Wina Pung Skripsi Sth

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wina Pung Skripsi Sth as PDF for free.

More details

  • Words: 18,781
  • Pages: 94
MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP

Oleh Wina Citra Sembiring 231.2758

SKRIPSI SARJANA THEOLOGI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INDONESIA BAGIAN TIMUR MAKASSAR 2008

i

HALAMAN PERSEMBAHAN

Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatan-MU yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung. (Mazmur 40 : 6) Pujian bagi Allah yang Solider kepada Manusia dalam Yesus Kristus

Hasil perjuangan dan pergumulan Teologi ini penulis persembahkan kepada: Lembaga STT INTIM Makassar dan GBKP Bapak (Pt.B.Sembiring Kembaren) dan Mamak (I.Br Barus) Dan kepada saudara-saudariku Doris Haryadi Kembaren, Evaliata Br Kembaren dan Delfer Septianus Kembaren

ii

dalam setiap tetesan darah, air mata dan keringat, doa, pengharapan, kesabaran dan ketulusan serta setiap kata yang selalu memberi motifasi. IMANUEL DALAM DUNIA TERANG KRISTUS BERSINAR SERTIFIKAT UJIAN SKRIPSI

Semua yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa Skripsi Sarjana Teologi dengan judul: MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN “Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP” ( xii + 78 halaman ) Dipersiapkan oleh

: Wina Citra Sembiring

No. Stb

: 231.2758

Utusan

: Gereja Batak Karo Protestan

Jurusan

: S-1 Teologi

telah dipertahankan oleh penulisnya di hadapan para Penguji dan Panitia Ujian Skripsi STT INTIM Makassar pada tanggal 20 Agustus 2008, dan dinyatakan LULUS dengan nilai A. Makassar, 4 September 2008

Penguji I

: Pdt. Leonard P. Hutapea, M.Th

iii

......................................

Penguji II

: Pdt. Resty Arnawa Tehupeuyori, M.Th ......................................

Ketua Panitia Ujian : Pdt. Nitis Putra Harsono, M.Th

......................................

Dosen Pembimbing : Pdt. Dr. Yusuf G. Mangumban

......................................

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Ungkapan syukur kepada Allah dalam Yesus Kristus, yang karena kasih-Nya memberi kesempatan bagi penulis untuk melihat dunia dengan menjalani dan mengisi hidup ini dengan karya dan karsa. Akhirnya, tulisan tentang bagaimana kita membangun solidaritas kepada sesama korban bencana alam ini, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya selesai juga tepat waktunya. Anugerah-Nya telah memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini dengan penuh keyakinan sekalipun harus jatuh bangun. Perkenanan-Nya jugalah kiranya untuk penulis memasuki babak yang baru. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung selama proses pendidikan dan penulisan yang cukup berat, baik secara moril maupun material: 1. Pdt. DR. Yusuf G. Mangumban, sebagai dosen pembimbing yang telah rela memberikan waktu dan pikiran untuk berdiskusi serta dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak dan Mamak yang menjadi tempat mengadu, dalam kesederhanaan dan pengharapan tidak mengenal lelah dan penuh kasih selalu memberikan yang terbaik. Bapak dan mamak adalah kebanggaanku dan orang tua terbaik! 3. Abang Tua dan Eda serta keponakanku Joa, Kakak Eva dan abang, dan adekku Delfer yang telah menjadi saudara dan selalu berusaha untuk memahamiku. Terimakasih untuk setiap canda-tawa bahkan air mata dalam keharmonisan. Aku sangat menyayangi kalian!

v

Seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan memotifasiku, Nenek Ribu, Bibik dan Bapak, Bibi dan Kila, bujur melala!. Seluruh adekku, lakukan yang terbaik! 4. Pimpinan STT INTIM Makassar, Yayasan dan segenap Dewan Dosen yang telah membantu dan memberi sumbangan intelektual untuk mempersiapkan penulis berkarya. Kepada Pegawai STT INTIM Makassar, untuk semua bantuannya dalam mendukung kebutuhan akademik. 5. UPAM STT INTIM Makassar, yang memberi ruang lebih dari 3 tahun menjalani hidup dan studi di Makassar. Teman-teman Aspura dan Aspuri, dalam persaudaraan dan persekutuan bersama menjalani hidup yang penuh dengan dinamika. 6. Moderamen GBKP, yang telah merekomendasikan dan memberikan beasiswa prestasi bagi penulis untuk melanjutkan studi di lembaga STT INTIM Makassar. 7. Pdt. Marthen Manggeng, MT.h dan Pdt. Markus Lolo, MT.h, sebagai penasehat akademik bagi penulis selama berada di lembaga ini. Terimakasih untuk semua nasehat dan masukan yang diberikan bagi penulis. 8. Pdt. I Nyoman Murah, MT.h dan ibu, sebagai orang tua wali mahasiswa utusan GBKP atas pengarahan dan motifasi yang diberikan. 9. GTM Moria Makassar, GBKP Rg Bahorok dan Keluarga Ng. Sembiring, GKSB Jemaat Tamesassang – Sul - Bar dan GBKP Perpulugen Makassar dan warga jemaat sebagai orang tua dan saudara, yang telah menjadi wadah untuk belajar melayani dan mengenal jemaat.

vi

10. GBKP Rg. Yogyakarta dan Rg. Surabaya yang telah menerima kehadiran penulis melakukan penelitian dan juga telah banyak memberi bantuan tenaga dan pikiran. Pdt. Sabar Sembiring Brahmana dan keluarga dan Dkn. Bani Israel Karo-karo dan keluarga, serta Asna Wati br Ginting yang telah menyediakan tempat dan sarana selama penelitian. 11. Immanuel Antonius Mabilehi, aku bersyukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Terimakasih untuk kesetiaan dan kesabaran mendengar segala keluh kesahku dan untuk setiap motifasi yang membangkitkan semangat dan percaya diri. 12. Sahabat-sahabatku dari Bumi Turang: Maifrina V br Barus, S.Th dan Vic.Abadi Ginting (Inong jagalah hati dan kami tunggu undangannya!), Wanti Emteta br Depari, S.Th dan Adris (Cure kapan di Ginting kan implta ena?), Natalea A Br Tarigan, S.Th dan Jeremia ( Lepor segala sesuatu indah pada waktunya!) , Ria Angelia br Sitepu, S.Th dan ......... (Rimo aku bingung yang mana....!!! ), Magdalena S.N br Depari, S.Th (Ipeh yang manakah sebenarnya lelaki misterius itu?), Erlayas Monica br Tarigan, S.Th(Katruk jangan terus menjadi“ropah” sejati, ini jaman reformasi ces!), terimakasih untuk persahabatan yang selalu diwarnai dengan canda, tawa dan ketersinggungan yang membangun. Florentina br Meliala (sabar menunggu Lencang, masih banyak waktu dan kesempatan!) jangan patah semangat, maju terus dan masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan dari pada “hal-hal” sepele yang tidak bermanfaat. Kami tunggu di bumi turang!!!! 13. “Senina ras Turang dari Tanah Karo si Malem”, Elia dan Kak Deky (terimakasih untuk seperangkat komputer yang sangat mendukung penulisan

vii

skripsi ini. Tetap semangat, lakukan yang terbaik karena jodoh takkan lari kemana..!!??), Oktoria dan Vic. Romi P, Elba dan Ayen, Jerry, Pita dan Frans P, Diana dan Andri, Dona dan Renji, Anita dan......., Carilon, Yoan dan........, Erma dan......., Kiki, Nopa dan......, Imanuel dan Bayu dan ????? atas persaudaraan di tanah rantau dalam suka dan duka. Imanuel Sembiring, Eben Ginting, Christin, Amenda dan Elsa, lakukan dan berikan yang terbaik!!!!! 14. Kakak-kakak yang selalu menjadi teman suka dan duka serta telah menggoreskan kenangan yang tak terlupakan, Vic.Sri Pinta Br Ginting, Vic. Marina Br Ginting, Vic.Imelda Elfera Br Sembiring, Mirawati Br Tarigan, STh, Pdt. Chrismas Ginting, Pdt.Hermawati Br Bukit, Pdt.Beni Antoni Kaban, Pdt. Erlikasna Br Purba, Vic.Abadi Ginting, Vic.Gresiomala Br Pinem dan Masyunita Br Surbakti dan Vic.Yosfran. Terimakasih telah menjadi kakak dan abang di tanah perantauan! 15. Pdt. Berthalina Br Tarigan, M.Th dan Naras, yang bukan hanya menjadi kakak dan abang tetapi juga menjadi orang tua. Terimakasih untuk setiap bantuan, nasehat dan motifasi serta kebersamaan yang penuh makna dan kenangan. 16. Seluruh “Ata-ata “ 2003 dari Sabang sampai Merauke yang tidak sempat disebutkan namanya tanpa terkecuali. Hamba-hamba-Nya dari GKSB dalam melakukan PJ 2007. Terimakasih untuk persaudaraan yang telah terbina dalam perjuangan hidup dan masa depan di Kampus Unggu tercinta! 17. Perpustakaan UKDW Yogyakarta dan mahasiswa UKDW Yogyakarta utusan GBKP yang telah memberi fasilitas dan membantu penulis dalam mengumpulkan data.

viii

18. Aswin S.Th, dan Bevy Joseph S.Th, yang selalu memberi masukan dan meluangkan waktu berdiskusi (jangan bosan-bosan ya!). Kristin Hutubesy, S,Th dan teman –teman yang tergabung dalam kelompok PA kecil, telah menjadi tempat penulis bertukar pikiran. 19. Kakak, teman dan adek kamar, Yeti GMIT, Debora GT, Sarah Gepsultra, Marlina GT, Marlin Gepsultra, Ayu GMIT, Yuhelsin GMIT, dan Meylani GKLB, terimakasih atas persaudaraan yang saling berbagi dalam satu ruangan 6 x 6 aspuri. 20. GMKI cabang Makassar dan Komisariat STT Intim, yang telah menjadi tempat belajar. UT OMNES UNUM SINT! Kepada semua pihak yang telah berperan membantu penulis dalam mencari dan memahami arti hidup. Akhirnya, walaupun jauh dari kesempurnaan tulisan ini kiranya dapat menjadi sebuah ajakan solider, untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera.

IN CHRISTO LUX MUNDI CRESCIT

Hari Kemerdekaan RI 2008

Penulis

ix

ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji solidaritas kemanusiaan GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya dalam menghadapi bencana alam. Bencana alam, yang terjadi beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan krisis multidimensi bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini, banyak orang masih terpusat pada teologi hukuman sebagai penyebab bencana. Manusia kadang-kadang terlalu “asik” mencari “kambing hitam” sehingga lupa membuka mata, telinga dan hati terhadap rintihan sesamanya. Realitas ini membutuhkan solidaritas setiap orang. Solidaritas adalah kata lain untuk cinta kasih yang mengerakkan hati, pikiran, tangan, kaki, dan pengorbanan apa yang kita miliki terhadap penderitaan orang lain. Allah adalah kasih. Allah ada dalam solidaritas. Allah adalah solidaritas itu sendiri. Di mana ada solidaritas maka disanalah Allah ada, menyatakan diri-Nya. Setiap orang harus solider dengan mereka yang menjadi sasaran keprihatinan dan keberpihakan Yesus, tanpa dibatasi oleh apapun. Sebab kenyataannya solidaritas masyarakat masih kuat dipengaruhi oleh latar belakang SARA, tidak terkecuali orang-orang Kristen. Solidaritas mengajak semua pihak tanpa batas membangun usaha bersama dan berbuat sesuatu untuk membangkitkan kembali semangat dan harapan hidup. Solidaritas adalah wujud iman yang terungkap melalui tindakan kasih dan pengorbanan serta berbagi rasa dan keprihatinan. Dalam solidaritas itulah kasih Allah dinyatakan dan kehadiran-Nya dapat dirasakan. Sebagai gereja, GBKP terpanggil ikut bertanggung jawab untuk menghadirkan syalom Allah. Menjadi garam dan terang dunia. GBKP terpanggil bersikap solider dalam tindakan nyata yang membebaskan dan memberdayakan. Sebab setiap perbuatan yang dilakukan terhadap sesama yang menderita, sesungguhnya diperbuat kepada Allah sendiri.

x

DAFTAR ISI Halaman Judul.................................................................................................................

i

Halaman Persembahan..................................................................................................... ii Sertifikat Ujian Skripsi.................................................................................................... iii Ucapan Terima Kasih...................................................................................................... iv Abstrak............................................................................................................................. ix Daftar Isi.......................................................................................................................... x BAB I

BAB II

PENDAHULUAN......................................................................................... 1 1.1

Latar Belakang Permasalahan............................................................ 1

1.2

Perumusan Masalah............................................................................ 5

1.3

Tujuan Penulisan................................................................................ 5

1.4

Metode Penelitian............................................................................... 6

1.5

Sistematika Penulisan......................................................................... 7

SOLIDARITAS KEMANUSIAAN JEMAAT GBKP RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA...................................... 9 2.1

2.2

2.3

Solidaritas Kemanusiaan.................................................................... 9 2.1.1

Definisi Solidaritas Kemanusiaan............................................ 9

2.1.2

Perkembangan Solidaritas........................................................ 10

Bencana Alam..................................................................................... 12 2.2.1

Definisi Bencana Alam............................................................ 12

2.2.2

Penggolongan Bencana Alam.................................................. 14

Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian...................................... 14 2.3.1

GBKP Runggun Yogyakarta.................................................... 15

2.3.2

GBKP Runggun Surabaya........................................................ 15

xi

2.4

Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Jemaat terhadap Bencana Alam........................................................................ 16 2.4.1

Data Responden....................................................................... 17

2.4.2

Pemahaman Jemaat tentang Bencana Alam............................. 20

2.4.3

Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Jemaat Terhadap Korban Bencana Alan........................................................................... 26

2.5

Rangkuman......................................................................................... 33

BAB III ANALISA TERHADAP SOLIDARITAS KEMANUSIAAN JEMAAT GBKP RUNGUN YOGYAKARTA DAN RUNGUN SURABAYA ................................................................................................................ ................................................................................................................ 34 ................................................................................................................ 3.1

Faktor Pendidikan............................................................................... 34

3.2

Faktor Sosial-Ekonomi....................................................................... 37

3.3

Faktor Budaya..................................................................................... 39

3.4

Sistem Manajemen Organisasi Gereja................................................ 41

3.5

Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja........................................................ 43 3.5.1

Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai Hukuman Allah ......................................................................................... ......................................................................................... 44

BAB IV SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD TANGGUNG JAWAB GEREJA: Refleksi Sosio-Teologis terhadap xii

Peran GBKP ................................................................................................................ ................................................................................................................ 48 4.1

Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan............................... 48 4.1.1

Bencana Alam: Perspektif Alkitabiah...................................... 49

4.1.2

Berdiri diatas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap Bencana Alam ......................................................................................... ......................................................................................... 50

4.2

4.3

Membangun Solidaritas Kemanusiaan............................................... 54 4.2.1

Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitabiah...................... 55

4.2.2

Panggilan Dan Pengutusan Gereja........................................... 58

Membangun Komunitas GBKP: Belajar Dari Orang Samaria Yang Baik Hati .................................................................................................... .................................................................................................... 59 4.3.1

Sikap dan Tindakan GBKP:“ Inilah aku, utuslah aku! “......... 60

4.3.2

GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan Memberdayakan ......................................................................................... ......................................................................................... 61

4.3.3

Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: “Rakut Sitelu” ....... 63

4.3.4

Tindakan GBKP: Tindakan Jangka Panjang dan Jangka Pendek

xiii

......................................................................................... ......................................................................................... 65 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1

Kesimpulan......................................................................................... 67

5.2

Saran................................................................................................... 69

KEPUSTAKAAN........................................................................................................... 71 LAMPIRAN 1................................................................................................................ 74 BIODATA....................................................................................................................... 78 PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI................................................................ 79

xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan Masyarakat kita Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir tidak henti-hentinya dilanda penderitaan. Belum juga berhasil keluar dari krisis multi-dimensi yang melanda negara kita sejak tahun 1997, lagi-lagi dihantam oleh berbagai bencana alam. Hanya sedikit negara yang pernah mengalami bencana alam dengan jumlah dan intensitas seperti yang dialami Indonesia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Bencana-bencana alam tersebut di antaranya:1 •

Tsunami Aceh dan pulau Nias, terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Dalam peristiwa ini telah menewaskan lebih dari 126.000 jiwa.



Gempa Bumi di Alor, terjadi pada tanggal 12 November 2004. Peristiwa ini telah menewaskan 33 orang, luka ringan 147 orang, luka berat 163 orang dan total kerugian Rp 191,05 Miliar.



Gempa bumi di Yogyakarta, terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Dalam peristiwa ini, sekurang-kurangnya 6.241 orang meninggal.



Gelombang besar yang melanda pantai Pangandaran, terjadi pada tanggal 17 Juli 2006. Peristiwa ini telah menelan korban jiwa 653 orang.



Banjir dan tanah longsor di Sulawesi Selatan, terjadi pada tanggal 20 Juni 2006. Dalam peristiwa ini telah menelan korban jiwa sebanyak 214 orang, korban hilang 64 orang, korban mengungsi 6.099 orang dan dengan total kerugian sebesar Rp 460,35 Miliar.

1

Andre Vitchek, http : // pic – brr.blogspot.com/2007/03/bencana alam atau pembunuhan masal. Html,download tanggal 22 Oktober 2007.

1



Banjir Lumpur di Sidoarjo, telah menyebabkan lebih dari 10.000 orang menjadi pengungsi dan merendam lebih dari 1.000 area tanah dengan lumpur panas.



