1
BAB I PENDAHULUAN Uretritis merupakan kondisi inflamasi yang terjadi pada uretra yang dapat disebabkan oleh proses infeksi atau non infeksi dengan manifestasi discharge, disuria, atau gatal pada ujung uretra. Temuan fisik yang paling sering ditemukan berupa discharge uretra, sedangkan temuan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dengan pengecatan Gram pada apusan uretra atau dari sedimen pancaran urin awal. Infeksi uretritis sering diklasifikasikan menjadi Uretritis Gonococcal dan Uretritis Non-gonococcal (disebut pula uretritis non spesifik) (Khairani, 2010). Urethritis non gonococcal terjadi pada hampir 80% kasus urethritis, sedangkan urethritis gonococcal terjadi pada 20% kasus urethritis. Etiologi dari urethritis non gonococcus antara lain: Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urelitikum, Mycoplasma genitalium, Trichomonas vaginalis, virus herpes simpleks, Candida albicans, dan bakteri lain (seperti E. Colli, spesies haemophilus, kuman gram positif (Recant, 2007). Urethritis gonococcal adalah infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrheae. Secara umum ciri-ciri neisseriae adalah bakteri gram negatif, diplokokus non motil, berdiameter mendekati 0,8 μm. Masing-masing cocci berbentuk ginjal; ketika organisme berpasangan sisi yang cekung akan berdekatan. Kultur selama 48 jam pada media yang diperkaya (misalnya Mueller-Hinton, modified ThayerMartin), koloni gonococci berbentuk cembung, berkilau, meninggi dan sifatnya mukoid berdiameter 1-5 mm. Koloni transparan atau pekat, tidak berpigmen dan tidak bersifat hemolitik (Jawetz, 1996).
Gambar 1. Gambaran Diplococcus Gram Negatif 1
Gonococcus menyerang selaput lendir saluran genitourinari, mata, rektum, dan tenggorokan, mengakibatkan supurasi akut yang dapat menyebabkan invasi jaringan; hal ini diikuti oleh peradangan kronis dan fibrosis. Pada pria biasanya terdapat uretritis, dengan nanah yang berwarna krem kuning dan nyeri waktu kencing. Proses dapat menjalar ke epididimis. Pada infeksi yang tidak diobati, sementara supurasi mereda, terjadi fibrosis, yang kadang-kadang mengakibatkan striktur uretra. Infeksi uretra pada pria dapat tanpa gejala. Pada wanita, infeksi primer terjadi di endoserviks dan meluas ke uretra dan vagina, mengakibatkan sekret mukopurulen. Infeksi kemudian dapat menjalar ke tuba uterina dan menyebabkan salpingitis, fibrosis, dan obliterasi tuba. Infertilitas terjadi pada 20% wanita yang menderita salpingitis gonococci. Servisitis kronis atau proktitis akibat gonococci sering tanpa gejala (Jawetz, 1996). Ada beberapa perbedaan antara manifestasi klinis urethritis gonorrhea dan urethritis non gonorrhea. Masa inkubasi untuk urethritis gonorrhea adalah 2-8 hari, sedangkan urethritis non gonorrhea 7-14 hari. Onset untuk urethritis gonorrhea adalah secara tiba-tiba, sedangkan urethritis non gonorrhea bertahap. Dysuria yang terjadai urethritis non gonorrhea bersifat ringan, sedangkan pada urethritis gonorrhea bersifat berat. Duh yang keluar pada urethritis non gonorrhea bersifat purulen, sedangkan pada urethritis gonorrhea bersifat mukopurulen. Duh yang keluar pada urehtritis non gonorrhea lebih sedikit dibandingkan dengan urethritis gonorrhea. (Recant, 2007) Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Komplikasi lokal pada pria bisa berupa tisonitis (radang kelenjar Tyson), parauretritis, littritis (radang kelnjar Littre), dan cowperitis (radang kelenjar Cowper). Namun,penyulit yang paling sering adalah epididimoorkitis. Selain itu, infeksi dapat pula menjalar keatas (asendens), sehingga terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis, epididimitis, yang