251659359-laporan-pendahuluan-asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan-halusinasi-pendengaran.doc

  • Uploaded by: andi nurdidin suhaedi. am
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 251659359-laporan-pendahuluan-asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan-halusinasi-pendengaran.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 2,301
  • Pages: 12
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Gangguan Orientasi adalah ketidakmampuan pasien menilai dan berespon terhadap realitas, Ketidakmampuan membedakan rangsangan internal dan eksternal, Ketidakmampuan membedakan lamunan dan kenyataan muncul perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin menakutkan. Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan pasien menilai dan berespon pada realitas. Pasien tidak dapat membedakan rangsang internal dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan. Pasien tidak mampu memberi respon secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin menakutkan. Gangguan orientasi realitas disebabkan oleh fungsi otak yang terganggu yaitu fungsi kogntif dan proses pikir; fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik, dan fungsi sosial. Halusinasi merupakan salah satu gangguan persepsi, dimana terjadi pengalaman panca indra tanpa adanya rangsangan sensorik (persepsi indera yang salah). Menurut Cook dan Fotaine (1987), halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecap), sedangkan menurut Wilson (1983), halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada system penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu baik. B. Etiologi Menurut Thomas (1991), halusinasi dapat terjadi pada pasien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, dimensia dan kondisi yang berhubunngan dengan penggunaan alcohol dan substansi lainnya. Halusinasi dapat juga terjadi pada pasien dengan epilepsy, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolic. Halusinasi juga dapat dialami sebagai

efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kilonergik,

anti

inflamasi

dan

anti

biotic,

sedangkan

obat-obatan

halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan,

kurangnya

pendengaran

atau

adanya

permasalahan

pada

pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak factor yang mempengaruhinya seperti factor predisposisi seperti factor biologis, psikologis, sosial budaya, dan faktor pencetusnya antara lain stress lingkungan, biologis, pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping. 1. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi menurut yusep (2010) faktor predisposisi klien pada halusinasi antara lain : a. Faktor perkembangan Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentang terhadap stress. b. Faktor sosiokultural Seseorang yang merasa tidak di terima di lingkungannya sejak bayi akan merasa di singkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. c. Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa, adanya stress yang berlebihan yang di alami seseorang maka di dalam tubuh akan di hasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.

Akibat

stress

teraktivasinya neurotransmitter otak. d. Faktor Psikologis

berkepanjangan

menyebabkan

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalagunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal. e. Factor genetic dan pola asuh Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang di asuh oleh orang tua schizophrenia

cenderung

mengalami

skizofrenia.

Hasil

studi

menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. 2. Faktor Presipitasi Kaji gejala-gejala pencetus neurobiologis meliputi : a.

Kesehatan: nutrisi kurang, kurang tidur, kelelahan, infeksi, obat ssp, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.

b.

Lingkungan: lingkungan yang memasuki, masalah di rumah tangga, sosial, tekanan kerja, kurangnya dukungan sosial, kehilangan kebebasan hidup.

c.

Sikap/ prilaku merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa merasa gagal, kehilangan rendah diri, merasa malang, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan

C.

Psikopatologi Psikopatologi dari halusinasi yang belum diketahui. Banyak teori yang di ajukan yang menekankan pentingnya factor-faktor psikologik, fisiologik, dan lain-lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi keamanan di otak normal dibombardir oleh aliran stimulus yang berasal dari tubuh atau dari luar tubuh. Jika masukan terganggu atau tidak ada sama sekali saat bertemu dalam keadaan normal atau patologis, materi berada dalam prasadar dapat unconsicious atau dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimilai dengan keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena kepribadian rusak pada realitas tingkat kekuatan keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksternal.

D.

