KLAUDIKASIO Klaudikasio didefinisikan sebagai kelemahan, ketidaknyamanan atau nyeri yang terjadi pada sekumpulan otot tungkai yang spesifik saat iskemi yang dipicu oleh aktivitas. Individu dengan klaudikasio mempunyai aliran darah yang cukup saat istirahat sehingga tidak akan ada keluhan. Dalam keadaan olahraga, akan terjadi peningkatan kebutuhan otot lokal untuk mendukung metabolik, sehingga pada individu dengan PAD di ekstremitas bawah, kebutuhan ini tidak akan tercapai sehingga akan timbul keluhan kelelahan otot dan nyeri. Iskemi di tungkai bawah ini biasanya dikarenakan aterosklerosis, walaupun bisa juga karena sebab lain yaitu emboli, arteritis radiasi, buerger’s
disease
(tromboangitis
obliterans),
koarktasio,
popliteal
entrapment, penyakit kistik adventisia, FMD, dan trauma. Rasa nyeri yang berkurang
dengan
istirahat
ini
sering
disebut
sebagai
klaudikasio
intermiten yang sebenarnya cukup disebut klaudikasio saja. Lokasi dari stenosis arteri berhubungan dengan keluhan di kaki yang spesifik. Oklusi di arteri iliaka dapat mencetuskan nyeri di paha, pinggul dan pantat serta betis. Oklusi di arteri femoralis dan poplitea dapat menyebabkan nyeri betis dan nyeri di kaki dan baal (walau lebih jarang). Patofisiologi klaudikasio sangat kompleks, bukan hanya sekedar gangguan di aliran darah, tetapi lebih luas lagi meliputi gangguan di otot skelet (karena metabolik), neurologis, efek inflamasi. Iskemia tungkai kritis dapat menyebabkan nyeri saat istirahat, ulserasi dan gangren. Beratnya gejala iskemi dapat diklasifikasikan berdasarkan tabel berikut: Tabel Klasifikasi Rutherford Fontaine Stage Klinis I IIa IIb III
PAD:
Rutherford Grad Kategori e 0 0 I 1 I 2
asimtomatik Klaudikasio ringan Klaudikasio sedang-berat Nyeri iskemik saat I istirahat
I Wayan Sumaryana
Tingkatan
3
Fontaine’s
dan
kategori
Klinis asimtomatik Klaudikasio ringan Klaudikasio sedang Klaudikasio berat Klaodikasio | 1
IV
Ulserasi/gangren
II
4
III
5
IV
6
Nyeri iskemik saat istirahat Kehilangan jaringan minor Ulserasi / gangrene
Dikutip dari Dormandy dkk. Klaudikasio vaskular juga harus dibedakan dengan penyakit lain yang
menyebabkan
nyeri
kaki
dengan
aktivitas,
yang
disebut
pseudoklaudikasio. Penyebab lainnya adalah penyakit obstruktif vena berat, sindrom kompartemen kronis, penyakit lumbar dan stenosis saraf tulang belakang, osteoarthritis dan penyakit otot inflamasi. Perbedaan ini dapat terlihat dari tabel 5 berikut ini: Tabel Diagnosis banding dari Klaudikasio Intermiten Kondisi Lokasi Karakte Hubunga Efek Efek nyeri ristik n dengan istiraha posisi olahraga t tubuh Klaudi Pantat, Kram, Pada Cepat Tidak ada kasio paha nyeri, derajat hilang interm dan kelema olahraga itten betis. han, tertentu Jarang kelelah kaki. an, nyeri pinggan g Kompr Menjalar Tajam, Sesegera Tidak Nyeri esi ke kaki, nyeri mungkin cepat dapat akar terutam lancinat setelah hilang berkurang saraf a di bag ing onset (serig dengan (herni belakan tetap penyesuai asi g ada an posisi diskus saat punggung ) istiraha t) Stenos Pinggul, Lebih Setelah Hilang Berkuran is pantat, utama berjalan hanya g dengan saraf paha, kelema atau dengan fleksi tulang mengik han berdiri peruba lumbal belaka uti otot dlm bbrp han spine ng dermato dibandi wkt posisi (duduk, m ngkan stooping nyeri ke depan) I Wayan Sumaryana
Karakteris tik lain Dapat berulang
Riwayat keluhan di punggung
Riwayat keluhan di punggung , akibat peningkat an tekanan intraKlaodikasio | 2
Arthrit is, proses inflam asi
Arthrit is pinggu l
Kista Baker’ s simpto matik Klaudi kasio vena
Kaki
Nyeri aching
Setelah berolahra ga dlm derajat tertentu
Tidak cepat hilang (serig tetap ada saat istiraha t) Pinggul, Ketidak Setelah Tidak paha, nyaman berolahra cepat pantat an di ga dlm hilang regio derajat (serig piggul tertentu tetap dan ada pantat saat istiraha t) Di Bengka Dengan Muncul belakan k, olahraga saat g lutut, lunak, istiraha betis t bawah Seluruh Nyeri Setelah Menghi kaki, burstin berjalan lang terutam g di pelana paha pelan daerah kemalua n Otot Nyeri Setelah Menghi betis burstin berolahra lang g di ga berat sangat paha perlah an
Sindro m kompa rteme n kronik Dikutip dari Hirsch dkk.
