di Indonesia. Untuk itu kami melakukan studi polimorfisme gen ER dengan menentukan variasi genotip dan frekuensi alel yang berisiko terhadap penyakit endometriosis. Studi polimorfisme gen ER dilakukan pada 2 lokus yang berbeda pada populasi di Indonesia, ERα lokus rs2234693 dan lokus rs9340799 di daerah intron 1, lokus ini umum terdeteksi kasus endometriosis dan gen ERβ lokus rs4986938 di daerah ekson 8 (Hsieh, 2010 ; Zhao 2007) tujuan untuk mengetahui sejauh mana peran genotip dan frekuensi alel gen ER terhadap risiko peningkatan penyakit endometriosis di Indonesia. Studi polimorfisme gen ER ini dilanjutkan dengan menentukan transkripsi gen melalui analisis ekspresi (mRNA) ER pada kasus endometriosis di Indoneia dibandingkan dengan normal, tujuan untuk mengetahui bagaimana ekspresi gen ER pada kasus endometriosis dibadingkan normal di Indonensia, yang kemungkinan dapat sebagai alat bantu penanda (biomarker) untuk diagnosa penyakit endometriosis ke depannya. Mempelajari penyakit endometriosis secara molekuler ditinjau dari analisis ekspresi protein ER dengan menentukan aktivitas molekul fosfat pada proses fosforilasi ER, belum banyak dibahas. Fosforilasi merupakan proses biokimiawi yang meliputi penambahan fosfat pada senyawa organik, (penambahan fosfat ke glukosa) untuk menghasilkan glukosa-monofosfat dan penambahan fosfat ke adenin difosfat (ADP) untuk membentuk adenin trifosfat (ATP). Mekanisme fosforilasi pada studi ini adalah penambahan unsur fosfat dengan mengenal asam amino serin pada situs 105 secara langsung oleh ER pada kasus endometriosis dibandingkan 6
normal. Peran ligan (estrogen) pada mekanisme studi ini, diharapkan ke depannya dapat digantikan dengan senyawa kimia (ligan) yang berasal dari bahan tanaman bersifat anti estrogenik. Studi ini masih bersifat preliminari dan membutuhkan waktu yang panjang dalam rangkaian uji-uji lab yang dilakukan bekerjasama dengan studi bidang fitofarmaka. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana variasi genotip dan frekuensi alel pada gen ERα rs9340799 dan rs2234693 serta gen ERβ rs4986938 pada endometriosis dibandingkan normal. 2. Bagaimana tingkat ekspresi relatif (mRNA) ERα dan ERβ pada penyakit endometriosis dibandingkan normal. 3. Bagaimana aktivitas fosfat pada proses fosforilasi ER pada kasus endometriosis dibandingkan normal.
1.3. Hipotesis Penelitian
1.3.1. Variasi genotip dan frekuensi alel gen ERα rs9340799, rs2234693 dan ERβ rs4986938 berbeda bermakna antara pasien endometriosis dan normal. 1.3.2. Tingkat ekspresi relatif (mRNA) ERα dan ERβ) lebih tinggi pada endometriosis dibandingkan normal. 1.3.3. Aktivitas fosfat pada proses fosforilasi ER pada kasus endometriosis lebih tinggi dibandingkan normal,
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum Mengetahui aspek genetik dari reseptor estrogen. 1.4.2. Tujuan Khusus Tujuan umum penelitian dijabarkan dalam beberapa tujuan khusus, untuk 1. Menentukan variasi genotip dan frekuensi alel ERα gen ESR1 rs9340799 dan rs2234693 serta ERβ gen ESR2 rs4986938 pada endometriosis dibandingkan normal. 2. Menentukan tingkat ekspresi relatif (mRNA) ERα, dan β pada jaringan endometriosis dibandingkan normal. 3. Menentukan aktivitas fosfat fosforilasi pada ER kasus endometriosis dibandingkan normal
7
1.5. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan: 1. Informasi tentang keanekaragaman genotip dalam variasi genotip dan frekuensi alel ERα dan ERβ pada kasus endometriosis di Indonesia yang terlibat sebagai faktor risiko terhadap kasus endometriosis. 2. Kontribusi dalam usaha karakterisasi ERα SNP gen ESR1 rs9340799, rs2234693 dan ERβ SNP gen ESR2 rs4986938 pada kasus endometriosis di Indonesia. 3. Pengembangan aplikasi skrining kasus endometriosis, sebagai solusi terapi alternatif memprediksi meningkat atau menurun risiko patologi, diagnosis, dan pencegahan, endometriosis yang secara potensial bermanfaat dalam terapi atau prognosis. 4. Solusi terapi terhadap kasus endometriosis dengan menentukan ligan dari bahan alami yang mengenal asam amino serin 105 pada ER, bermanfaat dalam penentuan perancangan obat secara in silico kedepannya. NILAI KEBARUAN 1. Menentukan polimorfisme ERα, ERβ, variasi genotip dan frekuensi alel berperan sebagai faktor risiko terhadap penyakit endometriosis serta tingkat ekspresinya secara kuantitatif di Indonesia. 2. Menentukan aktivitas fosfat fosforilasi mengenal asam amino serin situs 105 dari ER pada endometriosis di Indonesia. 3. Menentukan kategori "normal" melalui metoda mikrokuretase berbeda dengan jaringan normal pada riset yang lain.
TOPIK PENELITIAN 1. Polimorfisme ER pada endometriosis dibandingkan normal di Indonesia. 2. Ekspresi relative (mRNA) ER pada penderita endometriosis dibandingkan normal di Indonesia 3. Aktivitas fosfat fosforilasi mengenal asam amino serin situs105 dari ER pada penderita endometriosis dibandingkan normal di Indonesia 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polimorfisme, reseptor estrogen (ER) dan endometriosis, Endometriosis adalah penyakit ginekologis didefinisikan sebagai kelenjar endometrium dan stroma yang tumbuh dan berkembang di luar rongga uterus dengan gejala dysmenorrhea, dyspareunia deep dan nyeri pelvic chronic yang memengaruhi wanita usia reproduktif 5-10% (Silva, 2016). Studi famili terhadap endometriosis mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan keluarga mempunyai risiko meningkat terhadap penyakit endometriosis, meskipun etiologi yang tepat dan patogenesisnya belum dapat dipastikan. Hal ini mendukung bahwa komponen genetik berkontribusi terhadap penyakit endometriosis (Xie, 2009). Penyakit endometriosis berhubungan kuat dengan level estrogen. Estrogen hormon seks penting dihasilkan terutama oleh ovarium pada wanita dan testis pada pria.Estrogen meregulasi pertumbuhan, perkembangan dan fisiologi sistem reproduksi manusia secara normal. Selain itu juga memengaruhi neuroendokrin, skeletal, adiposa dan sistem kardiovaskuler. Aktivitas biologis estrogen dimediasi melalui ikatan estrogen dengan reseptornya (reseptor estrogen/ER) pada level regulasi gen melalui interaksi DNA spesifik dan protein koregulator lainnya (Kumar, 2011). Kelainan gen ER (polimorfisme) dapat berimplikasi pada gejala endometriosis. Studi baru-baru ini meninjau asosiasi polimorfisme genetik ER dengan risiko meningkat terhadap penyakit endometriosis, namun hasilnya masih kontroversi antara negara pada populasi (Xie, 2009). Reseptor estrogen (ER) anggota superfamili reseptor nuklear fungsi biologis sebagai pertumbuhan, diferensiasi dan fisiologi sistem reproduksi. Selain itu ER juga berperan pada jaringan nonreproduktif yaitu pada tulang, sistem kardiovaskuler, otak dan liver. Reseptor estrogen terdiri dari dua isoform yaitu ERα dan ERβ dikode oleh dua gen dan kromosom yang berbeda dan diekspresikan pada jaringan sama dan berbeda pada berbagai tingkat. Gen ERα (ESR1) manusia segmen genom 300 kb dengan BM protein 66 kDa dan asam amino 595. Gen ERβ (ESR2) segmen genom 254 kb dengan BM protein 60 kDa dan asam amino 530 (Yasar, 2016). Dua isoform ini menunjukkan daerah sekuens homologi jelas dan berbeda. Struktur kedua protein ER dapat dilihat pada Gambar 2.1 mengandung 6 daerah interaksi domain (Sotoca, 2012 9
; Yasar, 2017) yaitu ; A - F yang membedakan kedua ER secara fungsional. Ekson 1 mengkode daerah A/B, ekson 2 dan 3 mengkode sebagian C. Ekson 4 mengkode bagian C, D dan sebagian E. Ekson 5 hingga 8 mengandung daerah rest E dan F sebagian dikode oleh ekson 8 (Sotoca, 2012). Daerah A/B berlokasi pada terminal N menempati domain AF-1. Domain ini bertanggung jawab untuk aktivasi transkripsi dalam kondisi tanpa ikatan reseptor selain itu perannya berhubungan dengan situs tempat protein regulator berikatan. Oleh karena itu mutasi pada domain ini dapat memengaruhi aksi biologis ER dan memicu kondisi penyakit yaitu endometriosis (Wang, 2012). Daerah AF-1 conserved 17% homologi antara ERα dan ERβ dan hanya tipe ERα yang fungsional pada daerah ini. Struktur protein ER mempunyai domain paling conserved adalah DNA binding domain (DBD) berhubungan dengan daerah C homologinya 97% antara ERα dan ERβ, bertanggung jawab untuk pengikatan di daerah promoter sekuen spesifik estrogen responsive elemen (ERE) pada gen target (Yasar, 2016 ; Sotoca,2012), tingkat homologi antara ERα dan ERβ sangat tinggi. Kesamaan pada daerah ini mendukung situs promoter target sama untuk kedua reseptor. Daerah hinge berlokasi pada domain D mengandung sinyal lokalisasi nuklear ER sebagaimana situs post translational modification (PTM) homologi daerah ini 30% (Yasar, 2016 ; Sotoca,2012). Terminus C pada ER mengandung domain AF-2 yaitu situs ligand binding domain (LBD) bertanggung jawab untuk transaktivasi terkait ligan. Situs ini membentuk ikatan homo / heterodimerisasi pada domain E/F, homologi daerah ini pada kedua protein hanya 18%, daerah ini menunjukkan perbedaan dalam afinitas pengikatan ligan antara kedua reseptor (Sotoca, 2012 ; Yasar, 2016). Struktur kristal LBD menggambarkan perbedaan susunan coactivator/corepresor bersama dalam respon terhadap ikatan ligan agonis dan antagonis. Agonis pada satu tipe sel dapat antagonis pada tipe sel lain, secara keseluruhan menggambarkan suatu dinamika jaringan komplek yang dikontrol oleh ER dengan efek ekspresi fisiologis mendominasi atau rendah pada sel target (Kumar, 2011). ERα dan ERβ merupakan faktor transkripsi yang meregulasi ekspresi gen spesifik pada jaringan yang berbeda terhadap ligan. Analisis fungsi ERα dan ERβ menggunakan model mouse knockout menggambarkan peran sinyal estrogen dalam proses fisiologis berbeda. Model ini bermanfaat untuk evaluasi fungsi gen dibawah kondisi patologis spesifik.
