BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006). Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004). Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logisrasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran.
Semua
keadaan
ini
menyebabkan
lansia memperoleh
pengobatan yang banyak jenisnya (Darmansjah, 1994). Oleh karena itu, pasien usia lanjut memerlukan pemberian obat yang berbeda dari pasien usia muda.
1
1.2 Tujuan a. Mengetahui Pengertian Geriatri b. Mengetahui Farmakokinetika dan Farmakodinamika c. Mengetahui Efek Samping Obat d. Mengetahui Obat-Obat Yang Sering Diresepkan Pada Usia Lanjut Dan Pertimbangan Pemakaian e. Mengetahui Prinsip Pemberian Obat
1.3 Manfaat a. Mengerti Pengertian Geriatri b. Mengerti Farmakokinetika dan Farmakodinamika c. Mengerti Efek Samping Obat d. Mengerti Obat-Obat Yang Sering Diresepkan Pada Usia Lanjut Dan Pertimbangan Pemakaian e. Mengerti Prinsip Pemberian Obat
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Geriatri Istilah geriatri sendiri berasal dari kata gerias dalam bahasa Yunani yang berarti umur tua dan iatros yang berarti dokter; jadi secara harafiah geriatri berarti pengobatan medik atau penyembuhan bagi individu usia lanjut. Namun secara umum istilah ini diartikan sebagai individu usia lanjut. Pasien Geriatri adalah penderita dengan usia 60 tahun keatas, memiliki karakteristik khusus antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan rohani, dan sering disertai masalah psikososial. Geriatric sering juga disebut sebagai lanjut usia. Geriatri didefinisikan sebagai individu berusia di atas 60 tahun dan sering kali perubahan-perubahan yang terjadi pada geriatri dibandingkan dengan keadaannya pada usia produktif dikaitkan dengan terjadinya proses penuaan (WHO, 2013). Penuaan merupakan akumulasi perubahan yang progresif. Penuaan dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi tekanan ekstemal. Selain itu, variabilitas antarindividu dalam respon fisiologis meningkat dengan peningkatan usia. Penuaan bukanlah entitas tunggal tetapi istilah kolektif yang mewakili jumlah efek kumulatif pada tingkatan molekul, selular dan tingkat jaringan. Karakteristik umum dari penuaan adalah menurun hingga hilangnya fungi organ tubuh, misalnya nefron, alveoli atau neuron. Karakteristik selanjutnya adalah terganggunya beberapa proses regulasi yang mengintegrasikan fungsional antara sel-sel dan organ. Akibatnya, ada kegagalan untuk mempertahankan homeostasis di bawah kondisi-kondisi stres fisiologis tersebut(Mangoni and Jackson, 2003). Menurut WHO Pembagian terhadap populasi berdasarkan usia lanjut meliputi tiga tingkatan yaitu :
Lansia (elderly) dengan kisaran umur 60-75 tahun,
Tua (old) dengan kisaran umur 75-90 tahun,
Sangat tua (very old) dengan kisaran umur > dari 90 tahun
3
Karakteristik pasien gariatri
Penurunan kapasitas fungsional yang meliputi : fisik, psikologik, sosial, ekonomi
Multi patologik
Presentasi penyakit tidak spesifik
Cepat memburuk bila tidak segera diobati
Resiko komplikasi penyakit dan terapi
Perlu program rehabilitasi
2.2 Farmakokinetika dan Farmakodinamika Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi obat serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif juga turut berperan dalam pencapaian
hasil pengobatan.
psikososial
juga
Tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
aspek
akan mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi
medikamentosa. (Depkes, 2006) Perubahan Farmakokinetika Oral bioavailability Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan terjadinya aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan bertambahnya usia seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahunan. Maka obat-obat yang absorbsinya di lambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan terpengaruh seperti: ketokonazol, flukonazol, indometasin, tetrasiklin dan siprofloksasin. (Depkes, 2006) Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom P-450. Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obat yang masuk per oral. Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan metabolism awal di hepar (first-pass metabolism di hepar); obat-obat ini 4
lebih sensitive terhadap perubahan bioavailability akibat proses menua. Sebagai contoh, sebuah obat yang akibat aktivitas enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak 95 % pada first-pass metabolism, sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5
%; jika
karena
proses
menua
destruksi
obat
mengalami penurunan (hanya 90 %) maka yang tersisa menjadi 10% dan sejumlah tersebut yang masuk ke sirkulasi. Jadi akibat penurunan aktivitas enzim tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis yang masuk ke sirkulasi meningkat dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik seperti kondisi tersebut di atas disebut sebagai obat dengan
high first-pass effect; contohnya nifedipin dan verapamil.
