261342124-laporan-kasus-hipertensi-gestasional-dan-oligohidramnion.pdf

  • Uploaded by: Ega Meilyta
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 261342124-laporan-kasus-hipertensi-gestasional-dan-oligohidramnion.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 10,427
  • Pages: 52
LAPORAN KASUS HIPERTENSI GESTASIONAL DAN OLIGOHIDRAMNION

DISUSUN OLEH Mahfira Ramadhania

: 2010730066

DOKTER PEMBIMBING: dr. Hj. Husna Amelz, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasus yang berjudul “Hipertensi Gestasional dan Oligohidramnion” pada stase ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. Terima kasih kepada dr. Hj. Husna Amelz., Sp.OG selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, November 2014

Penulis

2

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................................2 DAFTAR ISI..............................................................................................................................3 DAFTAR TABEL.......................................................................................................................5 DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................5 DAFTAR BAGAN.....................................................................................................................5 BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................6 1.1

Latar Belakang.............................................................................................................6

1.2

Tujuan..........................................................................................................................6

BAB II LAPORAN KASUS......................................................................................................7 BAB III PEMBAHASAN DAN TINJAUAN PUSTAKA......................................................13 2.1 Hipertensi dalam Kehamilan..........................................................................................13 2.1.1

Definisi...............................................................................................................13

2.1.2

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan............................................................13

2.1.3

Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan................................15

2.1.4

Insidensi.............................................................................................................21

2.1.5

Faktor Risiko......................................................................................................22

2.1.6

Etiologi...............................................................................................................23

2.1.7

Patofisiologi.......................................................................................................28

2.1.8

Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................30

2.1.9

Pencegahan.........................................................................................................32

2.1.10

Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan....................................................36

2.2 Oligohidramnion............................................................................................................47 2.2.1 Definisi Oligohidramnion.......................................................................................47 2.2.2 Epidemiologi Oligohidramnion..............................................................................47 3

2.2.3 Etiologi Oligohidramnion.......................................................................................48 2.2.4 Patofisiologi Oligohidramnion................................................................................49 2.2.5 Manifestasi Klinis Oligohidramnion.......................................................................50 2.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion........................................................50 2.2.7 Komplikasi Oligohidramnion..................................................................................50 BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................52 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................53

4

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan.....................................10 Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis..........................................12 Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis.................................................................13 Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi................................................................58

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal.................................................................23 Gambar 2.2. Atherosis............................................................................................24

DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan..........26

5

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.5 Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.5 Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.4,5,7,17 1.2 Tujuan Tujuan umum dari laporan kasus ini adalah untuk dapat lebih mendalami dan memahami atas kasus–kasus tentang hipertensi dalam kehamilan serta oligohidramnion. Tujuan khususnya adalah sebagai pemenuhan tugas kepaniteraan stase obstetri dan ginekologi. 6

BAB II LAPORAN KASUS I.

II.

Identitas Pasien Nama

: Ny. MR

Umur

: 31 tahun

Alamat

: Menteng, Jakarta Pusat

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

MRS

: 16 Oktober 2014, pukul 10.30

Anamnesis Keluhan utama : Sakit kepala sejak 1 hari sebelum masuk RS Riwayat Penyakit Sekarang : Os G1P0A0 merasa hamil 9 bulan datang dengan keluhan sakit kepala. Keluhan nyeri ulu hati dan gangguan penglihatan disangkal. Ibu juga mengalami tekanan darah tinggi yang di diagnosis sejak usia kehamilan 8 bulan sehingga dirujuk oleh bidan ke rumah sakit. Keluhan tekanan darah tinggi sebelum masa kehamilan disangkal. Mules yang makin berat, keluar darah dan lendir dan keluar air merembes disangkal ibu. Gerakan janin masih dirasakan ibu. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien mengaku sering merasakan keluhan seperti ini sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat tekanan darah tinggi sebelum kehamilan (-), riwayat sesak nafas asma (-), riwayat pengobatan TB selama 6 bulan (-).

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada yang menderita keluhan yang sama di keluarga. Ibu pasien berusia 60 tahun menderita DM dan sedang menjalani pengobatan rutin dengan minum obat diabetes. Riwayat Alergi: Pasien menyangkal riwayat alergi terhadap makanan, minuman, obat-obatan.