Dan berbagai bencana alam di berbagai daerah lainnya. Sampai sekarang kita masih terus mengalami dampak dari bencana dahsyat di atas,

bukan saja berupa kehancuran fisik dan kehilangan ribuan nyawa tetapi juga trauma psikologis yang membutuhkan penangulangan secara serius Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam berbagai bencana alam dan jumlah korban material yang sangat besar. Banyak pendapat bermunculan tentang penyebab bencana alam ini, seiring dengan seringnya bencana alam terjadi. Ada yang berpendapat bahwa, bencana alam yang terjadi sebagai hukuman Tuhan atas kesalahan dan dosa manusia. Manusia dipandang sudah jauh dari jalan dan kehendak Tuhan. Ada yang berpendapat, bencana tersebut sebagai cobaan Tuhan kepada umat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa, bencana tersebut terjadi sebagai suatu proses alamiah. Ada juga yang berpendapat bahwa bencana ini terjadi karena kesalahan manusia sendiri yang telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa terkendali dan tidak memperhatikan kelestarian alam. Peristiwa bencana alam, telah melanda tanah air tanpa memandang bulu, bukan hanya melanda orang-orang yang berkeyakinan, suku, ras atau golongan tertentu saja. Dalam situasi seperti ini, agama dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam kaitan untuk mendukung dan menolong umatnya keluar dari penderitaan. Di dalam penderitaan dan hilangnya harapan inilah mestinya gereja hadir menjalankan fungsi profertis nya dengan menyatakan kepedulian dan solidaritasnya. Ikut merasakan dan mengambil bagian di dalam penderitaan mereka yang menjadi korban. Tetapi pada kenyataanya jawaban institusi keagamaan, khususnya gereja selama ini dinilai tidak menyentuh pergumulan

2

umat atau bahkan dianggap mengecewakan. Realitas tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Tim Penyunting buku Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, bahwa ada suatu indikasi beberapa pemimpin gereja dinilai kurang memberi perhatian (misalnya dengan alasan bahwa “ itu bukan anggota jemaat dan gereja kita”), dan kurangnya aksi praksis pastoral dalam mendampingi dan memberdayakan mereka yang telah mengalami trauma. Selama ini gereja dinilai “menenangkan” umatnya dengan sebuah “teologi instan”, yang memandang bahwa bencana adalah ujian, cobaan dan hukuman Tuhan bukan melakukan aksi solidaritas yang membangkitkan.2 Dalam kaitan dengan ini, Gereja Batak Karo Protestan ( dalam bab-bab selanjutnya akan disingkat dengan GBKP) sebagai institusi gereja di Indonesia, secara sadar menemukan dirinya berada dalam situasi bencana ini. GBKP berada di tengah-tengah mereka yang menjadi korban yang mengalami penderitaan, kehilangan dan keputusasaan. Beberapa bencana alam yang telah terjadi secara langsung ikut mempengaruhi keberadaan GBKP, diantaranya Tsunami Aceh dan Nias yang berbatasan langsung dengan pusat GBKP, bencana alam di Yogyakarta, Lampung dan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Bagaimana GBKP dalam menyikapi situasi ini? Apa yang sudah dilakukan GBKP sebagai bagian integral dari masyarakat? Apakah bantuan yang diberikan oleh GBKP selama ini dapat memberdayakan mereka yang menjadi korban? Bagaimana gereja memposisikan diri agar bisa ber-empati dan mengupayakan kehidupan yang penuh harapan. Situasi ini menjadi suatu tantangan dan sekaligus juga menjadi tanggung jawab GBKP agar mampu menjawab pergumulan hidup jemaat dan masyarakat sesuai dengan visi dan misi GBKP.3 2

Bdk.Tim Penyunting OASE INTIM: “Pendahuluan” dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Imam dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006, hal. 12-13 3 Visi GBKP adalah Hidup Setia Kepada Tuhan dan Misi GBKP terdiri dari 5 pokok yakni: a. Meningkatkan Peribadatan/Spiritualitas;

3

Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji permasalahan ini, secara Sosio-Teologis, karena masalah bencana ini merupakan masalah sosial yang menyangkut kehidupan masyarakat luas. Solidaritas kemanusiaan yang coba dikaji di sini bukanlah sekedar solidaritas sosial dalam pengertian derma belaka, tetapi lebih dari pada itu dalam pengertian solidaritas Kristiani yang sesungguhnya yaitu berdasarkan kasih. Bukan saatnya untuk mencari “kambing hitam” siapa yang benar atau siapa yang salah dan bukan juga sekedar “perasaan kasihan” tanpa tindakan yang nyata membebaskan mereka dari penderitaan dan keterpurukan, tetapi yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaaan yang aktif. Berangkat dari pergumulan ini, penulis termotivasi untuk menggali lebih jauh, bagaimana jemaat GBKP memahami bencana alam, kesadarannya dalam menyatakan solidaritas kemanusiaan dan bagaimana upaya yang telah dilakukan GBKP dalam menghadapi bencana alam kedepan, mengingat bahwa negara kita adalah wilayah yang rawan akan terjadinya bencana alam. Di sini, GBKP diharapkan mampu membangun pemahaman warga jemaat akan pentingnya partisipasi umat dalam menghadapi bencana alam, bukan membuat gereja terkurung dalam pemahaman yang sempit tentang “siapakah sesamaku”. Bagaimana kehadiran GBKP mampu menjadi “garam” dan “terang” bagi sesamanya.

b. Menghargai Kemanusiaan; c. Melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih; d. Mewujudkan warga yang dapat dipercaya; e. Meningkatkan perekonomian jemaat. Dan prioritas program yang disusun dari tahun 2006-2010 yakni: Tahun 2006: Sumber Daya Manusia (SDM) Tahun 2007 : Koinonia Tahun 2008 : Marturia Tahun 2009 : Diakonia Tahun 2010 : Kemandirian Dana Visi dan misi maupun prioritas program ini berdasarkan “Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-5010 “ disusun dan ditetapkan pada Sidang Sinode GBKP ke-33, pada tanggal 10-17 April tahun 2005 di Retreat Center GBKP Suka Makmur, visi dan misi ini masih tetap sama dengan visi dan misi GBKP pada tahun 2000-2005.

4

Hal tersebut yang mendorong minat penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul: MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN dengan sub judul: Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka penulis akan merumuskan masalah-masalah yang merupakan pokok kajian karya tulis ilmiah ini dalam tiga pertanyaan, yakni: 1. Bagaimana pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap bencana alam? 2. Bagaimana solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi? 3. Bagaimana pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan?

1.3 Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. Menguraikan pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap bencana alam. 2. Memaparkan solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi. 3. Menguraikan pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan.

1.4 Metode Penelitian 1. Tempat Penelitian

5

Penelitian lapangan dilaksanakan di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Yogyakarta, sebagai salah satu kota yang pernah dilanda bencana alam dan telah menelan korban jiwa dan material yang begitu banyak dan Runggun Surabaya yang dekat dengan wilayah-wilayah yang terkena bencana alam. Wawancara dilakukan terhadap jemaat dan pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan di lapangan. Penelitian kualitataif adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok kajian. 3. Jenis Data a) Primer: data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, melalui wawancara dan Kuisoner dengan jemaat setempat. b) Sekunder: data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok kajian. 4. Teknik Pengumpula Data a) Melalui wawancara terhadap orang-orang yang terlibat langsung dengan masalah tersebut. b) Observasi partisipatif, yakni melakukan pengamatan langsung dan memberikan penilaian terhadap masalah tersebut. c) Menjalankan angket. 5.

Sumber Data

6

a) Populasi: yang menjadi populasi penelitian adalah seluruh jemaat GBKP Yogyakarta dan Surabaya b) Sampel: yang menjadi sampel penelitian adalah beberapa dari jemaat dan pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya. 6.

Tehnik Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan melalui pemberian penjelasan secara luas dan

mendalam, kemudian data yang diperoleh diolah secara kualitatif.

1.5 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini, tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian dengan urutan pembagiannya sebagai berikut: Bab I berisi tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang definisi solidaritas kemanusiaan dan definisi bencana alam. Dalam bab ini digambarkan secara umum jemaat lokasi penelitian, memaparkan tentang pemahaman warga jemaat terhadap bencana alam dan wujud solidaritas warga jemaat terhadap korban bencana alam. Pertama-tama dikemukakan pemahaman warga jemaat terhadap bencana alam dan selanjutnya akan dipaparkan juga kenyataan, bagaimana solidaritas jemaat terhadap korban bencana alam pada saat dan sesudah bencana terjadi. Bab III, berisi tentang analisa terhadap hasil penelitian tentang bencana alam dan wujud solidaritas kemanusiaan. Di sini penulis menganalisa hasil penelitian terhadap pemahaman bencana alam dan realitas wujud solidaritas kemanusiaan serta implikasi sosiologis yang menyertainya.

7

Bab IV, berisi tentang bagaimana membangun Solidaritas Kemanusian, serta refleksi Sosio-Teologis terhadap peran GBKP. Selanjutnya juga membahas bencana alam yang ditinjau dari perspektif alkitab sebagai respon terhadap tantang jawab GBKP dalam menghadapi bencana alam. Bab V, berisi kesimpulan, yang penulis simpulkan berdasarkan pengkajian bab-bab sebelumnya serta saran-saran bagi jemaat dan masyarakat berupa usulan dan langkahlangkah konkrit yang akan mendukung GBKP dalam menyikapi tanggung jawabnya.

8

BAB II PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA

Dalam bagian ini berisi tentang definisi bencana alam khususnya dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan definisi solidaritas kemanusiaan. Juga memaparkan gambaran umum jemaat tempat penelitian dan hasil penelitian pemahaman warga jemaat tentang bencana alam serta bentuk solidaritas warga jemaat terhadap korban bencana alam.

2.1

Solidaritas Kemanusiaan Hidup dalam lingkungan masyarakat yang mengalami penderitaan dari berbagai

aspek kehidupan adalah realitas yang kita hadapi di zaman sekarang ini. Dalam situasi ini dituntut kepekaan dan kepedulian setiap orang untuk mengambil bagian dalam penderitaan orang lain. Dibutuhkan solidaritas yang menumbuhkan semangat hidup dan tindakan yang memanusiakan manusia. Istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah hal yang baru dan bahkan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, bagian ini tetap membahas apa definisi solidaritas kemanusiaan secara umum dan bagaimana perkembangan solidaritas yang bertujuan untuk mempermudah kita dalam memahami solidaritas yang dimaksudkan dalam tulisan ini. 2.1.1

Definisi Solidaritas Kemanusiaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Solidaritas merupakan kata benda, yang

berarti perasaan solider, sifat saling rasa, perasaan setia kawan. Solider adalah kata sifat

9

yang berarti mempunyai perasaan senasib.4 Sementara, Kemanusian berarti bersifat manusia.5 Dalam pengertian memiliki sifat-sifat manusia, misalnya: makan, minum, besar atau kecil, senang atau sedih, kebebasan untuk memilih dan menentukan, memiliki kehendak, perasaan, kebutuhan dan sifat-sifat lainnya. A.Heuken SJ, berpendapat bahwa solidaritas berarti semangat setia kawan, hubungan batin antara anggota satu kelompok masyarakat yang mendorong orang bertindak demi kesejahteraan bersama.6 Situasi di mana solidaritas untuk mewujudkan kemanusiaan harus dinyatakan adalah di tengah-tengah masyarakat dengan semua permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Dengan kata lain, solidaritas berarti suatu tindakan menjadi sesama bagi orang lain. Setiap orang dituntut untuk berdiri di samping atau di dekat orang-orang yang mengalami pergumulan, berada bersama mereka dan juga bergaul bersama dengan mereka, sehingga ikut merasakan apa yang mereka rasakan tanpa ada diskriminasi baik suku, agama, ras maupun antargolongan seseorang yang menyertainya. Solidaritas adalah suatu tindakan yang membangkitkan semangat hidup bukan hanya sekedar perasaan kasihan namun tidak ada tindakan nyata. 2.1.2

Solidaritas Dalam Perspektif Historis Seperti yang telah disebutkan bahwa, istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah

suatu istilah yang baru dikenal. Istilah tersebut sudah dipakai sejak lama. Khususnya, dalam ruang lingkup gereja, istilah tersebut dipakai untuk menunjuk kepada ajaran sosial gereja atau yang sering kita kenal dengan istilah diakonia. Hanya saja istilah solidaritas kemanusiaan ini lebih bersifat umum. Solidaritas atau yang juga sering disebut sebagai ajaran sosial gereja ini sudah dikenal dan direfleksikan khususnya dalam Gereja Katolik Roma pada pertenggahan abad ke-19, ketika Leo XIII menjabat sebagai Paus. Tetapi 4

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Jakarta: Gita Media Press, hlm. 716 Ibid, hlm. 515 6 A.Heuken SJ, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991, hlm. 72 5

10

awalnya, tujuan keterlibatan sosial gereja ini lebih bersifat politik yaitu untuk mencegah anggota-anggota gereja masuk dalam gerakan buruh Sosialis-Marxis dan berjuang untuk menegakkan kembali pengaruh gerejani dalam gerakan para buruh yang makin antiKristen.7 Dengan kata lain, pada awalnya gerakan solidaritas muncul bukan karena adanya kesadaran dari pihak gereja yang ingin berempati dan berbela rasa serta membebaskan umat dari penderitaan. Kemunculan gerakan Solidaritas pada pertengahan abad ke-19 ini dipicu oleh suatu revolusi industri (yang terhitung mulai dengan penemuan mesin uap tahun 1769) yang pada akhirnya menyebabkan perubahan drastis dalam hubungan masyarakat. Tidak semua orang memperoleh keuntungan dari hasil kemajuan ekonomi yang sangat diagungagungkan oleh banyak orang. Justru revolusi industri inilah yang mengakibatkan makin banyaknya masyarakat harus hidup dalam kemiskinan. Kenyataan tersebut menyebabkan protes seorang filsuf sosial Jerman Karl Marx (1818-1883) pada tahun 1848. Ia mengkritik agama yang pada saat itu dinilainya bahwa “agama adalah candu rakyat jelata” yang memberi sekedar keringanan namun tidak merupakan terapi.8 Agama dinilai hanya sebagai tempat pelarian bukan untuk mengobati atau membebaskan dari penderitaan. Di sisi lain justru Karl Marx melihat bahwa revolusi industri memiliki kekuatan yang besar untuk mengadakan perubahan yang besar menuju solidaritas baru yaitu masyarakat tanpa perbedaan kelas dan penuh kebebasan. Individualisme diatasi dalam suatu kemanusiaan yang disebutnya “komunisme”.9

7

B. Kieser, SJ, Solidaritas Tahun Ajaran Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1993, hlm.39 Ibid, hlm.48 9 Ibid, hlm. 48. Komunisme yang dimaksud oleh Karl Marx adalah humanisme sebagai naturalisme sempurna; adalah naturalisme sebagai humanisme sempurna. Komunisme mengatasi konflik antara manusia dengan alam, dan konflik antara manusia dengan sesama. Diatasi konflik antara eksistensi dan esensi, antara mengungkapkan diri dan mempertahankan diri, antara kebebasan dan keharusan, antara individu dan kebersaman. 8

11

Ajaran sosial gereja akhirnya benar-benar menjadi sebuah ajaran, yaitu sebagian dari antropologi kristiani, sejak adanya perdebatan dengan kaum sosialis dan komunis. Sejak saat itu, ajaran sosial gereja bukan hanya suatu kesimpulan teori atau refleksi atas permasalahan sosial kaum Kristen saja. Ajaran sosial gereja mengembangkan gambaran Kristiani mengenai manusia dan panggilannya dengan implikasi sosialnya.10

2.2

Bencana Alam Meskipun bencana alam merupakan hal yang sudah lumrah bagi kita tetapi untuk

lebih memudahkan dalam memahaminya, maka dalam bagian ini penulis menjelaskan definisi bencana alam secara umum dan penggolongan dari bencana alam itu sendiri sehingga kita dapat memahaminya dengan benar. 2.2.1

Definisi Bencana Alam Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana alam adalah musibah yang

ditimbulkan oleh gejala alam misalnya gempa bumi, banjir, angin puyuh, dan sebagainya.11 Bencana alam juga dipahami sebagai suatu kombinasi aktivitas alam (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir) dan aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan kerugian pada manusia.12 Menurut Muh.Aris Marfal, yang disebut sebagai bencana alam (natural disaster) adalah suatu fenomena alam yang telah terjadi dan menimbulkan kerusakan infrastruktur dan fasilitas kehidupan serta menghilangkan nyawa dan harta benda.13 Bencana alam

10

Ibid, Hlm. 15. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm.129 12 http: // id. Wikipedia. Org/ Wiki Bencana Alam – Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Berbahasa Indonesia, htm, domnload tanggal 9 Februari 2008. 13 Muh. Aris Marfal, Moralitas Lingkungan : Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan, Yogyakarta : Wahana Hijau 2005, hlm.89. 11

12

sebagai suatu fenomena alam yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan alam dan juga dipengaruhi oleh aktifitas manusia ini terjadi di luar kendali manusia dan merusak tatanan kehidupan. Umumnya, pasca bencana banyak dampak yang ditimbulkan baik secara politik, ekonomi maupun sosial, misalnya kelaparan, pengangguran, kehilangan tempat tinggal, kehilangan sanak saudara, menjalarnya berbagai jenis wabah penyakit dan trauma (tekanan mental). Bencana ini tidak hanya berdampak bagi manusia saja tetapi juga bagi keseimbangan alam itu sendiri dan mahluk ciptaan lainnya. Berdasarkan berbagai definisi yang ada dapat ditemukan karakteristik bencana alam sebagai berikut:14 1. Adanya kerusakan pada pola-pola kehidupan normal. 2. Merugikan manusia, baik yang berupa kematian, luka, kesengsaraan maupun akibat negatif pada kesehatan, dan merubah tatanan hidup mahluk yang lain. 3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan sistem pemerintah, bangunan komunukasi dan berbagai pelayanan umum utama lainnya. 4. Munculnya kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal atau penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan dan pelayanan sosial.

2.2.2

Penggolongan Bencana Alam

14

Soetarso,” Siklus Penanggulangan Bencana”, Disampaikan pada Raker SATLAK PB seluruh Indonesia di Yogyakarta dan Ujungpandang,1997.

