1 Muhith Jalan Menuju Sukses

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1 Muhith Jalan Menuju Sukses as PDF for free.

More details

  • Words: 1,530
  • Pages: 4
TAZKIYATUNNAFS, Jalan menuju sukses. Allah swt berfirman dalam Al Qur’an: Artinya: Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. QS. 91/Asy Syams:7-10 Ketika kita buka halaman depan Al Qur’an, kita akan dapati tiga type manusia yang ada di Madinah pada waktu itu, dan menjadi model umat manusia selanjutnya. Type Muttaqin yang disebut sebagai orang yang mendapat hidayah/penerangan hingga menjadi orang yang berhasil (al muflihun). Type orang kafir yang statis, anti perbaikan dan diancam dengan azab yang besar di hari kemudian. Dan type orangorang munafiq yang mengkelabuhi Allah dan orang-orang beriman dengan menampakkan diri sebagai orang yang baik tetapi di balik itu ia menyimpan kebusukan diri yang dincam pula dengan azab pedih karena sikap dan perbuatannya. Simpul dari ketiga orang yang disebutkan itu jika diperhatikan maka terletak pada keadaan hati mereka yang berbeda-beda. Dari tiga type manusia itu, dua terakhir disebut sebagai orang yang bermasalah di hatinya. Orang kafir disebut orang yang berhati mati, berhati batu, dan orang munafiq disebut sebagai orang yang berhati sakit, jika boleh disebut makan hanya orang mukmin yang berhati sehat. Lihatlah orang-orang yang bermasalah jiwanya itu. Orang kafir digambarkan sebagai orang yang tidak berpeluang untuk mendapatkan kebaikan, karena sikapnya yang menutup diri dari nilai kebaikan. Telinganya terkuci mati, hingga tidak mampumendengar, dan matanya tertutu rapat sehingga tidak mampu melihat kenyataan. Orang munafiq yang sakit hatinya itu, menjadi orang yang tidak akan pernah maju. Sakit hatinya telah mendorongnya untuk menolak semua masukan kebaikan, merasa dirinya benar, dan lebih pintar, bahkan menuduh orang lain yang benar sebagai orang-orang bodoh yang tak patut diikuti. Ibnu Mas’ud mengatakan : Artinya: Kehancuran terjadi karena dua hal; menyombongkan diri dan berputus asa. Orang yang sombong tidak akan menerima masukan orang lain, dan orang yang berputus asa tidak mau berusaha. Dalam hadits Nabi, dikisahkan tentang seseorang yang berdoa kepada Allah dengan keburukan diri dan kotoran jiwa karena lumuran dosa, padahal orang itu berada dalam keadaan yang sangat mengenaskan dan sangat membutuhkan pertolongan, tetapi karena pribadinya yang kotor itu, kesempatan untuk mendapatkan pertolongan Allah menjadi sangat jauh didapatkan. Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah itu suci, dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul, maka Allah berfirman: “Hai Rasulrasul. Makanlah kamu daris emua yang baik-baik dan bekerjalah kamu dengan pekerjaan yang baik. Dan telah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman! Makanlah kamu dari apa-apa yang baik yang telah Kami rizkikan kepadamu”. Kemudian beliau mengingatkan seoranglaki-laki yang jauh perjalanannya, dia berambut kusut penuh debu. Kemudian ia

menengadahkan tangannya ke langit dan berdoa.:”Wahai Tuahn, Wahai Tuhan…”.Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan barang haram, maka bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya. HR. Muslim Banyak hal yang dapat kita potret dari hadits di atas, antara lain: 1. Panjangnya perjalanan hidup, berusaha, berdakwah, dan lain sebagainya tidak menjadi jaminan sukses, ketika dalam perjalanan itu tidak mampu mebersihkan dirinya dari kotoran dosa dan ma’siyat yang akan menggelapkan jiwanya, dan pada gilirannya pertolongan Allah tidak akan pernah diberikan. Sementara kita meyakini bahwa keberhasilan, dan kemenangan hanya datang dari Allah: waman-nashru illa min ‘indillah. 2. Jika untuk menolong dirinya sendiri saja, orang itu gagal maka bagaimana mungkin ia akan mampu menolong orang lain. Sementara tugas dakwah adalah usaha untuk mengajak dan mempengaruhi orang lain, agar hatinya terbuka menerima kebenaran. Dan hati manusia berada dalam genggaman Allah swt, merubah sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Dan bagaimana jika Allah tidak mau membantu penyerunya?. Allah menyebut para penyeru kebenaran sebagai orang-orang yang sukses. Firman Allah: Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang ma’ruf danmencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. QS. 3/Ali Imran: 104 3. Performa saja tidak menjamin sukses, jika tidak diimbangi dengan kebersihan jiwa, kebersihan makanan, dan kebersihak sikap dan amal perbuatan. Umar ra pernah mengatakan: “Sesungguhnya kalian diberi kemenangan dan keberhasilan karena perbuatan ma’siyat yang dilakukan musuh-musuh kalian, maka jika kalian juga itu berbuat ma’siyat seperti, mereka pasti kalian akan kalah…” 4. Allah hanya akan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang berjiwa bersih, berhati suci, jauh dari kotoran-kotoran dosa dan ma’siyat, akibat kuatnya tarikan dunia yang mengitarinya. Surah 87/Al A’la yang diperdengarkan hampir setiap Jum’at, memberi arahan riil kepada mustami’ (pendengar) agar dapat keluar dari tarikan dunia, memprioritaskan akhirat, dan berjiwa bersih untuk meraih sukses. Arahan itu antara lain: a. Memperbanyak, bertaubat, bertauhid, bertasbih mensucikan Allah Yang Maha Tinggi b. Interaksi intensif dengan Al Qur’an, tilawah, tadabbur dan tathbiq (praktek) c. Membuka diri untuk menerima dan memberi nasehat kepada sesama, agar semakin tumbuh dan menguat rasa takut kepada Allah d. Banyak mengingat kehidupan akhirat, terutama gambaran neraka yang membuat penghuninya sengsara tidak hidup dan tidak juga mati. e. Memperbanyak dzikir dalam setiap kesempatan. f. Menegakkan shalat fardhu, membiasakan shalat rawatib, dan memperbanyak shalat sunnah. Wallahu a’lam