abdomen Dapat Variabel, berkurang tergantun dgn g tingkat menguran aktivitas go beban tubuh
Lebih nyaman duduk, mengamb il alih beban di kaki
Variabel, tergantun g tingkat aktivitas, perubaha n udara
Tidak ada
Tidak intermitte n
Hilang lebih cepat dengan elevasi
Riwayat DVT, tanda kongesti vena
Hilang lebih cepat dengan elevasi
Biasanya pada atlet berotot
Algoritma manajemen dari klaudikasio sesuai dengan gambar berikut : Keluhan klaudikasio klasik : Kelemahan otot, kram, nyeri berhubungan dengan olahraga, hilang dengan istirahat
Dokumentasi riwayat gangguan berjalan (bebas nyeri dan jarak total berjalan) dan keterbatasan gaya hidup spesifik Pemeriksaan nadi
I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 3
ABI
Execise ABI (TBI, tekanan segmental, Duppleks Ultrasound)
ABI > 0,9
Hasil abnormal
Hasil normal
Tegakkan diagnosis PAD Tidak ada PAD, atau pertimbangkan adanya arterial entrapment syndrome Normalisasi faktor risiko : Hentikan merokok sesegera mungkin Atasi hipertensi sesuai JNC 7 Atasi dislipidemia sesuai NCEP ATP III Terapi DM target HbA1c < 7%
Reduksi risiko (farmakologis) : Antiplatelet, ACE inhibitor (IIbC)
Penanganan klaudikasio
Penanganan klaudikasio Dikutip dari Hirsch dkk.
Terdiagnosis PAD
Tidak ada disabilitas fungsional
Tidak diperlukan terapi untuk klaudikasio
Keluhan (+) keterbatasan gaya hidup
Program supervised exercise
Percobaan 3 bulan
Keluhan (+) keterbatasan gaya hidup ada bukti aliran terhambat
Farmakologi terapi : Cilostazon (Pentoxyfilline)
Check-up rutin 1x/tahun untuk memantau adanya gejala iskemik di kaki,koroner dan serebrovaskular
Pemeriksaan diagnostik noninvasif lebih jauh (angiografik)
Percobaan 3 bulan
Test preprogram dan postprogram exercise testing untuk efikasi
Ada perbaikan klinis : Follow up min 1x/ tahun
I Wayan Sumaryana
Disabilitas yang signifikan : Walaupun sudah dengan terapi medikal dan/atau terapi endovaskular, dengan adanya PAD aliran outflow, dengan anatomi memungkinkan dan rasio benefit/risk
Terapi endovaskular atau bypass (bedah)
Klaodikasio | 4
Evaluasi endovaskular tambahan atau revaskularisasi bedah
Penyakit inflow : harus dicurigai pada individu dengan klaudikasio di pantat atau paha dengan perlemahan nadi femoralis atau bruit dan harus dikonfirmasi dengan diagnostik noninvasif adanya stenosis aortoiliaka
Penyakit outflow : stenosis femoropopliteal dan infrapopliteal (adanya lesi oklusif di ekstremitas bawah dibawah lig. inguinale)
METODE DIAGNOSTIK Pasien dengan kelainan vaskular dapat dinilai secara lebih akurat dengan teknik diagnosis noninvasif yaitu dengan ankle-toe brachial indices (index), pengukuran tekanan segmental, perekaman volume nadi, Duplex ultrasound imaging, Doppler waveform analysis (exercise
test).