13

Berdasarkan proses terjadinya, maka bencana alam dapat di kelompokkan menjadi 2 bagian yaitu: 15 1. Bencana akibat alam (proses alamiah), adalah yang dikategorikan sebagai sesuatu “given” dan di luar kuasa dan kendali manusia, yang tidak dapat dihindari kedatangannya. Bencana alam ini terdiri dari: letusan gunung berapi, banjir lava, angin topan, gempa bumi dan tsunami. 2. Bencana akibat kombinasi faktor alam dan faktor ulah manusia, bencana yang mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungannya, karena kecerobohan manusia dan sikap angkuh manusia yang melakukan tindakan destruktifeksploitatif alam tanpa batas. Alam hanya dilihat sebagai sumber pemenuhan dan kepuasan manusia. Bencana yang ditimbulkan antara lain: banjir dan tanah longsor.

2.3

Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian Mengingat bahwa wilayah pelanyanan GBKP sangat luas dan tidak mungkin

untuk dijangkau secara keseluruhan, maka penulis memilih 2 tempat sebagai objek penelitian. Ke-2 tempat yang dimaksud adalah Runggun16 Yogyakarta dan Runggun Surabaya. Penulis memilih ke-2 tempat ini sebagai objek penelitian dengan pertimbangan bahwa Runggun Yogyakarta berada di pusat kota Yogyakarta sebagai salah satu wilayah yang pernah dilanda bencana besar pada tanggal 25 Mei 2005 silam dan telah menelan banyak korban jiwa dan material. Runggun Surabaya sebagai salah satu jemaat GBKP yang dekat dengan wilayah-wilayah yang terkena bencana alam. 2.3.1

GBKP Runggun Yogyakarta

15

Direktur Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana, Direktorat Jenderal Pemerintah Umum Departemen DAlam Negeri, “Peran Polisi Pamong Praja dan Linmas dalam Menghadapi Bencana Alam”, Jakarta 9-11 Mei 2005. 16 Istilah Runggun yang digunakan dalam tulisan ini menunjuk kepada Jemaat. Selanjutnya dalam tulisan ini untuk menunjuk kepada suatu jemaat akan tetap mempergunakan istilah runggun.

14

Runggun Yogyakarta yang beralamat di Jln. Monumen Yogya kembali Nandan 09/39 Sari Harjo, Ngaglik Slemen ini, terdiri dari 23 KK dengan jumlah anggota jemaat 509 orang.17 Anggota jemaat didominasi oleh mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di kota Yogyakarta. Rata-rata jemaat yang hadir setiap hari minggunya adalah sekitar 160170 orang. Kondisi ini dipengaruhi karena tidak semuanya mahasiswa yang ada aktif di GBKP Yogyakarta.18 Majelis Jemaat yang melayani di jemaat ini berjumlah 10 orang, yang terdiri dari 5 orang Penatua dan 5 orang Diaken, dan 1 orang PKPW (Pelayan Khusus Penuh Waktu) yakni Pdt. Immanuel Suranta Perangin-angin, S.Th sebagai pendeta jemaat. Dalam jemaat ini semua organisasi kategorial seperti: Mamre (Kaum Bapak), Moria (Kaum Ibu), Permata (Kaum Pemuda), KA/KR (Anak-anak dan Remaja), dan Pardis (orang Tua Lanjut Usia) berjalan dengan baik. Masing-masing organisasi kategorial memiliki kepengurusan tersendiri yang bertujuan untuk memudahkan semua pelayanan yang ada. Jemaat Yogyakarta terdiri dari 2 perpulungen/sektor pelayanan yaitu sektor Utara dan Selatan dan masing-masing sektor juga memiliki pengurus yang bertanggung jawab terhadap sektor pelayanannya. 2.3.2

GBKP Runggun Surabaya Runggun Surabaya resmi ditahbiskan menjadi sebuah Runggun beserta dengan

gedung gerejanya pada tanggal 16 November 1997, tetapi gedung gereja tersebut sudah dipergunakan sejak tanggal 25 Desember 1984. Gereja yang beralamat di Jln. Hr Muhammad 275 Kav.411 RT.III/ RW.1 Pradah Kali Kedal ini berada dalam wilayah pelayanan Klasis Jakarta-Bandung.

17

Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta tahun 2007 Madison Ginting (Ketua Majelis GBKP Yogyakarta), Wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008, di Yogyakarta. 18

15

Runggun Surabaya ini berjumlah 90 KK (Sektor I = 30 KK, Sektor II =42 KK dan Sektor III = 18 KK).19 Majelis jemaat yang melayani berjumlah 19 orang, yang terdiri dari: 8 orang Penatua, 8 orang Diaken, 2 orang Penatua Emeritus dan 1 orang Diaken Emeritus. Pelayan Khusus Penuh Waktu (PKPW) yang melayani jemaat ini adalah Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, S.Th. Semua Organisasi kategorial dalam jemaat ini berjalan dengan baik, baik itu organisasi Mamre (Kaum Bapak), Moria (Kaum Ibu), Permata (Permata), dan KA/KR (Anak-anak dan Remaja). Masing-masing organisasi kategorial tersebut memiliki jadwal pelayanan tersendiri. Baik organisasi-organisasi kategorial maupun ke-3 sektor pelayanan yang ada memiliki kepengurusan yang bertanggung jawab mengkoordinir pelayanan masing-masing sektor dan organisasi kategorial.

2.4 Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat terhadap Bencana Alam Untuk mendapatkan pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam dan solidaritas terhadap korban bencana alam, maka penulis melakukan penelitian dengan mengedarkan kuesioner dan melakukan wawancara. Jumlah kuesioner yang dibagikan sebanyak 175, di Runggun Yogyakarta diedarkan sebanyak 100 lembar dan Runggun Surabaya sebanyak 75 lembar. Jumlah kuesioner yang kembali sebanyak 149, di Runggun Yogyakarta terkumpul sebanyak 85 lembar dan di Runggun Surabaya sebanyak 64 lembar. Sementara ada 26 lembar kuesioner yang tidak kembali; 15 lembar di Runggun Yogyakarta dan 11 lembar di Runggun Surabaya. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi sehingga tidak semua kuesioner terkumpul, ada responden yang belum mengisi kuesioner hingga batas waktu pengumpulan dan ada juga yang membawa kerumah tetapi tidak dikembalikan.

19

Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Surabaya Tahun 2008

16

Dari penelitian yang dilakukan dari bulan Januari–Februari 2008, penulis memperoleh gambaran pemahaman warga jemaat GBKP tentang bencana alam dan solidaritas kemanusiaan. Hal ini dapat ditelusuri dalam variabel-variabel di bawah ini. Untuk memudahkan analisa data terhadap seluruh hasil penelitian maka dipergunakan rumus:20 Keterangan :

F P=

_____

X 100 %

N

P

: Prosentase Yang Dipakai

F

: Frekuensi Jawaban

N : Jumlah Sample 2.4.1

Data Responden

1.

Umur Responden Tabel 1 Kategori Umur Responden Kategori Umur

Runggun Yogyakarta F P a. 17-25 Tahun 27 31,8 % b. 26-55 Tahun 42 49,4 % c. 56-64 Tahun 11 12,9 % d. 65 Tahun Keatas 5 5,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari –Februari 2008

Runggun Surabaya F P 39 60,9 % 17 26,6 % 8 12,5 % 64 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, baik di runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya responden didominasi oleh jemaat yang berumur 26-55 tahun. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden yang berusia 26-55 tahun sebanyak 42 orang (49,4 %) dan responden yang berusia

17-25 tahun berjumlah 27 orang (31,8 %).

Sementara di Runggun Surabaya responden yang berusia 26-55 tahun berjumlah 39 orang (60,9 %), jauh berbeda dengan jumlah responden yang berusia lain. 20

Surachmat Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Bandung : Tarsito, 1972, hlm.8

17

2.

Jenis Kelamin Responden Tabel 2 Kategori Jenis Kelamin Responden Kategori Jenis Kelamin

Runggun Yogyakarta F P a. Laki-laki 46 54,1 % b. Perempuan 39 45,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari –Februari 2008

Runggun Surabaya F P 39 60,9 % 25 39,1 % 64 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa, di Runggun Yogyakarta dan di Runggun Surabaya responden didominasi oleh laki-laki. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden laki-laki sebanyak 46 orang (54,1 %), sementara responden perempuan 39 orang (45,9 %). Di Runggun Surabaya jumlah responden laki-laki sebanyak 39 orang (60,9 %), sementara responden perempuan 25 orang (39,1 %). 3.

Pekerjaan Responden Tabel 3 Kategori Pekerjaan Responden Kategori Pekerjaan

Runggun Yogyakarta F P a. PNS 40 47,1 % b. Pengawai Swasta 18 21,2 % c. Pedagang 2 2,3 % d. Petani e. Lainnya….. 25 29,4 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari- Februari 2008

Runggun Surabaya F P 23 35,9 % 29 45,4 % 5 7,8 % 7 10,9 % 64 100%

Tabel di atas menunjukkan pekerjaan responden/jemaat. Di Runggun Yogyakarta pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai Negri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 40 orang (47,1 %). Sementara di Runggun Surabaya pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai

18

Swasta yakni 29 orang (45,4 %); akan tetapi, responden di ke-2 Runggun di dominasi memiliki pekerjaan sebagai PNS dan Pegawai Swasta. 4.

Pendidikan Responden Tabel 4 Kategori Pendidikan Responden Kategori Pendidikan

a. b. c. d.

Runggun Yogyakarta F P 12 14,1 % 23 27,3 % 49 57,6 %

TK/SD SMP/Sederajat SMU/Sederajat Akademi/Perguruan Tinggi Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 10 15,6 % 11 17,2 % 43 67,2 % 64

100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa baik di ke-2 Runggun pendidikan terakhir responden didominasi tingkat Akademi/Perguruan Tinggi. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden yang memiliki pendidikan terakhir Akademi/Perguruan Tinggi adalah sebanyak 49orang (57,6 %) dan di Runggun Surabaya sebanyak 43 orang (67,2 %).

5. Status Responden dalam Jemaat Table 5 Kategori Status Responden dalam Jemaat

19

Kategori Status dalam Runggun Yogyakarta Jemaat F P a. Majelis Jemaat 10 11,8 % b. Pengurus Organisasi 20 23,5 % c. Anggota Jemaat Biasa 55 64,7 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 19 29,7 % 13 20,3 % 32 50 % 64 100 %

Tabel di atas menunjukkan bahwa, status responden dalam jemaat didominasi oleh anggota jemaat biasa. Hal di atas juga berlaku baik di Runggun Yogyakarta dengan jumlah responden jemaat biasa sebanyak 55 orang (64,7 %) dan di Runggun Surabaya jumlah responden sebagai jemaat biasa berjumlah 32 orang (50 %).

2.4.2

Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam

1.

Pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam Tabel 6 Kategori Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam

Kategori tentang Runggun Yogyakarta Pemahaman Bencana Alam F P a. Bencana merupakan 34 40 % proses alamiah b. Bencana Merenggut nyawa manusia c. Bencana merusak 21 24,7 % tatanan hidup d. Jawaban a dan b benar 23 27,1 % e. Lainnya 7 8,2 % Jumlah 85 100 % Sumber:hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 12 18,7 % -

-

24

37,5 %

20 8 64

31,3 % 12,5 % 100 %

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, melalui pertanyaan pemahaman warga jemaat tentang bencana alam ada perbedaan pemahaman diantara ke-2 Runggun. Jawaban responden/jemaat di Runggun Yogyakarta didominasi dengan jawaban bahwa bencana alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian, dengan

20

jumlah responden 34 orang (40 %). Sedangkan di Runggun Surabaya 24 orang (37,5 %) menjawab bahwa bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain. Jawaban para responden tersebut hampir sama dengan pendapat para ahli yang telah disinggung sebelumnya mengenai definisi bencana alam.

Gambar di atas menunjukan kondisi pasca gempa bumi di Yogyakarta , Mei 2006

2.

Penyebab terjadinya bencana alam: gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Tabel 7 Kategori Penyebab Terjadinya Bencana Alam 21

Kategori Penyebab Bencana Runggun Yogyakarta Alam F P a. Hukuman Tuhan 17 20 % b. Ulah manusia 3 3,5 % c. Gejala alam 4 4,7 % d. Faktor alam dan manusia 56 65,9 % e. Lainnya 5 5,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 11 17,2 % 4 6,3 % 3 4,7 % 37 51,8 % 9 14,1 % 64 100 %

Tabel di atas merupakan jawaban dari pertanyaan penyebab terjadinya bencana alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami dan letusan gunung berapi). Baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, jawaban responden tentang penyebab bencana alam didominasi oleh faktor alam dan manusia. Jumlah responden dengan jawaban tersebut di Runggun Yogyakarta sebanyak 56 orang (65,9 %) dan di Runggun Surabaya berjumlah 37 orang (51,9 %). Sementara responden berjumlah 17 orang (20 %) di Runggun Yogyakarta berpendapat bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan 11 orang (17,2 %) di Runggun Surabaya yang menjawab demikian.

3.

Pemahaman Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo. Tabel 8 Kategori Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo

Kategori Bencana Alam Yogyakarta dan Lapindo a. Murka Alam

Runggun Yogyakarta F P 4 4,7 %

22

Runggun Surabaya F P 6 9,4 %

b. Proses Alamiah 52 61,1 % c. Hukuman Tuhan 21 24,7 % d. Penyalahgunaan IPTEK e. Lainnya 7 8,2 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

15 43 64

23,4 % 67,2 % 100 %

Tabel di atas menunjukkan pemahaman warga jemaat tentang bencana alam yang terjadi di Yogyakarta dan Lumpur Lapindo di Surabaya. Dapat dilihat bahwa di Runggun Yogyakarta paling banyak responden memahami bahwa bencana alam di Yogyakarta pada akhir bulan Mei 2005 merupakan suatu proses alamiah yaitu sebanyak 52 orang ( 61,2 %) Sementara responden yang menjawab bencana alam Yogyakarta sebagai hukuman Tuhan sebanyak 21 orang (24,7 %), dengan alasan sebagai peringatan agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Pemahaman responden di Runggun Surabaya tentang Lumpur Lapindo didominasi oleh jawaban akibat penyalahgunaan IPTEK, yakni sebanyak 43 orang (67,2 %). Sedangkan 15 orang (23,4 %) melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Warga jemaat yang melihat Lumpur Lapindo sebagai hukuman Tuhan memahami bahwa kerakusan manusia yang mengeksploitasi alam dengan memakai alat-alat teknologi mutahir tidak lagi menjaga kelestarian alam sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini dilihat sebagai alasan bagi Allah untuk menghukum dan mengingatkan manusia.21 Pertanyaan selanjutnya (9) masih berkaitan dengan pertanyaan di atas mengenai pendapat warga jemaat tentang bencana alam, khususnya tsunami di Aceh. Di Runggun Yogyakarta 48 orang berpendapat bahwa tsunami di Aceh merupakan hukuman Tuhan bagi warga Aceh, dengan alasan bahwa pemeluk agama Islam di sana melarang kekristenan bertumbuh; melarang umat Kristen merayakan natal; Aceh mempunyai banyak

21

Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Surabaya, tanggal 3 dan 6 Februari 2008.

23

dosa karena sebagai daerah pemasok ganja dan untuk mengingatkan masyarakat Aceh agar tidak sombong dan lupa kepada Allah. Sedangkan 37 orang berpendapat bahwa tsunami di Aceh terjadi sebagai proses alamiah dan didukung oleh prilaku manusia yang mengeksploitasi alam terus-menerus.22 Sementara di Runggun Surabaya, 41 orang berpendapat tsunami Aceh terjadi sebagai hukuman Tuhan dengan berbagai alasan yang tidak jauh berbeda dengan warga jemaat di Runggun Yogyakarta, di antaranya:23 banyak masyarakat di aceh yang tidak lagi bermoral karena di Aceh sering terjadi pertikaian dan peperangan; masyarakat muslim di Aceh memusuhi mereka yang non Muslim; kesombongan sebagai daerah istimewa dan sebagai daerah serambi Mekah yang mayoritas Muslim; pemeluk agama Islam di Aceh melarang Kekristenan, khususnya pelarangan merayakan hari Natal pada bulan Desember 2006 silam, sehingga bencana ini dilihat sebagai momentum bagi Allah untuk menghukum orang Aceh. Sedangkan 23 orang beranggapan bahwa tsunami di Aceh merupakan suatu proses alamiah dan akibat ulah manusia yang merusak alam sehingga bencana tersebut dapat dijelaskan secara ilmu pengetahuan.

5.

Dari mana pemahaman warga jemaat tentang bencana alam dibangun. Tabel 10 Kategori pemahaman warga jemaat tentang dari mana pemahaman bencana dibangun.

Dari mana Pemahaman Warga Jemaat di Banggun a. Alkitab/ Ajaran Gereja b. Pendidikan Formal

Runggun Yogyakarta F P 38 44,7 % 27

31,8 %

22

Runggun Surabaya F F 28 43,8 % 21

32,8 %

Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Yogyakarta, tanggal 13 Januari 2008. 23 Data yang diperoleh berdasarkan hasil Quesioner dan wawancara penulis dengan beberapa Warga Jemaat Runggun Surabaya, tangggal 3 dan 6 Februari 2008.