KEWAJIBAN LEBIH BANYAK DARI WAKTU YANG DIMILIKI Memahami Kewajiban Kebanyakan orang memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu. Sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak. Dan semakin banyak kewajiban yang ada maka semakin terasa berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan. Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai : 1. Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya, 2. Peluang untuk meningkatkan kualitas diri, dan 3. Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan terjaga dirinya, 4. Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan menfokuskan diri pada sikap rabbaniy. Rasulullah saw bersbda: Sesungguhnya Allah swt berfirman dalam hadits Qudsiy. Artinya: Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada amal ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku cintai dari pada kewajiban yang telah Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibdah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku telah mencintainya, Aku menjadipendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dipergunakan untuk melihat, tangan yang dipergunakan untuk memegang, kaki yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku pasti akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti akan Aku lindungi. HR Al Bukhariy

Kadar kewajiban Allah swt telah mendistribuskan kewajiban bagi manusia ini sesuai dengan kapasitas dan kemampuan setiap orang, Firman Allah: Artinya: Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang dimampui. QS. 2/Al Baqarah: 286 Kewajiban guru berbeda dengan kewajiban murid, kewajibn imam berbeda dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeda dengan kewajiban orang kaya.dst masing-masing telah mendapatkan porsi kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan kebaikan yang hendak dicapai. 1. Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi kebutuhan orang untuk mendapatkan kulitas pribadai yang unggul, sehingga ia menjadi shalih bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan spiritual. 2. Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqushshilah (menguatkan hubungan dengan Allah), sehinga setiap saat pertolongan Allah dapat diraih untuk mendaptkan sukses hidup dunia dan akhirat. 3. Kewajiban kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam ikatan nilai dan kebaikan. Kewajiban itu mencakup:

a. b. c. d. e. f. g.

Kewajiban kepada kedua orang tua. Kewajiban suami isteri Kewajiban kepada anak Kewajiban kepada kerabat Kewajiban kepada tetangga Kewajiban kepada saudara Kewajiban kepada manusia pada umumnya.

Dimana posisi kita dari semua kewajiban itu? 1. Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah maka, kita baru dapat menshalihkan diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak mampu menshalihkan diri dalam apek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu meshlihkan orang lain. 2. Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah dapat diterima. 3. Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik sikap dengan kita? Rasulullah saw yang senantiasa bersikap baik, menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapapun masih saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. a. Bagaimana mungkin orang tua akan bersimpati dan mau mendengar ucapan anaknya, jika sang anak tidak menunaikan kewajibannya kepada kedua orang tuanya? b. Bagaimana mungkin pasangan hidup akan mau menerima dengan utuh pasangannya jika ia tidak menunaikan kewajibannya dengan baik? c. Akankah anak menghargai dan menghormati kedua orang tuanya dengan ikhlas, jika kedua orang itu tidak menunaika kewajibannya dengan baik? d. Akankah kerabat akan bersimpati jika kewajiban kepada mereka tidak terpenuhi? e. Akankah tetangga akan menjadi saksi dan pembela yang ikhlas kepada kita, jika kewajiban kepada mereka tidak ditunaikan? f. Akankah sanak saudara menjadi maun menjadi penolong kesulitan kita, jika kewajiban kepada mereka tidak dilaksanakan? g. Akankan publik mau memilih kita menyisihkan yang lainnya, jika kewajiban kepada mereka tidak kita berikan? Dan kita membutuhkan mereka semuanya, untuk kepentingan dakwah dan penataan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan berarti apa-apa kesalihan pribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi dampak bagi kesalihan lingkungan. Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua tingkatan harus terpenuhi. Wallahu a’lam.

Related Documents