(Depkes, 2006) Distribusi obat (pengaruh perubahan komposisi tubuh & faal organ akibat penuaan) Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu masih sangat dominan; ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan digantikan dengan massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan. Saat seseorang beranjak dari dewasa ke usia
lebih
tua
maka
jumlah cairan
tubuh
akan
berkurang
akibat
berkurangnya pula massa otot. (Depkes, 2006) Sebaliknya, pada usia lanjut akan terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh. Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar 8-20% (lakilaki) dan 33% pada perempuan; di usia lanjut meningkat menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat di dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik mungkin harus diturunkan sedangkan
interval
waktu
pemberian obat lipofilik mungkin harus
dijarangkan. (Depkes, 2006)
5
Kadar albumin dan a1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak sematamata disebabkan oleh proses menjadi tua namun juga dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita. Tinggi rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang afinitasnya terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen. Kadar naproxen bebas dalam plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya pada albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar obat bebas juga normal; pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat bebas akan sangat meningkat sehingga bahaya efek samping lebih besar. (Depkes, 2006) Metabolic Clearance Faal hepar Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah ke hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar (biotransformasi) terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit, yaitu dengan bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat menjadi lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan melalui ginjal. Reaksi kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu dapat berupa oksidasi, reduksi maupun hidrolisis; obat menjadi kurang aktif atau menjadi tidak aktif sama sekali. Reaksi fase 1 (melalui sistem sitokhrom P- 450, tidak memerlukan energi) biasanya terganggu dengan bertambahnya umur seseorang. Reaksi fase dua berupa konyugasi molekul obat dengan gugus glukuronid, asetil atau sulfat; memerlukan energi dari ATP; metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase 2 ini tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya usia. (Depkes, 2006) Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh beberapa hal seperti: merokok, indeks ADL's (= Activities of Daily Living) Barthel serta berat ringannya penyakit yang diderita pasien geriatri. Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan kecepatan
biotransformasi
obat
berkurang
dengan
kemungkinan terjadinya peningkatan efek toksik obat. (Depkes, 2006)
6
Faal ginjal Fungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur. Kalkulasi fungsi ginjal dengan menggunakan kadar kreatinin plasma tidak tepat sehingga sebaiknya menggunakan rumus Cockroft-Gault, CCT = (140-umur) x BB (kg) (dalam ml/menit) 72 x [kreatinin]plasmadikali 0,85 untuk pasien perempuan. GFR dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin urin 24 jam; dibandingkan dengan kreatinin plasma. Dengan menurunnya GFR pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis obat; sama dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan faal ginjal. (Depkes, 2006) Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada patokannya yang sesuai dengan usia tertentu; namun pada beberapa penelitian dipengaruhi antara lain oleh skor ADL’s Barthel. Pemberian obat pada pasien geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ yang akan mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya akumulasi obat yang pada gilirannya bisa menimbulkan efek toksik. Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi tentang waktu paruh obat. (Depkes, 2006) T 1/2 = 0,693 x volume distribusiclearancecontoh: antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance juga menurun sehingga hasil akhir T 1/2 tidak berubah. Sebaliknya pada obat flurazepam, terdapat sedikit peningkatan volume distribusi dan sedikit penurunan clearance maka hasil akhirnya adalah meningkatnya waktu paruh yang cukup besar. (Depkes, 2006) Proses-proses farmakokinetik obat pada usia lanjut dijelaskan pada uraian di bawah ini : a) Absorbsi Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah oragan absorbsi secara teoritis berpengaruh pada absorbs itu sendiri. Namun pada kenyataannya perubahan yang terkait pada usia ini tidak berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang diabsorbsi. Beberapa pengecualian termasuk pada digoksin dan obat dan substansi lain (misal thiamin, kalsium, besi dan beberapa jenis gula).