10
N
hinge COOH AF-1
AF-2
Gambar 2.1. Struktur isoform reseptor estrogen (ERα dan ERβ). ER dikode oleh 8 ekson. Struktur domain ER terdiri A-F. ERα mengandung 595 asam amino. ERβ terdiri dari 530 asam amino. Isoform ERβ terbentuk dari splicing alternative ekson 8, menghasilkan terminal carboxyl-truncated varian ERβ2, ERβ4,dan ERβ5 dengan beragam berat molekuler. Varian ini tidak mengikat ligan dan kekurangan dalam AF-2 namun memberikan efek sinyal melalui heterodimerisasi dengan WT-ERα atau WTERβ ketika disintesis (Yasar, 2016).
Mekanisme kerja ER pada Gambar 2.2. menjelaskan bahwa estrogen (E2) berikatan pada ER (ERα atau ERβ). ER kemudian dimerisasi dan translokasi memasuki nukleus. Kompleks ini di dalam inti berikatan pada estrogen response elements (ERE), berinteraksi dengan protein coregulators potensial dalam peran dan fungsi aktivasi sel, diperlukan untuk mengaktifkan atau menekan ekspresi gen target dalam sintesis protein (Lee, 2012).
11
Gambar 2.2. Mekanisme transkripsi reseptor estrogen ERα dan ERβ (Yasar, 2016).
Beberapa studi polimorfisme gen ER terhadap endometriosis menyatakan bahwa perbedaan etnis antara populasi memengaruhi distribusi genotip ERα/ERβ dan menunjukkan asosiasi polimorfisme berbeda dalam risiko meningkat atau berkurang terhadap penyakit. Riset di Cina ditemukan bahwa asosiasi polimorfisme gen ERα/ERβ terhadap endometriosis pada kelompok etnis Cina Han belum jelas (Xie, 2009). Single Nucleotida Polymorphism (SNP) adalah variasi nukleotida tunggal terjadi pada posisi spesifik genom, variasi tersebut >1% dalam populasi dan frekuensi sangat tinggi terdapat satu dalam 1000 basa (Govindan, 2014). SNP merupakan hasil mutasi substitusi basa pada daerah protein coding (cSNPs) dapat dikelompokkan sebagai synonymous dan nonsynonymous, menghasilkan mutasi missense (terjadi perubahan asam amino) atau mutasi nonsense (perubahan pada kodon terminasi). SNP di daerah promoter menyebabkan ekspresi gen berkurang atau meningkat, sedangkan SNP pada intron dapat menghasilkan kerusakan splicing (Kinnon, 2016 ; Sundqvist, 2011). DNA terdiri dari sekuen coding (ekson) yaitu bagian DNA yang dikonversi menjadi mRNA mature dan dalam proses menggunakan DNA sebagai template untuk menghasilkan mRNA disebut transkripsi. Sedangkan sekuen non-coding (intron), posisi berada diantara ekson yaitu bagian gen yang tidak secara langsung mengkode protein. Intron ditemukan secara penuh pada semua sekuen genom eukariot. Kepadatan intron berkisar 8 /gen pada manusia. Intron 12
berukuran
10 pasang basa hingga 1000 pada eukariot multiseluler. Skenario awal evolusi
menyatakan bahwa intron kurang berfungsi dalam eksistensi transkripsi gen, namun saat ini banyak studi telah mengungkapkan peran dan fungsi penting intron dalam meningkatkan keragaman genetik terutama pada spesies yang membawa intron. Salah satu fungsi intronik penting pada sel eukariot adalah meningkat kelimpahan protein pada gen yang membawa intron (Lynch, 2007). Kelainan genetik pada manusia lebih dari 50% disebabkan oleh gangguan pola splicing normal pada intron dan malfungsi dari snRNA dan protein berasal dari proses splicing mempunyai efek detrimental terhadap sel. Intron mengindikasikan kekomplekan suatu organisme (Jolinière, 2014). Sebagian alel SNP merupakan varian fungsional berkontribusi terhadap resiko penyakit. Individu dengan alel SNP berisiko terhadap suatu penyakit lebih tinggi dibandingkan individu tanpa alel SNP. Umumnya alel SNP merupakan varian tidak fungsional namun bermanfaat sebagai marker untuk penelusuran suatu gen. Banyak penelitian telah berhasil mengungkap bahwa SNP dan alel berhubungan dengan penyakit. Asosiasi antara SNP dan penyakit mengindikasikan bahwa terdapat gen-gen didaerah tersebut yang berkontribusi terhadap penyakit (Slatkin, 2008). Hasil studi polimorfisme ER berhubungan dengan risiko endometriosis di Asia dan Eropa menyatakan bahwa
polimorfisme dapat digunakan untuk prediksi meningkat atau
menurun risiko endometriosis dan secara potensial bermanfaat dalam diagnosis pencegahan, terapi atau prognosis endometriosis. Sejumlah studi menghubungkan polimorfisme genetik sebagai faktor yang berkontribusi pada perkembangan endometriosis (Hansen, Chia-Ho Lin, 2005) Mutasi genetik dapat menyebabkan kerusakan sel diimplementasikan pada perkembangan endometriosis, karena sel-sel endometrium penderita endometriosis menunjukkan adanya perubahan, hal tersebut mendukung terjadinya adesi ekstrauterin yang tumbuh dan berkembang. Mekanisme endometriosis dapat dilihat pada Gambar 2.3. seperti dibawah ini
13
Gambar 2.3 mekanisme endometriosis
Endometriosis terjadi ketika sel-sel endometrium sensitif estrogen lepas dari dinding uterus menempel dan bertahan pada lingkungan asing yang meradang. Studi melaporkan bahwa interaksi yang unik antara bentuk reseptor steroid, coactivator 1 (SRC-1) dan caspace 8 yang menghambat apoptosis pada sel endometriosis dan bertahan (Dyson & Bulun, 2018). Beberapa lokus telah ditentukan pada endometriosis eutopik berhubungan dengan patologi endometriosis. Studi mutan pada tikus berhubungan dengan defisiensi kedua subtipe ER pada regulasi fungsi uterus, contohnya delesi pada ERα menyebabkan terhambat pertumbuhan endometrium dan cenderung berkurang ekspresi estrogen pada gen target, sedangkan delesi gen ERβ tidak memengaruhi respon biologis uterus terhadap ekspresi estrogen dan dijelaskan bahwa estrogen mengatur respon sinyal yang dimediasi oleh ERα pada lesi endometriosis (Guo, 2009). Studi analisis statistik menunjukkan bahwa ERα gen ESR1 (rs3798573 A/G) berasosiasi secara signifikan dengan endometriosis dan endometriosis berhubungan dengan infertilitas (P=.011, P=.009) (Wang, 2012). Zhao (2016) menyatakan bahwa mutasi genetik pada gen ESR1 cenderung menunjukkan ekspresi gen aberasi/kelainan yang terlibat dalam patogenesis dan perkembangan endometriosis. Hasil temuan sejumlah polimorfisme ERα gen ESR1: rs2234693, rs9340799, rs3138774, rs1884052, rs3020348, dan rs1159327, dinyatakan berpotensi berasosiasi terhadap penyakit endometriosis (Bulun, 2010; Govindan,2014;Wang, 2012). Varian gen ESR1 14
dengan enzim restriksi paling banyak dipelajari adalah, PvuII (rs2234693 posisi (397 T/C, dan XbaI (rs9340799 posisi (351 A/G. Single nucleotide polymorphisms (SNP) gen ESR1 pada kromosom 6q25 berada dalam linkage disequilibrium (asosiasi nonrandom dari alel pada lokus berbeda di dalam populasi), kedua SNP ada dalam intron, tidak menyebabkan perubahan asam amino, kemungkinan secara langsung memengaruhi ekspresi gen ESR1 atau sebagai bias alternatif berhubungan dengan beberapa urutan DNA varian kausatif yang tidak teridentifikasi. Intron secara signifikan memengaruhi ekspresi gen dalam berbagai cara, karena mengandung unsur penambah atau promotor yang dapat mengendalikan splicing alternative, juga berbagai elemen regulasi dan transregulasi membentuk isoform protein berbeda (Wang, 2012). Hasil studi Wang (2012) menjelaskan bahwa polimorfisme gen ESR1 rs3798573 A/G berasosiasi dengan peningkatan risiko endometriosis dan endometriosis terkait infertilitas pada wanita Han di Cina sentral. Meskipun rs3798573 A/G berlokasi pada intron 6, tidak menyebabkan perubahan asam amino, hasil studi Wang (2012) menyatakan bahwa mutasi genetik pada intron dapat terlibat dalam proses efisiensi regulasi transkripsi, splicing dan translasi (Carstens, 1998; Zhao dan Hamilton, 2007di