dapat menimbulkan infertilitas. Infeksi dari uretra pars posterior, dapat mengenai trigonum kandung kemih menimbulkan trigonitis, yang memberi gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria. Komplikasi diseminata pada pria dan wanita dapat berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan dermatitis. Kelainan yang timbul akibat hubungan kelamin selain cara genito-genital, pada pria dan wanita dapat berupa infeksi nongenital, yaitu orofaringitis, proktitis, dan konjungtivitis. Sedangkan untuk uretritis non gonore,
komplikasi yang timbul biasanya berupa tisonitis, cowperitis, abses periuretra, striktur uretra, epididimitis, dan mungkin prostatitis (Julistia, 2011). Diagnosis
urethritis
gonorrhea
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pewarnaan gram akan ditemukan diplokokus gram negatif, berbentuk biji kopi yang terletak intraseluler dan ekstraseluler, dan terdapat peningkatan leukosit polimorfonuklear (leukosit >5/lpb pada spesimen duh urethra dan >10/lpb pada urin). Bahan pemeriksaan di ambil dari duh tubuh, pada pria diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar bartholin, serviks, dan rectum (Julistia, 2011). Pengobatan Gonorrhea berdasarkan buku atlas Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo untuk gonorrhea tanpa komplikasi antara lain : ciprofloxacin 500 mg oral single dose, ofloxacine 400 mg, cefixime 400 mg oral single dose, dan ceftriaxone 125 mg IM single dose. Bila dicurigai adanya infeksi campuran dengan chlamydia dapat ditambahkan : Erythromycin 4 x 500 mg oral selama 7 hari, doxycycline 2 x 100 mg/hari per oral selama 7 hari. Untuk gonorrhea dengan komplikasi meningitis dan endocarditis diberikan ceftriaxone 1-2 g IV setiap 12 jam, untuk meningitis dilanjutkan 10-14 hari, dan untuk endocarditis diteruskan paling sedikit 4 minggu. Jika terjadi artritis, tenosynovitis dan dermatitis dapat diberikan antara lain : ciprofloxacin 500 mg IV setiap 12 jam, ofloxacine 400 mg setiap 12 jam, cefotaxime 1 g IV setiap 8 jam, dan ceftriaxone 1 g IM / IV tiap 24 jam (Murtiastutik, 2007). Untuk mencegah penularan gonore, gunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual. Jika menderita gonore, hindari hubungan seksual sampai pengobatan antibiotik selesai. Walaupun sudah pernah terkena gonore, seseorang dapat terkena kembali, karena tidak akan terbentuk imunitas untuk gonore. Sarankan juga pasangan seksual pasien untuk diperiksa untuk mencegah infeksi lebih jauh dan mencegah penularan.
BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama
: Tn. R
Umur
: 21 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Arjawinangun
Status
: Belum Kawin
No. RM
: 10******
Tanggal
: 11 Maret 2019
2.2 Anamnesis Keluhan Utama: Kencing mengeluarkan nanah. Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang dengan keluhan mengeluarkan nanah dari kemaluannya. Keluhan terjadi sejak 4 hari yang lalu. Awalnya kencing terasa panas dan nyeri. Saat ini pasien mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu, dan terdapat benjolan pada selangkangan kiri. Pasien mempunyai riwayat hubungan seksual dengan pasangannya 5 hari sebelum keluhan. Pasien juga mengatakan bahwa sebelum nya sering melakukan hubungan seksual dengan bukan pasangan nya. Keluhan tersebut dirasakan baru pertama kali. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Pengobatan Belum pernah berobat Riwayat Perilaku Seksual -
Pasien melakukan hubungan seksual dengan pasangan nya dan bukan pasangan nya.
-
Terakhir melakukan hubungan 5 hari yang lalu.
-
Riwayat hubungan dengan selain pasangan diakui.
