06 Pedoman_mitigasi_bencana_alam_di_wilayah_pesisir_dan_pulau_kecil.docx

  • Uploaded by: ahmad awan
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 06 Pedoman_mitigasi_bencana_alam_di_wilayah_pesisir_dan_pulau_kecil.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,553
  • Pages: 48
−−

Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN JL. MEDAN MERDEKA TIMUR NO. 16 JAKARTA PUSAT TELP. (021) 3519070 ext. 1010 http://dkp.go.id DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2004

PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

CETAKAN KEDUA EDISI REVISI 2005

DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2004

KATA PENGANTAR

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Karena kondisi geografis dan geologisnya, wilayah pesisir dan pulaupulau kecil di Indonesia berpotensi besar mengalami bencana alam yang merupakan salah satu atau kombinasi bencana alam dari gempa bumi tektonik, tsunami, angin topan/badai, banjir, gunung berapi dan tanah longsor. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia merupakan kota pantai dengan jumlah penduduk yang besar dan kegiatan perekonomian yang pesat. Berbagai aktivitas manusia dalam bentuk pembangunan sektoral dan regional yang dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan swasta berlangsung dengan intensif dikawasan pesisir, seperti perikanan budidaya, pelabuhan/perhubungan, pertanian, perkebunan, pemukiman, pariwisata maupun industri. Disisi lain ekosistem pesisir sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik secara alami oleh alam maupun oleh aktifitas manusia. Bila pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tersebut tidak dilakukan dengan bijaksana, maka akan terjadi kerusakan dan bencana alam yang sangat besar konsekuensinya. Kerusakan pesisir baik oleh kegiatan manusia (antrophogenic), maupun peristiwa alam (tropoghenic) dapat menimbulkan kerusakan ekosistem secara fatal. Mencermati besarnya dampak akibat bencana di wilayah pesisir, maka diperlukan serangkaian upaya penanggulangan dan pencegahan bencana secara terpadu.

bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, strategi serta upaya mitigasinya. Dalam buku pedoman ini, memberikan gambaran tentang bencanabencana alam apa saja yang sering dialami di wilayah pesisir serta upaya mitigasinya dalam meminimalisasikan dampak yang akan terjadi akibat bencana tersebut. Mitigasi yang merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana alam yang diantisipasi akan terjadi di masa datang di suatu daerah tertentu, merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Terdapat kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada upaya mitigasi ketimbang respons paska bencana Akhir kata, semoga Pedoman ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak baik masyarakat maupun instansi yang terkait dalam penanganan bencana alam di wilayah pesisir di Indonesia. Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

Widi A. Pratikto

Dalam beberapa kasus bencana alam yang terjadi seperti banjir dan erosi, terjadi berbagai benturan kepentingan, antara upaya pelestarian sumberdaya alam (konservasi hutan, lahan atas / upland), dengan pertumbuhan perekonomian masyarakat (pembukaan lahan pertanian, budidaya perikanan). Hal ini menyebabkan kompleksitas dalam penanggulangan bencana di wilayah pesisir menjadi semakin meningkat. Munculnya berbagai benturan kepentingan tersebut menjadi semakin nyata dengan belum adanya kesepahaman tentang definisi

i

ii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

i

DAFTAR GAMBAR

vii

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-

viii

PULAU KECIL NOMOR: SK.64A/P3K/IX/2004 TENTANG PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

3.1.2 Mitigasi Bencana Erosi Pantai 3.1.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Struktural 3.1.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non Struktural 3.2 Bencana Tsunami 3.2.1 Identifikasi Daerah Rawan Tsunami 3.2.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Tsunami 3.2.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Tsunami 3.2.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Tsunami 3.2.2 Mitigasi Bencana Tsunami 3.2.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural 3.2.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural

DAFTAR ISI BAB I.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan dan Sasaran 1.3 Ruang Lingkup 1.4 Peristilahan

BAB II.

KEBIJAKAN, STRATEGI DAN LANDASAN OPERASIONAL MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR 2.1 Kebijakan Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir 2.2 Strategi Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir 2.3 Landasan Operasional 2.4 Pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT)

BAB III.

MITIGASI BENCANA ALAM KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 3.1 Bencana Erosi Pantai 3.1.1 Identifikasi Daerah Rawan Erosi Pantai 3.1.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Erosi Pantai 3.1.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Erosi Pantai 3.1.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Erosi Pantai

iii

iv

19 19 20 21 24 24 26 27 27 27 29

3.5.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Angin Topan/Badai 3.5.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Angin Topan/Badai 3.5.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Angin Topan/Badai 3.5.2 Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai 3.5.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural 3.5.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non Struktural 3.6 Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1 Identifikasi Daerah Rawan Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.2 Mitigasi Bencana Sea Level Rise 3.6.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Sea Level Rise Struktural 3.6.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Sea Level Rise Non Struktural 3.7 Bencana Kekeringan 3.7.1 Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan 3.7.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Kekeringan 3.7.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Kekeringan 3.7.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kekeringan 3.7.2 Mitigasi Bencana Kekeringan 3.7.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Struktural 3.7.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Non Struktural 3.8 Bencana Longsor 3.8.1 Identifikasi Daerah Rawan Longsor

v

53

PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR

54 54 54 55 56 56 56 57 57 58 58 58 59 60

vi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1.

Siklus Manajemen Bencana

Gambar 3.1.

Gempa yang menimbulkan tsunami di Indonesia dari tahun 400 - 2004

32

Gambar 3.2.

Daerah Rawan Tsunami di Indonesia

33

vii

4

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: SK.64A/P3K/IX/2004 TENTANG PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

3.

Undang-undang Nomor 23 Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup;

1997

tentang

4.

Undang-undang Nomor Pemerintahan Daerah;

1999

tentang

Mengingat

:

:

a. Bahwa guna meminimalisasi korban, baik harta maupun jiwa, akibat bencana alam yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi bencana alam secara terencana, terpadu dan berkelanjutan; b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulaupulau Kecil; 1.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

2.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; viii

Tahun

5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001; 8.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002;

9.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tugas Unit Eselon I Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2002;

DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL, Menimbang

22

10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Teknik dan Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 11. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;

ix

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

PERTAMA KEDUA

KETIGA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TENTANG PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

:

Memberlakukan Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. : Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA digunakan sebagai acuan bagi pejabat, aparat, dan/atau masyarakat luas dalam melakukan upaya-upaya mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan. : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 21 September 2004 Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

Widi A. Pratikto

x

LAMPIRAN : Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor : SK.64A/P3K/IX/2004 Tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil BAB I PENDAHULUAN 1.1.

LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai terpanjang di dunia. Karena kondisi geografis dan geologisnya, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia berpotensi mengalami bencana alam yang merupakan salah satu atau kombinasi dari gempa bumi tektonik, tsunami, angin topan/badai, banjir, gunung berapi dan tanah longsor, maupun oleh faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia. Kesemuanya tidak dapat diprediksi sebelumnya secara tepat kapan terjadi di suatu wilayah tertentu. Umumnya bencana yang terjadi tersebut menyebabkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa korban jiwa manusia, kerugian harta benda, maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Disisi lain, karena berbagai potensi yang dikandung, wilayah pesisir pantai cenderung terus berkembang dengan populasi yang juga terus meningkat.

Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar kebiasaan (kondisi normal). Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan bencana non fisik. Bencana selain disebabkan oleh faktor alam yang diluar kondisi normal dapat juga disebabkan oleh tindakan manusia yang secara simultan dapat mendatangkan bencana. Mitigasi, yang merupakan berbagai tindakan/upaya preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana yang diantisipasi akan terjadi di masa datang di suatu daerah tertentu, merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Mitigasi dapat bersifat struktural ataupun non struktural. Kedepan terdapat kecenderungan bahwa sudah menjadi kebutuhan untuk lebih menitikberatkan pada upaya mitigasi ketimbang respon paska bencana. Dalam rangka mengembangkan prosedur mitigasi bencana yang sesuai untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, maka diperlukan penyusunan pedoman mitigasi bencana alam di daerah pesisir baik yang bersifat struktural maupun non struktural. 1.2.

TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan pedoman ini adalah (i) meningkatkan upaya-upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (ii) mendorong peranserta Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat dalam mengembangkan upaya mitigasi bencana, dan (iii) meningkatkan pemahaman semua pihak terhadap mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Aset berupa sumberdaya manusia dan infrastruktur yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dilindungi dari bencana dan perlindungan tersebut merupakan tanggung jawab nasional suatu Negara, utamanya Pemerintah Daerah setempat dengan cara mengembangkan strategi mitigasi.

Sasaran yang hendak dicapai dalam pedoman ini adalah (i) terlaksananya peningkatan upaya-upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (ii) terlaksananya peran serta Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pengembangan upaya

1

2

mitigasi bencana, dan (iii) terwujudnya peningkatan pemahaman semua pihak terhadap mitigasi bencana. 1.3.

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pedoman ini adalah Pendahuluan, Kebijakan, Strategi dan Landasan Operasional Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Identifikasi Daerah Rawan Bencana, Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (mitigasi akibat erosi, abrasi, gempa bumi, tsunami, banjir, angin topan, pengaruh sea level rise), Koordinasi Antar Instansi dan Penutup, yang selanjutnya akan menjadi pedoman dan arahan bagi penyusunan petunjuk pelaksanaan di tingkat pusat dan daerah khususnya di wilayah pesisir. 1.4. PERISTILAHAN Abrasi adalah erosi pada material masif seperti batu atau karang. Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba/ perlahan-lahan akibat alam, ulah manusia dan/atau keduanya yang menimbulkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana Alam adalah peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan maupun korban baik harta maupun jiwa akibat letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/topan/badai, tsunami, hama hutan, kerusakan flora dan fauna (kerusakan ekologi), dan lainlain

Bencana Ulah Manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan oleh ulah manusia seperti kebakaran, kecelakaan massal di darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia dan industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan infrastuktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, dan lainlain. Erosi adalah pengurangan daratan atau mundurnya garis pantai. Penanggulangan Bencana (Disaster Management) adalah suatu proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan penanganan, merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan (preventive), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (response), rehabilitasi (rehabilitation) atau evakuasi (evacuation) dan pembangunan kembali (development). Rangkaian kegiatan tersebut dapat saling berkaitan dan merupakan siklus manajemen bencana seperti terlihat pada Gambar 1. BENCANA KESIAPSIAGAAN

TANGGAP DARURAT

MITIGASI

PEMULIHAN

PENCEGAHAN

PEMBANGUNAN

Gambar 1.1. Siklus manajemen bencana

3

4

Pencegahan adalah upaya untuk menghambat atau menghilangkan bahaya-bahaya yang mungkin timbul dari terjadinya peristiwa bencana yang bisa merusak kehidupan dan penghidupan masyarakat. Mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi atau meminimalkan dampak dari suatu bencana terhadap masyarakat. Kesiapsiagaan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk menghadapi/mengantisipasi (tanggap darurat) bencana lingkungan yang mungkin terjadi pada skala nasional, regional dan lokal.

ekologis setempat serta memberikan gambaran kerusakan ekologi yang ada Mikrozonasi (Risk Mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk mendukung pengkajian resiko bencana baik fisik maupun ekologis suatu kawasan secara rinci termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survei di lapangan), analisa dan penyajian dalam bentuk peta resiko.

