HAK-HAK PEKERJA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN
Oleh : Gina 2005 1. Permasalahan. 1.1. Latar Belakang Masalah Jumlah pekerja perempuan dari tahun ke tahun meningkat cukup tajam. Tahun 2004 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pekerja perempuan berjumlah 33.141.000 orang dari total sekitar 93.722.000 pekerja Indonesia. Mereka, kaum perempuan, bekerja pada berbagai macam jenis pekerjaan, baik di sector formal maupun informal. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tampak jelas penyebaran pekerja perempuan berdasarkan usianya. Sejak usia 15 tahun pekerja perempuan mulai menyerbu lapangan kerja. Dengan berpatokan pada usia tersebut maka bisa diduga pendidikan mereka rata-rata SD/SMP atau SMA. Yang menjadi persoalan dan tanda Tanya besar, berapa banyak yang tahu akan hak-hak dasarnya sebagai pekerja, seperti perlindungan akan kesetaraan upah antara laki-laki dengan perempuan, hak untuk mendapat cuti melahirkan/kegugran kandungan dan hak-hak dasar lainnya? Seberapa banyak juga dari mereka yang tahu bahwa telah ada UU dan peraturan-peraturan lainnya yang melindungi hak-hak mereka? Akibat kurangnya informasi dan pengetahuan akan hal tersebut ditambah lagi dengan belum seriusnya penegakan hukum, maka timbul berbagai persoalan yang jelas-jelas merugikan pekerja perempuan seperti; masih sedikitnya perempuan pekerja menduduki posisi yang strategis, rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah yang murah, jam kerja yang panjang, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan
1
promosi, rentan terhadap pelecehan seksual, tidak mendapat atau dipersulit mendapatkan hak-hak reproduksi, cuti haid dan melahirkan, mengalami diskriminasi upah, tunjangan keluarga dan kesehatan. Undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja. Pengusaha atau siapa pun yang melanggar hak-hak dasar pekerja dapat dijatuhkan sanksi mulai dari sanksi ringan seperti teguran, peringatan, pencabutan usaha sampai pada tingkat pelanggaran yang dapat digolongkan sebagai kejahatan sehingga dapat dikenakan sanksi kurungan atau pidana penjara. 1.2. Rumusan Masalah. Adapun rumusan masalah dari karya tulis ini adalah : 1. Dapatkah PHK diberlakukan untuk pekerja perempuan? 2. Perlindungan apakah yang diberikan pada pekerja perempuan yang bekerja di malam hari? 3. Sanksi-sanksi apa saja yang akan diberikan bagi pelanggar hak-hak pekerja ? 4. Sanksi-sanksi apa saja yang akan diberikan bagi pelanggar hak pekerja perempuan? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah : 1. Untuk mengetahui apakah PHK dapat diberlakukan bagi pekerja perempuan. 2. Untuk pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perburuhan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 1.4 Metode Penulisan
2
Penulis menggunakan Metode Penulisan Kepustakaan “Library Research” dan “Net Browsing” dalam menyelesaikan karya tulis ini, dimana penulis mengumpulkan beberapa literatur yang berkaitan dengan pembahasan dalam tulisan ini yang kemudian dikutip untuk menyelesaikan karya tulis ini serta penelusuran penulis di website-website terkait.
