BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa, “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a) keselamatan dan kesehatan kerja; b) moral dan kesusilaan; dan c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilainilai agama. Merujuk pada pasal ini, terjadi kejanggalan pada saat 4 Maret 2019 lalu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan mencatat, bahwa 30% jumlah tenaga kerja di Kabupaten Bekasi tidak terjamin BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini terjadi dikarenakan banyaknya perusahaan yang tidak membayar iuran BPJS yang telah ditetapkan. Menurut presentase, seharusnya jumlah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan secara nasional 95%. Sementara itu dari 4.416 perusahaan yang telah mendaftarkan karyawannya. Tingkat kepatuhan hanya mencapai 74,4%. Sedangkan sisanya tidak patuh atau menunggak iuran. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah hak perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? 1.2.2 Bagaimana pandangan Hukum Ketenagakerjaan terkait dengan kasus ini beserta penyelesaiannya?
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perlindungan Hak Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tenaga kerja menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan, “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.” Melanjutkan ayat tersebut, pada ayat (3) disebutkan bahwa, “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Selanjutnya pada ayat (4) disebutkan bahwa, “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Dengan beberapa pengertian dari masing-masing bagian dari dunia ketenagakerjaan, maka dapat kita simpulkan bahwa pekerja merupakan orang yang melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan tujuan perusahaan atau tujuan para pemberi kerja yang ingin dicapai dengan mendapatkan upah atau imbalan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja yang telah terjadi antara pekerja dan pemberi kerja. Disebutkan pula bahwa upah atau imbalan pekerja juga dapat berupa dalam bentuk lain, salah satunya yaitu perlindungan atas keselamatan dan kesehatan pekerja. Mengapa demikian? Karena pada Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa tujuan dari perlindungan keselamatan dan kesehatan pekerja dilaksanakan guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal yang diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Di peraturan perundang-undangan lain yakni di Perpres nomor 111 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Dimana terdapat dalam pasal 6 ayat 3 yg berbunyi : Kewajiban melakukan pendaftaran kepesertaan Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, bagi: 1. Pemberi Kerja pada Badan Usaha Milik Negara, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat tanggal 1 Januari 2015; 2. Pemberi Kerja pada usaha mikro paling lambat tanggal 1 Januari 2016; dan 3. Pekerja bukan penerima upah dan bukan Pekerja paling lambat tanggal 1 Januari 2019. Selanjutnya lebih di jelaskan lagi pada pasal 11 ayat 1 Pemberi Kerja sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. Dengan demikian, telah jelas bahwa perusahaan wajib mendaftarkan BPJS Kesehatan karyawan. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dikarenakan BPJS Kesehatan merupakan salah satu bentuk jaminan sosial yang diatur oleh pemerintah. Undang-undang ini pun mengatur tentang sanksi perusahaan yang tidak mendaftarkan BPJS kesehatan karyawan. Pasal 17
ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa pemberi kerja yang tidak melaksanakan anjuran pemerintah tentang BPJS kesehatan akan dikenai sanksi administratif berupa: 1. Teguran tertulis; 2. Denda; dan/atau 3. Tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Sebagai contoh, perusahaan di Kota Semarang yang hendak mengajukan izin usaha ke Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Semarang harus sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Jika perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan, maka perusahaan tersebut akan dilaporkan ke BPJS Pusat dan menerima surat teguran. Selain itu, Pasal 55 UU BPJS turut mengatur sanksi bagi Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan tentang pembayaran dan penyetoran iuran jaminan sosial, yaitu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerjanya pada kesehatan karyawan berarti tidak mempedulikan kesejahteraan karyawan. Kesehatan merupakan hal yang krusial dan dapat berdampak terhadap kinerja karyawan, maka dari itu pemerintah turut memberikan aturan pendamping yang termaktub dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan Pasal 11 ayat 2b: “Dalam hal Pekerja belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan Manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.” Pada dasarnya prinsip Solusi: Daripada harus menanggung risiko – baik sanksi-sanksi maupun mogok kerja oleh pekerja – ada baiknya perusahaan membantu membayarkan iuran BPJS Kesehatan karyawan sesuai peraturan yang berlaku, yaitu sebesar 3% dari Gaji atau Upah per bulan (+2% dibayarkan oleh peserta BPJS Kesehatan yaitu karyawan yang bersangkutan). Kewajiban perusahaan mengikuti BPJS atau Jamsostek bukan hanya berguna untuk pekerja/buruh, tetapi juga untuk perusahaan itu sendiri.