Riwayat Atopi
Pasien mengaku tidak ada riwayat asma, pilek-pilek saat terkena udara dingin dan terkena debu ataupun biduran. Riwayat keluarga: Keluarga pasien tidak pernah ada yang menderita penyakit seperti ini. 2.3 Pemeriksaan fisik 2.3.1 Status Generalis Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Hiegene
: Tampak terawat
Tanda Vital
: Tensi : Tidak dilakukan pemeriksaan Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan RR
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Tax
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala/Leher
: Pembesaran KGB (-)
Thorax
: Cor/Pulmo
Abdomen
: Hepar/Lien : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ektremitas
: Edema -/-, Pembesaran KGB + di inguinal sinistra
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelainan kulit Pada status dermatologis 2.3.2 Status Dermatologis
Gambar 2. Lokasi Ruam
Lokasi
: Orificium uretra eksternum (OUE)
Distribusi
: Lokal
Ruam
: Tampak duh tubuh berwarna putih kekuningan, purulen, yang keluar dari Orificium uretra eksternum (OUE), edema (-), eritem (-)
Gambar 3. Tampak Duh keluar dari OUE 2.3.3 Status Veneriologis Lnn
: Ditemukan pembesaran di inguinal sinistra
Corpus penis : tidak ditemukan kelainan Preputium
: (-) pasien telah disirkumsisi
Glans penis
: tidak ditemukan kelainan
OUE
: tidak ditemukan kelainan
Scrotum
: tidak ditemukan kelainan
Epididimis
: tidak ada nyeri tekan
Testis
: tidak ada nyeri tekan
Discharge
: purulen, berwarna putih kekuningan
2.4 Diagnosis Banding 1. Urethritis Gonorrhoe 2. Urethritis Non Gonorrhoe
2.5 Pemeriksaan Penunjang Pengecatan gram discharge : -
Tidak dilakukan
2.6 Diagnosis Urethritis Gonorrhoe 2.7 Penatalaksaan Terapi yang diberikan pada pasien yaitu: 1. Kausatif
: - Azitromycin 1x500 mg selama 7 hari - Levofloxacin 1x100 mg selama 7 hari - Vitamin C 1x1 selama 7 hari
2. KIE
: - Obat diminum sesuai dosis - tidak melakukan hubungan seksual dulu selama masa pengobatan, atau menggunakan kondom bila berhubungan seksual - Pemeriksaan terhadap pasangan (penderita
2.8 Prognosis Quo ad Vitam
: Bonam
Quo ad Sanam
: Bonam
Quo ad Fuctionam
: Bonam
Quo ad kosmeticam
: Bonam
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3. Gonore 3.1 Definisi Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2015), gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang dapat menginfeksi baik pria dan wanita yang mengakibatkan infeksi pada alat kelamin, rektum dan tenggorokan. 3.2 Klasifikasi Centers for Disease Control and Prevention (2015) mengklasifikasikan gonore menjadi 4 golongan yaitu: 1) Infeksi gonokokal non komplikasi/ Uncomplicated Gonococcal Infections. Infeksi gonokokal yang termasuk dalam golongan ini adalah infeksi gonokokal urogenital (serviks, uretra dan rektum), faring dan gonokokal konjungtivitis. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi untuk lebih jelas ditunjukkan pada Gambar .
Gambar 1. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi (A) infeksi gonokokal serviks (B) infeksi gonokokal uretra (C) infeksi gonokokal faring (D) infeksi gonokokal konjungtivis (Centers for Disease Control and Prevention, 2005). 2) Infeksi gonokokal diseminasi/ Disseminated Gonococcal Infections.
Infeksi gonokokal diseminasi ditandai dengan munculnya lesi pada kulit, arthritis dan seringkali komplikasi perihepatitis, endokarditis dan meningitis. Contoh infeksi gonokokal diseminasi untuk lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh infeksi diseminasi gonokokal (A) infeksi gonokokal lesi pada jari (B) infeksi gonokokal lesi pada kaki (C) infeksi gonokokal arthritis (Centers forDisease Control and Prevention, 2005). 3) Infeksi gonokokal pada neonatus/ Gonococcal Infections Among Neonates. Infeksi gonokokal dapat menjadi masalah serius bagi ibu hamil yang terinfeksi dikarenakan dapat mengakibatkan ophtalmia neonatorum/ infeksi konjungtivitis pada bayi baru lahir sehingga terjadi kebutaan pada bayi baru lahir. Infeksi gonokokal pada neonatus terdiri dari ophtalmia neonatorum dan gonococcal scalp abscesses, untuk lebih jelas ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 3. Contoh infeksi gonokokal neonatus (A) ophtalmia neonatorum (B) gonococcal scalp abscesses (Centers for DiseaseControl and Prevention, 2005) 4) Infeksi gonokokal pada bayi dan anak/ Gonococcal Infections Among Infants and Children. Golongan klasifikasi ini sama dengan golongan infeksi gonokokal non komplikasi dan infeksi gonokokal diseminasi, tetapi golongan ini dibuat
untuk memberikan panduan pengobatan yang lebih efektif berdasarkan usia.
3.3 Etiologi dan Morfologi Infeksi gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Bakteri Neisseria gonorrhoeae bersifat gram negatif, yang terlihat di luar atau di dalam sel polimorfonuklear (leukosit), tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39° C dan tidak tahan terhadap zat desinfektan (Jawas & Murtiastutik, 2008).