7

Riwayat Pengobatan: Pasien sedang mengkonsumsi suplemen zat besi dan asam folat dikonsumsi sejak awal kehamilan satu kali sehari. III.

Riwayat Obstetri  Status Pernikahan Menikah : usia 30 tahun Pernikahan pertama, usia pernikahan 1 tahun.

IV.



Riwayat Menstruasi Menarche : usia 13 tahun. Siklus : 28 hari Lama : 7 hari Menstruasi tidak pernah nyeri, teratur, perdarahan selama menstruasi normal ganti pembalut 1-3 kali per hari. HPHT : 10 Januari 2014



Riwayat Kehamilan Kehamilan pertama, tidak pernah keguguran. Hari Taksiran Persalinan: 17 Oktober 2014 ANC : Ke SpOG 1x, bidan 1 kali setiap bulan



Riwayat Kontrasepsi KB : Belum pernah menggunakan KB

PEMERIKSAAN FISIK Status Praesens Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos mentis Tekanan Darah : 180/120 mmHg Nadi : 84x/menit Respirasi : 20x/menit Suhu : 36,5 °C Kepala : Conjunctiva : anemis (-/-) Sklera : ikterik (-/-), pupil isokor Leher : Tiroid: t.a.k KGB : t.a.k Thoraks : Paru Inspeksi : simetris Palpasi : retraksi (-/-), fremitus (N/N) Perkusi : redup (-/-) Auskultasi : suara vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronkhi (-/-) Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat 8

Palpasi : Perkusi : Auskultasi :

ictus cordis tidak teraba batas jantung relatif dalam batas normal bunyi jantung I dan II regular

Abdomen

: Besar Lembut, linea nigra (+) striae gravidarum (+) ballottement berkurang Hepar : Sulit dinilai Lien : Sulit dinilai

Ekstremitas Superior: Akral hangat, udem (-/-), RCT < 2 detik Inferior: Akral hangat, udem (-/-), RCT < 2 detik, refleks patella (+) V.

STATUS OBSTETRI Pemeriksaan Luar Leopold I - TFU: 32 cm, teraba bulat lunak Leopold II – kiri teraba keras seperti papan, kanan teraba bagian kecil Leopold III – teraba bulat keras Leopold IV - kepala belum masuk PAP HIS(-), DJJ: 152x/menit reguler Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan

VI.

DIAGNOSIS G1P1A0 hamil 40 minggu dengan hipertensi pada kehamilan et causa hipertensi gestasional + oligohidramnion DD Preeklamsi Berat

VII.

RENCANA PENGELOLAAN Diagnostik : Pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, USG, dan CTG Terapeutik : Pengelolaan cairan infus, Protap MgSO4, antihipertensi Edukasi : Edukasi mengenai tanda bahaya eklamsi (impending eklamsi) yaitu nyeri ulu hati, sakit kepala, gangguan penglihatan.

VIII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Rutin Leukosit

:

10 x 103/µL (4,0–10,0 x10³/µL)

Hb

:

11,8 gr/dL

Hematokrit

:

35%

Trombosit

:

269x103/µL

( 11 – 16 gr/dL)

(37 – 50 %) (100– 300 103/µL)

Urinalisis 9

Protein urin

: Negatif

USG

: Janin tunggal hidup aterm. Implantasi plasenta normal di

fundus. Indeks Cairan Amnion: 5cm di 4 kuadran. Kesan: oligohidramnion CTG IX.

: Reaktif, Baseline DJJ 150x/menit, tidak ada deselerasi, his (-).

PENATALAKSANAAN a. Observasi tanda vital b. Rencana SC elektif c. Pasang D/C d. Infus ringer laktat e. Dopamet 3x250 mg f. Nifedipin 1x30 mg g. Ceftriaxone 2 gr h. Ketorolac 2x1 i. Tablet Fe 1x1 j. Pronalges supp

10

X.