3
BAB II PEMBAHASAN Laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan, perbedaannya hanya terletak pada jenis kelamin dan reproduksi. Kesetaraan gender adalah kesetaraan peran sehingga dalam setiap aktivitas tugas dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sama. Dalam konteks kenegaraan baik perempuan maupun laki-laki adalah subyek dan obyek pembangunan sehingga mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama. Marjinalisasi peran perempuan dan memposisikan perempuan sebagai subordinat adalah tidak terlepas dari sejarah budaya bangsa. Dengan semakin meningkatnya perkembangan industrialisasi dan teknologi semakin canggih membawa perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki karena dengan teknlogi dan permesinan yang serba otomatis dan praktis, tidak ada lagi hambatan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan di berbagai bidang. Sebenarnya, UU Tenaga Kerja No.13 Tahun 2003, selanjutnya disingkat UUKK, dan beberapa peraturan pelaksanaannya sudah mengatur hakhak/perlindungan kepada pekerja perempuan, walaupun harus diakui regulasi tersebut belum sempurna. Bahkan, jauh sebelum itu pada tahun 1984 Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi Perserikatan BangsaBangsa, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) atau yang secara resmi di Indonesia disebut sebagai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam UUKK hak-hak pekerja Indonesia termasuk pekerja perempuan mendapatkan kepastian tentang ketentuan normatif/minimal yang wajib diberikan oleh Pengusaha/Majikan kepada pekerja/buruh. Sedangkan untuk hak-hak lain yang disebut dengan “kepentingan” seperti tunjangan-tunjangan, 4
bonus, insentif dll di luar hak-hak normatif Undang-Undang ini mengamanatkan kepada pengusaha dan pekerja untuk bernegosiasi mencapai kesepakatan dan hal tersebut diminta dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Apa yang tertuang dalam PKB dan PP sifatnya mengikat, artinya salah satu pihak tidak boleh melanggar atau mengabaikan kesepakatan. Lebih lanjut, diwajibkan agar setiap terjadi perubahan atau salah satu pihak menginginkan adanya perubahan dalam kesepakatan harus ditempuh melalui perundingan dan prinsipnya nilai-nilai dalam kesepakatan tersebut tidak boleh bertentangan atau di bawah ketentuan UU. Kalau ada sesuatu yang sifat dan nilainya lebih baik dari ketentuan UU maka kesepakatan itulah yang dipakai. Lalu dalam konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tersebut di atas, secara khusus memberikan perlindungan bagi hak-hak pekerja perempuan. Salah satu implementasinya adalah untuk jenis pekerjaan yang sama, pengusaha tidak boleh membeda-bedakan kompensasi yang diberikan kepada setiap pekerja baik laki-laki maupun perempuan.
2.1 Larangan PHK Terhadap Pekerja Perempuan Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja No . Permen 03/Men/1989 mengatur larangan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan berikut: •
pekerja perempuan menikah
•
pekerja perempuan sedang hamil
•
pekerja perempuan melahirkan Larangan tersebut merupakan bentuk perlindungan pekerja wanita
sesuai kodrat, harkat dan martabatnya dan merupakan konsekuensi logis dengan diratifikasinya konvensi ILO No .100 Nomor 111 Tahun 1951 tentang diskriminasi.
5
Dalam peraturan tersebut pengusaha diwajibkan merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja wanita tanpa mengurangi hakhaknya bagi perusahaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan mempekerjakan wanita hamil. Sebelum dikeluarkannya peraturan menteri tersebut bentuk diskriminasi terhadap pekerja perempuan merambah hampir di semua sektor, hak-hak mereka sebagai pekerja terabaikan, pekerja perempuan masih dianggap warga kelas 2 karena budaya patriarki dalam kehidupan budaya bangsa Indonesia sangat kental. Bentuk diskriminasi terhadap pekerja perempuan bukan hanya dari aspek peran saja yaitu yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab tetapi juga apresiasi terhadap hasil kerja yang diwujudkan dalam bentuk remunerasi. Jarang sekali pekerja perempuan ditempatkan pada posisi sebagai Decision Maker walaupun mereka mampu atau bahkan lebih baik dari pada laki-laki. Hal ini berpengaruh pada sistem pengupahan berupa komponen struktur dan skala upah. Bentuk diskriminasi lain menyangkut kodratnya sebagai perempuan. Kodrat perempuan dan laki-laki adalah makhluk ciptaan Tuhan dan sifatnya mutlak. Kodrat adalah suatu keadaan dan wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Diskriminasi atas dasar kodrat adalah suatu keadaan dan wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Diskriminasi atas dasar kodrat adalah sesuatu yang mustahil. Sebagai contoh, perusahaan memutuskan hubungan kerja kepada pekerja perempuan hanya karena perempuan itu menikah lalu hamil dan melahirkan dan dituangkan dalam kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan.