Pemulihan adalah suatu proses untuk membantu masyarakat yang terkena bencana termasuk sarana dan prasarana agar segara berfungsi kembali, memulihkan tata kehidupan serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana berdasarkan asas kemandirian agar kembali mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan sebaikbaiknya. Rehabilitasi ekologi lingkungan adalah proses perbaikan habitat ekosistem sehingga ekosistem tersebut dapat kembali berfungsi dengan baik. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali yang dilakukan untuk meningkatkan keadaan kehidupan dan penghidupan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan membangun kembali sarana dan prasarana di lokasi bencana sehingga menjadi lebih baik dari keadaan sebelum terjadinya. Rekonstruksi ekologi dilakukan untuk menciptakan habitat yang kondusif terhadap pemulihan kondisi flora (vegetasi) dan fauna. Tanggap Darurat adalah suatu atau serangkaian kegiatan dan upaya pemberian bantuan kepada korban bencana berupa bahan makanan, obat-obatan, penampungan sementara, serta mengatasi kerusakan secara darurat supaya dapat berfungsi kembali. Tanggap darurat ekologi adalah serangkaian kegiatan untuk memantau kondisi

5

6

BAB II KEBIJAKAN, STRATEGI DAN LANDASAN OPERASIONAL MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR

aman dari bencana. Sedangkan untuk wilayah pulau-pulau kecil kondisi kerentanan maupun kesiapan wilayah dalam menghadapi bencana alam menunjukan level yang tidak lebih baik dilihat dari faktor upaya keselamatan.

Berdasarkan data kebencanaan dunia yang dikumpulkan oleh CERD (Center for Research on the Epidemiology of Disaster), wilayah Asia merupakan wilayah yang cukup rawan terhadap berbagai bencana alam juga dari kondisi kerentanan, kemampuan masyarakat dan kemampuan sarana dan prasarana pendukung pemenuhan kebutuhan hidup pada saat ada bencana.

2.1

Dari segi potensi ancaman atau bahaya bencana alam (hazard), Indonesia merupakan salah satu Negara Asia yang cukup rawan terhadap ancaman berbagai bencana alam seperti gempa, gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan dan angin badai. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara rawan terhadap bencana gempa besar karena wilayah Indonesia sebagian besar terletak pada jalur gempa bumi aktif di dunia akibat pertemuan tiga lempeng tektonik (lempeng samudera Indo-Autralia, lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudera Pasifik). Berdasarkan peta zonasi kegempaan Indonesia, sekitar 290 kota atau sekitar 60% dari 481 kota di Indonesia berada di daerah rawan gempa, sebagian besar kota terletak di wilayah pesisir pada jalur wilayah yang cukup rawan terhadap gempa dan pengaruhnya seperti gelombang tsunami, erosi dan lain-lain.

KEBIJAKAN MITIGASI WILAYAH PESISIR

BENCANA

ALAM

DI

Dalam konteks pengendalian dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan, terdapat beberapa tantangan dan permasalahan seperti karakteristik sumberdaya, keterbatasan pengalaman, kurangnya data dan informasi, terbatasnya pendanaan dan lain sebagainya. Selain itu pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam pada saat ini telah memunculkan adanya peralihan beberapa kewenangan pusat ke daerah. Peralihan kewenangan tersebut menuntut tanggung jawab yang semakin besar dari semua pihak terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Kebijakan Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan suatu kerangka konseptual yang disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di wilayah pesisir. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko jangka pendek, menengah dan panjang, baik terhadap kehidupan manusia maupun harta benda.

Dilihat dari potensi ancaman bencana alam, wilayah pesisir mempunyai potensi yang cukup besar terhadap ancaman bahaya dari bencana alam. Hal ini diperburuk dengan situasi dan kondisi yang cukup rentan akibat dari kompleksitas pertumbuhan kota maupun wilayah di daerah pesisir yang seringkali banyak mengabaikan atau tidak memperhatikan unsur-unsur mitigasi bencana alam dalam proses pembangunannya, demi tercipta lingkungan binaan yang

Kebijakan Mitigasi Bencana di Wilayah pesisir ini adalah sebagai berikut :

7

8

a. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk di wilayah pesisir, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumberdaya alam.

b.

Mengurangi dampak negatif terhadap kualitas keberlanjutan ekologi dan lingkungan di wilayah pesisir akibat bencana alam maupun buatan. c. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan wilayah pesisir. d. Meningkatkan pengetahuan masyarakat pesisir dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana. e. Meningkatkan peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah, pihak swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir. 2.2

STRATEGI MITIGASI WILAYAH PESISIR

BENCANA

ALAM

DI

Secara filosofis, penanggulangan bencana di wilayah pesisir dapat ditempuh melalui beberapa strategi sebagai berikut : a. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung “menahan proses alam yang terjadi”. b. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan perubahan alam yang terjadi. c. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alami yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam yang terjadi. Untuk dua pola terakhir perlu dipandang sebagai strategi mitigasi bencana alam di wilayah pesisir. Kajian ke arah tersebut perlu dilakukan agar kelestarian sumberdaya alam pantai dapat terpelihara serta kemanfaatannya terus dapat dinikmati dari generasi ke generasi secara berkelanjutan. Selain itu dapat pula dilakukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir sebagai pendekatan preventif dengan jalan memberikan penyuluhan dan pengarahan kepada masyarakat.

9

2.3

LANDASAN OPERASIONAL

Secara umum, Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia didasarkan pada asas- asas sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h.

Kebersamaan dan kesukarelaan, Preventif dan kuratif, Koordinasi, kontinuitas dan Integrasi, Kemandirian, Cepat dan tepat, Prioritas, Kesiapsiagaan, Kesemestaan.

Agar dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya, maka pengelolaan pesisir perlu mengadoptasi Intergoverment Panel of Climate Change (IPCC, 1990) prinsipprinsip pengelolaan kawasan pesisir yang bertujuan untuk : a. menghindari pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan, b. mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik, c. melindungi keselamatan, harta benda dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang dating dari laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhan manusia akan rasa aman serta kesejahteraan.

10

2.4

PENDEKATAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU (PPT)

Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir baik pada sumberdaya alam yang terkandung didalamnya maupun masyarakatnya tentu memerlukan suatu pengelolaan yang tepat, guna menjaga kelestarian sumberdaya alam tersebut. Dan skema pelaksanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) pada dasarnya merupakan upaya untuk mengelola elemen-elemen baik terkait dengan sumberdaya di kawasan pesisir maupun aktivitas manusia yang mempengaruhinya. Secara manajemen, konsep PPT ini merupakan konsep pembangunan terpadu, yang melibatkan semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan swasta) di kawasan pesisir sehingga PPT merepresentasikan perubahan pendekatan pembangunan di kawasan pesisir dari reaksioner dan berorientasi pada masalah menjadi terencana, bersifat mendahului, dan menggunakan pendekatan pengelolaan. Dengan konsep PPT ini, para pengambil kebijakan di wilayah pesisir dapat mengelola pembangunan yang sifatnya multisektor berserta dampak kumulatifnya dalam batas-batas keseimbangan yang dapat ditoleransi oleh masyarakat dan lingkungan (daya dukung lingkungan dan sosial). Keseimbangan dicapai melalui tiga komponen penting yaitu :

Adapun hal-hal yang terkait dengan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang perlu untuk dikelola dengan baik adalah : 1. Lingkungan biofisik, 2. Habitat dan infrastruktur penting, seperti mangrove, pulau-pulau kecil, estuari, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai, 3. Aspek sosial ekonomi, yaitu populasi penduduk dan tenaga kerja, profil kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan, 4. Aspek pembangunan, seperti pembangunan dermaga, pelabuhan, dan lain-lain, 5. Aktivitas ekonomi, seperti industri migas, perikanan budidaya dan tangkap, hutan produksi (mangrove), pertambangan, wisata, dan perhubungan, 6. Bencana alam, seperti erosi pantai, badai, pasang tinggi, gempa, tsunami, dan banjir. Dari komponen-komponen tersebut di atas, maka ada tiga tujuan utama dari pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini, yaitu :

Ketiga aspek tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan lainnya.

1. Tujuan pertama Melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa ekosistem berada dalam kondisi ekstrim seperti hempasan angin, konsentrasi salinitas yang tinggi, dan kisaran perubahan temperatur air yang tinggi. Namun demikian, pada saat yang sama, suatu ekosistim juga mendapatkan suplai nutrisi yang cukup banyak dari aliran air sungai, kecukupan sinar matahari pada perairan dangkal yang mendukung produktivitas perairan. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, maka pelaksanaan pengelolaan pesisir harus memperhatikan nuansa-nuansa ekologis dari ekosistem pesisir tersebut.