FOLLOW UP JAGA PLANNING

TANGGA

FOLLOW UP

L 16 Oktober

S : Hamil anak pertama tidak pernah

2014

keguguran, riwayat hipertensi pro SC a/i HDK+oligohidramnion

 Diagnostik: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, USG dan CTG  Terapeutik: Pasang D/C, infus RL, antibiotik profilaksis,

O : KU: Baik, Kes: CM

pemberian terapi antihipertensi: Dopamet 3x250 mg, Nifedipine

TD: 180/120, N: 84, T: 36,6ºC, R:

1x30 mg, rencana SC  Edukasi: Penjelasan mengenai

20x/menit TFU 32 cm, puka, let memanjang, pres.

risiko dan prosedur sectio

Kepala, penurunan 5/5

caesaria, edukasi mengenai hipertensi pada kehamilan

A: G1P0A0 hamil 40 minggu + hipertensi gestasional + oligohidramnion

17 Oktober

S: nyeri luka operasi

Diagnostik: Obs KU, Obs TTV

O:KU: Baik, Kes: CM

Terapi:

2014



Dopamet 3x250 mg



Nifedipine 1x30 mg



Ceftriaxone

Abd: TFU 2 jari bawah pusat.



Ketorolac

Ext: edema (-/-)



Pronalges sup

TD: 160/100, N: 80, T: 36,3ºC, R: 22x/menit ASI (+/+)

A: Post SC hari ke-1

Edukasi: Anjuran untuk 11

mobilisasi setelah 24 jam post op, mulai dari miring kanan-kiri lalu duduk 18 Oktober

S : keluhan nyeri luka op, mobilisasi baik

Diagnostik: Obs KU, Obs TTV

O:

Terapi:

2014

KU: Baik, Kes: CM



Aff D/C

TD: 140/100, N: 78, T: 36,4ºC, R: 18x



Dopamet 3x250 mg

ASI (+/+), kontraksi uterus baik



Nifedipine 1x30 mg



Ceftriaxone 2 gr



Pronalges sup

Abd: TFU 2 jari bawah pusat. A: nifas

Edukasi: Anjuran untuk mobilisasi, perawatan bekas luka operasi 19 Oktober

S : keluhan (-)

Diagnostik: Obs KU, Obs TTV

O: perdarahan nifas dbn

Terapi:

2014

KU: Baik, Kes: CM



Aff D/C

TD: 130/80, N: 76, T: 36,5ºC, R: 18x



Dopamet 3x250 mg

ASI (+/+)



Nifedipine 1x30 mg

Edukasi: Penyuluhan kesehatan untuk persiapan pulang yaitu mengenai perawatan bekas luka operasi, nutrisi, perawatan bayi, ASI dan perawatan payudara.

Abd: TFU 2 jari bawah pusat. Ext : Edema (-/-) A: nifas

12

13

BAB III PEMBAHASAN DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hipertensi dalam Kehamilan 2.1.1 Definisi Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.11 Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.11 Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.11 Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin.11 2.1.2

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan setiap

bentuk hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah dipilih untuk menekankan hubungan sebab dan akibat antara kehamilan dan hipertensi – preeklamsi dan eklamsi.5 Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancyinduced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The International Society for the 14

Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi : 1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri. -

Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)

-

Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)

-

Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi) 2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)

-

Hipertensi kronis (without proteinuria)

-

Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

-

Hipertensi kronis dengn superimposed

-

Pre-eklamsi (proteinuria) 3.

Unclassified hypertension dan/atau proteinuria

4.

Eklampsia.18 Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP

(2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu : 1. Hipertensi gestasional 2. Preeklamsi 3. Eklamsi 4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis 5. Hipertensi kronis.2,4,5,7,10,16

15

2.1.3 Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi biasanya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara sempurna.12 Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.5,7,10 Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi.5,7,10,16 2.1.3.1 Hipertensi Gestasional Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985), 16

10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan janin.2,5 Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu : -

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

-

Tidak ada proteinuria.

-

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

-

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

-

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia.5

2.1.3.2

Preeklamsi

Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5 Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. 17

Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.5 Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5 Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.5 Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari : Kriteria minimal, yaitu : -

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

-

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi : -

TD 160/110 mmHg.

-

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

-

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

-

Trombosit <100.000/mm3.

-

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

-

peningkatan ALT atau AST.