Bila
diperlukan
dapat
dilakukan
dan test olahraga pemeriksaan
MRA
(Magnetic Resonance Angiography) dan CTA (Computed Tomography Angiography) dan teknik yang lebih invasif. 1. Ankle-Brachial Index (ABI) Pengukuran ABI menyajikan data yang objektif yang merupakan standar diagnosis dalam survei epidemiologi PAD ekstremitas bawah, di laboratorium atau dalam kepentingan kantor. Data ABI menyediakan data prognostik yang berguna untuk memprediksikan kesintasan tungkai, penyembuhan luka dan kesintasan pasien. ABI dapat digunakan sebagai screening untuk PAD ekstremitas bawah atau untuk memonitor efikasi intervensi terapi.
I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 5
ABI diukur dengan cara mengukur tekanan darah sistolik baik dari kedua arteri brakialis dan dari arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis setelah pasien beristirahat pada posisi terlentang selama 10 menit. Pada orang normal, hanya boleh ada perbedaan minimal (dibawah 12 mmHg)
diantara
gelombang
nadi
kedua
lengan
pada
individu
dalam
pemeriksaan
sehat
rutin.
menyebabkan
Refleksi
tekanan
di
pergelangan kaki 10-15 mmHg lebih tinggi dibandingkan tekanan sistolik arterial di brakialis, sehinggan angka normal indeks rasio tekanan darah sistolik lebih besar dari 1,0. ABI harus dihitung dengan menggunakan dua angka desimal. Dalam sebuah penelitian oleh Lijmer et al, bahwa dengan treshold ABI 0,91, sensitivitas dari ABI adalah 79% dengan spesifisitas 96% untuk mendeteksi adanya stenosis sebesar 50% atau lebih dari diameter lumen. 2. Pengukuran tekanan segmental Tekanan arteri dapat diukur juga dengan plethysmography cuf yang ditempatkan di beberapa titik di sepanjang tungkai. Tidak seperti ABI, analisis tekanan segmental ini dapat menentukan secara tepat lokasi terjadinya stenosis. Misalkan apabila terdapat perbedaan gradien antara arteri brakhialis dengan di paha bagian atas, maka terdapat stenosis signifikan di aortoiliaka. Perbedaan tekanan gradien sebesar 19% sudah cukup menunjukkan adanya stenosis fokal yang penting.
ABI kanan : Tekanan tertinggi di pergelangan kaki kanan Tekanan tertinggi di lengan kiri ABI kiri
:
Tekanan tertinggi di pergelangan kaki kiri Tekanan tertinggi di lengan kiri
Tekanan sistolik lengan kanan
I Wayan Sumaryana Tekanan sistolik pergelangan kanan
Interpretasi ABI : > 1,30 1,00 – 1,29 0,91 – 0,99 0,41 – 0,90 0,00 – 0,40
Tidak dapat terkompresi Normal Borderline (ekuivokal) PAD ringan-sedang PAD berat
Tekanan sistolik lengan kiri
Klaodikasio | 6
Tekanan sistolik pergelangan kiri
* Nyeri kaki yang atipikal didefinisikan sebagai ketidaknyamanan ekstremitas bawah, yang tidak secara konsisten menghilang dengan istirahat, dan tidak secara konsisten membatasi olahraga pada jarak berlipat atau memenuhi kriteria kuesioner Rose. Gambar Ankle-Brachial Index Dikutip dari Hirsch dkk.
3. Treadmill-Exercise testing Tes ini dapat mengevaluasi signifikansi klinis dari stenosis arteri perifer dan dapat menyajikan bukti objektif dari kapasitas berjalan pasien. Jarak paling awal terjadinya klaudikasio ialah saat pasien tidak dapat melajutkan berjalan karena ketidaknyamanan di kaki yang berat. Protokol yang digunakan adalah memakai treadmill dengan monitor yang sudah ditentukan kecepatan dan sudut kemiringannya. Biasanya tes dimulai dengan tingkat kemiringan 12% dengan kecepatan 1,5-2 mil/jam. Tes treadmill ini dapat menyediakan data apakah stenosis yang terjadi berkontribusi pada keluhan pasien terhadap nyeri kaki saat aktivitas. 4. Rekaman volume nadi (Pulse Volume Recording) I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 7
Rekaman volume nadi ini merekam ilustrasi perubahan volume dalam grafik pada suatu segmen dari batang tubuh, yang terjadi di setiap denyutan. Kontur volume yang normal dipengaruhi oleh tekanan arterial lokal dan distensibilitas dinding pembuluh darah sehingga menyerupai bentuk gelombang tekanan darah, yaitu upstroke sistolik yang tajam, cepat menuju puncak, a dicrotic notch dan a concave downslope hingga kembali ke baseline. Kontur dari gelombang nadi ini akan berubah di distal dari stenosis. Tabel Kontur gelombang nadi normal dibandingkan yang mengalami stenosis Nadi normal Stenosis Upstroke Cepat, upstroke sistolik Upstroke sistolik melambat yang tajam Dicrotic notch + Amplitudo Normal Menurun Pulse wave Normal Menurun (iskemi tungkai kritis) Dikutip dari Creager dkk. 5. Duplex Ultrasound Imaging Pencitraan dengan Duplex ultrasound ini adalah metoda non-invasif untuk menilai baik karakteristik anatomis dari arteri perifer dan juga fungsi akibat stenosis arteri.