7
b) Distribusi Farktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan plasma-protein dan aliran darah organ dan lebih spesifik lagi menuju
jaringan,
semuanya
akan
mengalami
perubahan
dengan
bertambahnya usia, akibatnya konsentrasi obat akan berbeda pada pasien lanjut usia jika dibandingkan dengan pasien yang lebih muda pada pemberian dosis obat yang sama. c) Komposisi Tubuh Pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan total air. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan volume distribusi obat yang larut air sehingga konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Pertambahan usia juga akan meningkatkan massa lemak tubuh. Hal ini akan menyebabkan volume distribusi obat larut lemak meningkat dan konsentrasi obat dalam plasma turun namun terjadi peningkatan durasi obat (missal golongan benzodiazepin) dari durasi normalnya. d) Ikatan Plasma Protein Seiring dengan pertambahan usia, albumin manusia juga akan turun. Obat-obatan dengan sifat asam akan berikatan dengan protein albumin sehingga menyebabkan obat bentuk bebas akan meningkat pada pasien geriatric. Saat obat bentuk bebas berada dalam jumlah yang banyak maka akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Hal ini menyebabkan kadar obat tersebut dapat melampaui konsentrasi toksis minimum (terlebih untuk obat-obatan paten). e) Aliran Darah pada Organ Penurunan aliran darah organ pada lansia akan mengakibatkan penurunan perfusi darah. Pada pasien geriatri penurunan perfusi darah terjadi sampai dengan 45%. Hal ini akan menyebabkan penurunan distribusi obat ke jaringan sehingga efek obat akan menurun. f) Eliminasi Metabolisme hati dan eskresi ginjal adalah mekanisme penting yang terlibat dalam proses eliminasi. Efek dosis obat tunggal akan diperpanjang
8
dan pada keadaan steady state akan meningkat jika kedua mekanisme menurun.
Metabolisme hati Substansi yang larut lemak akan dimetabolisme secara ekstensif di hati, sehingga mengakibatkan adanya penurunan bioavaibilitas sistemik. Oleh karena itu adanya penurunan metabolism akan meningkatkan bioavaibilitas obat. Pada pasien geriatri adanya gangguan first past metabolism akan meningkatkan biovaibilitaas obat.
Eliminasi Ginjal Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomerulus dan fungsi tubuler merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda pada pasien geriatri. Kecepatan filtrasi glomerolus menurun kurang lebih 1 % per tahun dimulai pada usia 40 tahun. perubahan tesebut mengakibatkan beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada lanjut usia. Beberapa kasus menunjukan bahwa konsentrasi obat dalam jaringan akan meningkat sebanyak 50% akibat penurunan fungsi ginjal. Penurunan klirens kreatinin terjadi pada dua pertiga populasi. Penting untuk diketahui bahwa penuruna klirens kreatinin ini tidak dibarengi dengan peningkatan kadar kreatinin yang setara dalam serum karena produksi kreatinin juga menurun seiring berkurangnya massa tubuh dengan pertambahan usia. Akibat yang segera ditimbulkan oleh perubahan ini adalah pemanjangan waktuparuh banyak obat dan kemungkinan akumulasinya dalam kadar toksik jika dosis tidak diturunkan dalam hal ukuran atau frekuensi. Rekomendasi pemberian obat untuk para lansia sering kali mencakup batasan dosis untuk klirens ginjal yang menurun.
Paru berperan penting pada ekskresi obat volatile. Akibat berkurangnya kapasitas pernapasan dan peningkatan insidens penyakit paru aktif pada lansia, anesthesia inhalasi menjadi lebih jarang digunakan dan agen parenteral menjadi lebih sering digunakan pada kelompok usia ini.
9
Perubahan Farmakodinamika Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit di kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang harus ada dalam keadaan bebas pengaruh
efek perubahan
farmakokinetik.