dalam Wang, 2012). Oleh karena itu polimorfisme dapat memengaruhi konsentrasi mRNA ESR1 dengan beragam elemen regulasi, yang dapat menginduksi disfungsi gen ESR1 dan meningkatkan pathogenesis endometriosis. Hal ini merupakan alasan untuk mengembangkan lebih lanjut peran polimorfisme pada diagnosis dan kejadian endometriosis berulang. Meskipun sedikit diketahui tentang etiologi dan patogenesis endometriosis namun estrogen dapat menstimulasi pertumbuhan jaringan edometriosis (Wang, 2012). Variasi genetik memengaruhi penyakit melalui berbagai mekanisme dapat merubah struktur, fungsi protein atau ekspresi. Domain fungsional ER berperan penting tempat berikatan protein-protein coregulator dan terjadi konformasi struktural reseptor (Sato, 2008). Studi polimorfisme gen ERβ sejumlah besar investigasi asosiasi antara polimorfisme gen ERβ dan resiko terhadap endometriosis telah dilakukan. Studi ERβ fokus pada polimorfisme gen ERβ rs4986938 dan rs1256049 namun hasilnya masih konflik. Diduga terdapat asosiasi risiko endometriosis dan polimorfisme meliputi biosintesis steroid seks dan reseptornya ditentukan melalui studi metaanalisis sebelumnya. Studi Guo (2014) mempresentasikan model alel polimorfisme lima studi yang relevan. Studi ini menyatakankan bahwa tidak ada asosiasi yang signifikan antara polimorfisme ERβ rs4986938 dan rs1256049 dan risiko endometriosis pada 15
keseluruhan populasi, konsisten dengan hasil metaanalisis sebelumnya. Tidak terjadi perubahan asam amino pada protein ERβ di bawah kondisi mutasi ERβ rs4986938, kemungkinan polimorfisme ini dalam disequilibrium lingkage dengan variasi-variasi dari sekuen regulasi lain yang dapat memengaruhi ekspresi atau fungsi gen. Kelainan /polimorfisme ini dapat merubah lipatan struktural mRNA hingga menghasilkan fungsi-fungsi biologis berbeda berinteraksi dengan komponen seluler lainnya (Guo, 2014). Bulun (2012) menyatakan bahwa ekspresi ERβ lebih tinggi 100 kali pada jaringan endometriosis dibandingkan jaringan endometrium normal. Studi Lee (2007) menyatakan bahwa terdapat polimorfisme gen ERβ pada posisi 1730 G/A dan 1082 G/A pada pasien disfungsi ovulasi idiopatik dibandingkan kontrol. Perubahan nukleotida G/A pada posisi 1730 pada ekson 8 mengenal enzim AluI menghasilkan 1 pita 307 bp ERβ normal sekuen (GG); 3 pita yang terpisah 307, 240, dan 67 bp, pada polimorfisme heterozigot (GA) dan dua pita yang terpisah 240 dan 67 bp pada polimorfisme homozigot (AA) (Lee, 2007). Studi ERβ pada tikus KO (knockout) mengonfirmasi bahwa ERβ penting untuk efisiensi ovulasi normal, bukan untuk diferensiasi sexual, fertilitas, atau laktasi dan dilaporkan bahwa protein ERβ terdeteksi pada tipe sel multiple, keseluruhan sistem reproduksi wanita. Hasil scrceening mutasi sistemik dua SNP ERβ daerah koding dinyatakan bahwa perubahan nukleotida G/A pada 1730 dalam daerah 30 UTR pada exon 8, dan transisi pada exon 5 posisi 1082 perubahan nukleotida G/A merupakan mutasi silen (Paulo, 2010).
2.2. Ekspresi reseptor estrogen (ER) pada endometriosis Ekspresi menunjukkan kemampuan mengkoordinasikan program transkripsi diperlukan untuk memengaruhi jalur fisiologis yang berbeda. Regulasi jaringan meliputi dua paradigma fisiologis yang diregulasi di dalam sel yaitu ; 1. Reproduksi, perkembangan dan pertumbuhan, 2. Penyerapan nutrisi, metabolisme dan eksresi. Data ini merupakan sirkuit hirarkis (deretan /tingkatan /rangkaian biologis) pada proses transkripsi melalui jaringan individu membentuk fisiologis dalam regulasi megajaringan pada skala organisme, terutama regulasi hormon pada individu (Bookout, 2006). Studi tingkat ekspresi ER pada endometriosis tampak tidak konsisten pada beberapa populasi. Kemungkinan terdapat pengaruh ras (genetic/etnis) populasi terhadap penyakit endometriosis ini sehingga menunjukkan perbedaan signifikansi ekspresi antara
16
populasi. Dengan demikian penting menentukan serta mempelajari lebih dalam peran biologis dua isoform reseptor estrogen (ERα dan ERβ) pada kelainan endometriosis pada populasi yang berhubungan dengan faktor risiko terhadap penyakit pada individu. Pola distribusi ERα, β dan PR pada endometrium manusia normal menunjukkan variasi selama siklus menstruasi. Hasil studi Mylonas (2004) menyatakan bahwa adanya reseptor steroid pada epitel endometrium manusia mengindikasikan sel-sel ini respons terhadap estrogen dan progesteron dengan demikian memainkan peran signifikans dalam fisiologis endometrium manusia. Secara normal pada manusia endometrium mengekspresikan ER dan reseptor progesteron (PR) yang terlibat pada proses regulasi autokrin dan parakrin dalam respon terhadap estrogen dan progesteron. Ekspresi ERα dan progesteron berkurang secara signifikans (p<.05) pada epitel glandular fase proliferasi hingga fase akhir sekresi. Ekspresi gen ERβ menunjukkan penurunan yang sama signifikans (p< .05) pada endometrium normal dan terdapat korelasi yang signifikans antara ekspresi dari ketiga reseptor steroid (p< .001). Reseptor estrogen berperan dalam mengontrol ekspresi gen terlibat dalam proses vital seluler seperti ; proliferasi, apoptosis dan diferensiasi sel (Pakdel, 2018). Studi ekspresi reseptor estrogen pada penyakit endometriosis telah banyak dilakukan. Studi analisis dengan metoda TagMan RT PCR dan ISH oleh Matsuzaki (2001) menyatakan bahwa mRNA ERα diekspresikan predominan pada kontrol (endometrium eutopik dan peritoneum normal). Perubahan siklus pada hormon ovarium memberikan efek berbeda terhadap ekspresi mRNA ERα dan ERβ pada normal dan endometriosis. Matsuzaki (2001) menyatakan bahwa level mRNA tidak secara langsung mengindikasikan bioaktivitas protein, dan efek regulasi estrogen dimediasi terutama oleh ERα pada normal dan endometriosis. Hasil analisis TaqMan RT-PCR menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikans mRNA ERα dan mRNA ERβ antara endometrium eutopik (normal) dengan peritoneum dan ovarium endometriosis, kemungkinan ERβ berperan dalam memodulasi aktivitas transkripsi. Kedua isoform ER dibedakan atas sensitivitas seluler reseptor tersebut terhadap estrogen dan anti estrogen. Oleh karena itu sensitivitas seluler ER terhadap estrogen bervariasi dibawah distribusi ER berbeda antara ERα dan ERβ pada jaringan endometriosis. Hasil analisis ISH oleh Matsuzaki (2001) menyatakan bahwa sinyal mRNA ERα pada sel epitel glandular dan sroma tampak lebih jelas pada lesi peritoneum merah dibandingkan hitam. Sebaliknya sinyal mRNA ERβ (pada sel stroma) lebih jelas pada lesi peritoneum warna hitam dibandingkan merah, hasil ini sama dengan pengamatan kuantitatif TaqMan RT PCR 17