Gambar Duplex ultrasonogram di bifurkasio arteri femoralis. Gambar atas menunjukkan gambar normal gray-scale dari arteri dimana intima tidak menebal dan lumen paten dan lebar. Gambar bawah adalah rekaman pulse Doppler velocity. Muncul profil trifasik, selubung yang tipis I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 8
dan peak systolic velocity nya dalam batas normal. Dikutip dari Creager dkk. Color-assisted duplex ultrasound imaging dapat secara efektif menunjukkan lokasi stenosis arteri. Arteri normal mempunyai aliran laminar, dengan bagian tengahnya mempunyai kecepatan tertinggi. Warna biasanya homogen, dengan corak dan intensitas yang konstan. Pada arteri yang mengalami stenosis, kecepatan aliran darah akan meningkat
pada
lumen
yang
menyempit.
Karena
kecepatan
yang
meningkat ini, akan ada desaturasi progresif dari warna yang tampak, dan akan ada gangguan aliran di distal stenosis, sehingga terdapat corak dan warna yang berbeda. Seperti diperlihatkan di gambar 10, kenaikan 2 kali lipat atau lebih pada peak systolic velocity di tempat plak aterosklerosis mengindikasikan adanya stenosis lebih besar dari 50%. Peningkatan tiga kali lipat menggambarkan adanya 75%, sedangkan bila tidak ada aliran sama sekali mengindikasikan adanya oklusi.
Gambar Duplex ultrasonogram dari arteri iliaka eksterna. Gambar atas menunjukkan gambar berwarna dari arteri dimana ada heterogenitas dan desaturasi dari warna yang mengindikasikan adanya aliran berkecepatan tinggi melewati stenosis. Gambar bawah adalah rekaman pulsed doppler velocity dari arteri iliaka eksterna. Puncak kecepatan 350cm/detik terlewati, yang konsisten menunjukkan stenosis yang signifikan. Dikutip dari Creager dkk.
6. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 9
MRA dapat secara non-invasif memvisualisasikan aorta dan arteri perifer. MRA memiliki persetujuan antar pengamat yang sangat baik, dengan sensitivitas 93-100% dengan spesifisitas 96-100% untuk aorta, arteri iliaka, femoropoplieal dan tibioperoneal. Saat ini MRA adalah modalitas terbaik untuk mengevaluasi pasien yang simtomatik untuk pembuatan
keputusan
untuk
dilaukan
tindakan
endovaskular
dan
intervensi bedah atau pada pasien penyakit ginjal, alergi dan komplikasi lain selama angiografi konvensional.
Gambar Gadolinium-enhanced MRA dari aorta dan kedua kaki, dari paha kiri sampai pergelangan kaki. A. Atherosklerosis aortoiliaka dengan stenosis arteri iliaka komunis kiri. B. Oklusi arteri femoralis superfisial bilateral dengan rekonstitusi di porsi distal kanan dan arteri femoralis superfisialis kiri. C. Arteri tibialis anterior, arteri tibialis posterior dan arteri peroneal yang paten di masing-masing kaki. Dikutip dari Creager dkk. 7. Computed Tomographic Angiography (CTA) CTA menggunakan kontras yang disuntikkan secara intra vena. CTA lebih baik dari MRA, dikarenakan dapat digunakan pada pasien dengan stent, mental clips, pacu jantung,
sedangkan kerugiannya
terdapat efek
merugikan dari zat kontras dan radiasi.
Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, Bakal CW, Creager MA, Halperin JL,et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the management of patients with peripheral arterial disease (Lower extremity, renal, mesenteric, anda abdominal aortic). Circulation. 2006;113:463-654. I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 10
Creager MA, Libby P. Peripheral arterial disease. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editors. Branunwald’s heart disease. A textbook of cardiovascular medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. P.1591611.
I Wayan Sumaryana
Klaodikasio | 11