Perubahan
farmakodinamik
dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang. (Depkes, 2006) Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada usia lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:
Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan pada usia lanjut.
Nitrazepam:
perubahan
respons
juga
terjadi
tanpa
perubahan
farmakokinetik yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan pasien dewasa muda,
selain
itu
efek
sedasi yang diperoleh memang lebih kuat
dibandingkan pada usia dewasa muda.
Triazolam:
pemberian
obat
ini
pada
warga
usia
lanjut
dapat
mengakibatkan postural sway-nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda. (Depkes, 2006) Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian
obat
propranolol.
Penurunan
frekuensi
denyut
nadi
setelahpemberian propranolol pada usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25-30 tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor b1; efek pada reseptor b2 yakni penglepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat. (Depkes, 2006)
10
Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pascareseptor intraselular.(Depkes, 2006)
2.3 Efek Samping Obat Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak jenis obat yang diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya efek samping. Secara epidemiologis, 1 dari 10 orang (10%) akan mengalami efek samping setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat mencapai 100% jika jumlah obat yang diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat pada usia lanjut mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obat yang sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain analgetika, antihipertensi,
antiparkinsion,
antipsikotik,
sedatif
dan
obat-obat
gastrointestinal. Sedangkan efek samping yang paling banyak dialami antara lain hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan konstipasi. Tingginya angka kejadian efek samping obat ini nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan peresepan oleh dokter maupun kesalahan pemakaian oleh pasien. a. Kesalahan peresepan Kesalahan peresepan sering kali terjadi akibat dokter kurang memahami adanya perubahan farmakokinetika/farmakodinamika karena usia lanjut. Sebagai contoh adalah simetidin yang acap kali diberikan pada kelompok usia ini, ternyata memberi dampak efek samping yang cukup sering (misalnya halusinasi dan reaksi psikotik), jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat ini juga menghambat metabolisme berbagai obat seperti warfarin, fenitoin dan beta blocker. Sehingga pada pemberian bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan penetapan dosis yang sesuai, akan menimbulkan efek toksik yang kadang fatal karena meningkatnya kadar obat dalam darah secara mendadak.
11
b. Kesalahan pasien Secara konsisten, kelompok usia lanjut banyak mengkonsumsi obat-obat yang dijual bebas/tanpa resep (OTC). Pemakaian obat-obat OTC pada penderita usia lanjut bukannya tidak memberi resiko, mengingat kandungan zat-zat aktif dalam satu obat OTC kadang-kadang belum jelas efek farmakologiknya atau malah bersifat membahayakan. Sebagai contoh adalah beberapa antihistamin yang mempunyai efek sedasi, yang jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan memberi efek samping yang serius. Demikian pula obat-obat dengan kandungan zat yang mempunyai aksi antimuskarinik akan menyebabkan retensi urin (pada penderita laki-laki) atau glaukoma, yang penanganannya akan jauh lebih sulit dibanding penyakitnya semula. c. Ketidak-jelasan informasi pengobatan Pasien-pasien usia lanjut sering pula menjadi korban dari tidak jelasnya informasi pengobatan dan beragamnya obat yang diberikan oleh dokter. Keadaan ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit yang bersifat hilang timbul (sering kambuh). Kesalahan umumnya berupa salah minum obat (karena banyaknya jenis obat yang diresepkan pada suatu saat), atau berupa ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian seperti yang dianjurkan. Kelompok usia ini tidak jarang pula memanfaatkan obatobat yang kadaluwarsa secara tidak sengaja, karena ketidaktahuan ataupun ketidakjelasan informasi. Dengan demikan, pemakaian obat secara bijaksana pada penderitapenderita usia lanjut akan membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Namun demikian, hal-hal yang perlu dicatat dalam segi ketaatan pasien antara lain, Meskipun secara umum populasi usia lanjut kurang dari 15%, tetapi peresepan pada usia ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%-30% dari seluruh peresepan. d. Pasien sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan berapa lama obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik yang
12
optimal. Untuk antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa hilangnya simptom memberi tanda untuk menghentikan pemakaian obat. e. Pada penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau menderita artritis, jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan sendok. f. Untuk pasien usia lanjut dengan katarak atau gangguan visual karena degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah dibaca.