24

c. Pengalaman 14 16,4 % d. Lainnya 6 7,1 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

11 4 64

17,2 % 6,2 % 100 %

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, mengenai dari mana pemahaman warga jemaat tentang bencana alam dibanggun baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, jawaban responden didominasi oleh jawaban bahwa pemahaman mereka di bangun melalui alkitab/ajaran gereja dan pendidikan formal. Di Runggun Yogyakarta responden yang menjawab melalui alkitab/ajaran gereja berjumlah 38 orang (44,7 %) dan melalui pendidikan formal berjumlah 27 orang (31,8 %) dan di Runggun Surabaya melalui alkitab/ajaran gereja berjumlah 28 orang (43,8 %) dan melalui pendidikan formal sebanyak 21 orang (32,8 %). Pertanyaan selanjutnya (11) adalah mengenai pendapat warga jemaat tentang bencana alam menurut pemahaman budaya suku Karo. Di Runggun Yogyakarta, 26 orang menjawab bahwa bencana alam berkaitan dengan kepercayaan nenek moyang yang menghargai, menghormati dan mencintai alam. Sedangkan 59 orang mengaku tidak memahami tentang budaya Karo. Sementara di Ruggun Surabaya, 50 orang memahami bahwa bencana alam terjadi akibat kemarahan nenek moyang sebab manusia tidak lagi memelihara alam dan tidak menjaga keseimbangan alam. Sedangkan 14 orang tidak tahu kaitannya dengan budaya Karo. 2.4.3

Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat Terhadap Korban Bencana Alam

1.

Perasaan Jemaat Terhadap Korban Bencana Alam Tabel 12 Kategori Perasaan Warga Jemaat

25

Perasaan Terhadap Korban Runggun Yogyakarta Bencana Alam F P a. Sedih 11 12,9 % b. Prihatin 62 72,9 % c. Takut dan cemas d. Biasa-biasa saja 5 5,9 % e. Lainnya 7 8,2 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 3 4,7 % 54 84,4 % 3 4,7 % 4 6,3 % 64 100 %

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, perasaan warga jemaat terhadap korban bencana alam, baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya jawaban responden didominasi oleh perasaan prihatin. Jumlah responden yang merasa prihatin terhadap korban bencana alam di Runggun Yogyakarta sebanyak 62 orang (72,9 %) dan di Runggun Surabaya berjumlah 54 orang (84,4 %).

Gambar di atas menunjukan beberapa warga jemaat membersihkan puing puing reruntuhan rumah penduduk

Gambar di atas adalah POSKO bantuan yang di bentuk oleh GBKP

2. Bentuk Solidaritas Terhadap Korban Bencana Alam yang Terjadi di Yogyakarta dan Sidoarjo Tabel 13 Kategori Bentuk Solidaritas

26

Bentuk Solidaritas

Runggun Yogyakarta F P a. Dukungan Moral 23 27,1 % b. Dukungan Material 15 17,7 % c. Terjun Kelapangan 15 17,7 % d. Berdiam Diri e. a dan b 32 37,6 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 12 18,8 % 15 23,4 % 37 57,8 % 64 100 %

Tabel di atas menunjukkan bahwa, bentuk solidaritas di ke-2 Runggun terhadap korban bencana alam lebih banyak berupa dukungan moral dan material, yaitu di Runggun Yogyakarta dengan jumlah responden 32 orang (37,6 %) dan di Runggun Surabaya sebanyak 37 orang (57,8 %). Namun ada juga perbedaan di antara ke-2 Runggun tersebut, responden di Runggun Yogyakarta ada 15 orang (17,7 %) yang menyatakan solidaritas dengan langsung terjun ke lapangan, sementara di Runggun Surabaya sama sekali tidak ada responden yang terjun kelapangan. Adanya perbedaan ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa gempa bumi di Yogyakarta dominan dipahami sebagai suatu proses alamiah yang tidak dapat dihindari, sedangkan menurut responden di Surabaya penyebab lumpur lapindo lebih dominan dipahami karena kelalaian manusia sendiri.

3. Kriteria dalam Menyatakan Solidaritas : SARA ? Pada Pertanyaan berikutnya adalah apakah bentuk Solidaritas jemaat ditentukan oleh latar belakang Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Di Runggun Yogyakarta 38 orang (44,7 %) menjawab bahwa Solidaritas ditentukan oleh SARA. Ada 47 orang (55,3 %) menjawab bahwa solidaritas tidak ditentukan oleh latar belakang SARA dengan alasan semua manusia merupakan ciptaan Tuhan dan pada kenyataanya bencana juga menimpa seseorang tanpa melihat latar belakang SARA. Pandangan seperti ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan sosial jemaat yang umumnya berada dalam

27

lingkungan yang plural. Sedangkan di Runggun Surabaya, 34 orang ( 53,1 %) menjawab solidaritas ditentukan oleh latar belakang SARA dan 30 orang (46,8 %) menjawab bahwa semua orang yang menderita harus ditolong sebagai wujud kasih yang diajarkan oleh Yesus Kristus tanpa membeda-bedakan apapun termasuk SARA. Baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, responden yang menjawab bahwa solidaritas ditentukan oleh latar belakang SARA memberi beberapa alasan yakni: bantuan yang diberikan kepada mereka yang memiliki latar belakang SARA yang sama dengan kita akan lebih terjamin dan sampai pada sasaran dan SARA dipandang sebagai suatu ikatan yang sangat menyentuh emosi setiap orang.24

4. Jenis Bantuan yang Paling Tepat diberikan kepada Korban bencana alam Baik di Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya, melihat bahwa jenis bantuan yang paling tepat diberikan kepada korban bencana alam adalah kebutuhan pokok (sandang dan pangan), serta memberi dukungan moral (doa) dengan maksud untuk menghindari terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan memberi semangat. Hal-hal tersebut dinilai sebagai kebutuhan yang paling penting setelah para korban bencana alam kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, sanak saudara, trauma dan lainnya.

5. Tindakan Gereja terhadap Korban Bencana Alam: Bantuan jangka pendek (karikatif) dan jangka panjang ( pemulihan secara holistik) Di Runggun Yogyakarta, 29 orang (34,1 %) dari 85 responden menjawab bahwa gereja sudah bertindak dengan memberi bantuan berupa doa maupun material, contohnya

24

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa warga jemaat.

28

ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada bulan Mei 2006, Runggun Yogyakarta khususnya bekerja sama dengan PARPEM GBKP (bidang Partisipasi Pembangunan) mendirikan POSKO di Bantul. Sementara 56 orang (65,9 %) menjawab gereja sudah bertindak tetapi tidak berkelanjutan. Sementara di Runggun Surabaya, 49 orang (76,6 %) dari 64 responden menjawab gereja sudah memberi bantuan kepada korban bencana alam berupa moral dan material. Ada 15 orang (23,4 %) menjawab bahwa gereja belum memiliki sarana yang memadai untuk memberi bantuan yang maksimal kepada korban bencana alam.

Barang-barang yang akan dibagikan kepada korban

Gambar di atas adalah gedung sekolah yang hancur akibat gempa

6. Cara Penyaluran Solidaritas : Pribadi (Individu) atau Institusi ( Gereja). Pada tabel berikutnya tentang cara penyaluran solidaritas. Di Runggun Yogyakarta, sebanyak 19 orang (22,4 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi. Ada 45 orang (52,9 %) menjawab secara institusi serta 21 orang (24,7 %) menjawab bantuan

29

diberikan secara pribadi maupun institusi. Sementara, di Runggun Surabaya, 17 orang (26,6 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi, 43 orang (67,2 %) memberi bantuan secara institusi dan 4 orang (6,3 %) memberi bantuan secara pribadi maupun institusi. Mereka yang memilih menyalurkan bantuan secara institusi beralasan bahwa penyaluran bantuan akan lebih terorganisir, efisien dan bantuan yang diberikan dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bantuan secara pribadi dan mereka yang memilih memberi bantuan secara pribadi beralasan bahwa gereja dianggap terlalu lamban bertindak dan kebutuhan yang akan diberikan dianggap lebih bermanfaat bagi korban dan tepat sasaran sehingga dapat langsung dipergunakan oleh para korban.

7.

Peran Gereja dalam Mensosialisasikan bencana Alam Tabel 17 Kategori Pengsosialisasian Bencana Alam oleh Gereja

Pengsosialisasian Bencana Runggun Yogyakarta Alam F P a. Belum pernah 17 20 % b. Sering 29 34,1 % c. Jarang 39 45,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 13 20,3 % 18 28,1 % 33 51,6 % 64 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, di Runggun Yogyakarta responden didominasi oleh jawaban bahwa gereja masih jarang melakukan pengsosialisasian bencana alam yakni berjumlah 39 orang (45,9 %) . Sementara di Runggun Surabaya responden yang menjawab gereja masih jarang mensosialisasikan bencana alam kepada jemaat berjumlah 33 orang (51,6 %). Perbandingan antara jumlah responden yang menjawab sudah sering dan masih jarang jauh berbeda, khususnya di Runggun Surabaya.

30

8.

Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam Tabel 18 Kategori Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam

Cara Mencegah/ mengatasi Runggun Yogyakarta Bencana Alam F P a. Perlu 85 100 % b. Tidak perlu c. Lainnya Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 64 100 % 64 100 %

Tabel di atas menunjukkan bahwa baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya seluruh responden menjawab bahwa mereka merasa perlu untuk mengetahui cara-cara mencegah atau mengatasi bencana alam.

9.

Sosialisasi atau Penjelasan Gereja tentang Bencana Alam Tabel 19 Kategori Sosialisasi Gereja Tentang Bencana Alam

31

Sosialisasi Gereja tentang Runggun Yogyakarta Bencana Alam F P a. Melalui Khotbah 44 51,8 % b. Melalui PA/Diskusi 19 22,4 % c. Seminar/ Ceramah 10 11,8 % d. Lainnya 12 14,1 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 17 26,6 % 24 37,5 % 8 12,5 % 15 23,4 % 64 100 %

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa selama ini cara gereja dalam memberi penjelasan atau mensosialisasikan bencana alam di ke-2 Runggun berbeda. Di Runggun Yogyakarta 44 orang (51,8 %) responden menjawab bahwa gereja memberi penjelasan mengenai bencana alam melalui khotbah dan melalui PA/diskusi berjumlah 19 orang (22,4 %). Sementara di Runggun Surabaya, responden menjawab selama ini gereja justru memberi penjelasan tentang bencana alam lebih banyak melalui PA atau diskusi yakni 24 orang (37,5 %) dibanding dengan melalui khotbah yang berjumlah 17 orang (26,6 %). Walaupun sebenarnya selisih jumlah ini tidak terlalu jauh

2.5

Rangkuman Warga jemaat dalam memahami bencana alam, umumnya lebih dominan melihat

peristiwa tersebut sebagai suatu proses alamiah dan dipicu oleh prilaku manusia yang tidak

32

menghargai alam, daripada melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa, pemahaman warga jemaat sudah mulai terbuka. Tetapi perkembangan tersebut belumlah merata. Oleh karena itu, pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman Tuhan karena dosa manusia, akan lebih banyak dikaji dari pada pengaruh proses alamiah atau prilaku manusia. Peristiwa bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat serius baik bagi manusia maupun bagi ciptaan lainnya. Khususnya dalam kaitan menunjukkan solidaritas, umumnya warga jemaat sudah mewujudkannya tetapi, bantuan yang diberikan selama ini belum maksimal dan masih bersifat karitatif dan temporer. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemahaman dan bentuk solidaritas warga jemaat tersebut. Faktorfaktor yang dimaksud dianalisa dalam bab selanjutnya.

33

BAB III ANALISA TERHADAP PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA

Dalam bagian ini penulis menganalisa hasil penelitian yang telah dilakukan, seperti yang terlihat pada kolom-kolom dan penjabaran dalam BAB II. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka ada dua hal mendasar yang dapat dijabarkan yaitu pemahaman tentang bencana alam dan bentuk tindakan solidaritas kemanusiaan. Dari hasil penelitian tersebut maka ada beberapa faktor yang dianalisa dalam bagian ini berkaitan dengan pemahaman warga jemaat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor pendidikan, faktor sosial-ekonomi, sistem manajemen organisasi gereja, faktor budaya dan faktor tradisi dan ajaran alkitab.

3.1 Faktor Pendidikan Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dan menentukan cara pandang serta cara pikir seseorang dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupan, dalam hal ini untuk memandang bencana alam yang terus-menerus melanda masyarakat Indonesia. Cara pandang mereka yang hanya mengenyam tingkat pendidikan Sekolah Menenggah Pertama (SMP) dengan mereka yang sempat mengenyam bangku pendidikan sampai di Perguruan Tinggi (PT) pasti akan sangat berbeda.25 Faktor pendidikan ini sangat jelas terlihat pada perbedaan pemahaman warga jemaat tentang penyebab terjadinya bencana alam. Memang secara umum jemaat GBKP di

25

Pt. Madison Ginting, wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008 di Yogyakarta.

34

ke-2 Runggun tersebut sudah menikmati dan memiliki pendidikan yang tinggi tetapi masih ada juga anggota jemaat yang masih berpendidikan rendah. Pada umumnya jawaban warga jemaat didominasi oleh pemahaman bahwa bencana alam disebabkan oleh faktor alam. Sangat dapat dipahami bahwa mereka yang melihat bencana alam sebagai suatu proses alamiah (dan yang didukung oleh prilaku manusia), umumnya berpendidikan tinggi yang tentunya dipengaruhi juga oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang mereka peroleh dari bangku pendidikan. Mereka selalu berusaha mencari jawaban ilmiah terhadap suatu peristiwa, misalnya jawaban ilmu pengetahuan (geologi) terhadap penyebab terjadinya bencana alam. Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi pemahaman tentang bencana alam dan berkaitan erat dengan faktor pendidikan ini adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Bencana alam walaupun tidak dapat diprediksi kedatangannya tetapi dapat dijelaskan penyebab dan proses terjadinya. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor dapat dijelaskan dengan bantuan IPTEK. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan secara gamblang dan memberikan bukti yang kuat mengapa wilayah Indonesia sangat rentan terjadinya berbagai bencana alam. Menurut ilmu geologi, hal ini dipengaruhi oleh letak geologis Indonesia yang ada diantara 3 lempeng dunia yang cukup aktif (Triple Junction Plate Convergence). Tiga lempengan tersebut yang dimaksud adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik yang bergerak relatif ke barat dan utara terhadap eurasia . 26 Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor juga dapat dijelaskan penyebabnya. Selain karena memang faktor gejala alam itu sendiri, jenis bencana alam tersebut terjadi karena dipicu oleh perilaku manusia, misalnya: pola hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya konsumeristik, penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah 26

Subandono Diposaptono Budiman, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: Sarana Komunikasi Utama, 2008, hlm. 15

35

sembarangan dan tindakan lainnya. Menurut Palulun Boroh dalam buku Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan hidup, berpendapat bahwa terjadinya bencana alam yang pernah dan sedang dialami oleh dunia sekarang ini, bahkan akan terus meningkat pada masa yang akan datang, ternyata akar masalahnya lebih dominan pada ulah manusia sendiri yang dengan semena-mena memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) tanpa mengindahkan norma-norma ekosistem yang ada.27 Pandangan tersebut diungkapkan dalam sebuah kalimat oleh Mahatma Gandhi bahwa:28 “ Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang ”.

Jelaslah bahwa, bencana alam merupakan suatu proses alamiah juga didukung oleh perilaku manusia yang tidak menghargai alam demi kesejahtraan hidupnya. Manusia memiliki peran yang sangat besar atas kehancuran yang sedang terjadi pada alam (hal ini sama seperti yang dipahami oleh warga jemaat berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. lih. tabel 7 tentang penyebab terjadinya Bencana alam). Warga jemaat yang memiliki pemahaman bencana alam sebagai hukuman Tuhan umumnya berpendidikan rendah dan juga dominan berusia 56 tahun keatas. Walaupun mereka sudah bersentuhan langsung dengan kemajuan zaman dan IPTEK yang dapat memberi penjelasan secara ilmiah, namun realitasnya pemahaman tradisional yang sudah lama membentuk pola pikir mereka sulit untuk diubah. Pengalaman adalah bagian dari proses pendidikan. Pengalaman akan bencana alam yang telah terjadi menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat. Pengalaman ini dapat membantu masyarakat kita untuk mengenali bencana alam sehingga tidak tergesa-gesa

27

Palulun Boroh, “ Sumber Bencana : Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim “, dalam Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup, penyunting: Markus Rani, SulSel: SULO, 2006, hlm. 85. 28 Victor Tinambunan, GEREJA DAN ORANG PERCAYA: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditenggah Krisis Multi Dimensi, L-SAPA STT HKBP, Pematangsiantar, 2006, hlm. 62.

36

dalam menyimpulkan apakah bencana alam suatu hukuman, merupakan bagian dari proses alamiah atau bahkan akibat dari perilaku manusia sendiri. Dari pengalaman ini akhirnya timbul pengetahuan dalam menghadapi bencana alam sehingga dapat mengurangi jumlah korban jiwa maupun material bahkan juga mengurangi kerusakan pada alam itu sendiri. Faktor pendidikan dalam mewujudkan solidaritas kepada korban bencana alam juga memiliki peran yang sangat penting. Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis, warga jemaat dominan berpendidikan tinggi. Kenyataan ini tentunya memberi gambaran bahwa warga jemaat memiliki potensi dan sumber daya. Dengan kata lain, potensi mereka dapat digunakan untuk membantu para korban apakah itu dari segi kesehatan, keterampilan, pekerjaan atau aspek lainnya. Hanya saja potensi tersebut belum dimaksimalkan.

3.2 Faktor Sosial-Ekonomi Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tampaknya telah disadari oleh warga jemaat secara umum. Banyaknya penderitaan yang dialami masyarakat, khususnya yang ditimbulkan oleh berbagai bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, telah mendorong warga jemaat untuk bersolider terhadap mereka yang menjadi korban. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka, baik berupa moral maupun material (misalnya: membuka dapur umum, melakukan kunjungan kasih, pembagian sembako, membantu pembuatan tenda-tenda pengungsian dan lainlain).29 Kepekaan sosial (walaupun masih dibayang-bayangi oleh SARA - pokok ini akan dibahas dalam faktor budaya) yang dimiliki oleh warga jemaat menunjukkan bahwa

29

Berdasarkan hasil laporan kegiatan panitia Posko GBKP peduli korban bencana alam Runggun Yogyakarta.