menjelaskan bahwa mRNA ERα/mRNA ERβ lebih rendah pada lesi peritoneum warna hitam dibandingkan warna merah. Studi analisis ISH oleh Bulun (1996) terhadap endometriosis menyatakan bahwa terdapat aberasi/kelaian ekspresi aromatase pada sel stroma dan defisiensi 17b-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2 pada sel epitel glandular. Collin (2009) menyatakan bahwa wanita dengan varian gen aromatase (CYP19A1) berhubungan dengan peningkatan kadar estrogen sirkulasi 10-20% yang berisiko terhadap kanker endometrium. Perubahan enzimatik ini mendukung akumulasi estradiol lokal pada endometriosis dan mendukung hipotesa bahwa estradiol lokal memengaruhi proliferasi pada sel endometriosis. Estradiol lokal menyebabkan hilangnya efek perubahan siklus dalam estrogen ovarium pada lesi endometriosis, karena ada kecenderungan kuat bahwa lesi peritoneum merah lebih aktif dibandingkan lesi peritoneum hitam (Matsuzaki, 2001). Hasil studi Bulun (2012) menyatakan bahwa ekspresi ERβ didapatkan 100 kali lebih tinggi pada jaringan endometriosis daripada endometrium normal, kemungkinan kerusakan metilasi DNA dan mekanisme epigenetik lain bertanggung jawab terhadap ekspresi ERβ tinggi pada endometriosis. Ekspresi ERβ menekan ERα dan menghasilkan rasio ERβ : ERα tinggi pada sel-sel endometriosis. Spekulasi bahwa rasio ERα : ERβ lebih rendah pada sel stroma endometriosis dapat menyebabkan pergeseran dari stimulasi estradiol ke penghambatan ekspresi reseptor progesteron pada stroma endometriosis secara in vivo. Mekanisme ini kemungkinan menjelaskan defisiensi progesteron B pada sel-sel stroma endometriosis, berkontribusi terhadap resistensi progesteron pada wanita endometriosis. Overexpression ERβ memiliki efek lain yang penting dan meluas pada patologi endometriosis. ERβ diasumsikan menstimulasi produksi prostaglandin pada jaringan dan sel-sel endometriosis melalui induksi ekspresi COX2, dengan demikian ERβ dapat sebagai target terapi kunci pada nyeri endometriosis. Senyawa selective (ligan) ERβ menyerupai estradiol dalam sel stroma endometriosis kemungkinan dapat digunakan sebagai terapi di masa depan terhadap penanganan endometriosis. Studi Bulun (2012) menyatakan bahwa ekspresi ERβ tinggi pada endometriosis menghasilkan efek anti-proliferatif (menghambat proliferasi) dan pro-apoptosis. Endometriosis merupakan penyakit terkait estrogen umumnya terapi medis yang dilakukan adalah aspek stimulasi estrogen dalam memodulasi jalur sinyal estrogen klasik dan nonklasik yang dimediasi oleh reseptor nuklear (ERα dan ERβ) oleh gen yang berbeda. Jalur sinyal reseptor estrogen didalam sel dapat dilihat pada Gambar 2.3
18
Studi
Smartzis (2012) menyatakan bahwa selain ER (α dan β) G protein-coupled
estrogen receptor (GPER), atau G protein coupled receptor 30 (GPR30) menunjukkan situs pengikatan afinitas tinggi terhadap estrogen. GPER adalah reseptor mempuyai tujuh transmembran merupakan respon estrogen nongenomik cepat (hitungan menit), kontras dengan mode ER kasik. GPER memediasi kegiatan estrogen terlibat dalam proses fisiologis intraseluler seperti phosphatidylinositol-3-OH kinase, memobilisasi calcium, produksi cyclic AMP dan mengaktivasi kinase dependent signal extracellular. G protein-coupled estrogen receptor (GPER) diduga terlibat dalam proses proliferasi dan migrasi sel pada penyakit endometriosis. Level ekspresi GPER epitel berbeda pada berbagai tipe endometriosis. Hasil studi menyatakan bahwa regulasi pola ekspresi GPER meningkat pada sel endometriosis dibandingkan sel endometrium normal hal ini penting dalam memahami patogenesis endometriosis. Ekspresi GPER sitoplasma pada sel epitel endometriosis ovarium lebih tinggi sebagaimana perbedaan pola ekspresi pada sel epitel dan sel stroma yang kontradiksi. Deteksi spesifik GPER antagonistik (menghambat) dapat sebagai pilihan treatment terapi terhadap endometriosis (Smartzis 2012). 2.3. Fosforilasi reseptor estrogen pada endometriosis Patologis endometriosis hingga saat ini belum diketahui pasti, terdapat salah satu teori hingga saat ini diterima umum yaitu teori Sampson (1927), menjelaskan bahwa endometriosis adalah retrograde menstruation (sel endometrium dan debris berbalik ke belakang kearah tuba tertanam di peritoneum pada saat menstruasi). Hipotesis Xu (2016) menjelaskan bahwa pada endometrium eutopik terjadi peningkatan kemampuan proliferasi implantasi dan angiogenesis dan kemungkinan besar endometrium ektopik dengan kondisi lingkungan yang tidak dikehendaki. Salah satu atau kejadian penting adalah modifikasi postranslasi /PTM (perubahan biokimia protein terjadi pada asam amino dari suatu protein), salah satu kejadian penting PTM adalah fosforilasi. Diperkirakan fosforilasi terjadi sepertiga dari semua protein dan memodulasi proses paling umum dalam sel hidup. Karakterisasi situs fosforilasi protein dalam berbagai jalur sinyal dapat meningkatkan pemahaman patologis penyakit spesifik. Pentingnya siklus fosforilasidefosforilasi didukung oleh sejumlah protein kinase dan fosfatase tinggi pada genom manusia yang diperkirakan 2% dari semua gen (Xu, 2015). Setelah dilakukan studi sintesis protein (proses transkripsi/mRNA) reseptor estrogen terhadap endometriosis, dilanjutkan studi analisis protein reseptor estrogen (ER) dalam aktivitas 19
fosforilasi dengan menggunakan Western blot. Fosforilasi adalah mekanisme pengaturan seluler penting karena banyak enzim dan reseptor yang diaktifkan / dinonaktifkan melalui fosforilasi dan defosforilasi, dengan cara : sintesis protein, pembelahan sel, transduksi sinyal, pertumbuhan, perkembangan dan aging yang disebabkan aktivitas kinase dan fosfatase spesifik (Ardito, 2017). Protein kinase bertanggung jawab untuk transduksi signaling seluler dan hiperaktivitas, malfungsi / ekspresi tinggi yang ditemukan pada beberapa penyakit, kebanyakan tumor. Mekanisme aksi fosforilasi penting dalam memahami etiologi penyakit di bawah kondisi fisiologis dan patologis (Govindan, 2009). Protein kinase B (PKB /Akt) suatu serin/threonine kinase, meregulasi fungsi beberapa protein seluler terlibat dalam apoptosis dan proliferasi. Hasil studi Cinar (2009) menjelaskan bahwa terdapat kegiatan Akt tinggi pada endometriosis dibandingkan dengan endometrium normal dan bahwa estrogen merupakan salah satu faktor bertanggung jawab pada aktivasi Akt tinggi pada sel endometriosis. Ditemukan perbedaan signifikans level fosforilasi Akt antara endometrium normal, eutopik dan ektopik secara in vivo (Cinar, 2009) Hasil studi Brinton (2006) menjelaskan bahwa efek biologis estradiol menghasilkan mekanisme genomik dan nongenomik, hasil ini mendukung kejadian bahwa fosforilasi Akt melalui treatment estradiol mengindikasikan aktivasi nongenomik, dimana konsetrasi Akt meningkat dalam sel stroma endometrium oleh estradiol. Estradiol dengan cepat dapat mengaktifkan PI3K/Akt, efek ini dimediasi oleh jalur sinyal ErbB2 pada cell line cancer payudara MCF-7 (Stoica, 2003 didalam Cinar, 2009). Aktivasi ER terkait ligan dan bebas ligan dimodulasi oleh reseptor fosforilasi. ER adalah fosfoprotein, pada pengikatan ligan ER fosforilasi meningkat. Situs fosforilasi ER terdapat di dalam domain N-terminal (NTD) pada serin 104, 106, 118 dan 167. Mutasi serin 104, 106 dan 118 pada alanin umumnya menurunkan kegiatan transkripsi ER. Fosforilasi pada serin 167 tampak penting pada pengikatan DNA oleh reseptor. Sejumlah jalur sinyal tampak meregulasi fosforilasi ER. Serin 104/106/118 adalah target dari MAPK dan serin 167 berfosforilasi melalui AKT (Shah, 2005). Studi yang dilakukan ini dengan menentukan level fosfatase pada reseptor estrogen melalui aktivitas fosforilasi menggunakan antibodi antiestrogen mengenal serin pada situs 105 asam amino dari protein reseptor estrogen. Dengan tujuan ingin melihat dan menentukan aktivitas fosfat dalam mekanisme fosforilasi reseptor estrogen pada kasus endometriosis 20
dibandingkan dengan normal. Studi selanjutnya diharapkan data ini dapat bermanfaat untuk penanganan diagnosa dan terapi terhadap endometriosis.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian kasus kontrol (case control study) yang membandingkan antara perempuan yang menderita endometriosis (kasus) dan perempuan normal (kontrol).