2.4 Obat-Obat Yang Sering Diresepkan Pada Usia Lanjut Dan Pertimbangan Pemakaian 1. OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT Sedativa-hipnotika Mengingat sering diresepkannya obat-obat golongan sedativahipnotika pada pasien usia lanjut, maka efek samping obat golongan ini yang diketahui maupun tidak diketahui oleh pasien relatif lebih sering terjadi. Pasien merasa tidak enak badan setelah bangun tidur (dapat terjadi sepanjang hari), sempoyongan, gelisah, kekakuan dalam bicara dan kebingungan beberapa waktu sesudah minum obat. Sebagai contoh, waktu paruh beberapa obat golongan benzodiazepin dan barbiturat meningkat sampai 1,5 kali. Namun lorazepam dan oksazepam mungkin kurang begitu terpengaruh oleh perubahan ini. Efek samping yang perlu diamati pada penggunaan obat sedativa-hipnotika antara lain adalah ataksia. Diazepam tablet, nitrazepam, flurazepam menyebabkan depresi susunan syaraf meningkat. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus. Anastetik opiod menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat
13
Antidepresan trisiklik amitriptyline, amoxapine, imipramine, lofepramine, iprindole, protriptyline,
dan
trimipramine
menyebabkan dapat
menimbulkan
hipotensi ortostatik. Obat saraf skizoprenia fenotiazin ( mis : Klorpromazin) menyebabkan Hipotensi postural, hipotermia Relaksan otot polos, anti spasmodic Atropin sulfat tablet menyebabkan efek samping yang terjadi kadang-kadang kebingungan (biasanya pada usia lanjut) Analgetika Dengan menurunnya fungsi respirasi karena bertambahnya umur, maka kepekaan terhadap efek respirasi obat-obat golongan opioid (analgetika-narkotik) juga meningkat. Jika tidak sangat terpaksa dan indikasi pemakaian tidak terpenuhi, maka pemberian analgetika-narkotik pada usia lanjutnya hendaknya dihindari Antidepresansia: Obat-obat golongan antidepresan trisiklik yang cukup banyak diresepkan ternyata sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut, yang antara lain berupa mulut kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi postural, kekaburan pandangan, kebingungan, dan aritmia jantung. Jika terpaksa diberikan, maka sebaiknya dimulai dari dosis terendah, misalnya imipramin 10 mg pada malam hari. Selain itu diperlukan pula pemantauan yang terus menerus untuk mencegah kemungkinan efek samping tersebut. Analgesik golongan narkotika Petidin dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia. Analgesik antipretik Aspirin menambah intensitas perdarahan, waspadai penggunaan tramadol tablet pada lansia Analgesik antipiretik antiinflamasi :
Waspadai penggunaan asam mefenamat pada lansia
14
Ibuprofen (lansia memerlukan dosis yang lebih rendah karena metabolisme tubuh mereka tidak lagi bekerja cepat sehingga mereka cenderung mempertahankan obat penghilang rasa sakit lebih lama dalam tubuh)
2. OBAT-OBAT KARDIOVASKULER Antihipertensi Pengobatan hipertensi pada usia lanjut sering menjadi masalah, tidak saja dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis dan lamanya pemberian, tetapi juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus menerus dalam proses terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka panjang. Jika terapi non-obat dirasa masih memungkinkan, pembatasan masukan garam, latihan (exercise), dan penurunan berat badan, serta pencegahan terhadap faktor-faktor risiko hipertensi (misalnya merokok dan hiperkholesterolemia) perlu dianjurkan bagi pasien dengan hipertensi ringan. Namun jika yang dipilih adalah alternatif pengobatan, maka hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal berikut:
penyakit lain yang diderita (associated illness)
obat-obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
biaya obat (medication cost), dan
ketaatan pasien (patient compliance). Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan
pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Antihipertensi
(penghambat
adrenergic)
menyebabkan Sinkope akibat hipotensi postural, insufisiensi koroner. Diuretik
tiazid,
hipovolemia,
furosemid menyebabkan
hiperglikemia,
hiperurikemia.