-

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

-

Nyeri epigastrium persisten.5 Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, 18

semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.5 Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual.5 Abnormalitas

< 100 mmHg

≥ 110 mmHg

Tekanan darah diastolik

Trace - 1+

Persisten ≥ 2+

Proteinuria

Tidak ada

Ada

Sakit kepala

Tidak ada

Ada

Nyeri perut bagian atas

Tidak ada

Ada

Oliguria

Tidak ada

Ada

Kejang (eklamsi)

Tidak ada

Ada

Serum Kreatinin

Normal

Meningkat

Trombositopeni

Tidak ada

Ada

Peningkatan enzim hati

Minimal

Nyata

Hambatan pertumbuhan janin

Tidak ada

Nyata

Oedem paru

Tidak ada

Ada

Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5

2.1.3.3 Eklamsi Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam 19

setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum (Chames dan kawan-kawan, 2002).5 2.1.3.4 Superimposed Preeclampsia Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah : -

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum kehamilan 20 minggu.

- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu. 4,5,7,10,19 2.1.3.5 Hipertensi Kronis Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila : - Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan. - Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada penyakit trofoblastik. - Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.5 Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi. 1,10,19 Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari.5 Hipertensi esensial Obesitas 20

Kelainan arterial : Hipertensi renovaskular Koartasi aorta Gangguan-gangguan endokrin : Diabetes mellitus Sindrom cushing Aldosteronism primer Pheochromocytoma Thyrotoxicosis Glomerulonephritis (akut dan kronis) Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis Ketidakcukupan ginjal kronis Diabetic nephropathy Penyakit jaringan konektif : Lupus erythematosus Systemic sclerosis Periarteritis nodosa Penyakit ginjal polikistik Gagal ginjal akut Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis 5

Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel 2.3.13 Klasifikasi Normal Pre – hipertensi Hipertensi stadium I Hipertensi stadium II

Sistolik (mmHg) < 120 120 – 139 140 – 159 ≥ 160

Diastolik (mmHg) < 80 80 – 89 90 – 99 ≥ 100

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis 13

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan 21

daripada preeklamsi murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut.5 2.1.4 Insidensi Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi dibandingkan kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit hitam memiliki prevalensi yang lebih besar terhadap hipertensi kronis. Diantara wanita yang berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis terdapat pada 22,3% wanita kulit hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2% pada wanita Amerika Meksiko.4,5,7 Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.4,5,7,10 Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai hal yang merugikan, ironisnya merokok telah dihubungkan secara konsisten dengan risiko hipertensi yang menurun selama kehamilan. Plasenta previa juga telah dilaporkan dapat mengurangi risiko gangguan-gangguan hipertensi pada kehamilan.5

2.1.5

Faktor Risiko Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

1.

2.

Faktor risiko maternal :

-

Kehamilan pertama

-

Primipaternity

-

Usia < 18 tahun atau > 35 tahun

-

Riwayat preeklamsi

-

Riwayat preeklamsi dalam keluarga

-

Ras kulit hitam

-

Obesitas (BMI ≥ 30)

-

Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7

Faktor risiko medikal maternal : 22

-

Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri renalis

-

Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi mikrovaskular

3.

-

Penyakit ginjal

-

Systemic Lupus Erythematosus

-

Obesitas

-

Trombofilia

-

Riwayat migraine

-

Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.4,5,7

Faktor risiko plasental atau fetal :

-

Kehamilan multipel

-

Hidrops fetalis

-

Penyakit trofoblastik gestasional

-

Triploidi.3,4,5,7 2.1.6

Etiologi Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi preeklamsi

harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita yang : 1.

Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.

2.

Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.

3.

Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.

4.

Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang selama kehamilan.5 Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat pada tahun 2200 Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999). Dengan demikian tidaklah heran bahwa sejumlah mekanisme telah dikemukakan untuk menerangkan 23

penyebabnya. Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah sebagai berikut : 1.

Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.

2.

Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.

3.

Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal.

4.

Faktor nutrisi.

5.