11

12

1. Keseimbangan ekologis, 2. Keseimbangan pemanfaatan, dan 3. Keseimbangan dalam pencegahan bencana (mitigasi).

2. Tujuan kedua Mencegah kelebihan material-material yang sifatnya merusak dan mencegah hilangnya sumberdaya akibat bencana seperti pasang yang ekstrim, ombak besar, badai, banjir, gempa bumi, tsunami, dan abrasi pantai. 3. Tujuan ketiga Mengurangi dampak negatif pembangunan prasarana fisik di daerah pesisir yang dapat merusak/mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir.

pemerintahan yaitu kabupaten/kota, propinsi, atau pemerintah pusat. Mitigasi bencana baik secara struktural maupun non struktural menyangkut berbagai sektor. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan sektoral dalam melakukan mitigasi. Misalnya pembuatan prasarana sistem perairan yang ramah lingkungan dilakukan oleh Departemen atau Dinas Kimpraswil, penghijauan di daerah hulu dilakukan oleh Departemen atau Dinas Kehutanan, penanaman mangrove dapat dilakukan oleh Departemen atau Dinas Kehutanan dan Departemen atau Dinas Kelautan dan Perikanan

4. Tujuan keempat Membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi kepentingan manusia seperti perikanan, budidaya, pelabuhan, industri, perumahan, dan kawasan rekreasi.

b. Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal

Dari keempat tujuan tersebut dapat disimpulkan tujuan akhir dari pelaksanaan pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memadukan aktivitas-aktivitas pembangunan dan upaya pengelolaan yang berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda (masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan lain-lain) dalam rangka mencapai ketiga tujuan di atas (ekologi, pencegahan bencana, dan pemanfaatan).

c. Keterpaduan Ekosistem Darat dengan Laut.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka keterpaduan yang mencakup aspek-aspek :

diperlukan

adanya

a. Keterpaduan Perencanaan Sektor Secara Horisontal Keterpaduan perencanaan horisontal, memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian, sektor kehutanan dan konservasi yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat

13

Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi Keterpaduan kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi, sampai Nasional.

Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir. Disamping itu kegiatan pembangunan sarana bangunan air pada daerah pesisir perlu diperhitungkan secara integral kaitannya dengan dampak biotik dan abiotik. d. Keterpaduan Sains dengan Manajemen Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.

14

BAB III MITIGASI BENCANA ALAM KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Bencana alam tidak dapat dihilangkan karena ukuran dan kekuatannya sangat besar. Tsunami, banjir, gempa bumi, letusan gunung api dan angin topan/badai tidak dapat dihentikan oleh manusia. Manusia hanya dapat menghindar atau mengurangi dampak yang ditimbulkan dengan cara mengadakan persiapan dini. Penderitaan akibat bencana harus ditekan serendah mungkin, bahkan jika dapat dihapuskan dengan mengerahkan segala kemampuan. Inilah yang disebut mitigasi bencana. Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara struktural maupun secara non struktural. Secara struktural maksudnya dengan melakukan upaya teknis, baik secara alami maupun buatan, yang dapat mencegah atau memperkecil kemungkinan timbulnya bencana dan dampaknya. Sedangkan mitigasi secara non struktural adalah upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Secara garis besar, kebijakan nasional mitigasi bencana telah dijabarkan dalam Propenas dan Repeta yang terutama tercakup pada beberapa program, antara lain Program Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan, Program Pengembangan Kelautan, Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-Sumber Air, Program Penataan Ruang dan Program-program Pembangunan di Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Pada hakikatnya rencana mitigasi bencana ini merupakan program pembangunan yang terintegrasi antar sektor pembangunan, baik wilayah laut maupun darat. Oleh karena itu dalam perencanaan mitigasi perlu pendekatan

15

yang menyeluruh dan terpadu dengan mengedepankan manajemen terbuka yang menjamin berlangsungnya proses koordinasi antara lembaga terkait. Instansi/kelembagaan yang terkait dengan upaya mitigasi bencana struktural dan non struktural antara lain: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Perhubungan, Kementerian Informasi dan Komunikasi, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), LAPAN, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), LIPI, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Selanjutnya, perencanaan mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional dapat dilakukan melalui: 1. identifikasi daerah bencana melalui pengumpulan data dan informasi, 2. kelayakan program lingkungan,

ditinjau

dari

segi

analisis

dampak

3. keterpaduan program antar sektor dalam pengembangan daerah pesisir skala besar, 4. pengaturan tingkat keamanan hunian masyarakat pesisir, 5. memprioritaskan faktor keamanan dalam pengembangan program di wilayah pesisir dengan meminimalkan resiko, dan 6. prioritas penggunaan ruang sesuai dengan karakteristik lokasi (lingkungan dan masyarakat). Adapun bencana-bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir serta upaya-upaya mitigasinya adalah sebagai berikut :

16

3.1

BENCANA EROSI PANTAI

Erosi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh proses alami (angin, gelombang, arus, pasang surut dan sedimentasi), aktivitas manusia (pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai untuk permukiman, pelabuhan udara dan industri serta penambangan pasir) ataupun kombinasi keduanya. Namun demikian penyebab utamanya adalah gerakan gelombang pada pantai terbuka, seperti pantai selatan Jawa, Selatan Bali dan beberapa areal Kepulauan Sunda. Disamping itu karena keterkaitan ekosistem maka perubahan hidrologis dan oseanografis juga dapat mengakibatkan erosi kawasan pesisir. Peristiwa erosi pantai dapat mengakibatkan gangguan terhadap pemukiman, penambakan dan sarana perhubungan sedangkan peristiwa pendangkalan atau pengendapan di wilayah pantai dapat merupakan keuntungan dan sebaliknya dapat pula merupakan kerugian; hal ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Oleh karena itu peristiwa erosi ini tidak perlu dipersoalkan sejauh belum menimbulkan masalah bagi kepentingan manusia. Namun apabila peristiwa tersebut menimbulkan gangguan dan kerusakan terhadap lingkungan di sekitarnya maka diperlukan usahausaha penanganan berupa perlindungan dan kegiatan lainnya. 3.1.1

Pembuatan peta bahaya erosi harus meliputi informasi tentang profil garis pantai serta tingkat erosinya, faktor dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi garis pantai dan karakteristik gumuk pasir. Sumber sedimen yang berasal dari aliran sungai juga perlu digambarkan dalam peta tersebut. Hal ini diperlukan sebagai bahan analisis proses transportasi sedimen secara makro. 3.1.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Erosi Pantai Analisis kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya erosi, berupa kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang diakibatkan rusak/hancurnya kawasan pemukiman, sarana dan prasarana serta kegiatan ekonomi lainnya seperti pariwisata, industri, pertanian, perikanan dan lain-lain. Yang perlu digambarkan dalam peta tingkat kerentanan bahaya erosi antara lain aktivitas manusia yang dapat mempercepat proses terjadinya erosi seperti pariwisata, industri dan kegiatan ekonomi lainnya, penebangan hutan mangrove di sepanjang garis pantai, pengambilan pasir serta perusakan gumuk pasir.

IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN EROSI PANTAI 3.1.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Erosi Pantai

3.1.1.1 Analisis Bahaya Erosi Pantai Analisis bahaya erosi ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi yang akan terkena erosi. Erosi biasanya terjadi dalam waktu yang relatif lama dengan beberapa faktor penyebab yang dominan, antara lain gelombang, arus, angin dan panas. Kondisi topografi dan geologi pantai juga dapat mempengaruhi tingkat erosi garis pantai dan tingkat bahayanya.

17

Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana erosi sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat

18

dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana. 3.1.2

Mitigasi Bencana Erosi Pantai

Upaya mitigasi bencana erosi memerlukan biaya yang cukup besar, baik dalam proses pembangunan maupun dalam operasional serta pemeliharaannya. Untuk itu pelibatan masyarakat serta dunia usaha yang mengelola kawasan pantai untuk ikut serta dalam upaya mitigasi bencana erosi, khususnya dalam operasional dan pemeliharaan, sangat diperlukan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa untuk menjaga kontinuitas aktivitas kawasan pantai diperlukan suatu proses yang seimbang disepanjang garis pantai. Di lain pihak aktivitas tersebut dapat juga mengakibatkan ketidakseimbangan pada proses pantai. 3.1.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Struktural Upaya struktural dalam menangani masalah bencana erosi adalah upaya teknis yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis pantai melalui upaya antara mengurangi/menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Upaya mitigasi struktural tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :

19

1. Secara alami, seperti penanaman green belt (hutan pantai

atau mangrove), penguatan gumuk pasir dengan vegetasi dan lain-lain.

2. Secara buatan, seperti pembangunan dinding penahan gelombang, pembangunan groin dan lain-lain.

Upaya struktural mitigasi dengan cara buatan tersebut perlu direncanakan secara cermat karena dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pola dan karakteristik gelombang yang dalam jangka panjang mungkin dapat mengakibatkan terjadinya erosi di tempat lain. 3.1.2.2. Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah sebagai berikut : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai, 3. penyusunan sempadan garis pantai, 4. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi Pantai Sistem peringatan dini bencana erosi merupakan suatu informasi yang menggambarkan terjadinya erosi pantai yang disebabkan oleh interaksi antara gelombang dengan daratan di sepanjang garis pantai. Beberapa informasi penting dalam sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi

20

serta tingkat erosinya, faktor dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi, serta aktivitas manusia yang mempercepat terjadinya erosi pantai. 3.2

BENCANA TSUNAMI

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu = pelabuhan dan nami = gelombang. Jadi tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan. Dalam ilmu kebumian terminologi ini dikenal dan baku secara umum. Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide). Gangguan impulsif pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber utama, yaitu : Gempa didasar laut, Letusan gunung api didasar laut, dan Longsoran yang terjadi di dasar laut. Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya impulsif bersifat transien yaitu gelombangnya bersifat sesar. Gelombang semacam ini berbeda dengan gelombang laut lainnya yang bersifat kontinyu, seperti gelombang laut yang ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa. Periode gelombang tsunami ini berkisar antara 10-60 menit. Gelombang tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar sampai mencapai 100 km. Kecepatan rambat gelombang tsunami di laut dalam mencapai antara 500 sampai 1.000 km/jam. Kecepatan penjalaran tsunami ini sangat tergantung dari kedalaman laut dan penjalarannya dapat berlangsung mencapai ribuan kilometer. Apabila tsunami mencapai pantai, kecepatannya dapat mencapai 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya.