Hipotensi, Pilihan
hipokalemia, pertama
yang
dianjurkan adalah diuretika dengan dosis yang sekecil mungkin. Efek samping hipokalemia dapat diatasi dengan pemberian suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-sparing seperti triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya hipotensi postural dan dehidrasi
15
hendaknya selalu diamati. Jika diuretika ternyata kurang efektif, pilihan selanjutnya adalah obat-obat antagonis beta-adrenoseptor (=beta bloker). Untuk penderita angina atau aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat tunggal, tetapi jangan diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal kongestif, bronkhospasmus, dan penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan beta-1-selektif yang mempunyai waktu paruh pendek seperti metoprolol 50 mg 1-2x sehari juga cukup efektif bagi pasien yang tidak mempunyai kontraindikasi terhadap pemakaian beta-blocker. Dosis awal dan rumat hendaknya ditetapkan secara hati-hati atas dasar respons pasien secara individual. Vasodilator perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin juga ditoleransi dengan baik pada usia lanjut, meskipun pengamatan yang seksama terhadap kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan. Meskipun beberapa peneliti akhir-akhir ini menganjurkan kalsium antagonis, seperti verapamil dan diltiazem untuk usia lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi mengingat harganya relatif mahal dengan frekuensi pemberian yang lebih sering, maka dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien. Prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Obat-obat antiaritmia Pengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini semakin sering dilakukan mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok ini. Namun demikian obat-obat seperti disopiramida sangat tidak dianjurkan, mengingat efek antikholinergiknya yang antara lain berupa takhikardi, mulut kering, retensi urin, konstipasi, dan kebingungan. Pemberian kuinidin dan prokainamid hendaknya mempertimbangkan dosis dan frekuensi pemberian, karena terjadinya penurunan klirens dan pemanjangan waktu paruh. Glikosida jantung Digoksin merupakan obat yang diberikan pada penderita usia lanjut dengan kegagalan jantung atau aritmia jantung. Intoksikasi digoksin tidak
16
jarang dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, khususnya jika kepadapasien yang bersangkutan juga diberi diuretika. Gejala intoksikasi digoksin sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan penglihatan, dan psikosis hingga gangguan irama jantung yang serius. Meskipun digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan memberi efek inotropik yang menguntungkan, tetapi kemanfaatannya untuk kegagalan jantung kronis tanpa disertai fibrilasi atrial masih diragukan. Oleh sebab itu, mengingat kemungkinan kecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut dan efek samping digoksin sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi lainnya perlu dipetimbangkan lebih dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer sebetulnya cukup efektif sebagian besar penderita. 3. ANTIBIOTIKA Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak berbeda dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu paruh gentasimin, kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain (misalnya ototoksisitas).
Kotrimoksazol dewasa tablet menyebabkan pasien berpotensi tinggi untuk kekurangan folat(lanjut usia).
Streptomisin menyebabkan ototoksisitas.
Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.