37

memang ada usaha untuk membantu meringankan atau ikut mengambil bagian dalam penderitaan orang lain, tetapi pelayanan yang dilakukan belum maksimal. Para korban belum bisa sepenuhnya keluar dari penderitaanya. Tindakan yang selama ini dilakukan menunjukkan, bahwa masih minimnya pelayanan yang bersifat memberdayakan para korban, jenis pelayanan masih bersifat derma. Salah satu faktor penting yang selalu menjadi kendala dalam melakukan pelayanan adalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa, kemampuan dari segi ekonomi akan sangat menentukan tingkat pelayanan yang dapat dilakukan oleh gereja. Sejauh mana gereja dapat menjangkau pergumulan para korban. Tetapi jika dilihat dari segi ekonomi/pekerjaan warga jemaat di ke-2 Runggun walaupun tidak merata (lih. tabel 3 tentang Pekerjaan Responden), mereka mestinya mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Sangat disayangkan bantuan atau pelayanan gereja yang diberikan selama ini, belum maksimal dan tidak berkelanjutan. Jenis bantuan hanya bersifat diakonia karikatif dan temporal yang diberikan secara spontan ketika bencana alam terjadi karena keadaan terdesak, darurat, dan para korban sangat tidak berdaya. Namun, pasca bencana tidak ada tindak lanjut dari pelayanan. Belum ada tanda-tanda akan dilakukan pelayanan transformatif dan berkelanjutan yang lebih bersifat membekali, memampukan dan memberdayakan, agar para korban memiliki keterampilan dan kemampuan baru untuk dapat membangun sendiri hidupnya sesuai dengan potensi yang mereka dimiliki. Kurang memadainya sarana dan prasarana untuk memberikan bantuan mestinya bukan menjadi alasan yang tepat sehingga pelayanan yang dilakukan gereja pada akhirnya tidak maksimal dan tidak berkelanjutan. Warga jemaat yang memiliki kepekaan sosial dan perekonomian yang memadai dapat diberdayakan dan difungsikan.

38

3.3 Faktor Budaya Pada umumnya, budaya masyarakat di Nusantara masih turut membangun sikap moral dan kepercayaan masyarakat. Dalam setiap budaya umumnya memiliki sejumlah peraturan dan konsekwensi baik positif (kebahagiaan dan kemakmuran) maupun negatif (malapetaka dan penderitaan). Partisipasi aktif manusia melalui tingkah laku dalam aturan raya ini, menjadi berarti karena manusia dilihat sebagai bagian dari kesatuan ini dan mempunyai kewajiban untuk menjaga relasi harmoni kosmis. Kelalaian dianggap fatal dan membawa resiko baik untuk dirinya sendiri maupun dalam skala lebih besar yakni masyarakat, misalnya dalam bentuk bencana alam, kegagalan panen, penyakit bahkan kematian.30 Pemahaman tersebut juga masih dipegang teguh oleh budaya Batak Karo. Bagi suku Karo setiap perbuatan akan mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terungkap dalam pepatah adat adi ngalo la rido, ngalar la rutang, yang bermakna kalau kita memperoleh sesuatu secara tidak sah atau tidak wajar, maka akan datang bala atau bencananya. Oleh karena itu, pepatah Karo juga mengatakan pangan labo ate keleng, tapi angkar beltek, yang bermakna kita boleh melakukan apa saja tetapi harus memikirkan dampak dari apa yang akan ditimbulkannya.31 Salah satu dari nilai-nilai budaya yang masih dipelihara sampai pada saat ini adalah penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam. Dalam pandangan tradisionil pengerusakan terhadap alam diyakini akan mendatangkan musibah bagi masyarakat. Untuk menghindari musibah tersebut maka dibuat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat. Masih kuatnya pengaruh budaya ini terlihat jelas dari hasil penelitian yang dilakukan oleh 30

Ati Hildebrandt Rambe:”Salib Tanpa Tubuh? Melampaui Pendekatan Rasional dalam Pelayanan Gereja Menghadapi Penderitaan”, dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 301. 31 Darwan Prinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004, hlm. 66

39

penulis di ke-2 Runggun. Memang ada perbedaan jumlah yang mencolok. Lebih banyaknya jemaat di Surabaya yang mengkaitkan antara bencana dengan budaya suku Karo dibanding dengan jemaat Yogyakarta dipengaruhi karena responden di Runggun Yogyakarta banyak dari kaum muda, khususnya mahasiswa (walaupun tidak dominan) yang kurang memahami budaya Karo. Sementara di Runggun Surabaya didominasi oleh orang tua yang masih tetap memegang kuat nilai-nilai budaya sekalipun tidak lagi berada di tanah Karo. Melalui pemahaman tradisionil ini terlihat jelas nilai-nilai budaya Karo sangat menganjurkan agar manusia solider terhadap alam. Selain penghargaan yang tinggi terhadap alam, budaya Karo juga sangat memegang tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan sikap gotong royong. Meskipun masyarakat Karo yang sudah tinggal dalam lingkungan sosial yang pluralis dan juga sudah sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kristiani agar solider terhadap siapa saja dan mewujudkan cinta kasih tanpa membeda-bedakan, akan tetapi perasaan kekeluargaan terhadap saudara yang sesuku masih sangat kuat dan menonjol. Biasanya ada suatu ikatan yang kuat dirasakan oleh setiap orang Karo terhadap sesukunya yaitu ikatan emosional. Rasa kekeluargaan antar sesama orang Karo ini terlihat jelas dalam kehidupannya sehari-hari. Apalagi ketika muncul penderitaan seperti bencana alam, maka perasaan senasib dan sepenanggungan antar orang Karo akan segera terlihat, ditambah lagi jika sama-sama berada di daerah perantauan.32 Realitas seperti ini menunjukkan bahwa suku Karo masih bersifat “eksklusif “ terhadap orang di luar sukunya. Tetapi di dalam “keeksklusifannya” ini bukan berarti bahwa orang Karo sama sekali tidak peduli terhadap orang lain diluar komunitas sukunya. Orang Karo yang tergabung dalam GBKP Runggun Yogyakarta telah membentuk POSKO GBKP PEDULI BENCANA untuk membantu korban bencana alam, akan tetapi kepedulian tersebut masih

32

Arbi Banggun, wawancara penulis tanggal 10 Januari 2008 di Yogyakarta.

40

jauh dari semestinya. Pelayanan yang diberikan kepada korban yang berada di dalam komunitas gereja dan suku Karo sangat jauh berbeda dengan di luar komunitas tersebut. Akibat dari kuatnya ikatan emosional ini maka tidaklah mengherankan jika masih banyak warga jemaat yang melihat bahwa solidaritas masih dipengaruhi oleh latar belakang SARA.

3.4 Sistem Manajemen Organisasi Gereja Pada dasarnya peraturan-peraturan di dalam organisasi gereja sangatlah penting sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan. Tetapi di sisi lain ternyata peraturan juga berpotensi sebagai penghambat dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri. GBKP adalah salah satu gereja yang menganut sistem Presbiterial Sinodal, di mana sistem kerja yang berlaku adalah dari atas ke bawah (Sinode-Jemaat). Dalam melaksanakan fungsinya, GBKP menyusun aturan-aturan yang menjadi pegangan dan patokan sekaligus merupakan komitmen yang berlaku dan wajib dipatuhi oleh seluruh warga GBKP, baik sebagai pelayan maupun anggota jemaat.33 Secara organisasi gereja, baik Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya sudah berjalan dengan teratur. Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan ke-2 Runggun mengacu pada peraturanperaturan yang berlaku. Ketatnya birokrasi gereja yang harus dipatuhi dan dilaksanakan kadang-kadang menyebabkan timbulnya benturan ketika berhadapan dengan realitas. Sebagai contoh, ketika terjadi bencana alam di Yogyakarta, jemaat di Runggun Surabaya tidak langsung bertindak ketika bencana terjadi tetapi setelah ada pemberitahuan resmi dari majelis jemaat.34 Adanya benturan ini muncul karena keputusan atau kebijakan yang akan

33 34

Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP 2005-2010, Kabanjahe, 2005, hlm. 2. Hendri Ginting, wawancara penulis tanggal 7 Februari 2008 di Yogyakarta.

41

diambil harus melalui prosedur yang telah diatur (misalnya melalui rapat-rapat majelis dan aturan-aturan sejenisnya). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pdt. Sabar Sembiring Brahmana bahwa:35 “Ketika terjadi bencana di Yogyakrta, kami (Runggun Surabaya) belum bisa melakukan apa-apa karena harus menunggu dulu surat pemberitahuan dari Moderamen, barulah akan disampaikan kepada warga jemaat.”

Menurut beliau bahwa, kenyataan GBKP yang menganut sistem Presbiterial Sinodal menjadi salah satu penyebabnya. Realitas di atas menunjukkan bahwa, ketatnya peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan telah menyebabkan aturan itu sendiri menjadi kaku dan birokrasi menjadi “penghambat” solidaritas. Hal ini berpengaruh karena jika ada warga jemaat yang memiliki kepekaan sosial dan kemampuan secara ekonomi maupun memiliki sumber daya yang lain untuk memberikan bantuan melalui institusi gereja, kadang-kadang harus “tertunda”. Otonomi gereja (jemaat) untuk mengambil keputusan sendiri dalam kondisikondisi tertentu mestinya difungsikan dengan lebih baik, sehingga gereja benar-benar menjadi pendukung warga jemaatnya dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri. Selain faktor di atas, hambatan lain mengapa gereja masih lambat dalam menangani korban bencana alam adalah adanya ketakutan akan tuduhan terjadinya proses kristenisasi. Stigma seperti ini, sangat mempengaruhi tindakan warga jemaat dalam memberikan bantuan. Di sisi lain, pemahaman para korban yang meragukan bantuan warga jemaat juga turut mempengaruhi respon mereka. Pemahaman yang demikian tidak dapat dipungkiri dan diabaikan begitu saja, karena kenyataannya ada beberapa lembaga yang bernuansa

35

Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008.

42

Kristen tidak jarang memanfaatkan situasi tersebut sebagai sarana kristenisasi, seperti yang terjadi ketika tsunami di Aceh.36

3.5 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja Pandangan populer tentang malapetaka dan kejahatan sebagai hukuman Allah cukup populer di antara ahli-ahli biblika.37 Banyak dari cerita-cerita Alkitab yang dijadikan sebagai pendukung dari pemahaman bahwa kejahatan sebagai hukuman Tuhan. Misalnya saja, cerita mengenai kejatuhan Adam dan Hawa masih tetap dipakai oleh masyarakat zaman modern ini untuk melukiskan asal-usul kejahatan dan penderitaan yang dialami manusia. Ada suatu pemahaman yang masih tetap diyakini sampai sekarang bahwa, andai saja Adam dan Hawa tidak melanggar perintah Tuhan pasti umat manusia masih hidup dengan nyaman dan tentram di Taman Firdaus yang utopis. Senada dengan hal itu, Robert Borrong juga berpendapat bahwa dalam tradisi agama, bencana alam selalu dilihat secara paradoksal yaitu sebagai hukuman Tuhan sekaligus juga bukti kasih Tuhan. Cerita-cerita dalam Alkitab yang dilihat sebagai contoh adalah peristiwa Air Bah (Kej 7), Menara Babel (Kej 11), dan peristiwa Sodom dan Gomora yang dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya (Kej 19:1-25). Menurutnya, bencana yang bersifat paradoksal tersebut juga menjadi panggilan bagi manusia untuk bertobat dan hidup bermoral.38 Pemahaman seperti di atas masih tetap terpelihara dan dipertahankan oleh warga jemaat sampai sekarang. Dalam kaitan ini pimpinan gereja memiliki peran yang sangat

36

Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008. Andreas A. Yewangoe: “Membangun teologi Bencana Pergumulan Teodice dan Penderitaan Allah” , dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial – Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 234. 38 Robert Borrong, “ Penanggulangan Bencana Alam “, ceramah yang disampaikan dalam lokakarya, menyambut Dies Natalis ke-59 dan Reuni Raya STT INTIM Makassar, pada tanggal 15 September 2007. 37

43

penting. Ketika tidak ada kesepakatan di antara pimpinan gereja (Pendeta, Penatua dan Diaken) tentang suatu hal misalnya, pemahaman tentang bencana alam apakah sebagai hukuman Tuhan atau tidak, juga akan ikut mempengaruhi pemahaman warga jemaat. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bahwa, ada pemahaman berbeda diantara majelis jemaat sendiri tentang bencana alam.39 Ada majelis yang memahami bahwa bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan ada juga yang melihat bukan sebagai hukuman Tuhan. Adanya perbedaan tersebut mestinya tidak diabaikan begitu saja oleh para majelis tetapi justru dibekali dan membekali diri dengan pengetahuan secara ilmu geologi yang berkembang saat ini. Hal ini penting mengingat warga jemaat juga memahami bahwa, pemahaman mereka tentang bencana alam dibangun dari tradisi dan ajaran gereja. 3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai Hukuman Allah Munculnya pemahan bencana alam sebagai hukuman Allah, menimbulkan ada 2 pihak yang disalahkan ketika terjadi bencana, yaitu Allah dan para korban. Bencana alam yang dipahami sebagai hukuman juga akan menimbulkan sikap fatalistik bagi para korban. 1.

Menyalahkan Allah ( Blaming The God) Adanya penderitaan dan malapetaka yang dialami oleh manusia selalu dikaitkan

dengan Keadilan Allah,40 karena sifat-sifat Allah, yang diyakini sebagai Mahakasih, Mahakuasa, dan Mahatahu, dianggap tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dunia. 39

Perbedaan pemahaman ini ditemukan baik melalui wawancara maupun Kuesioner yang dilakukan oleh penulis di ke-2 Runggun. 40

Keadilan Allah ini dikenal dengan istilah Teodice. Istilah ini mulai pada abad ke-17 oleh seorang filosof Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Istilah ini dipakai dalam hubungan dengan pembelaan keadilan Allah terhadap kenyataan yang jahat dan penderitaan. Kemudian istilah ini digunakan dan dikembangkan oleh beberapa tokoh lainnya, diantaranya: Lactantius dan C.S. Lewis seperti yang telah diungkapkan diatas. Ikhtisar mengenai hal ini dapat dilihat dalam tulisan Zakaria Ngelow: “Bianglala di Atas Tsunami: selayang Pandang Teodice Kristen” dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase intim, 2006, hlm. 201220.

44

Kenyataan seperti ini menyebabkan hakikat/eksistensi Allah dipertanyakan, seperti yang dikalimatkan seorang teolog yang bernama Lactantius (250-320 M), yang dirujuk oleh A. Yewangoe bahwa :41 “ Adakah Allah bermaksud mencegah kejahatan (Evil) tetapi tidak sanggup? Maka itu berarti DIA tidak berkuasa. Atau adakah IA mampu tetapi tidak mau? Itu berarti Allah tidak mahakasih. Ataukah IA bisa dan mau? Lalu dari mana asal usul kejahatan? “

Berkaitan dengan pendapat Lactantius di atas, C.S. Lewis yang dirujuk oleh A. Yewangoe juga menggungkapkan eksistensi Allah sebagai berikut:42 “ Jikalau Allah sungguh-sungguh baik, maka Ia akan membuat semua ciptaan-Nya sungguhsungguh berbahagia secara sempurna, dan jikalau IA Mahakuasa, maka IA akan mampu melakukan apa yang IA kehendaki. Tetapi, ciptaan-Nya tidaklah berbahagia. Karena itu, Allah kekurangan baik kebaikan maupun kekuasaan, atau kedua-duanya”.43

Sejalan dengan pendapat ke-2 tokoh di atas masih banyak lagi para tokoh lain yang mempersoalkan tentang pokok ini. Akan tetapi, ke-2 tokoh tersebut rasanya cukup mewakili tentang pandangan yang mempertanyakan eksistensi Allah dalam penderitaan manusia. Berdasarkan pandangan tokoh-tokoh di atas, jelaslah bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk meragukan, bahkan menyalahkan dan mempertanyakan keberadaan Allah ketika mereka mengalami penderitaan. Di manakah Allah ketika manusia menderita, ketika bencana melanda manusia sehingga banyak yang menjadi korban: anak-anak menjadi yatim piatu, orang tua kehilangan anak-anaknya, kehilangan sumber penghasilan atau pertanyaan-pertanyaan yang senada terus-menerus dilontarkan.

41

Andreas A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 226 Ibid, hlm. 226.

42 43

45

2. Menyalahkan Korban (Blaming The Victim) Memandang bencana sebagai hukuman Allah adalah pemahaman yang paling umum dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya teologi hukuman seperti ini sering menyudutkan mereka yang menjadi korban bencana. Fakta bahwa mereka adalah korban justru dijadikan alasan bahwa mereka memang terkena hukuman Ilahi, sedangkan daerah yang tidak terkena bencana dianggap sebagai orang benar dan dikasihi Tuhan. Pemahaman di atas juga didukung oleh beberapa tokoh teolog, di antaranya: Agustinus (Bapa gereja dari Hippo, Afrika Utara, 354-430), mengajarkan bahwa dosa manusia adalah sebab dari kejahatan moral dan malapetaka fisik adalah hukuman setimpal yang dijatuhkan Tuhan atas dosa itu. Dipahami bahwa segala yang diciptakan Allah adalah baik, termasuk manusia dengan kebebasan kehendak. Manusia memakai kehendak tersebut untuk memilih yang jahat dan pilihan itulah yang membuat yang jahat terwujud.44 Di sini secara jelas Agustinus mengaitkan antara dosa dan malapetaka yang dialami oleh manusia sebagai buah dari kebebasannya dalam memilih yang jahat. Dengan kata lain, penderitaan disebabkan oleh prilaku manusia itu sendiri. Para reformator; Martin Luther (1483-1586) dan Yohanes Calvin (1509-1564), juga mengikuti pandangan Agustinus, bahwa semua yang jahat muncul dari dosa dan kejatuhan manusia. Martin Luther seperti yang dirujuk Roger Haight, mengungkapkan bahwa manusia berdosa karena kemauannya sendiri. Hal ini jelas dari tulisannya dalam bahan kuliah-kuliahnya tentang surat Paulus kepada Jemaat di Roma (1515-1516): dosa aktual sebenarnya merupakan pekerjaan dan buah dosa. Dosa itu sendiri adalah nafsu, atau kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang baik.45 Yohanes Calvin juga mengatakan hal yang senada sehubungan dengan penderitan yang dialami oleh 44 45

Ibid. hlm.227-228 Roger Haight, Teologi Rahmat Dari Masa Kemasa, Flores, NTT: Nusa Indah, 1999,hlm. 96.