6
2.2 Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja perempuan tidak hanya berupa pelarangan pemutusan hubungan kerja terhadap perempuan pekerja yang menikah, hamil dan melahirkan tetapi menyangkut perlindungan terhadap keamanan apabila perempuan bekerja pada malam hari yaitu antara pukul 23.00 s/d 07.00 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No . Kep. 224/Men/2003
mengatur
kewajiban
pengusaha
yang
mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00. Kepmen tersebut intinya adalah menyangkut perlindungan keamanan fisik dan psikis pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari agar terhindar dari perampokan, pemerasan, maupun tindakan asusila berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual. Tanggung jawab yang berkaitan dengan perlindungan ini dibebankan kepada pengusaha. Konkritnya pengusaha diwajibkan: a) Menyediakan angkutan antar jemput untuk untuk pekerja perempuan yang bekerja dan pulang pukul 23.00 s/d 05.00 b) Pengusaha juga diwajibkan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja untuk memastikan bahwa pekerja perempuan aman dari kemungkinan perbuatan asusila di tempat kerja. c) Fasilitas tempat kerja harus didukung oleh kamar mandi WC dan penerangan yang layak. d) Untuk menjaga kondisi kesehatan agar pekerja perempuan harus dalam kondisi prima, pengusaha diwajibkan memberikan makanan dan minuman yang bergizi sekurang-kurangnya 1.400 kalori. Dengan
dikeluarkannya
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
Per
03/men/1989 tentang larangan PHK bagi pekerja wanita karena menikah, hamil,
atau
melahirkan
Kep.22/Men/2003
tentang
dan
Keputusan
kewajiban
Menteri
pengusaha
Tenaga
yang
Kerja
No
mempekerjakan 7
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 sebagai indikasi bahwa pemerintah serius memberikan perlindungan terhadap pekerja khusus pekerja perempuan walaupun kenyataan yang sebenarnya masih terjadi ketimpangan dalam implementasinya di lapangan. Cuti Haid Cuti haid bagi perempuan adalah sesuatu yang tetap menjadi pro dan kontra. UUKK mengatur tentang cuti haid bagi perempuan. Pasal 81 ayat 1 UUKK tersebut menyatakan “pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.” Bagi sebagian perempuan yang tidak setuju dengan dimasukkannya pasal 81 tentang cuti haid melihat bahwa pengaturan tersebut merupakan perlakuan diskriminatif
karena
haid
adalah
kodrat. Alasannya,
dengan
semakin
canggihnya teknologi dan semakin tingginya kesadaran perempuan akan kesehatan maka masalah haid bukan lagi menjadi faktor penghambat untuk beraktivitas. Masalah haid adalah berkaitan dengan reproduksi dan reproduksi adalah masalah kodrat. Sedangkan bagi sebagian perempuan yang setuju dengan pasal 81 UUKK tersebut menganggap bahwa kewajiban cuti haid bagi pekerja perempuan adalah masalah hak, dan kalau hak boleh diambil dan boleh tidak diambil. Implementasi dari pasal 81 ayat 1 di lapangan memang berjalan seiring dengan bergulirnya pendapat pro dan kontra tersebut, walaupun cuti haid adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan tetapi kenyataannya, banyak sekali pekerja perempuan di perusahaan tertentu tidak menggunakan haknya atau mengabaikan
ketentuan
tersebut
artinya
pekerja
perempuan
tetap
melaksanakan tugas dan kewajibannya walaupun dalam keadaan haid. Di beberapa perusahaan padat karya yang mempekerjakan mayoritas pekerja
perempuan
ketentuan
ini
tetap
berlaku.
Bahkan
mekanisme
8
pengambilan cuti haid disepakati dan dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturaan perusahaan. A. Cuti Hamil / Cuti Keguguran Kebijakan pemerintah untuk memberikan cuti hamil kepada perempuan adalah sesuatu yang wajib karena keterkaitan kodrat sebagai perempuan. Ketentuan UUKK pada psal 82 mengatakan pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh isirahat 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Ayat
2
mengatakan
pekerja/buruh
perempuan
yang
mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan. Mekanisme pengambilan cuti hamil bisa disepakati antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Mekanisme pemgambilan cuti hamil yang dimaksud tidak mesti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan bisa diatur apakah 1 minggu atau 2 minggu sebelum melahirkan baru sisanya diambil setelah melahirkan. Yang penting total istirahat selama periode melahirkan adalah 3 bulan. Apabila cuti tahunan jatuh temponya tepat pada saat mengambil cuti hamil maka cuti tahunannya tetap berlaku. Pekerja perempuan juga selain diberikan cuti hamil juga diberikan kesempatan menyusui anaknya selama melakukan pekerjaan . Pasal 83 mengatakan “pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberikan kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.” Walaupun UU memperbolehkan untuk melakukan hal itu tetapi kenyataannya pekerja perempuan tidak melakukannya bukan karena dilarang oleh pengusaha tetapi kemauan pekerja sendiri dengan alasan menghambat
9
pekerjaan. Selama pekerja perempuan melaksanakan cuti melahirkan selama 3 bulan maka pekerja tersebut tetap berhak mendapatkan upah penuh.