21
3.2 Strategi Penelitian Pengumpulan sampel Sampel dikelompok antara kasus dan kontrol berupa: darah tepi, serum dan jaringan endometrium. Analisis genom DNA genom diekstrak dari darah perifer menggunakan Wizard DNA purification kit (Promega, Madison, WI). Polimorfisme gen ERα ditentukan menurut uraian sebelumnya metoda (Kobayashi .,
1996; Lorentzon .,1999). Polimorfisme ERα-351 XbaI A/G (uncuttable/cuttable) and -397 PvuII T/C (uncuttable/cuttable) diuji dengan metoda PCR dan restriction fragment length polymorphism (RFLP). Gen ERα, berlokasi pada kromosom 6q25, mengandung beberapa polimorfisme antara lain polimorfisme pada intron 1 XbaI (dbSNP: rs9340799) dan PvuII (dbSNP: rs2234693) (Ioannidis .,
2004; van Duijnhoven ., 2005). Genom diamplifikasi menggunakan primer oligonucleotide: Genotyping ERβ 1730 G/A dilakukan menggunakan polymerase chain reaction-restriction fragment-length polymorphism analysis, mengacu pada studi sebelumnya (Wang, 2004). DNA Gen ERβ berlokasi pada kromosom 14q22-24, genom diamplifikasi menggunakan primer oligonucleotide: ERβ-Forward, 50 - TTT TTG TCC CCATAGTAACA-30 (upstream) and ERβReverse, 50 -AATGAGGGACCACAGCA -30 (downstream) pada amplifikasi 307 bp exon 8. Polimorfisme gen ERβ AluI (dbSNP : rs4986938) Pemotongan dengan enzim restriksi and gel electrophoresis products PCR. Amplifikasi PCR diprogramkan pada thermal cycler GenAmp PCR system 2400 (Perkin Elmer Applied Biosystems). Fragment product 1374-bp, sebagian intron 1 dan exon 2 dari gen ERα diamplifikasi melalui PCR (Kobayashi ., 1996; Lorentzon., 1999). Setelah amplifikasi PCR, dua polimorfisme gen ERα dianalisis dengan restriction digestion dengan restriction enzymes (XbaI and PvuI; New England Biolabs, Inc., Beverly, MA, USA). Informasi SNP untuk gen diperoleh dari NCBI
Isolasi RNA dari jaringan endometrium normal dan endometriosis sampel, dilakukan mengacu pada studi Matsuzaki (2001) dengan metoda sangat sensitive menentukan level mRNA ERα dan ERβ dengan real-time RT-PCR assay dengan system deteksi TaqMan (Matsuzaki, 2000). Selanjutnya dilakukan sintesis cDNA mengacu riset Yuan (2013) dan dilanjutkan dengan qRT-PCR untuk menentukan tingkat ekspresi ERα dan ERβ. Kemudian dilakukan analisis kadar 22
fosfat melalui mekanisme fosforilasi ER pada kasus endometriosis dibandingkan control mengacu pada Lam, H.M. (2012)
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mulai sejak 2018 yang dilakukan di beberapa tempat, yaitu: a. Poliklinik Imuno-endokrinologi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM- FKUI, b. Rumah Sakit Budhi Jaya dan Rumah Sakit Sammeri untuk pengambilan sampel, wawancara dan pencatatan data rekam medik pasien. c. Departemen Biologi Kedokteran FKUI, untuk penyimpanan sampel, isolasi DNA genom, pemeriksaan polimorfisme gen target, isolasi RNA dan sintesis cDNA pada jaringan. d. Laboratorium Oral FKG UI untuk pemeriksaan qRT-PCR gen ERα dan ERβ.
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian No Kegiatan 1 A Pengumpulan v data
2
3
4
4 5 6 7 8 9 10
23
11
12
13
14
15
16
17
1 2 B 1 2 3
4 5 6 C 1 2 3 4
Studi pustaka Pengumpulan data skunder Koleksi sampel Pemeriksaan E2 Isolasi DNA Analisis genotip (RFLP) Isolasi RNA Sintesis cDNA Fosforilasi fosfat Analisis data Diskusi hasil Pembuatan laporan Seminar hasil Akhir penelitian
v v
v v v v v v
v v v
v v
v v v v
3.4 Alur Penelitian
Subyek Penelitian
Normal
Endometriosis 24
Darah
Serum
Jaringan
(83ks+76kn)
(18ks+18kn)
(18ks+18kn)
Isolasi DNA
ELISA
Isolasi RNA
PCR-RFLP
Kadar Estradiol
Sintesis cDNA
Analisis Ekspresi mRNA REα dan REβ (qRT-PCR)
Analisis Polimorfisme Gen REα intron,rs9340799 Gen REα intron1,rs2234693 Gen REβ ekson 8,rs4986938
UJI aktifitas fosfat
Analisis Statistik
3.5 Pemilihan Sampel Sampel penelitian terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol. 3.5.1 Kelompok Kasus 3.5.1.1 Kriteria inklusi 1. Perempuan berusia 18-45 tahun dan menderita endometriosis melalui pemeriksaan laparoskopi 2. Siklus mentruasi teratur 3. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed concent
3.5.1.2 Kriteria eksklusi 1. Mengalami menopause 2. Memiliki penyakit kanker saluran reproduksi (uterus, tuba, pelvik, ovarium), Rheumatoid Arthritis (RA) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 25
3. Menjalani perawatan atau pengobatan suatu penyakit kronis
3.5.2 Kelompok Kontrol 3.5.2.1 Kriteria inklusi 1. Perempuan berusia 18-45
tahun yang
ikut
dalam pemeriksaan mikrokuretase
dan tidak menderita endometriosis (kontrol I) 2. Perempuan berusia 18-45 tahun dan tidak menderita endometriosis (kontrol II) 3. Siklus mentruasi teratur 4. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed concent 3.5.2.2 Kriteria Eksklusi 1. Mengalami menopause 2. Memiliki penyakit kanker saluran reproduksi (uterus, tuba, pelvik, ovarium), Rheumatoid Arthritis (RA) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 3. Menjalani perawatan atau pengobatan suatu penyakit kronis
3.6 Perhitungan Besar Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa darah, serum dan jaringan endometrium yang diperoleh dari kelompok kasus dan
kontrol.
Berdasarkan pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian ini, jumlah sampel dibagi menjadi dua.
3.6.1 Besar sampel untuk pemeriksaan kadar estradiol (E2) serum dan ekspresi ER Berdasarkan data dari beberapa rumah sakit di Indonesia, diperoleh prevalensi endometriosis pada penderita infertilitas berkisar 13,5-65%. Dengan menggunakan rumus proporsi tunggal (Incidency Primery Cancer in Indonesia Pathology base,1990), besar sampel minimal yang digunakan untuk pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: N =
(Zα)2 p.q d2
26
= (1,96)2 (0,25) (0,75) (0,2)2 = 18 Keterangan: N = Jumlah sampel Zα = tingkat kesalahan (nilai α=5%, Zα=1,96) p = proporsi variabel yang diteliti= 0,25 q = 1- p = 1- 0,25 = 0,75 d = presisi (20%) Total jumlah sampel yang digunakan untuk pemeriksaan kadar estradiol serum (E2) atau ekpresi ER dalam penelitian ini adalah sebanyak 36 sampel yang terdiri atas dua kelompok yaitu 18 orang penderita endometriosis (kelompok kasus) dan 18 orang tidak menderita endometriosis (kelompok kontrol I). 3.6.2 Besar sampel untuk pemeriksaan polimorfisme gen ERα dan ERβ Jumlah sampel yang digunakan untuk pemeriksaan polimorfisme gen ERα dan ERβ dihitung berdasarkan rumus estimasi proporsi. Perhitungan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: N0 = (Zα)2 p.q d2 = (1,96)2 (0,5) (0,5) (0,10)2 = 96,04 = 96 N = N0 + 10%N0 = 96 + 9,6 = 105,6 Keterangan : N0 = jumlah sampel awal N = jumlah sampel akhir Zα = tingkat kesalahan (nilai α = 5%, Zα = 1,96) p = proporsi variabel yang diteliti = 0,5 q = 1 – p = 1- 0,5 d = presisi (10%) Total jumlah sampel yang digunakan untuk pemeriksaan polimorfisme dalam penelitian ini adalah sebanyak 159 sampel yang terdiri atas dua kelompok yaitu 83 orang penderita 27
endometriosis (kelompok kasus) dan 76 orang tidak menderita endometriosis (kel kontrol II). 3.7 Variabel Variabel Terikat - Penderita endometriosis (kelompok kasus) - Tidak menderita endometriosis (kelompok kontrol) Variabel Bebas - Kadar estradiol serum (E2) - Polimorfisme gen ERα intron 1 rs9340799 - Polimorfisme gen ERα intron 1 rs2234693 - Polimorfisme gen ERβ ekson 8 rs4986938 - Ekspresi ERα - Ekspresi ERβ 3.8 Batasan Operasional Batasan operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas kelompok endometriosis (kelompok kasus), kelompok tidak menderita endometriosis (kelompok kontrol I atau II), kadar estradiol serum (E2), polimorfisme gen ERα intron 1 rs9340799, ERα intron 1 rs2234693 dan ERβ ekson 8 rs4986938 serta ekspresi ERα dan ERβ. - Kelompok endometriosis adalah perempuan berusia 18-45 tahun yang memiliki jaringan menyerupai endometrium, yang tumbuh dan berkembang pada daerah peritoneum pelvik dan ekstra uterus dengan gejala nyeri disekitar pinggang, dismenore, dispareni. - Kelompok tidak menderita endometriosis adalah kelompok kontrol yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kontrol I (perempuan usia 18 hingga 45 tahun, siklus menstruasi teratur, tidak ada riwayat penyakit endometriosis, penyakit kronis lainnya seperti diabetes, asma, SLE, kanker) dan kontrol II (perempuan usia 18 hingga 45 tahun, pasien ingin punya anak, dinyatakan normal dari hasil pemeriksaan mikrokuretase dari tim klinisi Obgin). - Kadar estradiol serum (E2) merupakan protein E2 yang terlarut di dalam serum dan diukur dengan metode ELISA (pg/mL). - Polimorfisme adalah adanya variasi alel pada genom manusia dengan probabilitas lebih dari 1% dalam populasi. Variasi genotip dan alotip gen ERα intron 1 rs9340799, ERα intron 1 rs2234693 dan ERβ ekson 8 rs4986938 diketahui dengan metode PCR-RFLP. 28
- Ekspresi ERα dan ERβ merupakan ekspresi mRNA ERα dan ERβ di jaringan endometrium yang diketahui dengan metode qRT-PCR.