46

manusia, bahwa dosa merupakan buah dari kebebasan manusia atas kejahatan yang dilakukannya menurut kemauannya dan bukan karena paksaan.46 3. Sikap Fatalistik47 Pada umumnya ada suatu kecenderungan yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia bersifat fatalistis, mereka tidak pernah memberontak terhadap penderitaan mereka dan akan selalu menerimanya tanpa mengeluh. Malapetaka (dan penderitaan) berupa kemiskinan atau bencana alam umumnya menyebabkan para korban dengan mudahnya menerima nasibnya. Allah dipahami sangat berkuasa dalam menentukan nasib dan peruntungan manusia (biasanya masyarakat menyebut hal ini sebagai takdir). Ketika malapetaka berupa bencana datang, diyakini itu adalah kehendak Tuhan yang harus diterima. Dalam situasi seperti ini orang akan cenderung bersifat fatalistik terhadap kehidupan yang sedang mereka alami, menerima situasi tertentu sebagaimama adanya, sehingga tidak membuat mereka mengusahakan perubahan bagi kehidupan. Kondisi seperti ini, oleh A. Yewangoe dalam bukunya “ Teologia Crusis Di Asia “ dikenal dengan istilah nrimo (narima), sabar dan ikhlas (rila), (meskipun kata-kata itu berasal dari bahasa Jawa dan juga dipengaruhi oleh pandangan Islam, tetapi konsep tersebut sangat dikenal oleh rakyat Indonesia dan dianggap bertanggung jawab untuk sikap fatalisme).48 Sikap seperti inilah yang kemudian membuat manusia – khususnya mereka yang menjadi korban bencana – akan kehilangan inisiatif untuk mengubah nasib mereka.

46

Lih.Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Terjemahan Ny.Winarsih dan Aritonang, Arifin dan Van den End, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, Hlm. 65. 47 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fatalisme merupakan suatu ajaran atau kepercayaan bahwa manusia dikuasai oleh nasib (yang tidak dapat diubah lagi). 48 A.A. Yewangoe, Teologia Crusis di Asia : Pandangan-Pandangan Orang Kristen di Asia Mengenai Penderitaan dalamKemiskinan dan Keberagaman Di Asia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 274.

47

BAB IV SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD TANGGUNG JAWAB GEREJA: Refleksi Sosio-Teologis terhadap Peran GBKP

Bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dipahami sangat tidak bersahabat karena mendatangkan penderitaan bagi umat manusia, ternyata mempunyai banyak wajah. Ada bayang-bayang trauma, penderitaan dan putus asa. Tetapi di pihak lain juga justru memiliki makna lain, pintu hati orang terketuk dan solidaritas terjalin. Bencana menyadarkan dan memberi kesempatan bagi kita untuk menjalin rasa kemanusiaan dan berbagi kasih terhadap sesama. Misi Allah untuk menghadirkan syalom harus diwujudnyatakan di dunia. Untuk menghadirkan syalom itulah Allah mengutus orangorang percaya (gereja) sebagai wakil-Nya di dunia. Dalam bab ini, penulis membahas bagaimana karya Allah di dalam diri Yesus Kristus yang solider terhadap penderitaan manusia dan implikasinya bagi GBKP dalam memenuhi tanggung jawabnya di tengah pergumulan hidup umat sebagai wakil Allah.

4.1

Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan Bencana alam bukan hanya menyebabkan krisis fisik saja tetapi juga krisis teologi.

Malapetaka dan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam membawa manusia untuk bertanya “mengapa” dan pada akhirnya memberi penafsiran sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Pendekatan yang memandang bencana alam sebagai hukuman adalah pemahaman yang paling umum dan populer dilontarkan, bahkan di kalangan umat Kristen

48

sendiri. Kemunculan teologi hukuman sebagai penyebab bencana alam bukan tanpa alasan, sebab pada kenyataannya banyak cerita-cerita yang mendukung pemahaman tersebut di dalam alkitab. Lalu di tengah maraknya pemahaman ini bagaimana semestinya kita melihat bencana alam? 4.1.1

Bencana Alam: Perspektif Alkitab Masih populernya pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman Allah atas

dosa manusia, tidak terlepas dari pengaruh tradisi dan ajaran alkitab. Dalam alkitab banyak fenomena dahsyat alam sering ditafsirkan sebagai hukuman Allah. Khususnya di dalam kitab Perjanjian Lama (PL), bencana yang menimpa manusia selalu dilihat sebagai akibat dari dosa manusia. Peristiwa Air bah (Kej.7) diyakini terjadi sebagai hukuman bagi manusia. Demikian juga dengan pemusnahan kota Sodom dan Gomora (kej.19), yang dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya. Selain kedua cerita tersebut, khususnya seluruh kitab Amos juga dilihat sebagai kitab yang menafsirkan fenomena alam sebagai hukuman atas ketidakadilan, misalnya Amos 5: 8-9, 12 dan 16.49 Dalam ayat-ayat tersebut ada sebuah pembalasan atas prilaku manusia. “Dia yang memanggil air laut dan mencurahkannya ke atas permukaan bumi -Tuhan itulah namaNya. Dia yang menimpakan kebinasaan atas yang kuat, sehingga kebinasaan datang atas tempat yang berkubu. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang. Sesungguhnya, beginilah firman TUHAN Allah semesta alam, Tuhanku: ‘Disegala tanah lapang akan ada ratapan dan di segala lorong orang akan berkata: Wahai! Wahai!’ “ (Amos 5: 8-9, 12 dan 16).

Adanya pemahaman tentang bencana alam sebagai pembalasan atas hukuman Tuhan yang masih diyakini oleh umat sekarang ini, tidak terlepas dari pengaruh agama Yahudi. Kekristenan secara keseluruhan tidak terpisahkan dari umat Yahudi atau Yudaisme

49

Bernard T. Adeney-Risakotta, “Pengantar”, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006, hlm. 30.

49

(agama Yahudi). Kekristenan mula-mula lahir dari dalam ruang lingkupYahudi. Umat Kristen mengenal Allah melalui kesaksian alkitab yang merupakan suatu kesaksian tertulis tentang pengalaman orang Kristen, yang utamanya berlangsung dalam konteks keyahudian.50 Selain agama Yahudi, agama suku (agama lokal) juga ikut mempengaruhi pemahaman warga jemaat. Walaupun warga jemaat sudah hidup dalam kekristenan tetapi, tidak bisa terlepas begitu saja dari budaya tradisionil yang sudah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Bencana alam akan selalu dikaitkan dengan kemarahan dewa-dewa karena prilaku manusia yang tidak menghargai alam. Dalam pemahaman tradisionil budaya Karo, pohon-pohon yang berada di hutan diyakini merupakan tempat tinggal para arwah nenek moyang. Pohon-pohon tidak boleh ditebang secara sembarangan.51 Hutan dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penjaga keselarasan antar ciptaan. Dengan kata lain, tradisi pemikiran Yudaisme dan budaya tradisionil merupakan dua faktor penting yang sangat mempengaruhi perjalanan gereja atau jemaat sampai saat ini. 4.1.2

Berdiri di atas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap Bencana Alam Meskipun diakui bahwa, banyak orang termasuk penulis alkitab dalam pasal-pasal

tertentu, percaya bahwa bencana alam (penderitaan dan malapetaka) sebagai hukuman Allah, namun pemahaman seperti ini cukup berbahaya dan rasanya tidak relevan lagi di zaman sekarang ini. Pemahaman tersebut dapat mengancam keyakinan umat dan juga pada akhirnya bukan solidaritas yang dibangun tetapi menimbulkan konflik/perpecahan antar agama. Selain itu, di zaman modern seperti sekarang ini, penyebab bencana alam dapat dijelaskan dengan bantuan IPTEK. Jika pemahaman bencana alam sebagai hukuman Allah

50

Hans Ucko, Akar Bersama: Belajar Tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, (terj.) Martin Lukito Sinaga, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995, hlm.164. 51 Sempa Sitepu, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan: ADIYU, 2006, hlm. 44

50

tetap dipertahankan, justru akan menimbulkan masalah baru yakni usaha mencari “kambing hitam” siapa yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Untuk menghindari pencarian kambing hitam, perlu dilakukan penggalian makna baru di balik peristiwa bencana alam. Mengatasi persoalan di sekitar bencana alam, penulis setuju dengan apa yang dilakukan oleh John Campbell-Nelson yang mengkaitkan aspek geologis dan teologis sekaligus.52 Dari persfektif geologis, dapat dijelaskan penyebab terjadinya gempa bumi. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, meyakini bahwa terjadinya gempa bumi disebabkan oleh adanya pergesekan lempenglempeng di kulit bumi, khususnya Indonesia yang berada di antara 3 lempeng dunia yang cukup aktif (hal ini telah dijelaskan dalam analisa, bab 3 sebelumnya!). Berdasarkan beberapa bencana alam yang telah terjadi, kita diingatkan agar tidak terlalu percaya diri dan ideologis dalam menilai alam. Saat ini semakin meningkat kesadaran para ilmuan mengenai lingkungan bahwa alam pada dirinya dinamik, tidak stabil, acak, dan tidak terduga. Isi alam berkembang, bergeser, bertumbuh dan sebagian besar bekerja di luar kendali manusia. Sementara dari perspektif teologis, seluruh proses alam dilihat sebagai tindakan Allah sang pencipta alam semesta. Banyak pemahaman yang berkembang di sekitar proses penciptaan, salah satunya adalah paham Deisme. Menurut pahan Deisme, Allah berhenti bekerja setelah Ia menciptakan dunia. Ketika Allah menciptakan dunia, Ia juga sekaligus memberikan hukum-hukum yang berlaku, sehingga kini segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.53 Tentu saja pandangan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran alkitab, yang menunjukkan bahwa dunia ini tidak pernah berdiri sendiri. Dalam Roma 11: 36 dikatakan, bahwa segala sesuatu dari Dia (diciptakan oleh Tuhan), oleh Dia (dipelihara 52

John Campbell-Nelson, “Bumi Tidak Tenang Sebuah Studi Kasus Tentang Gempa Bumi di Alor”, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk, (ed.), Op.cit, hlm. 98-107. 53 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 214.

51

oleh Tuhan) dan kepada Dia (demi kemuliaan nama Tuhan). Maupun dalam Kolose 1: 17 dikatakan juga segala sesuatu ada di dalam Dia.54 Berarti tidak ada satu kejadian pun di dunia luput dari penglihatan Allah, termasuk di dalamnya peristiwa bencana alam dan dampak yang diakibatkan. Dalam kaitan proses penciptaan dan hubungannya dengan bencana alam, konsep mengenai creatio continuo akan lebih tepat karena selain konsep ini telah lama memiliki tempat dalam tradisi teologi, juga lebih sesuai dengan ajaran alkitab. Menurut konsep ini, pekerjaan Allah dalam penciptaan belum selesai seluruhnya dan kemudian Ia tinggalkan begitu saja pada hari ke-7 (Kej.1). Allah tidak pernah berhenti namun Ia diyakini terus melanjutkan pekerjaan-Nya untuk membarui dan memperkaya alam semesta sebagai ciptaan-Nya.55 Senada dengan konsep creatio continuo tersebut seorang filsuf, Alfred North Whitehead (1861-1947) sebagaimana dikutip oleh Harvie M. Conn, juga memahami bahwa dunia ini berproses. Menurutnya, dunia ini dinamis, selalu berubah, dan sedang menjadi, mencakup ada.56 Dengan demikian dalam masalah pergerakan tektonik dapat dikatakan bahwa, melalui cara inilah Allah terus-menerus bekerja memperbaharui wajah permukaan bumi. Dengan kata lain, gempa bumi sebagai dampak dari karya Allah yang berlangsung terus-menerus itu. Dengan merubah paradigma berpikir melihat bencana alam adalah bagian dari tindakan Allah sebagai pencipta akan membantu kita keluar dari pemahaman bencana sebagai hukuman. Perubahan paradigma dalam peristiwa bencana alam, justru dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk membangun solidaritas kemanusiaan dan solidaritas terhadap alam. Peristiwa tersebut juga dapat menjadi pengalaman iman, bahwa penyertaan Allah tetap berlaku dalam setiap situasi.

54

Ibid. hlm. 214. John Campbell –Nelson, Op.cit, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Op.cit, hlm. 103 56 Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991, hlm. 101. 55

52

Selain kedua aspek di atas, bagi penulis aspek budaya yang memiliki nilai-nilai tradisionil juga perlu diperhatikan. Budaya masyarakat nusantara umumnya masih turut membangun sikap moral dan kepercayaan untuk menghargai alam. Bencana alam yang terjadi bukan hanya sebagai akibat dari proses alamiah tetapi juga karena prilaku manusia yang mengeksploitasi alam. Dampaknya juga bukan hanya bagi manusia saja tetapi bagi alam, karena alam adalah bagian dari ciptaan Allah sebagai suatu kesatuan. Manusia adalah bagian dari alam, manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa alam. Sebagai akibatnya, ketika manusia merusak alam maka sebenarnya manusia melakukan ancaman terhadap eksistensinya sendiri. Terhadap kenyataan ini seakan-akan manusia menutup mata, sampai sekarang ini eksploitasi terhadap alam masih terus terjadi. Kejadian 20:8: “ Ingat dan kuduskanlah hari sabat....”, selama ini yang selalu dipahami dan ditegaskan adalah bagaimana pentingnya hari sabat bagi Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan. Tetapi sebenarnya sabat bukan hanya bagi Allah dan manusia saja, tetapi juga alam dan segala isinya. Ketika alam dieksploitasi terus-menerus maka ia akan mengalami krisis juga. Sang reformator Martin Luther seperti yang dikutip oleh Victor Tinambunan, juga melihat bahwa sebenarnya ada implikasi ekologi dari hukum keempat tersebut terhadap pemeliharaan alam ciptaan. Ditekankan disini bahwa alam juga perlu istirahat.57 Untuk menyikapi hal ini, nilai-nilai budaya yang memberi penghargaan yang tinggi terhadap alam perlu dilestarikan. Budaya menjadi salah satu sarana bagi Allah untuk mengingatkan manusia agar menghargai dan memelihara alam. Manusia dituntut untuk lebih bersikap solider terhadap alam. Manusia yang mengabaikan lingkungannya berarti mengabaikan hidupnya sendiri. Tidak ada kesejahtraan manusia tanpa disertai kesejahtraan lingkungan hidup. Manusia perlu menyadari kedudukannya di antara ciptaan

57

Victor Tinambunan, Op.cit. hlm. 57

53

Allah. Senada dengan Christoph Stuekel Berger yang dikutip oleh Karel Erari, mengatakan bahwa:58 “Selamat datang sebagai tamu di bumi! Rumah bumi terbuka bagi anda. Temukanlah keanekaragaman dan kekayaan taman bumi ini: bersikaplah sebagai tamu dan bukan sebagai pemilik. Anda tidak bisa dan tidak boleh berperan sebagai pencipta. Sebagai makhluk yang diciptakan anda mempunyai kesempatan untuk mengusahakan dan memelihara taman dan dengan demikian meneruskan kehidupan yang diterima”

Berkaitan dengan pertanyaan di mana Allah pada saat manusia menderita, kita dapat belajar dari kisah Ayub. Akibat bencana dan penderitaan yang menimpanya, ia dijadikan sebagai “kambing hitam” oleh masyarakat pada zamannya (bahkan oleh keluarga dan teman-teman dekatnya sendiri). Menurut Rene Girard sebagaimana dikutip oleh Sindhunata bahwa, dengan mencari kambing hitam sebenarnya hanyalah sebagai usaha pembenaran diri sendiri. Kisah Ayub dapat kita dijadikan sebagai pedagogi iman, betapa Tuhan dan karya-karya-Nya - termasuk juga di dalamnya bencana alam-adalah misteri yang tak terselami oleh manusia. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa Allah tidak pernah berhenti bekerja dan memelihara umat-Nya.59

4.2

Membangun Solidaritas Kemanusiaan Tuhan Allah masih bekerja hingga kini. Ia tetap bekerja memelihara dunia ini.

Segala benda dan makhluk sesudah dijadikan masih tetap bergantung kepada Dia. Oleh karena itu, tidak ada suatu hal pun yang dapat berdiri sendiri dan terlepas dari tangan Allah. Seperti yang telah disebutkan bahwa, bencana alam memiliki banyak wajah, selain menimbulkan penderitaan tetapi juga menimbulkan keprihatinan setiap orang akan relitas di sekitarnya. Memberikan semangat kemanusiaan: empati dan berbela rasa kepada 58

Karel Ph. Erari, Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia, dalam SETIA, Jurnal Teologi Persetia No.1, 1997, hlm. 21. 59 Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 104.

54

sesama, kebersamaan dan saling menopang. Dalam kaitan dengan relitas penderitaan ini, dari pada terus-menerus mencari siapa yang harus bertanggung jawab atau “kambing hitam” atas bencana, mestinya kita justru mencari makna lain di balik peristiwa itu sendiri. Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam telah menggoreskan luka yang dalam bagi para korban. Tetapi di zaman sekarang ini kepedulian dan keprihatinan umat semakin tenggelam akibat roh spiritual individualis. Orang-orang Kristen semakin kehilangan rasa solidaritas etis emansipatorisnya di tengah-tengah penderitaan sesamanya. Dalam realitas kehidupan tersebut, sebagai orang beriman (gereja) kita terpanggil untuk solider bersamasama dengan Allah tanpa membeda-bedakan golongan, suku, agama ataupun status sosial seseorang. 4.2.1

Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitab Allah adalah kasih (1 Yoh 4: 16), itulah hakikat-Nya. Dalam kasih itu Ia solider

dengan penderitaan manusia. Dimana ada penderitaan dan keputusasaan, maka di sana jugalah Allah ada bergumul bersama penderita. Allah di dalam Kristus pun mengidentikkan diri-Nya dengan orang-orang yang menderita. Hal ini dapat dilihat dalam Matius 25: 31-36, khususnya dalam ayat 40: “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk aku” .