Pengaruh genetik.5

1. Invasi Trofoblastik Abnormal Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada preeklamsi terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh darah myometrial, menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan (1994) menjelaskan jumlah arteri spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta wanita normal dan wanita dengan preeklamsi. Madazli dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa besarnya defek invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya hipertensi.5,11

24

Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal5

Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980) meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan membentuk atherosis (Gambar 2.2). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom preeklamsi.5

25

Gambar 2.2 Atherosis5

2. Faktor imunologis Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.5 Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.3,5,16

3. Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin memiliki kontribusi 26

terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).6,3

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 5

4. Faktor nutrisi 27

Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh sejumlah pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah membuktikan hubungan antara kekurangan makanan dan insidensi terjadinya preeklamsi. Hal ini telah didahului oleh studi-studi tentang suplementasi dengan berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah preeklamsi. Studi lainnya, seperti studi oleh John dan kawan-kawan (2002), membuktikan bahwa dalam populasi umum dengan diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki efek antioxidant berhubungan dengan tekanan darah yang menurun.3,5,8

5. Faktor genetik Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan. Penelitian yang dilakukan oleh Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun humoral maternal yang melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR dapat menimbulkan hipertensi gestasional.3,5 2.1.7 Patofisiologi Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7 Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan hiperresponsif terhadap hormonhormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum 28

hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7 Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,7 Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,7 Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.4,5,7,19 29

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan Hematologi

1. Volume plasma Pada keadaan hipertensi dalam kehamilan terjadinya penurunan volume plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya penurunan volume plasma sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang melaporkan terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya manifestasi klinik hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara : penderita tidur posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian tambahkan dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10 menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan serum. Sampel darah kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm, dengan mempergunakan spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat dimasukkan ke dalam rumus: Dye injected (ug) Volume Plasma ( ml) = -------------------------------Konsentrasi dye ( ug/ml )

2. Kadar hemoglobin dan hematokrit Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan kadar hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita hamil terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb. Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya hipertensi dalam kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila kadar Hb > 14.5% gr%. Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht dengan indeks 30

gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada korelasi antara hematokrit dan progesivitas penyakit.19

3. Kadar trombosit dan fibronectin Redman menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh menurunnya trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni merupakan tanda awal hipertensi dalam kehamilan. Dikatakan trombositopenia bila kadar trombosit < 150.000/mm3. Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita yang meninggal karena eklampsia.19 Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin III. Pada penderita hipertensi dalam kehamilan didapatkan peningkatan kadar fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada permukaan sel dengan berat molekul 450.000, disintesis oleh endotel dan histiosit. Kadar normalnya dalam darah 250-420 ug/ml, biasanya berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah. Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh darah merupakan dasar patogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu. Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 – 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan tekanan darah atau proteinuria. 19 

Ultrasonografi Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat

penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. 31

Pada wanita penderita hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah, hilang atau terbalik.19 Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak sentral. 19 Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.19 Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda. 19 2.1.9

Pencegahan Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan terhadap

terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi terhadap strategistrategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara klinis.5 1. Manipulasi diet Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsia pada 361 wanita.5 32

Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah dan insidensi preeklamsia.5,8 Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka memperbaiki gangguan keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi eklamsia tidaklah efektif.5 Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan untuk menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat (Calcium-CLA) dalam menurunkan insidensi disfungsi endotel vaskular pada wanita hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi endotel.5,8

2. Aspirin dosis rendah Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil dominansi dari prostasiklin endotel. Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan rendah. Hanya ada satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk menguji efek aspirin terhadap wanita hamil dengan hipertensi kronis. Penelitian double blind placebo controlled trial dilakukan untuk melihat efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita. Dosis rendah aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan post partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.5,7

3. Antioksidan Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh Schiff dan 33

kawan-kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 – 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara klinis.13

4. Suplemen kalsium Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane, diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara. Walaupun demikian, mungkin pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi berat.6

5. N-Acetylcystein Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan obat ini.6 2.1.10 Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan 

Panduan Penatalaksanaan 34

Laporan NHBPEP Working Group, menyediakan 3 panduan penatalaksanaan : 1.

Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak demikian untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi berdasarkan apakah janin dapat hidup tanpa komplikasi neonatal serius baik dalam uterus maupun dalam perawatan rumah sakit.

2.

Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa perfusi yang buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Kesempatan untuk mengatasi preeklamsi dengan diuretik atau dengan menurunkan tekanan darah dapat menimbulkan perubahan patofisiologis.

3.

Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik klinis timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel terhadap kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum diagnosis klinis. Jika ada pertimbangan konservatif daripada persalinan, maka ditujukan untuk memperbaiki kondisi ibu agar janin dapat menjadi matur.9



Penanganan pra-kehamilan Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi

tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.13 Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.13

35

Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.13 Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi : 1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara cepat. 2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya. 3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari. 4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan tengah malam dengan pagi hari. 5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit. 6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan menggunakan ultrasonografi.4,5,7,10 Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan.5 

Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial.

Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer berhubungan dengan terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit 36

endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed adalah umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah > 160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau autoimun.14,15 Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine.3,15 Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.5,7,15 Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.3,15

37

Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat anti hipertensi, dan lamanya terapi.5,715 Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat tekanan darah mencapai  180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.5,7,15 Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi 38

atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan.3,5,15 

Pilihan obat anti hipertensi Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah

menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.4,5 Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5 Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau 39

gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.7,20 Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.5,6,15 Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan : 1. Hidralazine Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.5,15 Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.5,15

40

2. Labetalol Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15 Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.15

3. Obat anti hipertensi lain NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat 41

ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.5,15 Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang.5,15 4. Metil dopa Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. 42

Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.3,5,15 5. Klonidin Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.15 6. Prazosin Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.15

7. Diuretik 43

Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos. Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9,15

8. Penghambat ACE Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13 OBAT

REKOMENDASI

Hydralazin

Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam). Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM

Labetalol

Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal, beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif

Nifedipine

Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu. Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam 44

terapi hipertensi Sodium

Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon

nitroprussi

terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25

d

µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam. Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 15



Efek Samping Obat Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :

1. ACE inhibitor Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15 2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.15 3. Diuretika Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.13 Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu : -

Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi. 45

-

Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah ditemukan pada janin.

- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu daripada plasma ibu. - Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor.15 2.2 Oligohidramnion 2.2.1 Definisi Oligohidramnion Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc. Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm. Karena VAK tergantung pada usia kehamilan maka definisi yang lebih tepat adalah AFI yang kurang dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8 cm saat hamil cukup bulan) 2.2.2 Epidemiologi Oligohidramnion Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit. Olygohydramnion dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada umumnya sering terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita yang masa kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan 42 minggu) juga mengalami olygohydrasmnion, karena jumlah cairan ketuban yang berkurang hampirsetengah dari jumlah normal pada masa kehamilan 42 minggu 2.2.3 Etiologi Oligohidramnion Penyebab oligohidramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas wanita hamil yang mengalami tidak tau pasti apa penyebabnya. Penyebab oligohidramnion yang telah terdeteksi adalah cacat bawaan janin dan bocornya kantung/ membran cairan ketuban yang mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar 7% bayi dari wanita yang mengalami oligohidramnion mengalami cacat bawaan, seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang diproduksi janin berkurang. Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan oligohidramnion adalah tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah pada plasenta. Serangkaian pengobatan yang dilakukan untuk menangani tekanan darah tinggi, yang dikenal dengan namaangiotensin-converting enxyme inhibitor (mis captopril), dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan oligohidramnion parah dan kematian janin. Wanita yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi yang kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan 46

ahli kesehatan sebelum merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah mereka tetap terawasi baik dan pengobatan yang mereka lalui adalah aman selama kehamilan mereka. Fetal :     

Kromosom Kongenital Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim Kehamilan postterm Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)

Maternal :     

Dehidrasi Insufisiensi uteroplasental Preeklamsia Diabetes Hypoxia kronis

Induksi Obat :        

Indomethacin and ACE inhibitors Idiopatik2 Faktor Resiko Oligohidramnion Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi : Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ). Retardasi pertumbuhan intra uterin. Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu ). Sindrom pasca maturitas 2.2.4 Patofisiologi Oligohidramnion Hipertensi dapat menyebabkan insufisiensi plasenta sehingga dapat menyebabkan

hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin berkurang dan terjadi oligohidramnion. Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan dengan adanya sindroma potter dan fenotip pottern, dimana, Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit). 47

Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal. Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi. Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari sindroma Potter. Gejala Sindroma Potter berupa : 

Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung

 

yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang). Tidak terbentuk air kemih Gawat pernafasan14. 2.2.5 Manifestasi Klinis Oligohidramnion