Jenis – Jenis halusinasi Ada beberapa jenis halusinasi, Stuart dan Larara (1908) membagi halusinasi menjadi 7 jenis yaitu : 1. Halusinasi Pendengaran (auditory) Karakteristinya meliputi mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang pasien bahkan sampai ke percakapan

lengkap antara 2 orang atau lebih tentang orang yang

mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana pasien mendengar perkataan bahwa pasien disuruh melakukan sesuatu yang kadang-kadang dapat membahayakan. 2. Halusinasi Penglihatan (visual) Karakteristiknya meliputi stimulus visual dalam bentuk kuatan cahaya, gambar geometrik, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster. 3. Halusinasi Penghidu (olfactory) Karakteristiknya meliputi membaui bau tertentu seperti bau darah, kemenyan atau faeces yang umumnya tidak menyenangkan. 4. Halusinasi Pengecapan (gustatory) Merasa mengecap, seperti rasa darah, urine, dan faeces 5. Halusinasi Perabaan (tactile) Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan berupa stimulus yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang. 6. Halusinasi Cenesthehe Dimana pasien merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. 7. Halusinasi Kinestetic Merasakan pergerakan sementara, berdiri tanpa bergerak E.

Fase-Fase Halusinasi Halusinasi berkembang menjadi 4 fase (Habes, dkk, 1902): 1.

Fase pertama (comforting)

Pada fase ini pasien mengalami kecemasan, stres, perasaan yang terpisah, kesepian pasien mungkin melamun atau memfokuskan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stres. Cara ini menolong untuk sementara. 2.

Fase kedua (condeming) Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal. Pasien berada pada tingkat “ Listening” pada halusinasi. Pemikian internal menjadi menonjol. Gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas. Pasien takut apabila orang lain mendengar dan pasien tidak mampu mengontrolnya. Pasien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.

3.

Fase Ketiga (controlling) Halusinasi menonjol, menguasai dan mengontrol pasien menjadi terbiasa dan tidak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman yang sementara.

4.

Fase Keempat (conquering) Pasien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi pasien tidak dapat berhubungan

dengan

orang

lain

karena

terlalu

sibuk

dengan

halusinasinya. Pasien mungkin berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu yang singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi. F.

Rentang Respon Neurobiologis Menurut Stuart & Sundeen (1998; 302) Halusinasi merupakan salah satu respon

maladaptive

individu

yang

berada

dalam

rentang

respon

neurobiologist. Rentang respon neurobiologist dari keadaan respon persepsi adaptif hingga persepsi maladaptive, dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Respon Adaptif Pikiran Logis

Respon Maladaptif Pikiran kadang

Kelainan pikiran/

menyimpang

delusi

Persepsi akurat

Ilusi

Halusinasi

Emosi konsisten

Reaksi emosional

Ketidakmampuan

dengan pengalaman

berlebihan atau

untuk mengalami

kurang

emosi

Perilaku ganjil

Ketidakberaturan

Perilaku sesuai

atau tak lazim Hubungan social

Menarik diri

Isolasi social

Seorang individu yang memiliki suatu persepsi yang akurat, memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui penginderaan, sedangkan seseorang yang mengalami gangguan persepsi sensori memiliki persepsi yang salah terhadap stimulus penginderaan, walaupun stimulus tersebut tidak ada. G.

Tanda dan Gejala 

Bicara sendiri



Senyum sendiri



Ketawa sendiri



Menggerakkan bibir tanpa suara



Pergerakan mata yang cepat



Respon verbal yang cepat



Menarik diri dari orang lain



Berusaha untuk menghindari orang lain



Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata



Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah



Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.



Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori



Kesulitan berhubungan dengan orang lain.



Ekspresi muka tegang.



Mudah tersinggung, jengkel, dan marah



Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat



Tampak tremor dan berkeringat



Perilaku panic



Agitasi dan kataton



Curiga dan bermusuhan



Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan



Ketakutan



Tidak dapat mengurus diri



Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

H.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Halusinasi 1.

Pengkajian Untuk dapat menyaring data yang di perlukan umumnya, di kembangkan pormulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian. Isi pengkajian meliputi: a. Identitas klien b. Keluhan utama atau alas an masuk c. Factor predisposisi d. Aspek fisik dan biologis e. Aspek psikososial f. Status mental g. Kebutuhan persiapan pulang h. Mekanisme koping i. Masalah psikososial dan lingkungan j. Pengetahuan k. Aspek medic Kemudian data yang di peroleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut: a. Data objektif ialah data yang di temukan secara nyata. b. Data subjektif ialah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga Format/data fokus pengkajian pada klien dengan gangguan persepsi sensori :

halusinasi (keliat & akemat,2009)