Gambar 4. Bakteria Neisseria gonorrhoeae (Centers for Disease Control and Prevention, 2005). Kumar (2012) membagi bakteri Neisseria gonorrhoeae menjadi 4 macam morfologi koloni yaitu T1, T2, T3, T4. Koloni T1 dan T2 kecil dan memiliki pili sedangkan koloni T3 dan T4 lebih besar, lebih datar dan tidak memiliki pili. Pili akan memfasilitasi adhesi cocci ke permukaan mukosa dan meningkatkan virulen sehingga strain yang memiliki pili (T1 dan T2) lebih efisien serta memiliki virulensi yang lebih tinggi dibandingkan non pili (T3 dan T4). Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi inflamasi. Hanya pili tipe I dan II yang patogen terhadap manusia. 3.4 Faktor Risiko Manhart et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan beberapa faktor resiko penularan infeksi gonore antara lain: 1) Usia muda (18-39 tahun) 2) Berganti-ganti pasangan seksual 3) Homoseksual 4) Status sosial ekonomi yang rendah 5) Mobilitas penduduk yang tinggi
6) Tidak menggunakan kondom 7) Seks anal 8) Memiliki riwayat penyakit menular seksual 3.5 Gejala Klinik Irianto (2014) menjelaskan bahwa gejala infeksi gonore mungkin muncul 1 sampai 14 hari setelah terpapar, meskipun ada kemungkinan untuk terinfeksi gonore tetapi tidak memiliki gejala. Pada wanita, muncul cairan vagina yang banyak dengan warna kuning atau kehijauan dengan bau yang menyengat. Pada pria, muncul cairan putih atau kuning (nanah) keluar dari penis. Pada umumnya penderita juga akan mengalami sensasi terbakar atau nyeri saat buang air kecil dan cairan yang keluar dari penis. 3.6 Diagnosis Kementerian Kesehatan RI (2011)b memberikan pedoman tentang tata cara melakukan diagnosis gonore yang terdiri dari: 1) Anamnesis Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis dengan menanyakan beberapa informasi terkait penyakit kepada pasien untuk membantu menentukan faktor resiko pasien, menegakkan diagnosis sebelum melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. 2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan di daerah sekitar genital pria atau wanita dengan bantuan lampu sorot yang dilakukan oleh tenaga kesehatan ahli. Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada wanita dan pria memiliki perbedaan seperti: a) Pasien wanita, diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik dengan posisi litotomi. Pemeriksaan dilakukan dengan memisahkan kedua
labia
dan
diperhatikan
adanya
tanda
kemerahan,
pembengkakan, luka/ lecet, massa atau duh tubuh vagina (cairan yang keluar dari dalam vagina, bukan darah dan bukan air seni).
Gambar 5. Posisi litotomi (Kementerian Kesehatan RI, 2011)b. b) Pasien pria, diperiksa dengan posisi duduk/ berdiri. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat pada daerah penis adanya tanda kemerahan, luka/ lecet, duh tubuh uretra (cairan yang keluar dari uretra, bukan darah dan bukan air seni) dan lesi lain. Pada pasien pria sebelum dilakukan pemeriksaan diharapkan untuk tidak berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik). 3) Pengambilan spesimen Pengambilan spesimen berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) b dengan gejala duh tubuh uretra terdiri dari: a) Pasien laki-laki, pengambilan bahan duh tubuh genitalia dengan sengkelit steril atau dengan swab berujung kecil.
Gambar 6. Pengambilan spesimen pada pria (Kementerian Kesehatan RI, 2011)b. b) Pasien wanita sudah menikah, pengambilan spesimen dilakukan dengan menggunakan spekulum steril yang dimasukkan kedalam vagina. c) Pasien wanita belum menikah, pengambilan spesimen dilakukan tidak menggunakan spekulum karena dapat merusak selaput darahnya,
tetapi digunakan sengkelit steril untuk pengambilan spesimen dari dalam vagina. 4) Pemeriksaan laboratorium Menurut Daili (2009), pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan cara: a) Pemeriksaan gram Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi terutama pada duh uretra pria, sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak terlalu tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat ditemukan di dalam maupun luar sel leukosit. b) Kultur bakteri Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat dianjurkan dilakukan pada pasien wanita. c) Tes definitif Tes definitif dengan oksidasi akan ditemukan semua Neisseria gonorrhoeae yang mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah muda sampai merah lembayung, sedangkan pada tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan glukosa saja. d) Tes betalaktamase Tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.