21

Kalau ditengah lautan tinggi gelombang tsunami paling besar sekitar 5 meter, maka pada saat mencapai pantai tinggi gelombang dapat mencapai puluhan meter. Karena terjadi penumpukan massa air, maka pada saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai. Tinggi rayapan (run-up) tsunami ini dapat mencapai belasan meter atau bahkan puluhan meter dengan jangkauan mencapai sekitar 5000 m dari garis pantai. Tinggi tsunami dapat mencapai harga maksimum di pantai yang berbentuk corong ataupun teluk yang biasanya merupakan daerah pelabuhan atau tempat pemukiman nelayan. Dampak negatif yang diakibatkannya menyebabkan genangan, kontaminasi air asin lahan pertanian, tanah dan air bersih. Disamping itu tsunami dapat merusak bangunan, prasarana dan tumbuh-tumbuhan serta mengakibatkan korban jiwa manusia. Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan bencana tsunami, yaitu kelompok Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Teluk dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan bencana ini. Apalagi biasanya para nelayan mencari ikan dan bermukim di teluk. Selain itu daerah ini juga memiliki pantai landai yang memungkinkan gelombang pasang merayap ke daratan. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya. Selama kurun waktu 1600–1999 terdapat 105 kejadian tsunami dimana 90% disebabkan oleh gempa-gempa tektonik, 9 % disebabkan oleh letusan gunung api dan 1 % disebabkan oleh longsoran. Rata-rata interval waktu kejadian tsunami adalah 10 tahun.

22

Data tsunami di Indonesia menunjukan bahwa gempa-gempa pembangkit tsunami mempunyai magnitudo berkisar antara M = 5,6– 7,0 dengan kedalaman hiposenter berkisar antara 13 – 95 km dengan kedalaman rata-rata sekitar 60 km. Magnitudo tsunami (biasanya ditulis dengan m dalam Skala Imamura) menyatakan tinggi rendahnya gelombang tsunami yang sampai di pantai (lihat tabel). Magnitudo Tsunami juga mempresentasikan besarnya energi gelombang yang di hasilkan. Besar energi gelombang tsunami (m) mempunyai korelasi linear dengan besarnya magnitude gempa dalam Skala Richter (M) dengan hubungan empiris sebagai berikut (perhitungan data tsunami Jepang) :

Tabel 1 : Klasifikasi Tsunami

m = 2,61 M - 18,44 Suatu gempa yang terjadi di dasar laut dengan magnitude M = 9,0, akan menghasilkan magnitude tsunami m = 5,0 dengan tinggi gelombang tsunami pantai sebesar > 32 meter dengan energi 23 gelombang sebesar 25,6 x 10 erg. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami amat beragam dan dapat dikelompokan menjadi beberapa tipe sebagai berikut :

Sumber : Skala Imamura

a.

kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang,

3.2.1

b.

keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus air laut yang amat deras,

3.2.1.1 Analisis Bahaya Tsunami

c.

kerusakan struktural bangunan akibat hantaman benda-benda keras, seperti kapal dan semacamnya yang terbawa oleh gelombang.

IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN TSUNAMI

Analisa bahaya tsunami ditujukan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Daerah bahaya tsunami tersebut dapat diidentifikasi dengan 2 (dua) metode :

1. Mensimulasikan hubungan antara pembangkit tsunami (gempa bumi, letusan gunung api, longsoran dasar laut) dengan tinggi gelombang tsunami. Dari hasil simulasi

23

24

tinggi gelombang tsunami tersebut kemudian disimulasikan/dioverlay lebih lanjut dengan kondisi tata guna, topografi, morfologi dasar laut serta bentuk dan struktur geologi lahan pesisir.

2. Memetakan hubungan antara aktivitas gempa bumi,

letusan gunung api dan longsoran dasar laut dengan terjadinya gelombang tsunami berdasarkan sejarah terjadinya tsunami. Dari hasil analisa tersebut kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak gelombang tsunami.

Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan serangkaian data tentang kondisi topografi, geologi dan morfologi dasar laut serta bentuk pantai, data potensi gempa bumi, data potensi gunung api dan data potensi kelongsoran tanah. Dengan teknik overlay antara hasil simulasi terjadinya tsunami atau sejarah terjadinya tsunami dengan peta topografi dan geologi didapatkan peta daerah yang rawan tsunami. Informasi lain dari Peta Bahaya Tsunami tersebut meliputi antara lain: karakteristik pembangkit yang dapat menimbulkan gelombang tsunami, kecepatan, tinggi dan arah gelombang, pola arus energi gelombang tsunami serta jenis ancaman tsunami (jarak dekat/ jarak jauh). Informasi kejadian gempa bumi, letusan gunung api serta longsor dasar laut yang dapat menimbulkan bencana tsunami perlu dikaji lebih lanjut mengingat tidak semua kejadian gempa bumi, letusan gunung api maupun longsoran dasar laut dapat menimbulkan tsunami. Selain itu mengingat ancaman tsunami ada yang jarak dekat maupun jarak jauh maka informasi tentang potensi terjadinya gempa bumi di

25

negara lain yang dapat memicu terjadinya gelombang tsunami di Indonesia juga perlu dikaji lebih mendalam. Perhitungan besarnya energi gelombang tsunami diperlukan sebagai bahan masukan dalam merancang standar kekuatan infrastruktur, sarana dan prasarana maupun bangunan lain yang ada disekitar daerah rawan bahaya tsunami. 3.2.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Tsunami Analisa kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami yang berupa jumlah korban jiwa dan kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek yang berupa hancurnya pemukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun jangka panjang yang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumber daya alam lainnya. Analisa kerentanan tersebut didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan tsunami, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat pada sektor kelautan, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun penyelamatan serta keterbatasan akses komunikasi. Komposisi usia masyarakat yang banyak anakanak dan usia lanjut serta rendahnya tingkat pendidikan dalam kaitannya dengan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana tsunami juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana tsunami. Banyaknya industri berbahaya yang dibangun dikawasan pesisir seperti industri minyak dan gas serta industri bahan kimia apabila tidak diantisipasi dapat mengakibatkan terjadinya dampak ikutan setelah tsunami yang berupa kebakaran dan pencemaran lingkungan.

26

3.2.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Tsunami Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana. 3.2.2

Mitigasi Bencana Tsunami

3.2.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural Upaya struktural dalam menangani masalah bencana tsunami adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Mengingat tsunami menjalar secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap bidang subduksi, sedangkan secara garis besar teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan yang potensial terhadap bahaya tsunami (yaitu yang mengandung langsung ke zona subduksi) dapat ditetapkan, dan trayek penjalaran tsunami ke teluk-teluk atau pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat

27

diperkirakan. Berdasarkan pemahaman atas mekanisme terjadinya tsunami, karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan, maka upaya struktural tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau mangrove), di sepanjang perlindungan terumbu karang.

2. Buatan,

kawasan

pantai

dan

a) pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan tsunami, b) memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa insentif, antara lain: Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan tahan tsunami, Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain, dan menata kembali pemukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.

28

3.2.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut meliputi antara lain :

1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam,

2. kebijakan tentang tata guna lahan / tata ruang/ zonasi kawasan pantai yang aman bencana,

3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (pemukiman maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan prasarana,

4. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal, 5. pembuatan Peta Potensi Bencana Tsunami, Peta Tingkat

Kerentanan dan Peta Tingkat Ketahanan, seingga dapat didesain komplek pemukiman “akrab bencana” yang memperhatikan beberapa aspek :

a. bangunan permukiman tahan terhadap bencana tsunami,

b.

mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana,

c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi, dan d. aspek sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar kegiatan perekonomiannya tergantung pada hasil dan budidaya kawasan pantai.

29

6. kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai,

7. pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, 8. penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami, dan

9. pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.

Ancaman tsunami dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu ancaman tsunami jarak dekat (local) dan ancaman tsunami jarak jauh. Kejadian tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal yang terjadi sekitar 10 – 20 menit setelah terjadinya gempa bumi dirasakan oleh masyarakat setempat. Sedangkan tsunami jarak jauh terjadi 1 – 8 jam setelah gempa dan masyarakat setempat tidak merasakan getaran gempa buminya. Informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem monitoring terdiri dari beberapa proses sebelum menjadi peringatan yaitu proses deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan tsunami, perkiraan resiko dan peringatan. Sistem pengamatan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sekarang ini memerlukan waktu 30 menit sampai 3 jam untuk menyelesaikan proses di atas. Saat ini BMG yang mempunyai tugas memantau aktivitas gempa bumi dan tsunami mengoperasikan jaringan pemantau gempa bumi yang terdiri dari 58 sensor. Sistem pemantauan tersebut dibagi menjadi 5 (lima) Wilayah Jaringan Regional yang berpusat di Medan, Ciputat (Jakarta), Denpasar, Makasar dan Jayapura. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa Pemerintah Daerah maupun Perguruan Tinggi memiliki jaringan seismograf.

30

Gambar 3.1. Gempa yang menimbulkan tsunami di Indonesia da

Melihat kondisi tersebut di atas terlihat bahwa sistem peringatan dini terjadinya bencana tsunami yang ada di Indonesia sangat tidak efektif. Hal ini disebabkan antara lain:

a. sistem pengamatan yang memerlukan waktu antara 30 menit sampai 3 jam tidak sesuai dengan karakteristik bencana tsunami di Indonesia yang cenderung bersifat lokal dengan waktu 10 – 20 menit,

b. sistem pengamatan tersebut belum terintegrasi dengan kondisi riil di lapangan; hal ini selain disebabkan keterbatasan jumlah stasiun pengamatan yang ada juga sosialisasi di lapangan belum terintegrasi dengan intansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan pantai, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan,

c. belum adanya mekanisme komunikasi antara stasiun pengamatan (yang dikelola BMG) dengan daerah yang rawan bencana. Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif jika mekanisme komunikasi dan diseminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut serta letusan gunung api yang dapat memicu terjadinya gelombang tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat. Salah satu upaya yang diperlukan terkait dengan teknologi peringatan dini adalah sistem TREMORS (Tsunami Risk Evaluation through Seismic Moment from Real-Time System) yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik tsunami di Indonesia. Selain itu, mekanisme komunikasi dan diseminasi informasi tentang bencana gempa (sebagai penyebab bencana tsunami) dari BMG perlu diintegrasikan dengan Departemen Kelautan dan Perikanan.