2.3 Sanksi-Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Pekerja Hak-hak pekerja pada umumnya dan pekerja perempuan khususnya sudah diatur secara lebih rinci baik dalam UUKK maupun dalam peraturan pelaksanaannya.
Pertanyaannya,
bagaimana
kalau
pengusaha
lalai
menjalankan kewajibannya bahkan melakukan kesalahan/kejahatan terhadap pekerja perempuan? Dalam hukum ketenagakerjaan ada banyak pasal yang mencantumkan sanksi/hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pengusaha atau siapapun yang melakukan pelanggaran, tergantung jenis-jenis pelanggarannya. 2.3.1 Bentuk-Bentuk Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak Pekerja Sanksi administratif berupa teguran, peringatan dan bahkan pencabutan izin usaha dapat dijatuhkan kepada perusahaan/pengusaha jika jika melakukan pelanggaran sebagai berikut : a.) Melakukan diskriminasi kesempatan kerja kepada pekerja; b.) Perusahaan penempatan tenaga kerja yang memungut biaya penempatan kepada pekerja; c.) Perusahaan yang tidak membentuk lembaga kerja biparti padahal sudah mmpekerjakan lebih dari 50 orang pekerja; d.) Pengusaha tidak mencetak atau memperbanyak naskah Perjanjian Kerja Bersama (PKB); e.) Pengusaha yang tidak memberikan bantuan paling lama enam bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya. Kewajiban pengusaha tersebut diatur dengan prosentase sebagai berikut : untuk satu orang tanggungan 25 % dari upah, dua orang 10
tanggungan 35 % dari upah, tiga orang tanggungan 45 % dari upah, empat orang atau lebih tanggungan 50 % dari upah. (Pasal 190 UUKK) 2.3.2 Batalnya Perjanjian Kerja/Berubahnya PKWT Menjadi PKWTT Sanksi lain yang dapat dijatuhkan adalah batalnya perjanjian kerja atau berubahnya perjanjian kerja dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dalam bahasa sederhana, pekerja berubah status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Inilah yang disebut sebagai sanksi perdata. Sanksi perdata dalam perselisihan hubungan industial dapat dijatuhkan kepada pengusaha dan pekerja. Bentuk sanksinya adalah berupa : 1.) Batalnya perjanjian kerja bila perjanjian kerja bukan karena kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak; 2.) Batalnya perjanjian kerja apabila pekerjaan yang diperjanjikan tersebut bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum; 3.) Batalnya PHK bila sebelumnya tidak ada penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial untuk jenis PHK mempersyaratkan adanya penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial; 4.) Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima borongan pekerjaan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila pekerjaan yang diborongkan tidak memenuhi syarat (pasal 65 ayat 8 dan 9 UUKK); 5.) Status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila PPJP itu digunakan oleh pemberi pekerjaan yang diborongkan tidak memenuhi syarat (pasal 66 ayat 3 dan 4 UUKK);
11
6.) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang melakukan mogok dianggap mangkir dan bila sudah dipanggil secara patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang maka dianggap mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja; 7.) Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum atau berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia sehingga jatuh korban maka dianggap sebagai melakukan kesalahan berat. Pekerja bersangkutan tidak berhak mendapat uang pesangon. 2.3.3 Kurungan/Penjara Pengusaha yang melakukan pelanggaran berat dapat dijatuhkan sanksi kurungan/penjara dan/atau denda. Berikut ini sebagian dari bentuk-bentuk sanksi pidananya yaitu : 1.) Bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja program pensiun dan tidak memberikan kompensasi PHK sesuai ketentuan pasal 156 UUKK dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 500.000.000,- . (Pasal 184 UUKK); 2.) Bagi pengusaha penempatan tenaga kerja di perusahaan swasta yang memungut biaya kepada pekerja diancam pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,- dan paling tinggi Rp 50.000.000,3.) Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum digolongkan sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,(Pasal 185 ayat 6 UUKK)
12
4.) Bagi pengusaha akan dijatuhi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,- bagi pengusaha yang tidak membayar kepada pekerja yang mengalami PHK yang setelah enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya, karena dalam proses perkara pidana, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan uang pengganti hak sesuai ketentuan. (Pasal 185 ayat 10 UUKK) 5.) Pengusaha akan dijatuhi sanksi pidana pelaggaran dengan ancaman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,- bagi pengusaha yang : •
Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena sakit;
•
Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haid
•
Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja karena
pekerja
menikah,
mengkitankan/membaptiskan
menikahkan anak,
atau
anak, karena
istri/anak/menantu/orang tua/mertua dan anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia •
Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara dan kewajiban agamanya
•
Tidak mempekerjakan pekerja, pekerjaan yang dijanjikan.
