Ironi Pendidikan NKRI “Kontekstual Pendidikan Ala Ki Hajar Dewantara Sebagai Solusi”
Pendidikan teoritis telah sukses dipopulerkan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, sayangnya dizaman modern sistem pembodohan praktis terhadap generasi bangsa semakin merajalela dan membayangi dunia pendidikan hingga kepelosok daerah diberbagai bidang sehingga menghasilkan dunia pendidikan yang makin sekuler dan materialis. Pembodohan dapat terjadi dari pada berlangsungnya sistem administrasi yang dapat diotak-atik, transparansi dana yang semu dan kaku, kekerasan didunia pendidikan, radikalisme, politik yang penuh kebencian, dan pengabaian pada pentingnya penguatan karakter. Bahkan doktrinisasi terhadap orientasi pembelajaran yang berpusat pada nilai akademik semata, seperti
banyak
terjadinya
proses
intimidasi
terhadap
mahasiswa
ketika
ingin
memperjuangkan kebenaran dan keadilan maka tidak heran semuanya akan berdampak pada nilai akademik, seakan kampus merupakan sarangnya kedzoliman yang tersistematis dan terstruktural, contoh lain adalah penilaian akademik terhadap peserta didik dijadikan wadah exploitasi pendapatan, bahkan diberlakukanya openbook pada saat ujian, yang sejatinya ujian merupakan proses evaluasi dalam upaya memahami sejauh mana pengetahuan yang telah didapatkan sehingga langkah selanjutnya dilakukan proses revitalisasi terhadap peserta didik yang belum memenuhi standar pendidikan. Itulah beberapa prolog awal perihal yang dapat menjerumuskan dunia pendidikan pada kebobrokan.
Didalam batang tubuh UUD 1945 sudah disinggung dan dikemukakan yang berkenaan dengan pendidikan dan selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 3 yang menyebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Berakhlak Mulia, Sehat, Berilmu, Cakap, Kreatif, Mandiri, dan menjadi warga Negara yang berdemokratis serta bertangung jawab”. Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003, Pasal 1 Ayat 1 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diriya untuk memiliki kekuatan Spiritual Keagamaan, Pengendalian Diri, Kepribadian, Kecerdasan, Akhlak Mulia, Serta Keterampilan yang diperlukan Dirinya, Masyarakat, Bangsa dan Negara.
Begitu pula dengan perspektif yang diusung oleh “Ki Hajar Dewantara” sosok yang sangat erat kaitanya dengan dunia pendidikan Indonesia, dengan citra pendidikannya yang mengedepankan konsep kultural negeri ini. konsep integrative dan humanis “educate the head, the heart, and the hand”, mengajar dan mendidik merupakan tanggung jawab bersama suatu upaya pendidikan ditiga lingkungan hidup, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dengan semboyan terkenalnya dalam dunia pendidikan, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handyani yang bermakna bahwa seorang pengajar atau pendidik sebagai teladan, fasilitator dan mendorong peserta didik dalam belajar dengan menggunakan metode pedagogik yaitu keselarasan antara proses transformasi keilmuan nilai-nilai kognitif dengan nilai-nilai budi pekerti yang khas dengan budaya Indonesia.
Berdasarkan berbagai landasan yang ada maka pedidikan seharusnya tidak hanya meningkatkan kecerdasan kognitif saja, melainkan masih banyak potensi lainya yang seharusnya dikembangkan, kebanyakan unit-unit pendidikan di Indonesia terkesan lebih mengutamakan kompetensi kognitif dibanding kompetensi lainya. Idealnya secara psikologis, manusia memiliki berbagai potensi yang sebaiknya dikembangkan secara optimal. Tidak hanya dari segi kecerdasan kognitif tetapi juga emosional, estetika, kinestika, dan kecerdasan lainya yang berpayung pada aspek religiusitas. Mengutip sebuah kalimatnya Albert Einstain, agama tanpa ilmu adalah pincang dan ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta. Kebutaan moral dari ilmu akan membawa manusia kedalam jurang malapetaka, karena ilmu berusaha menganalisa kehidupan sedangkan agama memberikan pemahaman tunggal sintesa dari keberagaman fenomena yang terpampang didepan kita. Keimanan harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan (Abudin Nata, 2005: 6).