4. OBAT-OBAT ANTIINFLAMASI Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada usia lanjut, terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris). Berbagai studi menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti misalnya indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami
17
perpanjangan waktu paruh jika diberikan pada usia lanjut, karena menurunnya kemampuan metabolisme hepatal. Karena meningkatnya kemungkinan terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea, diare, nyeri abdominal dan perdarahan lambung (20% pemakai AINS usia lanjut mengalami efek samping tersebut), maka pemakaian obat-obat golongan ini hendaknya dengan pertimbangan yang seksama. Efek samping dapat dicegah misalnya dengan memberikan antasida secara bersamaan, tetapi perlu diingatbahwa antasida justru dapat mengurangi kemampuan absorpsi AINS. Anti inflamasi non steroid juga perlu diwaspadai penggunaannnya pada lanjut usia adalah Meloxicam, Natrium diklofenak, Piroxicam. 5. LAKSANSIA Pada usia lanjut umumnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal, yang biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi. Pemberian obat-obat laksansia jangka panjang sangat tidak dianjurkan, karena di samping menimbulkan habituasi juga akan memperlemah motilitas usus. Pemberian obat-obat ini hendaknya disertai anjuran agar melakukan diet tinggi serat dan meningkatkan masukan cairan serta jika mungkin dengan latihan fisik (olah raga). 6. ANTIVIRAL AGENT Waspadai penggunaan acyclovir tablet pada lansia 7. OBAT ASAM URAT/ ANTIPIRAI Allupurinol tablet (perhatikan penyesuaian dosis akibat penurunan fugsi hati, ginjal & jantung) 8. ANTI HISTAMINE
Waspadai penggunaan cetrizine pada lansia
Ctm menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat
9. ANTI ULCER AGENT : Cimetidine tablet (Pasien lansia (> 50 tahun) merupakan faktor risiko untuk berkembangnya kondisi bingung (confusional) yang berulang/reversible)
18
10. ANTI KONVULSAN
Fenobarbital
tablet
: (Pasien
usia
lanjut
seringkali
mengalami
excitement, bingung atau depresi)
Waspadai penggunaan fenotain pada lansia
11. ANTI KOAGULAN Warfarin menyebabkan pendarahan 12. ANTI DIARE Loperamida menyebabkan tidak kentut 13. OBAT TB Isoniazid menyebabkan hepatotoksisitas 14. ANTI PARKINSON Triheksifenidil menyebabkan kebingungan mental, halusinasi, konstipasi, retensi urin 15. ANTI DIABETIC
Klorpropamid menyebabkan hipoglikemia
Glibenklamid menyebabkan hipoglikemia
16. KORTIKOSTEROID Prednisone menyebabkan kejenuhan metabolisme oleh hati 17. GLUKORTIKOID Methylprednisolon menyebabkan kejenuhan metabolisme oleh hati 2.5 Prinsip Pemberian Obat Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia lanjut hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Riwayat pemakaian obat
informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan, mengingat sebelum datang ke dokter umumnya penderita sudah melakukan upaya pengobatan sendiri.
informasi
ini
diperlukan
juga
untuk
mengetahui
apakah
keluhan/penyakitnya ada kaitan dengan pemakaian obat (efek samping), serta ada kaitannya dengan pemakaian obat yang memberi interaksi. 19
b. Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat. Sebagai contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin pada kecurigaan diagnosis ke arah dispepsia. c. Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual perlu dilakukan
untuk
menghindari
kemungkinan
intoksikasi,
karena
penanganan terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih sulit. d. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat. Jika terpaksa memberikan lebih dari 1 macam obat, pertimbangkan cara pemberian yang bisa dilakukan pada saat yang bersamaan.
20
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Proses menjadi tua ini disebut senescence (dari kata Yunani yang artinya menjadi tua) dan proses ini ditandai khas oleh penurunan fungsi seluruh sistem tubuh yang berjalan secara bertahap; sistem kardiovascular, pernafasan, kemih dan kelamin, endokrin dan sistem imun. Kepercayaan yang timbul bahwa umur tua berhubungan dengan kelemahan fisik dan intelektual yang mencolok hanyalah merupakan mitos. Kebanyakan orang yang berumur tua dapat mempertahankan kemampuan kognitif dan fisiknya sampai ke tahap yang mengagumkan. Gangguan fungsi kognitif umum terjadi pada usia lanjut, oleh karenanya sangat penting untuk memahami pengaruh dari menjadi tua secara normal terhadap penampilan kognitif. Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan
3.2 Saran Pemberian obat kepada lansia seabaiknya dilakukan dengan prinsip yang tepat seperti: a. Riwayat pemakaian obat b. Obat diberikan atas indikasi yang ketat c. Mulai dengan dosis terkecil d. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien
21
DAFTAR PUSTAKA Darmansjah, Iwan, Prof.1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses tanggal 31 Oktober 2014 Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI: Jakarta Depkes. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri. Depkes RI: Jakarta Anonim. 2004. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit. Depkes RI: Jakarta.
Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedokteran. UI.
22