31

32

Gambar 3.2. Daerah rawan tsunami di Indonesia Pesisir rawan tsunami TrenchFault 33

3.3

BENCANA BANJIR

Masalah banjir di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang ini masih merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan. Berhubung fungsi kota-kota pantai sebagai pusat pertumbuhan perekonomian maka masalah banjir ini menjadi pemikiran dan keprihatinan pemerintah karena sangat mempengaruhi tata kehidupan baik dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah campur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Yang dimaksud dengan keadaan alam disini adalah kondisi kota-kota pantai yang umumnya terletak di dataran pantai yang cukup landai dan dilalui oleh sungai-sungai sehingga ketika pasang naik sebagian wilayah tersebut akan berada di bawah permukaan air laut. Selain itu curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan paras muka air laut (sea level rise) juga merupakan sebab-sebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Mengenai ulah campur tangan manusia (anthropogenic) umumnya disebabkan oleh pengembangan kota yang sangat cepat akan tetapi belum sempat atau mampu membangun sarana drainase ramah lingkungan, adanya bangunan-bangunan liar di dalam sungai, sampah yang dibuang di saluran dan sungai yang mengganggu aliran sungai, penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daya resap tanah di daerah tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan aliran permukaan (surface run-off) berupa banjir.

34

Adanya reklamasi pantai di daerah rawa-rawa di wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi sebagai daerah tampungan sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi juga akan mengakibatkan aliran sungai makin lambat. Karena kecepatan berkurang maka laju sedimentasi di muara akan bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan muara akan menimbulkan efek pembendungan yang cukup signifikan yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi banjir karena kapasitas tampang sungai yang terlampaui oleh debit sungai. Selain itu penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibabkan penurunan tanah (land subsidence) sehingga memperbesar potensi banjir. Daerah pesisir rawan banjir di Indonesia meliputi Jakarta, Pantura Jawa, Lampung, Palembang, Aceh, Sumatra Barat, Manado, Minahasa, dan Pulau Sumbawa. 3.3.1

Identifikasi Daerah Rawan Banjir

Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan serangkaian data tentang kondisi topografi, geologi, tata guna lahan daerah tangkapan air dan pesisir, kondisi pasang surut, kondisi aliran sungai, sistem drainase perkotaan dan prakiraan intensitas curah hujan. Secara rinci informasi yang perlu dimunculkan dalam peta bahaya banjir tersebut meliputi antara lain : 1. intensitas curah hujan pemicu terjadinya banjir, 2. kedalaman banjir (contoh: 0 – 0.5 meter, 0.5 – 1.0 meter, 1.0 meter lebih), 3. lokasi serta luasan yang akan tergenang berdasarkan curah hujan tertentu, 4. lama waktu terjadinya genangan alirannya, dan

serta

kecepatan

5. sumber banjir serta periode ulangnya.

3.3.1.1 Analisis Bahaya Banjir 3.3.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Banjir Analisis bahaya banjir ditujukan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena genangan banjir. Daerah bahaya banjir/peta bahaya banjir tersebut dapat diidentifikasi melalui 2 (dua) metode : 1. Mensimulasikan intensitas serta tinggi curah hujan, tataguna lahan, luasan daerah tangkapan air, debit aliran permukaan, kondisi aliran sungai dan saluran drainase lainnya serta kondisi pasang surut kemudian di-overlaykan dengan peta topografi di daerah hilir 2. Memetakan hubungan antara intensitas serta tinggi curah hujan dengan lokasi yang tergenang berdasarkan sejarah terjadinya banjir.

35

Analisis kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya banjir berupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi baik dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka panjang yang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumberdaya alam lainnya. Analisa kerentanan tersebut didasarkan pada beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan permukiman di daerah rawan

36

banjir, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat di sekitar lokasi rawan banjir serta keterbatasan akses komunikasi dan informasi. Komposisi usia masyarakat yang banyak anak-anak dan usia lanjut juga merupakan faktor meningkatnya kerawanan daerah tersebut. Rendahnya tingkat pendidikan dan keterkaitannya dengan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana banjir dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana banjir. Selain itu, industri berbahaya yang dibangun dikawasan rawan banjir seperti industri bahan kimia, apabila tidak diantisipasi dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya dampak ikutan berupa terjadinya pencemaran lingkungan serta munculnya berbagai macam penyakit apabila terjadi banjir. 3.3.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Banjir Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana banjir sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses

37

mobilitas masyarakat dalam evakuasi mempertinggi ketahanan terhadap bencana. 3.3.2

juga

ikut

Mitigasi Bencana Banjir

3.3.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Banjir Struktural Upaya struktural dalam menangani masalah bencana banjir adalah upaya teknis yang bertujuan untuk menghambat laju air menuju muara sungai mulai dari daerah hulu, memperlancar aliran secara proporsional dan mencegah adanya luapan air sungai atau terjadinya genangan berlebihan air di daerah titik-titik rawan banjir. Upaya struktural tersebut didasarkan pada pendekatan konservasi dan pembangunan : 1. pembangunan tanggul di pinggir titik-titik daerah rawan banjir serta waduk pada daerah genangan air, 2. pembangunan kanal-kanal untuk menurunkan ketinggian air di daerah aliran sungai dengan menambah dan mengalihkan arah aliran sungai sekaligus untuk irigasi, 3. membangun river side conservation area di daerah tengah dan hulu, bertujuan untuk menahan air tidak segera menuju muara, 4. pembangunan poulder, bertujuan untuk mengumpulkan dan memindahkan air dari tempat yang mempunyai elevasi lebih tinggi dengan menggunakan pompa, 5. normalisasi secara selektif sungai bertujuan untuk melancarkan dan mempercepat aliran air sungai secara proporsional, dan

38

6. pembangunan pintu-pintu air pengendali banjir di ruasruas sungai sehingga debit sungai akan sesuai dengan kapasitas sungai. Pemilihan jenis konstruksi dan prasarana pengendali banjir khususnya untuk tersebut dilakukan pengenalan/pengecekan (reconnaissance), penyusunan masterplan, studi kelayakan rancang bangun dengan pertimbangan ekologis dan teknis secara terpadu. 7. penghijauan (reboisasi) daerah-daerah yang rawan banjir. 8. desain komplek permukiman yang “akrab bencana”, dengan memperhatikan beberapa aspek: a) bangunan permukiman yang sesuai di daerah dataran banjir, b) mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana, c) ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi, d) aspek sosial ekonomi masyarakat, dan e) pembangunan permukiman kembali yang sesuai dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana banjir dan tata ruang akrab bencana dengan beberapa insentif yang perlu dikembangkan antara lain : Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan sesuai di dataran banjir Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.

39

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memindahkan sebagian permukiman ke lokasi lain dan menata kembali permukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan permukiman akrab bencana. 3.3.2.2 Upaya mitigasi bencana banjir non struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut meliputi antara lain : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. kebijakan tentang tata guna lahan di dataran banjir dan daerah tangkapan air, 3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (permukiman maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan prasarana, 4. pembuatan Peta Potensi Bencana Banjir, Peta Tingkat Kerentanan dan Peta Tingkat Ketahanan , 5. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal serta mikrozonasi sistem drainase perkotaan dan sistem pengelolaan sampah. 6. kebijakan tentang penerapan batas sempadan sungai, 7. pelatihan dan simulasi serta sosialisasi mitigasi bencana banjir, 8. pengendalian curah hujan untuk mengurangi intensitas curah hujan.

40

9. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir

3.4

Hakekat sistem peringatan dini adalah memanfaatkan waktu antara datangnya banjir di hulu dan hilir untuk melakukan tindakan antisipasi di kawasan yang beresiko mengalami banjir.

Bencana gempa bumi tidak hanya melanda kawasan permukiman, perkantoran maupun industri didaratan tetapi juga terjadi di daerahdaerah pesisir. Pengalaman bencana gempa bumi di masa lalu di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas struktur bangunan yang mengalami kerusakan parah adalah tipe non-engineered buildings, yaitu bangunan-bangunan sederhana (1-2 lantai) yang tidak memanfaatkan jasa sarjana teknik pada saat merancang dan membuatnya sehingga sistem struktur, mutu pengerjaan maupun material yang digunakan cenderung belum memenuhi standar minimal peraturan yang berlaku. Meski demikian, non-engineered buildings yang benar-benar mengikuti konsep bangunan tradisional setempat dengan memanfaatkan material lokal di sekitarnya terbukti secara struktural cukup bagus responnya pada saat terjadi gempa bumi. Prioritas yang utama yang harus diperhatikan adalah penanganan dan pembenahan non-engineered buildings.

Sistem peringatan dini secara garis besar terdiri dari komponen sebagai berikut:

a. Pusat Pengendali yang beroperasi penuh di musim penghujan dan di musim kemarau minimal beroperasi sebagai pengumpul catatan data muka air.

b. Stasiun Pengamat di lokasi-lokasi yang dipilih. Pada setiap Stasiun Pengamat dipasang papan duga (peilskal) yang sudah dikalibrasi dalam SOP, RTD dan perangkat keras komunikasi.

c. Perangkat Keras Komunikasi yang menghubungkan Stasiun Pengamat Hulu, Stasiun Pengamat Hilir dan Pusat Pengendali.

d. Perangkat Lunak Hukum berupa SOP dan RTD.

Perangkat ini mengatur informasi apa yang harus disampaikan, kapan dan kepada siapa.

e. Perangkat Lunak Teknik berupa diagram penelusuran banjir (flood routing) yang disusun secara spesifik sesuai dengan karakteristik kewilayahan. Pembuatan diagram penelusuran banjir merupakan salah satu komponen yang perlu dijadualkan dalam rencana induk penanganan banjir.