Walaupun akhir-akhir ini pendidikan diarahkan kepada pengembangan diri. Tetap saja nilai kognitif menjadi fokus utama dalam persaingan mutu pendidikan, kemampuan akademik yang merupakan keahlian tersendiri memang sangatlah diharapkan, tapi yang harus diketahui secara bersama semakin cerdas kemampuan akademik seseorang ketika tidak dibarengi dengan pondasi keagamaan yang kokoh maka akan berdampak pada perilaku ceroboh berbangsa dan bernegara, salah satu bukti banyaknya kasus pemukulan terhadap guru oleh muridnya, dan demi mendapatkan nilai yang tinggi seakan mencontek sudah menjadi budaya yang dilestarikan pada saat melakukan ulangan bahkan ketika ujian. Sangat disayangkan jika
yang didapatkan hanyalah berhasil dalam mencetak ilmuwan yang genius tapi tidak berakhlak mulia, para ahli pecundang, kader bangsa yang bermental kerupuk yang menganggap tanggung jawab hanyalah sebullshit tarian, cerdik pandai berkorupsi.
Sehubungan dengan itu, implementasinya jauh panggang dari api. Jika sistem tersebut baik dan benar, maka efek baik tersebut akan mempengaruhi persepsi dan kepribadian orang tersebut, sebaliknya jika sistem tersebut buruk dan salah, maka akan terjadi pembenaran prilaku kepada kepribadian tersebut, bahkan ada kecendrungan akan melakukan hal yang sama karena sistem itu berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan meskipun semuanya tidak terlepas dari pada diri pribadi peserta didik tersebut, begitu pula emosional pengajar menjadi pengaruh pendidikan bagi peserta didik dan bahkan kemuktahiran teknologi yang tidak terbatas juga berpengaruh ketika sampai melewati batasan nilai-nilai budi pekerti tersebut.
Dari berbagai rentetan yang disajikan dapat ditarik alternatif solutif pertama yang dapat digunakan adalah dengan mengkontekstualisasikan ajaran Ki Hajar Dewantara, karena metode pendidikan yang dibomingkan amatlah relevan dengan kondisi kekinian di saat kita dihadapkan dengan problem kebangsaan. Hari Pendidikan Nasional tidak hanya dijadikan sebagai momentum yang eksis untuk diziarahi semata, melainkan kita pergunakan untuk kembali mempelajari gagasan serta praktiknya dan mempertautkannya dengan kondisi kekinian.
Kedua, pendidikan harus mengacu pada kebutuhan masa depan peserta didik dan kebutuhan lapangan pekerjaan. Jangan sampai pelajar terpaksa belajar pelajaran yang tidak disukai padahal mereka memiliki kelebihan dan keterampilan pada pelajaran tertentu. Begitu pula dengan guru yang seharusnya diberlakukan program pendidikan pengembangan profesi dan program evaluasi secara berkala.
Ketiga, adalah peningkatan kualitas dan kuantitas realisasi program pengembangan diri, pendidikan karakter, ekstrakurikuler dan optimalisasi konseling. Khususnya konseling, memiliki bermacam pengembangan diri diberbagai bidang kemampuan yakni bidang sosial, pribadi, belajar, karir, berkeluarga dan keberagamaan. Karena pendidikan tidak hanya ditempuh untuk mendapatkan ijazah, gelar akademik, jabatan tinggi, kelas sosial dimasyarakat dan lainya, karena pendidikan harus di tempuh untuk membenahi diri menjadi
manusia yang lebih baik. Tentunya hal ini dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, temasuk pengajar, pemerintah, pengelola perguruan tinggi dan sekolah, masyarakat, media, peserta didik, dan lain sebagainya karena masalah ini adalah masalah kita bersama. Kalau bukan kita yang memperbaikinya, siapa lagi?