3.9 Etika Penelitian Rancangan penelitian ini telah mendapat izin Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (No.165/PT02.FK/ETIK/2010). Semua data dan hasil penelitian dijaga kerahasiaannya (Lampiran 1).
3.10
Cara Kerja
3.10.1 Pemeriksaan Kadar Estradiol (E2) Serum Pemeriksaan kadar E2 dalam serum dilakukan dengan menggunakan DRG estradiol ELISA Kit EIA-2693, yang merupakan pemeriksaan kuantitatif untuk kadar E2 di dalam serum maupun plasma darah.72 Prinsip kerja dari ELISA kit ini adalah adanya kompetisi binding antara antigen (E2 yang terdapat pada serum) dan antigen berlabel enzim (Esrtadiol-HRP) untuk saling bersaing mengikatkan diri ke fase padat (sumur/plat) yang telah dilapisi dengan antibodi. Tahapan ELISA untuk mendeteksi kadar estradiol. Larutan standar/ sampel (serum) dimasukkan ke dalam plat yang telah dilapisi antibodi dan kemudian ditambahkan estradiolHRP. Setelah itu diinkubasi, dan selama proses ini terjadi kompetisi antara estradiol pada serum dengan estradiol-HRP untuk berikatan dengan antibodi yang terikat pada plat. Selanjutnya plat dicuci dan ditambahkan dengan substrat kromogenik untuk menghasilkan warna yang kemudian diukur dengan menggunakan ELISA reader pada absorbansi 450 nm.
3.10.2 Analisis Polimorfisme Pemeriksaan polimorfisme digunakan untuk menentukan frekuensi genotip dan alotip gen ERα intron 1 rs9340799 dan rs2234693 serta ERβ ekson 8 rs4986938 dengan metoda RFLP (Kitawaki, 2001) dari kelompok kasus dan kontrol. Langkah awal yang untuk melakukan analisis ini diawali dengan isolasi DNA dari darah tepi, PCR-RFLP dan menentukan distribusi genotip dan alotip gen-gen tersebut dalam populasi berdasarkan rumus Hardy–Weinberg dengan program piranti lunak Thesias 3.0.
29
3.10.2.1 Isolasi DNA Genom Menggunakan metoda salting out dengan prinsip kerja sebagai berikut procedural KIT Promega. Prinsip Kerja adalah dengan melisis sel, dipisahkan DNA dari protein dan diendapkan DNA, kemudian dilarutkan kembali. Dihitung jumlah DNA yang diperoleh dan dinilai kemurniannya. Selanjutnya dipresipitasi dengan garam, DNA genom dipisahkan dari protein plasma dan inti. Terakhir DNA genom diisolasi dengan presipitasi alkohol dan dilarutkan kembali endapan yang terbentuk dari larutan dapar yang mengandung suatu bahan pengawet DNA. (Albert, 2002) 3.10.2.2 Amplifikasi Fragmen DNA Gen ERα dan ERβ Genom diamplifikasi menggunakan primer oligonucleotide: Genotyping ERβ 1730 G/A dilakukan menggunakan polymerase chain reaction-restriction fragment-length polymorphism analysis, mengacu pada studi sebelumnya (Wang, 2004). Amplifikasi fragmen DNA gen ERα pada daerah intron 1 dan gen ERβ pada daerah ekson 8 lakukan dengan teknik PCR. Amplifikasi fragmen DNA pada gen tersebut menggunakan sepasang primer spesifik (forward dan reverse) yang telah didesain dengan menggunakan piranti lunak primer 3. Sekuen primer yang untuk amplifikasi gen ERα intron 1 adalah 5’-CAG-GGT-TAT- GTG-GCA-ATG-AC-3’
(forward)
dan 5’-TAC-CTA-TAA-AAA-TGA-CAA-AA-3’(reverse) dengan ukuran produk PCR 255 bp, sedangkan sekuen primer untuk gen ERβ ekson 8 adalah 5’-CGG-CAG-AGG-ACA-GTA-AAAGC-3’ (forward) dan 5’-AGG-CCA-TTG-AGT-GTG-GAA-AC-3’ (reverse) dengan ukuran produk PCR 293 bp . Proses PCR terhadap gen target diawali dengan optimalisasi primer pada masing-masing gen dengan menggunakan mesin PCR Gradien (Thermal Cycler T100TM). Tujuannya
untuk
memperoleh suhu annealing yang tepat untuk mengamplifikasi gen-gen tersebut. Volume setiap pereaksi adalah 25 µL yang terdiri atas 5 µL DNA genom, 12,5 µL master mix (kappa dari Bioline), 0,5 µL primer forward, 0,5 µL primer reverse dan 6,5 µL aqua bidestillata (ddH2O). Amplifikasi sampel DNA sebanyak 35 siklus pada masing-masing gen. Kondisi PCR yang gen ERα pada daerah intron 1 diawali dengan denaturasi awal pada suhu 94oC selama 6 menit, kemudian masuk ke dalam siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94oC selama 60 detik, anneling pada suhu 56oC selama 40 detik dan elongation pada suhu 72oC selama 90 detik. Pada akhir siklus dilakukan pemanjangan waktu elongation pada suhu 72oC selama 5 menit. 30
Tahapan amplifikasi gen ERβ pada daerah ekson 8 dengan PCR hampir sama dengan gen ERα, akan tetapi suhu annealing yang digunakan adalah 54oC.