BENCANA GEMPA BUMI

Pada saat terjadi gempa bumi, tanah dibawah fondasi bangunan akan bergetar hebat secara random dalam arah 3 dimensi selama 0,5 s/d 1,5 menit dan getaran tersebut menjalar ke bangunan dia atasnya sambil mengalami amplifikasi. Komponen percepatan getaran arah vertikal lazimnya relatif lebih kecil dibanding komponen horizontalnya. Akibatnya elemen-elemen pembentuk struktur bangunan apabila tidak disambung dengan baik, cenderung akan saling terpisahkan. Tipikal kerusakan non-engineered buildings akibat gempa, yang menjadi pemicu keruntuhan dan lazimnya mengakibatkan korban jiwa karena tertimpa reruntuhan bangunan, umumnya dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut : a. atap cenderung tercabut/terlepas dari terpental,

perletakannya dan

b. dinding-dinding cenderung terkoyak, terpisah dari elemen lainnya, retak diagonal dan roboh,

41

42

c. kerusakan akibat terjadinya puntiran pada bangunan yang berdenah tidak simetris, d. kerusakan pada sudut-sudut bukaan pada dinding akibat konsentrasi tegangan, e. benturan antar bangunan-bangunan yang berdekatan, f. kerusakan akibat perubahan menyolok pada kekakuan atau massa elemen struktur, g.

sambungan yang lemah antara dinding dengan dinding, dinding dengan atap dan dinding dengan fondasinya,

h. lenturan kolom yang berlebihan, i.

j.

kerusakan elemen-elemen struktur yang relatif kaku namun tidak cukup kuat dan sistem sambungan antar elemen struktur yang tidak mencukupi, mutu pengerjaan yang kurang baik dan material yang kurang memenuhi syarat,

k. dinding-dinding tinggi yang tidak diberi bingkai secukupnya. 3.4.2

Identifikasi Daerah Rawan Gempa Bumi

3.4.1.1 Analisis Bahaya Gempa Bumi Analisis bahaya gempa bumi ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami gejala gempa bumi baik yang disebabkan oleh gempa tektonik maupun gempa vulkanik. Gempa bumi biasanya terjadi dalam waktu yang relatif singkat dengan beberapa faktor penyebab yang dominan, antara lain terjadinya patahan yang apabila terjadi di daerah lautan yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami, selain itu terdapat pula adanya gerakan-gerakan magma di daerah gunung berapi aktif.

43

3.4.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Gempa Bumi Gempa maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana. Hal lainnya adalah pembangunan infrastruktur yang tidak mengikuti kaedahkaedah bangunan tahan gempa. Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan gempa bumi, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun penyelamatan serta keterbatasan akses komunikasi. Kesadaran serta kesiapan masyarakat untuk melakukan tindakan pengamanan dirasakan sangat penting, khususnya yang melibatkan peran aktif masyarakat. Selain itu, industri berbahaya yang dibangun di kawasan rawan gempa seperti industri bahan kimia, apabila tidak diantisipasi dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya dampak ikutan berupa terjadinya pencemaran lingkungan serta munculnya berbagai macam penyakit. 3.4.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Gempa Bumi Dari peta zonasi kegempaan Indonesia terlihat bahwa sekitar 290 kota atau 60 % dari 481 kota di Indonesia terletak pada wilayah yang cukup rawan terhadap gempa dan sebagian besar dari kota-kota tersebut berada pada daerah pesisir.

44

Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana gempa bumi sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana. 3.4.2

Mitigasi Bencana Gempa Bumi

3.4.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Struktural Upaya struktural dalam menangani bencana gempa bumi adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meminimalkan kerusakan bangunan (terutama pemukiman), korban jiwa dan harta benda akibat gempa bumi. Langkah mitigasi yang bertujuan utama untuk secara bertahap meningkatkan kualitas bangunan non-engineered di suatu wilayah sehingga memenuhi persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama, melalui peningkatan kualitas material yang digunakan, kualitas sistem strukturnya dan kualitas pengerjaan serta ketrampilan para tukang/pekerja bangunan di wilayah tersebut. Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan antara lain:

45

Upaya mitigasi bencana gempa bumi struktural antara lain meliputi : 1. membangun bangunan baru tahan gempa bumi (engineered building) 2. meningkatkan kualitas bangunan non-engineered di suatu wilayah sehingga memenuhi persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama, melalui peningkatan kualitas material yang digunakan, kualitas sistem strukturnya dan kualitas pengerjaan serta ketrampilan para tukang/pekerja bangunan di wilayah tersebut. 3.4.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut antara lain meliputi: 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. membuat pedoman konstruksi bangunan baru yang tahan gempa khusus untuk non-engineered buildings yang sesuai untuk wilayah pesisir pantai dengan penyajian yang sederhana, praktis, informatif dan mudah diikuti, 3. membuat pedoman cara pengkuatan dan retrofitting bangunan yang sudah ada agar tahan gempa khusus untuk non-engineered buildings yang sesuai untuk wilayah pesisir pantai, 4. menyelenggarakan penyuluhan pada masyarakat dan petugas terkait secara intensif dan berkesinambungan mengenai butir 2 dan 3 serta mengakrabkan masyarakat

46

dengan permasalahan bencana alam yang mungkin terjadi di wilayah yang ditempatinya berikut cara penyesuaian diri dan mempersepsinya secara positif, 5. menyelenggarakan pelatihan bagi para konsultan perencana/pengawas, kontraktor dan staf teknis mengenai butir 2 dan 3, 6. penyediaan Peta Zonasi Gempa yang digunakan sebagai dasar perencanaan dan pengembangan daerah, 7. penyediaan layanan evaluasi gratis (oleh instansi yang berwenang) kondisi struktural bangunan yang telah ada dan konsultasi teknis cara-cara penguatannya, 8. menyelenggarakan program sertifikasi dan lisensi untuk pembangun dan kontraktor, 9. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Gempa Bumi Untuk memantau gempa bumi, BMG telah mengoperasikan jaringan pemantau gempa bumi yang terdiri dari 57 sensor pencatat, baik non-telemetri maupun telemetri. Jaringan non-telemetri mulai beroperasi dengan dipasangnya seismograf Wiechert tahun 1908 di Jakarta dan mulai dikembangkan dengan peralatan Short Period Seismograph tahun tujuh puluhan sehingga saat ini mencapai 30 jumlahnya. Jaringan pemantau gempa bumi telemetri sejumlah 27 yang tersebar di lima balai wilayah dilengkapi dengan sistem komunikasi dan pengolah data, dengan Pusat Gempa Regional terletak di Medan, Ciputat, Denpasar, Ujung Pandang dan Jayapura yang telah dioperasikan sejak tahun 1991. Disamping itu secara real time beberapa rekaman data dari masing-masing wilayah di kirim ke Pusat Gempa Nasional di Jakarta. Dengan sistem

47

telemetri ini pusat gempa bumi dapat ditentukan dalm waktu relatif singkat baik oleh Pusat Gempa Regional maupun oleh Pusat Gempa Nasional di Jakarta. 3.5

BENCANA ANGIN TOPAN/BADAI

Karena posisi geografisnya, wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia cukup rentan terhadap bencana angin topan/badai . Angin topan adalah suatu badai tropikal yang hebat dari pelepasan banyak energi dalam satu hari sebanyak satu megaton bom hydrogen. Angin topan/badai ini dapat mencapai kecepatan 200 2 km/jam dengan tekanan tiup mencapai 200 kg/m . 3.5.2

Identifikasi Daerah Rawan Angin Topan/Badai

3.5.1.1 Analisis Bahaya Angin Topan/Badai Analisis bahaya angin topan/badai ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana angin topan/badai. Bahaya angin topan/badai pada suatu daerah dapat diketahui melalui perkiraan angin topan/badai yang akan terjadi. 3.5.1.2 Analisis Tingkat Topan/Badai

Kerentanan

terhadap

Angin

Bencana angin topan/badai maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama

48

adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana. Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan angin topan/badai, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun penyelamatan serta keterbatasan akses komunikasi. Selain itu, industri berbahaya yang dibangun di kawasan rawan anin topan/badai seperti industri bahan kimia, apabila tidak diantisipasi dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya dampak ikutan berupa terjadinya pencemaran lingkungan serta munculnya berbagai macam penyakit. 3.5.1.3 Analisis Tingkat Topan/Badai

Ketahanan

terhadap

Angin

Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana angin topan/badai sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana.

49

3.5.2

Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai

3.5.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural Upaya struktural dalam menangani bencana angin topan/badai adalah upaya teknis yang bertujuan untuk mencapai lingkungan yang lebih tahan bencana angin topan/badai. Upaya penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara lain: low cost roof retrofitting, terutama struktur atapnya yang rentan terhadap kerusakan akibat angin topan/badai 3.5.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya penanggulangan secara non strukural yang dapat dilakukan antara lain: 1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam, 2. pemetaan bahaya sentakan badai, 3. lifeline vulnerability audits untuk mempromosikan kesiagaan masyarakat terhadap bencana, 4. sosialisasi peraturan pembangunan dan konstruksi yang baik dan aman dan lain-lain,

cara-cara

5. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin Topan/Badai

50

Sewaktu terjadi angin topan/badai, masyarakat di evakuasi ke tempat yang aman dengan cara mengumumkannya melalui: 1. para pejabat publik (tingkat keberhasilan 35%-97%, tergantung cara penyampaian), 2. radio atau televisi, 3. otoritas polisi, pemadam kebakaran dan lain-lain yang menyampaikan berita tersebut dari pintu ke pintu (tingkat keberhasilan 97%), 4. loudspeaker yang terbukti kurang efektif, dan 5. pemberitaan otomatis melalui telepon. 6. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin Topan/Badai Perkiraan terjadinya angin topan/badai dilakukan oleh BMG selaku instansi yang bertanggung jawab dalam prakiraan cuaca. Saat ini BMG telah memiliki jaringan pemantau cuaca pada 175 stasiun BMG di seluruh Indonesia. Selain itu BMG juga telah merehabilitasi Radar Cuaca di lima Stasiun Meteorologi sehingga keluaran radar dapat berupa gambar tiga dimensi. 3.6

BENCANA KENAIKAN PARAS MUKA AIR LAUT (SEA LEVEL RISE)

berakibat pada Sea Level Rise (SLR). Berdasarkan IPCC (1990) diperkirakan terjadi SLR sebesar 1 meter pada tahun 2100 dihitung mulai tahun 1990. Hal tersebut mengakibatkan mundurnya garis pantai. Salah satu cara paling sederhana untuk memperkirakan kemunduran garis pantai adalah dengan menganggap profil pantai setelah SLR adalah tetap. Dengan anggapan seperti ini maka besarnya kemunduran garis pantai adalah sebanding dengan SLR dibagi dengan kemiringan pantai. Dampak lain akibat SLR adalah terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir yang disebabkan oleh adanya efek pembendungan oleh adanya SLR. Pembendungan ini menyebabkan kecepatan berkurang dan laju sedimentasi di muara akan bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan muara akan menimbulkan juga efek pembendungan yang signifikan yang apa akhirnya akan meningkatkan frekuensi banjir karena tampang sungai yang terlampaui oleh debit sungai. Intrusi air laut ke darat juga merupakan masalah serius bagi kotakota pantai. Adanya pemanfaatan air tanah yang tidak memperhitungkan keseimbangan, mengakibatkan turunnya permukaan air tanah yang selanjutnya memberikan tingkat kemudahan bagi terjadinya intrusi air laut ke darat. Dengan adanya SLR juga mengakibatkan volume air laut yang mendesak ke dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke darat melalui sungai ini merupakan masalah bagi kota-kota pantai yang menggantungkan air bakunya dari sungai.