3.7 Tatalaksana Penatalaksana gonore menurut Kemenkes RI (2011)b dilakukan secara kombinasi yaitu terhadap kuman gonokokus ( N.gonorrhoeae ) dan non gonokokus (Chlamydia trachomatis) yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Penatalaksana gonokokus menurut Kementerian Kesehatan RI (2011)b Jenis Infeksi Pengobatan Alternatif pengobatan Gonore non komplikasi Uretritis, servisitis Sefiksim 400 mg dosis tunggal Kanamisin 2 g IMa dosis per oral atau levofloksasin* tunggal atau tiamfenikol 500 mg 3,5 g per oral dosis tunggal dosis tunggal per oral atau seftriakson 250 mg IMa dosis tunggal Gonore dengan komplikasi Sindrom nyeri perut bagian bawah Sefiksim 1 x 400 mg/hari Kanamisin 1 x 2 g/hari IMa peroral selama 5 hari atau selama 3 hari atau levofloksasin* 1 x 500 tiamfenikol 1 x 3,5 g/hari mg/hari per oral selama 5 per oral selama 5 hari atau hari seftriakson 1 x 250 mg/hari Pembengkakan IMa selama 3 hari skrotum Sefiksim 1 x 400 mg/hari peroral selama 5 hari atau levofloksasin* 1 x 500 mg/hari per oral selama 5 hari
Jenis Infeksi
Tabel 1. Lanjutan Pengobatan
Kanamisin 1 x 2 g/hari IMa selama 3 hari atau tiamfenikol 1 x 3,5 g/hari per oral selama 3 hari atau seftriakson 1 x 250 mg/hari IMa dosis tunggal
Alternatif pengobatan
Gonore konjungtivitis neonatorum Pengobatan untuk bayi
Seftriakson 50-100 mg/kgBB IMa dosis tunggal atau kanamisin 25 mg/kgBB (maksimal 75 mg) IM dosis tunggal
Pengobatan ibu dengan bayi yang menderita konjungtivitis neonatorum
Sefiksim 400 mg dosis tunggal per oral atau levofloksasin* 500 mg dosis tunggal per oral (tidak boleh diberikan untuk ibu menyusui) * tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak di bawah 12 tahun a intramuskular
Kanamisin 2 g IMa dosis tunggal atau tiamfenikol 3,5 g per oral dosis tunggal atau seftriakson 250 mg IMa dosis tunggal
Tabel 2. Penatalaksana non-gonokokus menurut Kementrian Kesehatan RI (2011)b Jenis Infeksi Pengobatan Alternatif Pengobatan Non-gonokokus (klamidosis) Azitromisin 1g, dosis Eritromisin Ureteritis,servisitis, tunggal, per oral atau 4x500mg/hari, per Doksisiklin* konjungtivitis pada ibu oral, 7 hari 2x100mg/hari, per oral, dengan bayi selama konjungtivitis neonatrum, dan sindrom 7 hari nyeri perut bagian bawah Non-gonokokus Azitromisin 1g, dosis (klamidosis) tunggal, per oral atau Pembengkakan skrotum Doksisiklin* (orkitis) 2x100mg/hari, per oral, selama 7 hari
Konjungtivitis neonatrum Sirup eritromisin basa,
Eritromisin 4x500mg/hari, per oral, 7 hari atau tetrasiklin* 4x500mg/hari per oral selama 7 hari
50mg/kgBB/hari per oral, 4 kali sehari, selama 14 hari atau Trimetoprimsulfametoksazol 40200mg, per oral, 2 kali sehari selama 14 hari
* tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak di bawah 12 tahun Penatalaksanaan gonore dilakukan dengan pemberian salah satu terapi antibiotik yang disebabkan oleh kuman gonokokus yaitu sefiksim, levofloksasin, kanamisin, tiamfenikol, dan seftriakson yang dikombinasikan dengan salah satu antibiotik untuk kuman non gonokokus yaitu azitromisin, doksisiklin, dan eritromisin. Pemberian kombinasi antibiotik tersebut diatur dalam Permenkes No. 874 Tahun 2011c Tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. Tujuan pengobatan kombinasi pada penyakit gonore menurut Knodel (2008) karena gonore merupakan penyakit koinfeksi dengan klamidia.
DAFTAR PUSTAKA Barakah, Jusuf, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III. SMF Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hal : 133-137. Jawetz, M. & A., 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, 281-285 EGC, Jakarta Julistia, Renita. 2011. Uretritis Gonore Akut. http://www.pdfcoke.com/doc/ 44487945/Uretritis-Gonore-Akut. Khairani, Erika. 2010. Uretritis Non Spesifik. http://www.pdfcoke.com/doc/ 47739961/uretritis-non-GO. Murtiastutik, Dwi, dkk. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. SMF Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo. Surabaya : Airlangga University Press. Hal : 226-228. Recant, R. 2007. Urethritis. http://depts.washington.edu/nnptc/core_training /clinical/PDF/Urethritis2007.pdf.