Deteksi hasil PCR menggunakan Elektroforesis Hasil amplifikasi dengan PCR (amplikon) dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 2% yang telah ditambahkan 1 µg/µl ethidium bromida dalam larutan dapar Tris Acetic EDTA (TAE) 1X. DNA hasil PCR sebanyak 4 µl DNA amplikon, dimasukkan ke dalam sumur elektroforesis. Pita fragmen DNA kemudian dipisahkan dengan elektroforesis pada tegangan 90 Volt selama 40 menit. Marka/penanda yang digunakan berupa DNA ladder 100 bp (Hyper ladder IV) dari Bioline. Pita DNA hasil elektroforesis diperiksa menggunakan lluminator ultraviolet (UV) pada UV long lifeTMFilter Spectroline dan foto dengan kamera digital. Amplikon gen ERα pada daerah intron 1 berukuran 255 bp dan gen ERβ pada daerah ekson 8 berukuran 293 bp. 3.10.2.3 Determinasi Polimorfisme gen ER dengan teknik PCR-RFLP Determinasi polimorfisme gen ERα dan gen ERβ dilakukan dengan teknik PCR-RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism) (Ioannidis , 2004; van Duijnhoven ,2005), menggunakan enzim yang mengenali dan memotong sekuen basa/nukleotida yang mengalami mutasi/untuk membedakan alel. 50 ng DNA genom di mix dengan 20 pmol primer PCR dalam volume total 25 µl mengandung10 mM Tris–HCl (pH 8.3), 50 mM KCl, 1.5 mM MgCl2, 0.2 mM masing-masing deoxyribonucleotide triphosphate dan 1 unit Amplitaq DNA polymerase (Perkin Elmer Applied Biosystems, Foster City, CA, USA). Penentuan enzim yang digunakan untuk
mengenali situs mutasi dengan menggunakan piranti lunak online dari NEB cutter. Polimorfisme gen ERα pada intron 1 rs9340799 telah diketahui dapat dideteksi menggunakan enzim XbaI dan rs2234693 dengan enzin PvuII, sedangkan gen ERβ rs4986938 pada daerah ekson 8 dapat dideteksi dengan enzim AluI (Kitawaki, 2001). 3.10.3 Quantifikasi ekspresi mRNA gen ERα dan ERβ pada endometriosis 3.10.3.1 Isolasi RNA dari jaringan endometriosis Reagen KIT RNA adalah High Pure RNA Isolation Kit version 12 dari Roche. RNA diisolasi dari biopsi jaringan endometriosis sesuai dengan procedural KIT jaringan disimpan dalam RNA later. Prinsip Kerja Isolasi RNA dapat dilakukan dengan meliputi tiga hal, 31
yaitu: Ekstraksi RNA, pemurnian RNA, dan presipitasi RNA. Isolasi RNA dapat dilakukan dengan mudah menggunakan Kit Isolasi RNA. Penggunaan Kit Isolasi RNA memberikan hasil isolat RNA yang lebih murni dari kontaminan dan dari degradasi RNA. Setelah dilakukan isolasi RNA, maka tahapan selanjutnya yakni karakterisasi molekular suatu gen yang dapat dilakukan dengan langkah berikut: Isolasi RNA jaringan, dilakuan pengukuran kosentrasi RNA dan dilakukan sintesis cDNA dengan Reverse Transcriptase PCR (TR-PCR), kemudian dilakukan elektroforesis gel agarose dan Real Time PCR (qPCR). 3.10.3.2. Sintesis Complementary DNA (cDNA) Bahan yang digunakan untuk sintesis cDNA dengan tehnik Reverse Transcriptase (RT) PCR menggunakan : Roche version 6.0. Transcriptor First Strand cDNA Synthesis Kit74 dengan mengikuti protokol. Pengukuran Ekspresi mRNA Gen
ERα dan ER β dengan Metode
Quantitative Real Time-PCR (qRT-PCR) Bahan yang digunakan untuk pengukuran ekspresi relatif mRNA dari gen dengan teknik qPCR adalah TaqMan® Gene Expression assay (Applied Biosystem, Foster City, Amerika Serikat) menggunakan probe untuk gen reseptor estrogen alpha75 (ESR1) Hs00174860_m1 B01 445332, gen reseptor estrogen beta (ESR2) Hs01100353_m1 A01 4453320, gen referensi GAPDH Hs02758991_g1 C01 4453320 Persiapan Mix Reaksi Real Time qPCR Setiap sampel dirunning duplo untuk setiap gen yang diuji. Pertama pembuatan larutan campuran PCR dengan memipet komponen reaksi ke dalam plate/well dengan komposisi: Taqman Fast Advanced Master Mix (2x) 10μL, tambahkan Taqman Gene Expression Assay (20x) 1 μL, lalu tambahkan cDNA template 2 μL, kemudian tambahkan nuclease free water 7 μL. Volume total reaksi 20 μL untuk 1 reaksi, selanjutnya plate tutup dan vortek kemudian spin down untuk mengurangi gelembung udara. Plate masukkan ke dalam alat system RT-PCR. Kondisi profil reaksi: tahap inkubasi pada suhu 50oC selama 2 menit, aktivasi polimerase pada suhu 95oC selama 20 detik, denaturasi pada suhu 950C selama satu detik dan tahap annealing pada suhu 60oC selama 20 detik dan reaksi dijalankan selama 40 siklus. Primer yang digunakan pada penelitian ini untuk ekspresi semuanya dari RT-qPCR Taqman yaitu primer : GAPDH, ERα dan ERβ.
32
3.10.3.3. Analisis Ekspresi mRNA ERα dan Metoda Kurva Standar Membuat worksheet kurva standar qPCR assay dalam file supplementary, instrument piranti lunak menghitung kuantitas transkrip pada setiap sampel yang belum diketahui berdasarkan pada formulasi regresi linear kurva standar (Lampiran 2), dan data ekspor sebagai tab delimited text file. Analisis data selanjutnya dilakukan menggunakan Microsoft Excel . Kuantitas sampel setiap gen merujuk dari MIQE guideline 8. Salah satu sarat dalam penentuan validitas adalah dengan menggunakan kurva standar. Penentuan kurva standar digunakan untuk mendeterminasi kuantitas assay, dengan menggunakan cetakan seperti plasmid yang mengandung bagian gen target, produk PCR, oligonukleotida sintetis atau transkrip RNA untuk mendapatkan kurva standar yang akan mendeterminasi efisiensi PCR assay sepanjang kisaran sensitivitas pada setiap variabel yang diasosiasikan dengan jumlah sampel yang ditranskripsi. Garis linear pada kurva standar merepresentasikan ketepatan kalkulasi dalam menentukan kisaran sensitivitas. Metoda kurva standar yang digunakan dengan metoda regresi linear adalah: Y = mx + b, y = Ct, m = slope, x = log 10 jumlah cetakan dan b = y-intersep. Koefisien determinasi juga dikenal dengan r2. Kemudian efisiensi assay
dihitung
berdasarkan nilai slope pada persamaan garis di atas dan dikalkulasi dengan menggunakan rumus Efisiensi = [10 (-1/slope)] -1 Efisiensi merupakan indikasi utama dalam menentukan seberapa tepat reaksi PCR telah diamplifikasi. Integritas dideskripsikan melalui: r2 menunjukkan keakuratan dilusi dan presisi dalam pipetting. Sedangkan y intersep mengindikasikan sensitivitas assay dan keakuratan cetakan yang telah dikuantifikasi.
Comparative Cycle threshold (Ct) Untuk menentukan rasio ekspresi dari nilai Ct yang telah didapatkan dilakukan perhitungan dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Livak, (2003). Ct adalah jumlah siklus yang menghasilkan fluoresensi di dalam suatu reaksi memotong garis threshold. Menentukan nilai ∆Ct berdasarkan rata- rata Ct dari GOI (gene of interest) dinormalkan terhadap rata-rata Ct gen referensi.76 ∆Ct gen endometriosis ∆Ct gen kontrol
= Ct gen target endo - Ct gen referensi = Ct gen target kontrol - Ct gen referensi 33
Kalibrator ditentukan dari sampel, jaringan, gen atau kelompok kontrol untuk dibandingkan dengan yang lainnya. ∆∆Ct atau nilai kalibrasi untuk setiap sampel = ∆Ct kelompok pasien (endometriosis) ∆Ct kelompok kontrol. Berdasarkan nilai ∆Ct yang telah didapatkan dilakukan perhitungan rasio ekspresi dengan rumus. Rasio Ekspresi = 2-∆∆Ct 3.11 Analisis Statistik Pengujian statistik diawali dengan uji normalitas pada setiap data yang diperoleh. Uji Mann-Whitney dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar E2 dan uji T tidak berpasangan dilakukan untuk menganalisis data ekspresi mRNA ERα dan ERβ antara kelompok kasus dan kontrol pada batas kemaknaan (p)= 0,05. Korelasi antara kadar E2 dengan ekspresi mRNA ERα dan ERβ dilakukan dengan uji Spearman (α=0,05). Distribusi genotip dan frekuensi alel dari polimorfisme diuji dengan melihat keseimbangan Hardy–Weinberg menggunakan program Thesias 3.0 piranti lunak dengan packages genetics dan dilanjutkan dengan SPSS versi 22 pada p=0,05.