      

Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen. Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak. Sering berakhir dengan partus prematurus. Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas. Persalinan lebih lama dari biasanya. Sewaktu his akan sakit sekali. Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar. 2.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu sedikit

atau terlalu banyak. Umumnya para doketer akan mengukur ketinggian cairan dalam 4 kuadran di dalam rahim dan menjumlahkannya. Metode ini dikenal dengan nama Amniotic Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid (cairan ketuban) yang di ukur kurang dari 5 cm, calon ibu tersebut didiagnosa mengalami oligohidramnion. Jika jumlah cairan tersebut lebih dari 25 cm, ia di diagnosa mengalami polihidramnion

48

2.2.7 Komplikasi Oligohidramnion Kurangnya cairan ketuban tentu aja akan mengganggu kehidupan janin, bahkan dapat mengakibatkan kondisi gawat janin. Seolah-olah janin tumbuh dalam ”kamar sempit” yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Malah pada kasus extrem dimana suah terbentuk amniotic band (benang atau serat amnion) bukan tidak mustahil terjadi kecacatan karena anggota tubuh janin ”terjepit” atau ”terpotong” oleh amniotic band tersebut. Efek lainnya janin berkemungkinan memiliki cacat bawaan pada saluran kemih, pertumbuhannya terhambat, bahkan meninggal sebelum dilahirkan. Sesaat setelah dilahirkan pun, sangat mungkin bayi beresiko tak segera bernafas secara spontan dan teratur. Bahaya lainnya akan terjadi bila ketuban lalu sobek dan airnya merembes sebelum tiba waktu bersalin. Kondisi ini amat beresiko menyebabkan terjadinya infeksi oleh kuman yang berasal daribawah. Pada kehamilan lewat bulan, kekurangan air ketuban juga sering terjadi karena ukuran tubuh janin semakin besar. Masalah-masalah yang dihubungkan dengan terlalu sedikitnya cairan ketuban berbeda-beda tergantung dari usia kehamilan. Oligohidramnion dapat terjadi di masa kehamilan trimester pertama atau pertengahan usia kehamilan cenderung berakibat serius dibandingkan jika terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Terlalu sedikitnya cairan ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekan organ-organ janin dan menyebabkan kecacatan, seperti kerusakan paru-paru, tungkai dan lengan. Oligohidramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga meningkatka resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam kandungan. Jika ologohydramnion terjadi di masa kehamilan trimester terakhir, hal ini mungkin berhubungan dengan pertumbuhan janin yang kurang baik. Disaat-saat akhir kehamialn, oligohidramnion dapat meningkatkan resiko komplikasi persalinan dan kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-ari memutuskan saluran oksigen kepada janin dan menyebabkan kematian janin. Wanita yang mengalami oligohidramnion lebih cenderung harus mengalami operasi caesar disaat persalinannya.

49

BAB III KESIMPULAN

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi, eklamsi, preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis, dan hipertensi kronis. Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh genetik. Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg. Hipertensi dapat menyebabkan insufisiensi plasenta sehingga dapat menyebabkan hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin berkurang dan terjadi oligohidramnion.

50

DAFTAR PUSTAKA 1. Anonymous, Hypertension, dalam Merck Manual of Diagnosis&Therapy, 25 Januari 2004, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.merck.com 2. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic 3. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W, penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326 4. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.emedicine.com 5. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808 6. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology Principles for Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001 : 224252 7. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435 8. Herrera J, Shahabudin A, Ersheng G, Wei Y, Garcia R, Lopez P, Calcium plus Linoleic Acid Therapy for Pregnancy Induced Hypertension, 9 Desember 2005, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.ncbi.nlm.nih.gov 9. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam Kaplan’s Clinical hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2002: 404-433 10. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia, edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27 11. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama, edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70 51

12. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi ke-2, Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting, Jakarta : EGC, 2003 : 68-82 13. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint National Committee, NIH publication, 2004 : 49-52 14. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301 15. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York : McGrawHill, 2003: 338-353 16. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi ke-1, Koesoema H, penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213 17. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115 18. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics & Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234 19. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November 2004, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.greenjournal.org 20. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full

52

More Documents from "Ega Meilyta"