Peningkatan kegiatan manusia, khususnya kegiatan transportasi, industri, pembangunan gedung-gedung dengan seluruhnya hampir tertutup kaca, maka akan mengakibatkan peningkatan efek rumah kaca (green house effect). Salah satu dampak dari peningkatan rumah kaca ini adalah terjadinya pemanasan suhu di bumi (global warming) yang pada akhirnya akan mengakibatkan pemuaian air laut yang

Terjadinya SLR juga berdampak terhadap keamanan bangunan pantai yang ada. Karena adanya SLR akan menyebabkan peningkatan gelombang. Selain itu SLR juga akan meningkatkan overtopping bangunan tersebut, sehingga tingkat keamanan bangunan berkurang.

51

52

Selain itu pengaruh SLR dapat berdampak terhadap lingkungan biotik. Dengan adanya SLR lingkungan biotik akan terpengaruh terutama di daerah rawa dan perairan payau. 3.6.2

pesisir termasuk stakeholder di dalamnya, sarana prasarana transportasi, pelayaran, perikanan dan lain-lain, dampaknya terhadap ekosistem pesisir seperti terjadinya peningkatan erosi pantai, banjir, intrusi air laut, dan dampak terhadap infrastruktur di wilayah pesisir.

Identifikasi Daerah Rawan Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise)

3.6.1.1 Analisis Bahaya Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)

3.6.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana SLR sehingga mampu mengurangi dampaknya.

Analisis bahaya SLR ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana kenaikan paras muka air laut (SLR). Analisis ini dilakukan dengan melakukan perkiraan kenaikan paras muka air laut berdasarkan hasil pengamatan kenaikan muka air laut. Ha-hal yang perlu diidentifikasi meliputi panjang pantai dan kemiringan pantai, sehingga diperoleh skenario mundurnya garis pantai dari tahun ke tahun.

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.

3.6.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) Bencana kenaikan muka air laut (SLR) maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana. Beberap faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana. Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan, penduduk, aktivitas yang ada di wilayah

53

Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana 3.6.2

Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)

3.6.2.1. Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) Struktural Upaya struktural dalam menangani bencana SLR adalah upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi lingkungan

54

pesisir yang rawan terhadap bencana SLR. Upaya penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara lain:

Pengembangan sistem peringatan dini pada daerah yang rawan akibat kenaikan paras muka air laut ini dilakukan dengan memasang alat pemantau katinggian muka air laut automatic (Automatic Water Level Recorder/AWLR) dan pengamatan pasang surut air laut yang ditempatkan disetiap pelabuhan atau daerah pemukiman nelayan. Pemantauan dan pengamatan pasang surut air laut ini mutlak dilakukan pada daerah-daerah yang mempunyai indikasi banjir di daerah pesisir yang jauh dari muara sungai. Hasil pengamatan dan pemantauan ini di dikumpulkan dan dianalisis untuk dijadikan bahan pertimbangan langkah selanjutnya.

1. Membuat sistem pelindung pantai baik yang bersifat statis seperti pembangunan tanggul, seawall, revetment, groin, dan detached breakwater maupun yang dinamis seperti penanaman mangrove. 2. Mengangkat atau meninggikan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai. 3. Memindahkan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai ke arah darat yang aman dari jangkauan air laut. 4. Penyesuaian sistem drainase. 3.6.2.2. Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non struktural ini meliputi : 1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam, 1. penyusunan kebijakan untuk pemerintah terkait dan stakeholder tentang sistem perlindungan pantai. 2. pengembangan garis pantai (shoreline setback), seperti penyusunan kebijakan yang mengatur ijin bangunan terhadap lahan yang terkena erosi akibat SLR.

3.7

BENCANA KEKERINGAN

Kekeringan terjadi apabila ketersediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya. Bencana kekeringan diakibatkan oleh iklim yaitu akibat akibat musim kemarau panjang sehingga kesulitan akan air untuk kebutuhan air minum. Ditinjau dari waktu terjadinya, kekeringan dapat terjadi sepanjang tahun, tidak menentu atau bahkan dapat tidak terlihat. 3.7.1

Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan di Wilayah Pesisir

3.7.1.1 Analisis Bahaya Kekeringan Analisis bahaya kekeringan ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana kekeringan. Bahaya kekeringan dapat diketahui dari perkiraan iklim yang terjadi di wilayah pesisir.

3. pengembangan Sistem Peringatan Dini Kenaikan Paras Muka Air Laut

55

56

3.7.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Kekeringan Kekeringan maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana. Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan penduduk, aktivitas yang ada di wilayah pesisir termasuk stakeholder di dalamnya, kondisi penutupan lahan, sumber-sumber air, dan tingkat pemanfaatan air baik air permukaan maupun air tanah. 3.7.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kekeringan Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana kekeringan sehingga mampu mengurangi dampaknya.

mobilitas masyarakat dalam evakuasi mempertinggi ketahanan terhadap bencana. 3.7.2

juga

ikut

Mitigasi Bencana Kekeringan di Wilayah Pesisir

3.7.2.1. Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Struktural Upaya struktural dalam menangani bencana kekeringan adalah upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi lingkungan pesisir yang rawan terhadap bencana kekeringan. Upaya penanggulangan secara struktural yang dapat dilakukan antara lain: 1. Pembangunan waduk. 2. Pembuatan sumur-sumur resapan. 4.7.2.2. Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non struktural ini meliputi : 1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses

57

2. Mengefisienkan penggunaan air,

dan

melakukan

penghematan

3. Menginventarisasi dan mengevaluasi keadaan dan pola iklim, 4. Mengidentifikasi wilayah rawan kekeringan, 5. Membuat peta wilayah kekeringan,

58

6. Pengembangan Kekeringan

Sistem

Peringatan

Dini

Bencana

Perkiraan terjadinya kekeringan dilakukan oleh BMG (Badan Metereologi dan Geofisika) selaku penanggung jawab terhadap cuaca yang terkait dengan kekeringan.

3.8.2

Identifikasi Daerah Rawan Longsor Upaya mitigasi bencana non struktural ini dilakukan dengan mengidentifikas daerah rawan longsor, identifikasi tersebut antara lain :

3.8.1.1 Analisis Bahaya Longsor 3.8

BENCANA LONGSOR

Longsor merupakan suatu gerakan tanah dimana suatu masa tanah, batu, dan material campuran yang bergerak di sepanjang lereng gunung terutama di wilayah pulau-pulau kecil. Bencana longsor di Indonesia tersebar mengikuti penyebaran jalur gempa, patahan dan sebaran gunung api baik gunung api aktif maupun tidak aktif. Karena daerah tesebut bergunung-gunung berlereng terjal dengan batuan yang umumnya kurang kuat dan tanah penutupnya lembek dan tebal sehingga berpotensi untuk terjadi longsor terutama bila terjadi hujan dan gempa. Penyebab terjadinya tanah longsor karena faktor alam seperti hujan, kondisi geologi dan kondisi topografi serta dipicu oleh ulah manusia. Tanah longsor umumnya terjadi selama dan sesudah hujan lebat selama 10 jam. Tanah longsor dapat terjadi dengan adanya : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Analisis bahaya longsor ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana longsor. Analisis ini meliputi aspek kondisi alam, geologi, topografi, dan aktivitas manusia. 3.8.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Longsor Bencana longsor maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana.

Hujan Lereng Terjal Tanah tebal dan lembek serta batuan kurang kuat Lahan basah Getaran Susut muka air danau atau bendungan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan Pengikisan/erosi Adanya material timbunan pada tebing Bekas longsoran lama

59

60

3.8.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Longsor Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana longsor sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana 3.8.2

3.8.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Non Struktural Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non struktural ini meliputi : 1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam, 2. Pembuatan peta rawan bencana longsor. 3. Sosialisasi dan Penyadaran kepada masyarakat untuk tidak tinggal di daerah yang rawan longsor/daerah tebing. 4. Pengembangan sistem peringatan dini bencana longsor 5. Perkiraan terjadinya longsor dilakukan oleh instansi terkait yang berwenang menangani bahaya longsor, seperti Badan Geologi dan Vulkanologi.

Mitigasi Bencana Longsor

3.8.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Struktural Upaya struktural dalam menangani bencana longsor adalah upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi lingkungan pesisir yang rawan terhadap bencana kekeringan. Upaya penanggulangan secara fisik sangat bervariasi tergantung dari jenis longsoran dan mekanisme kejadiannya, yang antara lain meliputi : 1. Pembangunan tanggul penahan di lokasi-lokasi yang rawan bencana longsor, 2. Penataan saluran air yang memadai, 3. Reboisasi di daerah-daerah yang rawan longsor.

61

62

BAB IV KOORDINASI ANTAR INSTANSI Kelembagaan dalam penanggulangan bahaya nasional saat ini telah dibentuk mulai dari Tingkat Pusat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Bakornas PBP), Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satkorlak PBP) di Tingkat Provinsi, Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satlak PBP) di Tingkat Kabupaten/Kota dan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satgas PBP) di Tingkat Kecamatan/Desa. Organisasi Bakornas PB sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 2001 beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Perhubungan, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup, Panglima TNI, Kepala Kepolisisan RI dan Gubernur. Melihat perkembangan kedepan dimana sektor kelautan dan perikanan telah ditangani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, maka perlu adanya perubahan terhadap Keppres RI No. 3 Tahun 2001 tersebut.