34
DAFTAR PUSTAKA Ardito F, Giuliani M, Perrone D, Troiano G, Lo Muzio L. 2017. The crucial role of protein phosphorylation in cell signaling and its use as targeted therapy (Review). J Mol Med. Aug;40(2):271-280. doi: 10.3892/ijmm.3036. Epub 2017 Jun 22. Review. AMJ, Amberkar MV, Meena K, Mor V, Semwal A, Adiga S. 2010. PPAR gamma : a dagger in endometriosis., 814-820. Doi 10.4066/AMJ.2010.261 Bulun SE, Monsavais D, Pavone ME, Dyson M, Xue Q, Attar E, Tokunaga H, Su EJ. 2012. Role of estrogen receptor beta in endometriosis, Semin Reprod Med. Jan;30(1):39-45. doi: 10.1055/s0031-1299596. Epub 2012 Jan 23. Review. Biosystems A. TaqMan ® Gene Expression Assays. 2010. Bulun, Serdar E et al 2010. Estrogen receptor-beta, estrogen receptor-alpha, and progesterone resistance in endometriosis.. “Seminars in reproductive medicinevol. 28,1: 36-43. Fredrick Ojija , Kafula Chisanga , Sayuni P. Nasari , Mikaila B.A. Garko , Nicolaus O. Mbugi, 2017. Potential of genomic approaches in conservation of plant and animal biodiversity in Africa: A review. International Journal of Environment, Agriculture and Biotechnology Govindan, S1,2 Noor Ahmad Shaik,1,3,5 Bhavani Vedicherla,1Vijayalakshmi Kodati,1 Kaipa Prabhakar Rao,3 and Qurratulain Hasan1,2,4 2009. Estrogen Receptor-α gene (T/C) Pvu II Polymorphism in Endometriosis and Uterine Fibroids. Disease Markers , Volume 26, Issue 4, Pages 149-154 Guo S.-W. 2006. Association of Endometriosis Risk and Genetic Polymorphisms Involving Sex Steroid Biosynthesis and Their Receptors: A Meta-Analysis. Gynecol Obstet Invest;61:90–105 Guo R, Zheng N, Ding S, Zheng Y, Feng L. 2014. Associations between estrogen receptor-beta polymorphisms and endometriosis risk: a meta-analysis. Diagn Pathol. Sep 26;9:184. Hu X., Zhou Y., Feng Q., Wang R., Su L., Long J., Wei B. 2012. Association of endometriosis risk and genetic polymorphisms involving biosynthesis of sex steroids and their receptors: An updating meta-analysis. European Journal of Obstetrics Gynecology and Reproductive Biology, 164 (1) , pp. 1-9. Hansen KA, Eyster KM. Genetics and genomics of endometriosis. Clin Obstet Gynecol. 7. 2010;53(2):403-12. Hapangama, D.K. A.M. Kamal, J.N. Bulmer 2015; Estrogen receptor β: the guardian of the endometrium, Human Reproduction Update, Volume 21, Issue 2, 1 March, Pages 174– 193, https://doi.org/10.1093/humupd/dmu053
35
Hsieh YY, Wang YK, Chang CC, Lin CS. 2007. Estrogen receptor alpha-351 XbaI*G and -397 PvuII*C-related genotypes and alleles are associated with higher susceptibilities of endometriosis and leiomyoma. Mol Hum Reprod. Feb;13(2):117-22. Epub 2006 Nov 22. International T, Consortium H. The international HapMap project. 2003. Jolinière JB De, Marc J, Ayoubi B, et al. Endometriosis : a new cellular and molecular genetic approach for understanding the pathogenesis and evolutivity. Front Surg. 2014;1(May):1-12.14. Kitawaki, J. H. Obayashi, H. Ishihara, H. Koshiba, I. Kusuki, N. Kado, K. Tsukamoto, G. Hasegawa, N. Nakamura and H. Honjo. 2001. Oestrogen receptor-alpha gene polymorphism is associated with endometriosis, adenomyosis and leiomyomata, Hum Reprod 16(1)), 51–55. Lam, H.M., C.V. Suresh Babua, Jiang Wangb, Yong Yuana, Ying-Wai Lama,c , ShukMei Hoa,c,d,e,*, and Yuet-Kin Leunga,c,d,* 2012. Phosphorylation of human estrogen receptor-beta at serine 105 inhibits breast cancer cell migration and invasion. Moll Cell Endocrinoll July 6;358 (1):7-35.doi:10.1016/j.mce.2012.02.012 Lam YW, Yuan Y, Isaac J, Babu CV, Meller J, Ho SM. Comprehensive identification and modifiedsite mapping of S-nitrosylated targets in prostate epithelial cells. PLoS. One. 2010; 5:e9075. [PubMed: 20140087] Leung YK, Mak P, Hassan S, Ho SM. 2006. Estrogen receptor (ER)-beta isoforms: a key to understanding ER-beta signaling. Proc Natl Acad Sci U S A. Aug 29;103(35): 13162-7. Acad Sci U S A. 2006 Oct 3;103(40):14977. Luyang Zhao L, Chenglei Gu a,b,1 , Ke Huang a , Wensheng Fan a , Lian Li , Mingxia Ye a , Weidong Han c , Yuanguang Men. 2016. Association between oestrogen receptor alpha (ESR1) gene polymorphisms and endometriosis: a meta-analysis of 24 case-control studies. Reproductive BioMedicine Online 33, 335–349 Li X, Zeng C, Zhou YF, Yang HX, Shang J, Zhu SN, Xue Q. 2017. Predicting Pregnancy after Endometriosis Surgery: Endometriosis Fertility Index for. Chin Med J;130:1932-7. Lee GH, Kim SH, Choi YM, Suh CS, Kim JG, Moon SY. 2007. Estrogen receptor beta gene +1730 G/A polymorphism in women with endometriosis. Fertil Steril. 2007 Oct;88(4):785-8. Livak KJ, Schmittgen TD. Analysis of relative gene expression data using real-time quantitative PCR and the 2^(-ΔΔCT) Methods. 2001;25(4):402-8. Meirong He, Jingcheng Shu, Xing Huang, and Hui Tang. 2015. Association between estrogen receptora gene (ESR1) PvuII (T/C) and XbaI (A/G) polymorphisms and premature ovarian failure risk: evidence from a meta-analysis. J Assist Reprod Genet. Feb; 32(2): 297–304.
36
McKinnon BD, Kocbek V, Nirgianakis K, Bersinger NA, Mueller MD. 2016. Kinase signalling pathways in endometriosis: potential targets for non-hormonal therapeutics. Hum Reprod Update. Apr;22(3):382-403. doi: 10.1093/humupd/dmv060. Epub 2016 Jan 5. Review. Matsuzaki S, Murakami T, Uehara S, Canis M, Sasano H, Okamura, K. 2001. Expression of estrogen receptor alpha and beta in peritoneal and ovarian endometriosis. Fertil Steril. Jun;75(6):1198-205. Matsuzaki S, Uehara S, Murakami T, Fujiwara J, Funato T, Okamura K. Quantitative analysis of estrogen receptor alpha (ER-a) and beta (ER-b) messenger RNA levels in normal endometrium and ovarian endometriotic cysts using a real-time reverse transcription (RT)-PCR assay. Fertil Steril. 2000;74:753–9 Osiński,O. Przemysław Wirstlein, Ewa Wender-Ożegowska, Mateusz Mikołajczyk, Paweł Piotr Jagodziński, Małgorzata Szczepańska. 2018. HSD3B2, HSD17B1, HSD17B2, ESR1, ESR2 and AR expression in infertile women with endometriosis. Ginekol Pol;89(3):125-134 Paskulin D.D, João Sabino Cunha-Filho, Livia Davila Paskulin, Carlos Augusto Bastos Souza, and Patricia Ashton-Prolla, “ESR1 rs9340799 Is Associated with Endometriosis-Related Infertility and In Vitro Fertilization Failure,” Disease Markers, vol. 35, no. 6, Article ID 796290, 7 pages, 2013. https://doi.org/10.1155/2013/796290. Paterni I, Granchi C, Katzenellenbogen JA, Minutolo F. 2014. Estrogen receptors alpha (ERα) and beta (ERβ): subtype-selective ligands and clinical potential. Steroids. Nov;90:13-29. doi: 10.1016/j.steroids.2014.06.012. Epub 2014 Jun 24. Review. Roche. High Pure RNA Isolation Kit. 2011. Roche. Transcriptor first strand cDNA Synthesis Kit. 2010;(04). Renner SP, Strick R, Oppelt P, et al. Evaluation of clinical parameters and estrogen receptor alpha gene polymorphisms for patients with endometriosis. reproduction. 2006;131(1):153-61. Simmen RC, Kelley AS. (2016) Reversal of fortune: estrogen receptor-β in endometriosis. J Mol Endocrinol. Aug;57(2):F23-7. doi: 10.1530/JME-16-0080. Sato H, Nogueira-de-Souza NC, D'Amora P, Silva ID, Girão MJ, Schor E. 2008. Intron 1 and exon 1 alpha estrogen receptor gene polymorphisms in women with endometriosis..Fertil Steril. Dec;90(6):2086-90. doi: 10.1016/j.fertnstert.2007.10.023. Epub. Jan 7. Sundqvist J. Factors and Genetic Association in Endometriosis.; 2011. Wang W., Li Y., Maitituoheti M., Yang R., Wu Z., Wang T., Ma D., Wang S. 2013. Association of an oestrogen receptor gene polymorphism in Chinese Han women with endometriosis and endometriosis-related infertility . Reproductive BioMedicine Online, 26 (1) , pp. 93-98.
37
Xie J., Wang S., He B., Pan Y., Li Y., Zeng Q., Jiang H., Chen J. 2009. Association of estrogen receptor alpha and interleukin-10 gene polymorphisms with endometriosis in a Chinese population. Fertility and Sterility, 92 (1) , pp. 54-60. Yuan, C 1 Yongming Liu,2,* Min Yang3 and D. Joshua Liao1,* 2012. New methods as alternative or corrective measures for the pitfalls and artifacts of reverse transcription and polymerase chain reactions (RT-PCR) in cloning chimeric or antisense-accompanied RNA. RNA Biology 10:6, 957–967; June 2013; © 2013 Landes Bioscience. Zeng C, Zhou YF, Yang HX, Shang J, Zhu SN, Xue Q. 2017. Phosphoproteomic analysis of endometriosis in woman with or without endometriosis Chin Med J (Engl) . Zulli K, Bianco B, Mafra FA, Teles JS, Christofolini DM, Barbosa CP. 2010. Polymorphism of the estrogen receptor β gene is related to infertility and infertility-associated endometriosis. Arq Bras Endocrinol Metabol. Aug;54(6):567-71. Zhou X, Gu Y, Wang DN, Ni S, Yan J. 2013. Eight functional polymorphisms in the estrogen receptor 1 gene and endometrial cancer risk: a meta-analysis. PLoS One. Apr 8;8(4):e60851. doi: 10.1371/journal.pone.0060851. Print 2013. Tokoginecol Pract. 1955 Nov;14(136):470-4. [Micro-curettage and its diagnostic value]. [Article in Spanish]. AGUERO GARCIA DL. PMID: 13291409; Zhao T, Zhang D, Liu Y, et al. Association between ESR1 and ESR2 gene polymorphisms and hyperlipidemia in Chinese Han postmenopausal women. 2010; (November 2009):50-54.
38
39