Dalam bagian ini Yesus mengidentikan diri-Nya dengan mereka yang menderita, Ia bukan sebagai “penolong” tetapi yang “ditolong”. Kazoh Kitamori seperti yang dikutip oleh A.Yewangoe juga mejelaskan mengenai penderitaan sebagai hakikat Allah, dalam pengertian bahwa Allah bukan benar-benar menderita (substansi), melainkan lebih pada hubungan sifat kasih Allah kepada manusia. Allah yang menderita dalam kasih-Nya ini hanya dapat dipahami dalam pengertian salib. Melalui kelahiran dan kematian Kristus di

55

salib merupakan penderitaan Allah dan kebangkitan Kristus tersebut menunjukkan kasih Allah. Dengan kata lain, seluruh karya keselamatan dapat dipahami sebagai ungkapan kesetiakawanan Allah terhadap manusia. Sehubungan dengan kasih Allah itu, Kitamori menjelaskan mengenai tiga tingkatan kasih, yaitu pertama, kasih Allah yang dicurahkan kepada objeknya (dalam hubungan Bapa-Anak); kedua, kasih Allah yang dicurahkan kepada manusia (dengan mengutus Anak-Nya mati demi menebus dosa manusia); dan ketiga, kasih yang didasarkan pada penderitaan Allah (pengampunan Allah).60 Berdasarkan hal ini, Kitamori berpendapat bahwa penderitaan justru bermanfaat untuk menyaksikan penderitaan Allah demi kasih-Nya bagi manusia. Tentu saja solidaritas menjadi hal yang penting dan diperlukan dalam rangka menampilkan wajah Allah yang berempati dan berbela rasa, yang sepenuhnya memihak kepada yang menderita. Pemahaman mengenai Allah sebagai Pemimpin dan penolong dalam sejarah, harus dipahami secara bersama-sama dengan konsep Allah yang ikut menderita. Allah sebagai Pemimpin dan Penolong menunjukkan kuasa-Nya, dan Allah sebagai yang ikut menderita menunjukkan kasih-Nya. Inilah gambaran yang relevan dalam konteks penderitaan yang di sebabkan oleh bencana alam. Ada tanggung jawab untuk mewujudnyatakan kasih-Nya dengan menguatkan, menghibur, mendukung dan menolong serta menopang mereka yang menjadi korban. Kisah orang Samaria yang baik hati (Lukas 10: 25-30), sangat menarik untuk dikaji berkaitan dengan bagaimana orang percaya memahami siapakah “sesamanya”. Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati mengetengahkan segi dari kehidupan manusia, bagaimana seharusnya kita mengasihi sesama. Orang Samaria melalui tindakannya telah memberi pelayanan kepada orang yang bukan dari golongannya, bukan

60

A.A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 223-234.

56

sebangsa, seagama maupun kawan karib. Dari perumpamaan tersebut Yesus mau mengatakan bahwa, yang menjadi sesama ialah siapa saja yang tergeletak tak berdaya, tidak penting apakah ia orang Karo atau bukan, beragama Kristen atau non-kristen, berkulit hitam atau putih, miskin atau kaya, atau latar belakang lainnya, tetapi yang terpenting bahwa ia juga manusia. Semua manusia adalah saudara yang harus diperhatikan dalam solidaritas kemanusiaan. Wujud nyata dari kasih tidak membatasi ruang dan waktu. Ada 3 hal penting yang diajarkan melalui perumpamaan tersebut:61 pertama, murah hati yang berkaitan dengan kepribadian seseorang. Orang yang murah hati adalah orang yang menolong dengan melakukan yang terbaik. Kedua, tentang “siapakah sesamaku manusia”, di dalam Matius 22:37-40: “ Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati....................dan kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri..............”. Kata “segenap” mengandung makna kasih yang tanpa syarat. Di dalam 1 Korintus 13: 13, rasul Paulus mengatakan bahwa iman dan pengharapan tidak akan berarti tanpa kasih. Dengan kata lain, kasih kepada Allah dan sesama merupakan wujud nyata iman dan ketiga, belas kasihan yang bukan sekedar kasihan tanpa tindakan tetapi ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Berempati dengan menempatkan diri kita pada posisi sesama yang menderita. Manusia tidak akan menjadi manusia yang sempuran tanpa sesamanya. Orang lain adalah “ aku “ yang lain, yang harus dihargai, dan diperhatikan karena mereka merupakan bagian dari diri kita, yang tidak bisa diperlakukan seenaknya. Manusia tidak akan menemukan martabat manusiawinya tanpa merasakan penderitaan dan kesusahan orang lain. Dengan mengaku bahwa orang lain adalah sesama bukanlah tindakan tanpa konsekwensi. Tetapi pengakuan yang menuntut tindakan nyata. 4.2.2

61

Panggilan dan pengutusan Gereja

Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, Yogyakarta: Kanisius. 2003, hlm.

57

Gereja yang melayani adalah gereja yang setia pada hakikatnya dan yang mengabdi kepada misi Allah di dunia ini. Gereja menjadi alat tindakan-tindakan Allah yang membebaskan dan menyelamatkan dunia ini. Gereja yang melayani adalah gereja yang senantiasa menyadari bahwa ia ada dan berada di dunia bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk bersolider dan berbelarasa terhadap sesama yang menderita. Kraemer seperti yang dikutip oleh Freddy Butaran mengatakan bahwa, pembebasan oleh Kristus terdiri dari pembebasan dari kecenderungan yang terus-menerus memikirkan diri sendiri yang merupakan dosa paling pokok serta akar dari semua kerusakan dalam hidup manusia.62 Gereja sentris, gereja yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan menganggap dirinya sebagai tempat pelarian dari persoalan-persoalan dunia adalah gereja yang mengingkari hakikat dan panggilannya. Sebaliknya, gereja yang ikut memikirkan dunia adalah gereja yang menjawab tanggung jawabnya terhadap panggilannya. Misi gereja selalu terus berjuang untuk menyatakan syaloom Allah di mana ada penderitaan, kesusahan dan kondisi lainnya yang tidak mensejahterakan umat manusia. Misi gereja bukan untuk menjauhi persoalan-persoalan dunia, yang hanya ingin menjadi bejana Allah, bukan sebagai alat Allah, yang hanya ingin dipenuhi oleh Allah bukan dipakai oleh Allah. Solidaritas Allah kepada manusia itulah dasar solidaritas gereja dengan orang yang menderita, miskin dan kelaparan. Solidaritas Allah dimandatkan untuk diteruskan oleh gereja. Solidaritas tersebut merupakan warisan yang perlu diteruskan sebagai sikap dasar Allah terhadap manusia. Dengan berpaling kepada sesama yang menderita, merupakan solidaritas gereja yang utama, dan dengan solidaritas itu gereja melaksanakan misinya dan mempertahankan

62

Freddy Butaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 65.

58

identitasnya. Tidak ada batasan bagi solidaritas. Jikalau hanya pada tempat-tempat tertentu, agama tertentu, dan budaya/suku tertentu yang dianggap cocok untuk perwujudan gereja, itu berarti suatu pengingkaran yang nyata terhadap gereja dan akan membatasi secara kuantitatif dan kualitatif apa yang dapat dilakukan oleh Allah.63

4.3 Membangun Solidaritas Komunitas GBKP: Belajar dari Orang Samaria yang Baik Hati Ada dua tipe manusia yang digambarkan dari perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Pertama, Imam (rabi Yahudi) dan orang lewi yang mencari “jalan lain” untuk melewati si korban. Kedua, orang Samaria yang tidak menghindar tetapi justru mendekati dan merawatnya sampai tuntas. Ia tidak bertindak setengah-setengah, tetapi terus menerus sampai penderita tersebut sehat kembali seperti sedia kala dan mampu melanjutkan hidupnya. Posisi gereja selama ini terhadap korban bencana alam bukanlah seperti Imam dan orang Lewi yang menghindar dan tidak melalukan apa-apa, tetapi juga belum sampai pada tahap seperti orang Samaria yang membantu hingga tuntas. Sebagai sebuah institusi gereja, GBKP dipanggil dan ditantang untuk menghadirkan Syalom Allah di mana GBKP hadir. Untuk menjadi “sesama” bagi mereka yang menderita menurut injil: di jalan “Yerikho ke Yerusalem” GBKP tidak mengambil jalan lain untuk menghindari korban yang terluka dan terkapar di jalan seperti yang dilakukan oleh Imam dan orang Lewi, melainkan seperti orang Samaria yang mendekat, memeriksa, untuk kemudian menolongnya. Tujuan Yesus melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, ingin mengatakan bahwa tindakan kasih yang ditunjukkannya bersifat universal, kepedulian

63

Jon Sobrino, S.J. dan Juan Hernandez Pico, S.J., Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 27

59

etisnya melampaui segala sekat-sekat yang ada. Keluar dari tembok-tembok gereja yang memisahkannya dari realitas hidup. Hal inilah yang harus menjadi perhatian GBKP dalam rangka melaksanakan misi Allah di bumi. 4.3.1

Sikap dan Tindakan GBKP: “Inilah aku, utuslah aku!” Sesuai dengan moto GBKP dalam Yesaya 6: 8: “Lalu aku mendengar suara Tuhan

berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus,dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’. Maka sahutku: ‘ini aku, utuslah aku!’ “, dan visi serta misinya untuk menghargai kemanusiaan dan melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih, maka GBKP harus menjadi gereja yang memberdayakan, membangkitkan optimisme dan pengharapan para korban bukan menambah penderitaan. Selama ini sejauh mana GBKP sudah memaknai moto tersebut? GBKP secara sadar memahami bahwa ia berada di dunia, di tengah-tengah kehidupan umat yang sarat dengan penderitaan. Sadar dengan realitas tersebut, GBKP menjawab panggilannya: “ Inilah aku, utuslah aku”, yang berarti GBKP diutus kepada siapa saja yang menderita tanpa pembedaan. Dengan segera dan rela menerima tugas dan panggilan Allah. Menjadi “garam dan terang”. Menjadi garam dengan larut dalam realitas masyarakat, dan menjadi terang dengan bersedia menjadi lilin yang menyala demi membantu sesama yang menderita. Gereja harus melaksanakan peran profetis-holistis nya yaitu pelayanan yang menyeluruh dan mencakup berbagai segi kehidupan. Fungsi gereja menjadi garam dan terang akan dapat dirasakan orang lain, ketika gereja peka terhadap masalah-masalah sosial sebagai salah satu bentuk kesetiaan kepada Allah yang menjumpai manusia dalam kemanusiaan-Nya. GBKP sebagai tubuh Kristus yang hidup, adalah persekutuan jemaat yang bersaksi dan melayani. Jemaat perlu dibina, diorganisir dan dimobilisir untuk merefleksikan imannya dalam tindakan nyata. Syaloom Allah harus

60

dinyatakan. Syaloom berarti damai sejahtera dan juga berkat. Dengan moto tersebut, kapanpun dan di manapun GBKP harus siap diutus untuk mewujudkan damai sejahtera Allah. Dengan demikian, GBKP mestinya bukan “menunggu surat pemberitahuan” melainkan langsung bertindak. 4.3.2

GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan Memberdayakan Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, jelas bahwa

solidaritas selama ini yang diberikan oleh gereja kepada korban bencana alam masih bersifat temporer dan karitatif. Tindakan etis seperti ini memang penting sebagai langkah awal karena memang bantuan seperti itulah (makanan, pakaian, obat-obatan dan bantuan sejenisnya) yang paling dibutuhkan oleh korban ketika bencana terjadi. Tetapi bantuan tersebut tidak berkelanjutan dan jenis bantuan yang diberikan tidak membebaskan dan memberdayakan mereka dari penderitaan. Mereka bukan hanya membutuhkan ikan tetapi juga pancing. Tindakan gereja dengan bantuan diakonia karitatif dan temporer yang telah ia berikan selama ini, belum sampai pada tahap yang membebaskan dan memberdayakan. Para korban membutuhkan bantuan lebih dari pada sekedar sandang dan pangan, melainkan juga pekerjaan, tempat tinggal, dan kesembuhan dari trauma. Sebab bencana alam mengakibatkan para korban bukan hanya kehilanggan harta benda saja, tetapi juga sanak saudara dan sumber penghasilan. Mereka mengalami krisis baik secara teologis, ekonomis maupun psikologis. Di sinilah peran gereja, bagaimana ia membantu korban keluar dari penderitaan mereka. Gereja mestinya menjadi alat penyembuh (konselor). Seluruh warga jemaat harus dilibatkan dan diberdayakan dalam pelayanan ini sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika gereja hanya bekerja sendiri tanpa dibantu oleh pihak lain akan sangat mustahil dapat membantu korban bencana alam betul-betul keluar

61

dari penderitaan mereka. Oleh sebab itu, gereja dengan sumber daya yang dimiliki harus bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Tindakan yang dapat dilakukan, misalnya pendampingan dengan memberikan trauma healling bagi korban yang trauma, memberdayakan para korban dengan memberikan pembinaan sesuai dengan keahlian yang mereka miliki, bahkan membantu anak-anak yang harus putus sekolah. Tindakan tersebut dapat menjadi representasi dari sikap orang Samaria. Dengan demikian, para korban bukan hanya dibebaskan dari penderitaan tetapi sekaligus juga diberdayakan. Tindakan yang kecil tetapi memberi dampak yang besar. Tindakan orang Samaria yang berlaku sebagai sesama kepada korban perampokan tersebut, mestinya dilakukan juga oleh GBKP khususnya dan gereja-gereja secara umum. Bukan hanya sibuk dan tenggelam dengan segala ritus untuk mencari jalan ke surga, yang akhirnya lupa dengan relitas di sekitar kita tetapi membuka hati, mata dan telingga terhadap rintihan dan resahan mereka yang menderita. Perumpamaan tersebut juga mengingatkan kepada orang percaya, bahwa bila seseorang terlalu sering mendiskusikan hukum kasih maka dengan mudah akan terjebak dalam teori saja, lupa kewajibannya untuk melakukan hukum tersebut. Realitas seperti ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 1 Korintus 13:1: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing” (1 Korintus 13: 1)

Solidaritas berarti bersedia untuk membangun kehidupan bangsa dengan kesetiakawanan satu dengan yang lain. Kita membangun kehidupan bersama dalam tekad senasib sepenanggungan, bersama dalam kegembiraan, dan bersama dalam memikul beban yang berat. Menurut Yesus, solidaritas justru kelihatan dalam sikap ketika berhadapan dengan orang kecil dan lemah, yang susah dan tidak berdaya. Solidaritas yang sebenarnya

62

kelihatan dimana kita tidak mengharapkan balasan dari apa yang telah kita lakukan ( Lukas 6 : 32 – 34 dan 14 : 12 – 14). Dengan demikian, gereja baik secara individu maupun kolektif dapat memaknai tugas dan panggilannya sebagai pembawa harapan baru dengan tuntunan Roh Kudus. 4.3.3

Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: “ Rakut Sitelu” Jelaslah bahwa warga GBKP, adalah jemaat Kristen berkebudayaan Karo, yang

tetap setia kepada adat istiadat Karo, mempertahankan bahkan melestarikannya. Dalam waktu yang sama warga GBKP juga adalah masyarakat Karo yang beriman kepada Yesus Kristus. Warga GBKP setiap saat ingin memberlakukan imannya, dan pada saat yang sama juga ingin memberlakukan kebudayaannya sekaligus tanpa kepercayaan leluhur. Sistem kekerabatan “ rakut sitelu “ (tiga dalam satu ikatan) dalam masyarakat Karo ialah:64  Mehamat man Kalimbubu (hormat)  Medes Ersenina (solider)  Megani man Anak Beru (pemurah) Rakut Sitelu merupakan gambaran bahwa masyarakat Karo benar-benar menjunjung tinggi semangat dan jiwa demokrasi hak-hak azasi manusia. Sistem kekerabatan tersebut merupakan azas dalam dinamika kekeluargaan dan merupakan suatu jalinan yang mengikat setiap orang di dalam satu lingkaran. Setiap orang pada saat tertentu

64

Dk. Em. P. Sinuraya, Diakonia GBKP 1, Medan, 1988, hlm. 88 Kalimbubu: Pihak pemberi anak gadis yang sangat dihormati dalam masyarakat Karo. Menentang dan menyakiti hati Kalimbubu sangat dicela oleh masyarakat. Kalimbubu dalam masyarakat Karo disebut “dibata ni idah”, yang artinya allah yang kelihatan. Fungsi Kalimbubu adalah memperhatikan kebutuhan Anak Berunya. Kalimbubu adalah orang yang pemurah. Senina: Saudara keturunan/semarga. Arti kata senina adalah “seia sekata”, dan sepikir. Senina dalam budaya Karo berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan kekeluargaan. Anak Beru: Pihak penerima anak gadis. Fungsi Anak Beru sangat penting dalam keluarga. Anak Beru adalah orang yang harus memperhatikan kebutuhan Kalimbubunya. Dia harus mengarami dan meneranggi jalannya acara keluarga.