63

BAB V PENUTUP Pedoman ini dikeluarkan untuk menjadi arahan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dalam menyusun perencanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 September 2004

DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

WIDI A. PRATIKTO

64

14. Ir. Eny Budi Sri Haryani

Kasubdit Pengendalian Pencemaran Laut, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Kabag Hukum Bantuan Hukum, DKP Kabag Perundang-undangan, DKP Kabag Hukum Laut, DKP Kabag Perjanjian dan Tata Perizinan, DKP Kasubdit Tata Ruang Pesisir dan Pantai, Dit. Tata Ruang P3K, Ditjen P3K, DKP Dit. Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen P3K, DKP Biro Perencanaan dan KLN, DKP Biro Keuangan, DKP Kabag Umum, Ditjen. P3K, DKP Kasubdit Teknologi Pengawasan dan Perlindungan Pesisir, BRKP - DKP Ditjen. P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Kepala Biro Mitigasi Bakornas PBP

UCAPAN TERIMA KASIH Saya selaku Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil maupun selaku pribadi, dengan ini mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya atas masukan, tanggapan, saran dan kritik yang membangun dalam proses konsultasi dan sosialisasi penyusunan Pedoman Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini sehingga dikeluarkannya Keputusan: SK.64A/P3K/IX/2004 tentang Pedoman Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ucapan terima kasih ini secara khusus ditujukan kepada yang terhormat :

15. 16. 17. 18.

Tini Martini, SH.M.Soc.Sci Darmanta, SH Hanung Cahyono, SH, LLM Supranawa, SH, MPA

19. Ir. H. Ansori Zawawi

20. Dr. Ir. Tony Ruchimat No.

Nama

Jabatan/Instansi

1. 2. 3.

Prof.Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Ir. Ali Supardan, MSc Ir. H. Irwandi Idris, MSi

4.

Dr. Ir. Alex SW Retraubun, MSc

5.

Ir. Ferrianto H.S. Djais, MA

6.

Ir. Yaya Mulyana

Menteri Kelautan dan Perikanan Sesditjen P3K, DKP Direktur Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Direktur Pulau-Pulau Kecil, Ditjen P3K, DKP Direktur Tata Ruang P3K, Ditjen P3K, DKP Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, DKP Ka. Biro Perencanaan dan KLN, DKP Ka. Biro Hukum dan Perizinan, DKP Deputi Meneg, LH Asdep P3TL - BPPT Kasubdit Mitigasi Lingkungan Pesisir, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Kasubdit Pengelolaan Pesisir Terpadu, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP Kasubdit Rehabilitasi dan Pendayagunaan Kawasan Pesisir, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP

7. 8. 9. 10. 11.

Ir. Saut P. Hutagalung, MSc Narmoko Prasmadji, SH, LLM Drs. Sudaryono Dr. Tusy A. Adibroto Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M. Eng 12. Dr. Ir. Sapta Putra Ginting , MSc

13. Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

65

21. 22. 23. 24.

Ir. Harun Alrasyid, MM Mufti Manurus, SE Ir. Didi Sadili Ir. Tukul Rameo Hadi, MT

25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.

Ir. Raja Pasaribu, MS Ir. Andry Indryasworo, MM Ir. Sudibyo, MM Agung Tri Prasetyo, SSi, MA Firdaus Agung K, ST Zuleha Ernas, SSi Fegi Nurhabni, ST Prita Dwi Wahyuni, SSi Ir. A. Haris Lain Enggar Sadtopo, ST, MT Ir. Sugeng Triutomo, DESS

36. Ir. Wisnu Widjaya, MSc

Kabag Bencana Alam, Biro Mitigasi Bakornas PBP Asdep Kajian Kebutuhan IPTEK RISTEK Kepala Bidang IPTEK RISTEK Kapuslitbang SDA Dep. Kimpraswil

37. Dr. Ir. Idwan Suhardi 38. Ir. Santoso Yudho, MSc 39. Ir. Diah Rahayu Pangesti, Dipl.

66

40. 41. 42. 43. 44.

HE, APU Dr. Ir. Untung Budi S., MSc

45.

Ir. Siswoko, Dipl. HE Ir. Amien Roychanie Ir. Wahyuningsih D., MSc Ir. Simon Laksmono Himawan, MA Ir. Tommy Hermawan, MA

46.

Dr. Gunawan Ibrahim

47.

Drs. Sunaryo, M.Sc.

48.

Dr. Ir. Fauzi

49. 50.

Drs. Sugiatno Ir. Surono

51. 52.

Hendri Subakti Dr. Ir. Ahmad Djumarma Wirakusumah Dr. Ir. Dinar Catur MSc Ir. Heru Sri Naryanto, MSc

53. 54. 55. 56. 57. 58.

Ir. Naufal Bahreisy, MT Dr. Paulus Agus Winarso Dr. Parluhutan Manurung Dr. Bidawi Hasyim

59. 60. 61. 62.

Ir. M. Sidharta Dra. Meinarwati, APT, M.Kes Dr. Ir. Otto Ongkosongo, APU Dr. Ir. Harkunti P Rahayu

BPPT Kementrian Lingkungan Hidup Bakosurtanal Kepala Pusat Penginderaan Jauh LAPAN BP Reklamasi Pantura – Jakarta Dept. Kesehatan LIPI Kepala Laboratorium Manajemen dan

67

Kabid Konservasi d SDA dan Kawasan TRAUNAS, Kimp Dept. Kimpraswil Dept. Kimpraswil Bappenas Direktur Pengairan Bappenas Kasubdit Pengemb Laut, Bappenas Kepala Badan Met Geofisika Kepala Pusat Jaring BMG Kepala Bidang Sei dan Tsunami, BMG Kepala Bidang Kli Kasubdit Mitigasi B Dep. ESDM Koordinator Stasiu Direktur Vulkanolo Bencana Geologi, D BPPT Manager Program Alam, BPPT

80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87.

68

88. 89. 90.

Ir. I Made Sudarsana Ir. Saleh Purwan Ir. I Ketut Sudiarta, MSi

Ucapan terima kasih dan penghargaan ini juga saya sampaikan kepada berbagai pihak yang karena keterbatasan kami tidak dapat disebut satu per satu sebagaimana di atas. Tersusunnya Pedoman ini tidak lepas dari partisipasi aktif berupa kritik maupun saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan materi yang telah diberikan oleh saudara-saudara sekalian. Semoga usaha dan kerja keras Saudara dapat bermanfaat bagi terlaksananya program pengembangan pesisir dan pantai di Indonesia dan membantu dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir. DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR : SK –25A /P3K/V/2003 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL, Menimbang

:

WIDI A. PRATIKTO

a. Bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan Program Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dipandang perlu membentuk Tim Penyusunan Pedoman Umum Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir yang keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur instansi terkait; b. Bahwa nama-nama sebagaimana dimaksud didalam lampiran keputusan ini dipandang perlu untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut; c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Mengingat

:

1.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah; 2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah; 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

69

70

4.

5.

Menetapkan

PERTAMA

KEDUA

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 8. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.01/MEN/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.30/MEN/2001. MEMUTUSKAN : : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR. : Membentuk Tim Penyusun Pedoman Umum Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir yang terdiri dari Pengarah, Tim Teknis, dan Tim Pelaksana dengan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini. : Tim sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA mempunyai tugas sebagai berikut :

b. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas tim pelaksana.

KETIGA

KEEMPAT KELIMA

2. Tim Pelaksana : a. Menyusun sistem monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis. b. Melaksanakan pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir. c. Mempersiapkan rancangan Prosedut Tetap Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir. d. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait e. Menyusun guidelines dan arahan dalam pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan tinjauan secara teknis; : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA, Tim Teknis bertanggung jawab kepada Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tim Pelaksana Bertanggung Jawab kepada Direktur Bina Pesisir. : Masa kerja Tim Teknis dan Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA adalah 6 (enam) bulan sejak ditetapkan Keputusan ini. : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Pada tanggal

Widi A. Pratikto

Memberikan dukungan, masukan dan bimbingan teknis bagi semua instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan;

71

: Jakarta : 19 Mei 2003

Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

1. Tim Teknis : a.

laporan

72

Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor : SK- 25A/P3K/V/2003 Tanggal : 19 Mei 2003 SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR PENGARAH Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

12.

Ir. Simon Laksmono Himawan, MA

13.

Drs. Sunaryo

14.

Dr. Ir. A. Djumarma Wirahadikusumah

TIM PELAKSANA No. 1.

Dr. Ir. Subando

2.

Ir. M. Eko Rudi (IT)

3.

Ir. Eny Budi

4.

Dr. Ir. Sapta

5.

Ir. H. Ansori Zawaw

6.

Tini Martini, SH., M

7.

Dr. Ir. Nizam,

8.

Ir. Wisnu Widja

9.

Ir. Santoso Yudho,

TIM TEKNIS No. 1.

Ir. H. Irwandi Idris, MSi.

2.

Ir. Ali Supardan, MSc

3. Dr. Ir. Subandono D, M.Eng 4.

Ir. Saut P. Hutagalung, M.Sc.

5.

Ir. Ferrianto H.S. Djais, MA

6.

Dr. Ir. Alex Retraubun, M.Sc

7.

Ir. Diah Rahayu, APU

8.

Ir. Sugeng Triutomo, DESS

9.

Dr. Ir. Idwan Suhardi

10.

Drs. Sudaryono

11.

Narmoko Prasmadji, SH

73

Dr. Ir. Untung

10.

74

11.

Ir. Dinar Catur Istiyanto, M.Eng

12.

Ir. Heru Sri Naryanto, MSc

13.

Dr. Ir. Harkunti Rahayu

14.

Ir. Tommy Hermawan, MA

15.

Dr. Fauzi

16.

Dr. Paulus Agus Winarso

17.

Dr. Hamzah Latif

18.

Ir. Tukul Rameo Hadi, MT

19.

Dr. Ir. Djoko Legono

20.

Dr. Mahmud Mustain

21.

Dr. Ir.I.Handoko

22.

Dr. Parluhutan Manurung

Ditetapkan di Pada tanggal

: Jakarta : 19 Mei 2003

Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

Widi A. Pratikto

75

Related Documents

06-06
August 2019 80
06
October 2019 15
06
October 2019 16
06
November 2019 13
06
November 2019 12
06
June 2020 7

More Documents from ""