Persepsi: Halusinasi

:

(pendengaran,

penglihatan,

perabaan,

pengecapan,

dan

penciuman) Jelaskan : 1. Jenis halusinasi 2. Isi halusinasi 3. Waktu halusinasi 4. Frekuensi halusinasi 5. Situasi halusinasi 6. Respon klien 7. Masalah keperawatan klien : gangguan persepsi sensori: halusinasi  Masalah Keperawatan Masalah yang lazim muncul pada pasien dengan halusinasi : a. Risiko perilaku kekerasan (mencedarai diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal) b. Perubahan sensori persepsi : halusinasi c. Isolasi sosial d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

 Pohon Masalah Risiko Prilaku Kekerasan (mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal)

Akibat Core problem

Perubahan sensori persepsi : Halusinasi

Penyebab 2.

3.

Isolasi sosial

Diagnosa Keperawatan a. Perubahan sensori persepsi: halusinasi b. Isolasi sosial c. Risiko Prilaku Kekerasan (mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal) Tindakan Keperawatan Tindakan Keperawatan untuk Pasien a. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi: 1) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya

2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya 3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal b. Tindakan Keperawatan 1) Membantu pasien mengenali halusinasi. Untuk membantu pasien mengenali halusinasi Saudara dapat melakukannya dengan cara berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul 2) Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi Saudara dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara tersebut meliputi: a) Menghardik halusinasi Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan halusinasinya. Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi: 

Menjelaskan cara menghardik halusinasi



Memperagakan cara menghardik



Meminta pasien memperagakan ulang



Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien

b) Bercakap-cakap dengan orang lain Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi; fokus perhatian pasien akan beralih

dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain. c) Melakukan aktivitas yang terjadwal Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami halusinasi bisa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. Tahapan intervensinya sebagai berikut:  Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi.  Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien  Melatih pasien melakukan aktivitas  Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, 7 hari dalam seminggu.  Memantau

pelaksanaan

jadwal

kegiatan;

memberikan

penguatan terhadap perilaku pasien yang positif. d) Menggunakan obat secara teratur Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat:



Jelaskan guna obat



Jelaskan akibat bila putus obat



Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat



Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)

4.

Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan berfokus pada perubahan perilaku klien setelah diberikan tindakan perawatan. Keluarga juga perlu dievaluasi karena merupakan sistem pendukung yang penting. a. Apakah klien dapat mengenal halusinasinya yaitu isi halusinasi, situasi, waktu dan frekuensi munculnya halusinasi. b. Apakah klien dapat mengungkapkan perasaannya ketika halusinasi muncul. c. Apakah klien dapat mengontrol halusinasinya dengan menggunakan empat cara baru yaitu menghardik, menemui orang lain dan bercakapcakap, melaksanakan aktivitas yang terjadwal dan patuh minum obat. d. Apakah klien dapat mengungkapkan perasaannya mempraktikan empat cara mengontrol halusinasi. e. Apakah klien dapat memberdayakan sistem pendukungnya atau keluarganya untuk mengontrol halusinasinya. f. Apakah klien dapat mematuhi minum obat. Saat melakukan pendekatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus-menerus, membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana teraupetik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan. Dalam melaksanakan strategi komunikasi teraupetik pada klien khususnya dengan halusinasi pasien sangat membutukan kehadiran keluarga sebagai sistem pendukung yang mengerti

keadaan

dan

permasalahan

dirinya.

Disamping

itu

perawat/petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerja sama dalam memberikan perawatan kepada pasien (Purwaningsih, dkk 2009).

DAFTAR PUSTAKA Carpenito , Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan . Jakarta : EGC Hasim.2012.

Gangguan

Orientasi

Realitas.

(Dalam

:

http://hasimupdate.blogspot.com/2012/12/gangguan-orientasirealitas.html) diakses tanggal 15 Oktober 2014 (09.45 wita) Keliat, Anna Budi. (2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC. Maramis, W. F. (2004). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press. Stuart, Gail Wiscarz, Sandra J Sundeen. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC. Yosep, Iyus. (2009). Keperwatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.

More Documents from "andi nurdidin suhaedi. am"