63

berganti posisi menjadi pelaku atau menjadi objek pelayanan. Jalinan ini membentuk lingkaran berganti posisi melayani dan dilayani.65 Dapat dikatakan bahwa, setiap orang terhisap dalam hak dan kewajiban untuk saling menolong dalam kegotong-royongan. Kebudayaan Karo yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan “si sampat-sampaten“ (tolong-menolong/gotong royong) dalam sistem kekerabatan Rakut Sitelu tersebut dapat dijadikan sebagai sarana/media membangun solidaritas terhadap sesama. Setiap orang (termasuk di dalamnya bukan suku Karo) harus dilihat sebagai Kalimbubu, Senina dan anak Beru yang memiliki hak dan kewajiban untuk saling menolong dan menopang. Jika semua orang Karo memposisikan dirinya dalam tiga aspek tersebut dan mengfungsikan dirinya sesuai dengan fungsinya masing-masing maka budaya tersebut akan membangun solidaritas dalam makna kasih sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Sikap “keeksklusifan” yang senantiasa mewarnai kehidupan orang Karo hendaknya dilihat sebagai suatu usaha dalam mempertahankan jati diri atau identitasnya, bukan menjadikannya sebagai komunitas yang fanatik yang memandang budayanya di atas budaya orang lain. Dengan demikian tidak ada alasan dan berdalih “dia bukan orang Karo”.

4.3.4

Tindakan GBKP: Jangka Panjang dan Jangka Pendek Berdasarkan uraian dan refleksi tentang bencana alam dan solidaritas kemanusiaan

di atas, maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh GBKP dalam rangka mewujudkan tanggung jawanya menjadi “sesama” bagi para korban bencana alam. Langkah-langkah tersebut dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu:

65

Ibid. hlm. 89.

64

1. Jangka Pendek Pelayanan yang bersifat karitatif dan temporer, seperti: terjun kelapangan dengan membuka POSKO bencana, memberikan bantuan moral (doa), memberikan kebutuhan pokok (sandang dan pangan), dan lainnya adalah tindakan yang harus dilakukan oleh gereja sebagai langkah awal dalam membantu para korban. Bantuan yang bersifat jangka pendek ini harus tetap disosialisasikan oleh gereja kepada seluruh anggota jemaat. 2. Jangka Panjang Mengingat bahwa bencana alam berdampak kompleks bagi seluruh sendi-sendi kehidupan, maka gereja juga harus memikirkan langkah jangka panjang yang akan dilakukan dalam rangka menanggulangi bencana alam. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain: a. Sekalipun kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya suatu bencana, tetapi paling tidak warga jemaat perlu dibekali pengetahuan tentang bencana dan memberikan pelatihan-pelatihan dalam menangani korban bencana, khususnya dalam pendampingan (aksi pastoral). Hal ini sangat penting sebagai langkah antisipatif dan mempersiapkan warga jemaat dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jika kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya suatu gempa, tetapi kita dapat membuat sistem komunikasi, perencanaan, dan koordinasi yang baik sehingga dapat mengurangi terjadinya korban dan jika terjadi korban dengan segera dapat ditangani. Usaha mitigasi tersebut harus dilakukan dengan baik dan terarah. b. Membangun kerja sama antara gereja dengan pihak pemerintah dan LSM dalam membantu korban bencana alam. Kerjasama ini bukan hanya dijalin ketika bencana alam terjadi saja, tetapi harus berkelanjutan sampai mereka mampu berdiri sendiri. Kerjasama yang akan terjalin diharapkan dapat memberikan pendampingan kepada

65

korban trauma dan memberikan pembinaan-pembinaan kepada para korban sesuai dengan keahlian yang dimiliki masing-masing. Kerjasama yang akan dijalin ini juga harus dengan penuh pertimbangan, karena ada juga pihak-pihak justru akan memanfaatkan situsi tersebut untuk mencari keuntungan. c. Pelatihan-pelatihan dan penyuluhan tentang bencana alam dijadikan sebagai program kerja gereja yang disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat dan dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Komisi atau bidang tersebut khusus dibentuk untuk penggulangan bencana alam.

66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berbicara tentang bagaimana membangun solidaritas kemanusiaan terhadap korban bencana alam ternyata memiliki cakupan dan persoalan yang kompleks. Oleh sebab itu, dalam bagian ini penulis berusaha menyimpulkan uraian-uraian diatas dan memberikan usulan-usulan konkret yang dapat mendukung GBKP melaksanakan tanggung jawabnya dalam menyikapi dampak bencana alam.

5.1

Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan beberapa hal

seperti di bawah ini: 1.

Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari karena diluar kendali manusia (misalnya tsunami). Kenyataan ini dipengaruhi oleh letak geografis Indonesia yang berada di antara tiga lempengan dunia yang cukup aktif. Di samping itu ada juga bencana yang terjadi karena pengaruh prilaku manusia sendiri yang merusak lingkungan/alam (misalnya: banjir dan tanah longsor).

2.

Pemahaman warga jemaat bahwa bencana alam sebagai hukuman Allah masih tetap berkembang sampai saat ini. Pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh 2 faktor, pertama: pemikiran Yudaisme tentang paham pembalasan. Perlu dilakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat alkitab yang selama ini dipahami mengacu pada teologi hukuman. Hendaknya bencana alam tidak lagi dilihat sebagai hukuman tetapi bagian dari karya Allah yang terus-menerus untuk ciptaan-Nya dan

67

menjadikan peristiwa bencana alam tersebut sebagai pengalaman iman yang membangkitkan optimisme dan semangat hidup. Kedua: Pengaruh budaya tradisionil yang memahami bahwa alam “murka” terhadap manusia masih sangat kuat mempengaruhi masyarakat. 3.

Bencana alam, khususnya yang berskala besar telah merusak tatanan kehidupan seluruh ciptaan, baik bagi manusia dan tidak terkecuali juga bagi alam. Selama ini jenis pelayanan yang diberikan kepada korban masih bersifat karitatif dan temporer. Solidaritas kepada sesama mestinya tidak sekedar sebagai formalitasnormatif, dalam pengertian derma yang timbul hanya karena rasa kasihan tanpa ada rasa tanggung jawab. Pelayanan mestinya lebih bersifat kasih sesuai dengan nilainilai Kristiani yang membutuhkan komitmen dan tanggung jawab untuk membantu hingga tuntas. Selama ini, GBKP khususnya belum tiba pada tahap pembebasan, pemberdayaan dan pendampingan yang sifatnya holistik (bersifat Reformatif dan Transformatif). Selain itu peraturan-peraturan gereja yang dipahami secara kaku juga menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan pelayanan kepada korban bencana alam.

4.

Latar belakang SARA masih memberi pengaruh yang cukup besar dalam pelayanan warga jemaat kepada korban bencana alam. Solidaritas masih diwarnai oleh latar belakang yang sama, khususnya jemaat GBKP. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh budaya suku Karo yang memegang teguh rasa kekeluargaan.

68

5.2

Saran

1.

Karena kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya bencana alam, hendaknya gereja dari sekarang membekali warga jemaat sebagai usaha untuk mempersiapkan mereka menghadapi segala kemungkinan yang terjadi (usaha mitigasi).

2.

Warga jemaat memiliki potensi yang besar untuk membantu korban bencana alam. Oleh sebab itu, kesadaran warga jemaat untuk membangun solidaritas harus terusmenerus ditingkatkan. Semakin tinggi kesadaran jemaat terhadap panggilannya, akan semakin tinggi pula kadar pelayanan yang diberikan. Untuk itu, GBKP mestinya lebih memberdayakan warga jemaat yang memiliki potensi dengan mengikutsertakan mereka dalam membantu penanganan korban bencana alam. Sangat penting juga meningkatkan kesadaran jemaat melalui kegiatan penyuluhan ( khotbah, seminar, pembinaan warga jemaat dll). Penyuluhan tersebut hendaknya dilakukan terus-menerus agar pemahaman warga jemaat juga terus-menerus berkembang, baik pengetahuan tentang bencana maupun solidaritas yang tanpa sekat.

3.

Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana wujud solidaritas terhadap sesama. Walaupun ke-2 Runggun tersebut tidak dapat mewakili Runggun GBKP secara keseluruhan, tetapi tidak menutup kemungkinan masih banyak Runggun yang memiliki gambaran yang sama. Oleh karena itu, GBKP harus memberikan perhatian yang serius terhadap masalah ini. Dalam kondisi-kondisi tertentu pelayanan gereja mestinya lebih fleksibel, sehingga birokrasi menjadi sarana untuk menyentuh pergumulan sesama yang menderita. Otonomi gereja untuk mengambil keputusan dalam kondisi darurat hendaknya dapat difungsikan dengan baik. Sinode juga hendaknya dengan cepat dan aktif

69

mengsosialisasikan kepada seluruh warga jemaat tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi bencana alam. Perlu juga dilakukan seminar teologi bagi seluruh pendeta maupun penatua dan diaken, khususnya bagaimana memahami bencana alam dan selanjutnya dapat disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat. 4.

Budaya tradisionil dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun solidaritas baik bagi manusia maupun bagi alam. Nilai-nilai budaya Karo yang sangat menjunjung tinggi penghargaan terhadap alam dan sikap kekeluargaan dalam kegotong-royongan sangat perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan.

5.

Perlu adanya kerjasama antara gereja-gereja dengan pihak pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya dalam menghadapi dan menanggulangi bencana alam, khususnya dalam membantu para korban. Warga jemaat perlu dipersiapkan sebagai komunitas menjadi alat penyembuh para korban bencana. Dalam kaitan dengan hal ini, penting untuk mempersiapkan relawan-relawan yang terlatih sesuai dengan potensi masing-masing.

70

KEPUSTAKAAN

A.

Kamus, Alkitab, dan Konkordansi

Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002. Ensklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I I M-Z, Douglas, J.D. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta. Konkordansi Alkitab, Walker, D.F. (dkk), Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2002

B. Buku Aris Marfal, Muh., Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan, Yogyakarta: Wahana Hijau, 2005. Butaran, Freddy, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Calvin, Yohanes, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000. Conn, Harvie M., Teologi Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991. Diposantono Budiman, Subandono, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama, 2008. Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2001 Haight, Roger, Teologi Rahmat dari Masa Kemasa, Flores-NTT: Nusa Indah, 1999. Heuken SJ, A, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991. Kieser SJ, B, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

71

Moderamen GBKP Kabanjahe, Tata Gereja Batak Karo Protestan, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005. ----------, Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-2010, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005. Prinst, Darwan, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004. Rambe Hildebrandt, Ati, dkk., edt., Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006. Rani, Markus (peny), Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup, Tana TorajaSulSel: PT.SULO, 2006. Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006 Sinuraya, P., Diakonia GBKP 1, Medan, 1988. Sitepu, Sempa, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan: ADIYU, 1995. Sobrino, Jon dan Pico, Juan Hernandes, Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius: 1989. Tinambunan, Victor, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditengah Krisis Multi Dimensi, P. Siantar: L-SAPA STT HKBP, 2006. Ucko, Hans, Belajar Tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, (terj.), Martin Lukito Sinaga, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995. Winarno, Surachmat, Dasar dan Tehnik Research, Bandung: Tarsito, 1972. Yewangoe, A.A., Teologi Crusis Di Asia: Pandangan Orang-Orang Kristen di Asia Mengenai Penderitaan dalam Kemiskinan di Asia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004.

72

C. Karangan Borrong, Robert, “ Penanggulangan Bencana Alam”, disampaikan dalam lokakarya Dies Natalis dan Reuni Raya STT Intim Makassar, 15 September 2007. Erari Ph, Karel, “Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia”, dalam SETIA Jurnal Teologi Persetia No.1, Jakarta, 1997. Http: // pic – brr. Blogspot.com / bencana alam atau pembunuhan masal, htm., download 22 Oktober 2007. Http: // id. Wikipedia.org / Wiki Bencana Alam – Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Berbahasa Indonesia. Htm, download 9 Februari 2008. Sotarso, “ Siklus Penanggulangan Bencana”, disampaikan dalam Raker SATLAK PB seluruh Indonesia di Yogyakarta dan Ujung Pandang, 1997.

D. Informan 1. Abanita Br Tarigan

12.

2. Pt. Arbi Banggun

13. Bp. Joseko Pelawi

3. Bp. Hendri Sembiring

14. Bp Alan Ginting

4. Dkn. Bani Surbakti

15. Servina Br Tarigan

5. Nd. Andre Surbakti

17. Dkn Sarah Br. Tarigan

6. Dkn. Edi Ginting 7. Nd. Rahel Surbakti 8. Nd. Lopiga Surbakti 9. Pt. Abdi Ginting 10. Pt. Madison Ginting 11. Pdt. Sabar Sembiring

73

Lopiga Surbakti

Lampiran 1 DAFTAR PERTANYAAN QUESIONER I. Petunjuk Pertanyaan 1. Lingkarilah salah satu jawaban yang menurut saudara benar. 2. Jika jawaban yang telah tersedia tidak sesuai menurut saudara, maka isilah pada titiktitik yang disediakan. II.

Pertanyaan

A.

Data Responden

1. Usia saudara sekarang:

2.

a. 17 – 25 Tahun

c. 56 – 64 Tahun

b. 26 – 55 Tahun

d. 65 Tahun Keata

Jenis kelamin saudara: a. Laki-laki b. Perempuan

3.

Pekerjaan saudara: a. PNS

c. Pedagang d. Petani

b. Pegawai Swasta 4.

5.

e. Lainnya………..

Pendidikan terakhir saudara: a. TK/SD

c. SMU/ Sederajat

b. SMP/Sederajat

d. Akademi/Perguruan Tinggi

Status dalam jemaat: a. Majelis Jemaat

c. Anggota jemaat biasa

b. Pengurus organisasi kategorial

d. Lainnya…………..

B. Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam 1.

Apakah yang saudara ketahui tentang bencana alam? a. Bencana alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian b. Bencana alam yang merenggut nyawa manusia c. Bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain d. Jawaban a dan b benar e. Lainnya………………… 74

Lampiran 1 2.

Apakah yang menyebabkan terjadinya bencana alam: gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi? a. Kehendak/ Hukuman Tuhan b. Ulah manusia c. Gejala alam d. Faktor alam dan manusia e. Lainnya……………….

3.

Bagaimana saudara memahami bencana alam yang terjadi di daerah saudara ( bencana alam di Yogyakarta lumpur Lapindo di Sidoarjo)? a. Murka alam b. Proses alamiah c. Hukuman Tuhan bagi orang Aceh d. Penyalah gunaan IPTEK e. Lainnya

4.

Apakah pendapat saudara tentang bencana alam Tsunami di Aceh? a. Hukuman Tuhan Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… ………………. b. Bukan hukuman Tuhan Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… ……………….

5.

Dari mana pemahaman saudara dibangun tentang bencana alam? a. Alkitab/ Ajaran gereja b. Pendidikan formal c. Pengalaman d. Lainnya…………….

6.

Bagaimana pandangan saudara tentang bencana alam berdasarkan budaya suku Karo?................................................................................................................................. .....................................................................................................................

75

Lampiran 1 C. Bentuk Solidaritas (bantuan) yang Diberikan kepada Korban Becana Alam 1. Bagaimana perasaan saudara ketika orang lain tertimpa bencana alam? a. Sedih b. Prihatin c. Takut dan cemas d. Biasa-biasa saja e. Lainnya………….. 2. Bagaimana bentuk solidaritas saudara terhadap korban bencana alam, khususnya yang terjadi di daerah saudara ( Yogyakarta dan Lumpu Lapindo di Sidoarjo)? a. Memberi dukungan moral (mendoakan) b. Memberi dukungan material c. Terjun kelapangan d. Berdiam diri e. Lainnya……………. 3. Apakah bentuk solidaritas saudara ditentukan oleh latar belakang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan)? a. Ya Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… b. Tidak Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… 4. Menurut saudara jenis bantuan apakah yang paling tepat diberikan kepada korban bencana alam?........................................................................................................... Alasannya……………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………….. 5. Dalam situasi bencana bantuan karitatif yang sifatnya jangka pendek dan bantuan pemulihan secara psikologi maupun ekonomi diperlukan para korban bencana alam. Menurut saudara apakah gereja sudah melakukan hal tersebut? a. Sudah

76

Lampiran 1 Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… b. Belum Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… 6. Apakah bentuk solidaritas saudara kepada korban bencana alam diberikan secara pribadi (individu) atau secara institusi (Gereja)? a. Secara individu Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… b. Secara institusi Alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… 7. Bagaimana peran gereja dalam melakukan sosialisasi tentang bencana alam? a. Belum pernah b. Sering c. Jarang 8. Apakah saudara merasa perlu mengetahui cara-cara mencegah/mengatasi bencana alam? a. Perlu b. Tidak perlu c. Lainnya…………… 9. Bagaimana selama ini gereja memberikan penjelasan atau sosialisasi tentang bencana alam? a. Melalui khotbah b. Melalui PA/ Diskusi c. Melalui seminar atau ceramah d. Lainnya…………….

77

CURICULUM VITAE

Wina Citra Br. Sembiring Kembaren, dengan filosofi hidup “mela mulih adi lenga rulih”adalah anak ketiga dari empat bersaudara (2 putra dan 2 putri). Buah cinta kasih dari pasangan B. Sembiring Kembaren dan I. Br. Barus lahir di keindahan dan kesejukan kuta Bukum, Kabupaten Deli Serdang, Medan – SUMUT pada tanggal 12 Maret 1985.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh:  SD Negeri 101841 Bukum pada tahun 1991 – 1997  SMP Negeri 1 Sibolangit pada tahun 1997 – 2000  SMU Negeri 1 Pancur Batu pada tahun 2000 – 2003  Tahun 2003 atas rekomendasi dari Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) melanjutkan pendidikan di lembaga STT INTIM Makassar pada program S-1 Teologi 78

PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya Bagi GBKP merupakan hasil kerja dan rumusan mandiri oleh penulis dan bebas dari unsur plagiat baik dari sumber-sumber yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya serahkan karya ilmiah ini kepada Sekolah Tinggi Teologia Indonesia Bagian Timur Makassar untuk disimpan, dipublikasikan dan atau diperbanyak dalam bentuk apapun oleh STT INTIM Makassar bagi keperluan akademis. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Makassar, 8 September 2008

Wina Citra Sembiring

79

80

Related Documents

Wina Pung Skripsi Sth
November 2019 1
Asking Sth
June 2020 7
Yftel-tel-sth-y
December 2019 13
Skripsi
December 2019 83
Skripsi
May 2020 46