•
Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang melaksanakan hak istirahat
•
Pengusaha yang memaksa pekerja untuk bekerja pada saat pekerja sedang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. (Pasal 186 ayat 2 UUKK).
13
2.4 Sanksi-Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak Pekerja Perempuan Sanksi
administratif
terjadi
bila
pengusaha
atau
siapa
pun
memperlakukan pekerja termasuk perempuan secara diskriminasi. Misalnya dalam hal kesempatan yang berbeda dalam mendapatkan kesempatan kerja. (Pasal 190 UUKK). Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa : 1. Teguran 2. Peringatan tertulis 3. Pembatasan kegiatan usaha 4. Pembekuan kegiatan usaha 5. Pembatalan persetujuan 6. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi 7. Pencabutan izin usaha (Pasal 190 UUKK) Di lain sisi diberlakukan pula sanksi-sanksi perdata, alasan-alasan pemberlakuan sanksi perdata adalah apabila pekerjaan yang diperjanjikan tersebut ternyata bertentangan dengan kesusilaan dan norma-norma umum. Akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi hukum. (Pasal 52 dan pasal 155 UUKK) Ada pula sansi pidana penjara dan/denda terhadap pelanggaran hak pekerja perempuan yang termuat dalam beberapa pasal UU Ketenagakerjaan. Berikut beberapa ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana penjara dan/denda tersebut : 1.) Sanksi tindak pidana kejahatan dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp 400.000.000 bagi pengusaha yang tidak memberikan kepada pekerja perempuan hak istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan sesuai keterangan dokter atau bidan. (Pasal 185). 2.) Sanksi tindak pidana pelanggaran dan diancam penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit 14
Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 400.000.000 bagi pengusaha yang tidak membayar upah bagi pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan hari kedua masa haidnya sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya. (Pasal 186 UKK) 3.) Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan paling sedikit satu bulan dan paling lama 12 bulan dan atau denda paling sedikit Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 100.000.000 terhadap penguasa yang : a.) Mempekerjakan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun antara pukul 23.00 s/d pukul 07.00 b.)
Mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter
berbahaya
bagi
kesehatan
dan
keselamatan
kandungannya maupun dirinya bila bekerja pada pukul 23.00 s/d 07.00 c.) Mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 yang tidak memberikan makanan dan minuman serta tidak menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja d.)
Tidak menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 s/d pukul 05.00
15
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan Dalam konteks kenegaraan baik perempuan maupun laki-laki adalah subyek dan obyek pembangunan sehingga mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama. Kurangnya informasi dan pengetahuan akan UU dan peraturan-peraturan lain yang melindungi hak-hak mereka, terutama pekerja perempuan, sehingga berbagai kondisi buruk telah menimpa mereka seperti masih banyaknya pekerja perempuan menduduki posisi yang rendah, rentan tehadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah yang murah, jam kerja yang panjang, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan promosi, rentan terhadap pelecehan seksual, sulitnya mendapatkan hak-hak reproduksi seperti cuti haid dan melahirkan, mengalami diskriminasi upah, tunjangan keluarga dan kesehatan dan lain sebagainya.
3.2 Saran-Saran Filosofi dibalik peraturan perundang-undangan tersebut tidak lain karena menguatnya kesadaran bahwa sesungguhnya manusia, laki-laki dan perempuan, sama derajat dan martabatnya. Karena itu setiap bentuk diskriminasi
dan
ketidakadilan
dalam
relasi
antara
pekerja
dan
16
pengusaha/majikan
maupun
antara
laki-laki
dan
perempuan
harus
dicegah/dihapus.
DAFTAR PUSTAKA •
Adisu, Editus, dan Libertus Jehani, 2006, Hak-Hak Pekerja Perempuan, Tangerang VisiMedia
•
http// www.yahoo.com
•
http// www.google.com
17