War Victory To Sustain American Empire : What About War Against Terrorism?

  • Uploaded by: Rainintha
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View War Victory To Sustain American Empire : What About War Against Terrorism? as PDF for free.

More details

  • Words: 1,792
  • Pages: 5
Review Artikel II Untuk Mata Kuliah Hubungan Luar Negeri dan Kebijakan Amerika Serikat Nama : Carolina D. Rainintha Siahaan NPM : 070616551 Sumber : James Kurth,Confronting the Unipolar Moment: The American Empire and Islamic Terrorism, dalam Current History, Desember 2002. Hal 403-408

Kemenangan Perang sebagai Indikator Pengukuhan Imperium Amerika Serikat

James Kurth mengungkapkan terwujudnya American Empire ditentukan oleh dua faktor yakni, faktor kepemimpinan dan faktor sejarah. Ia memaparkan bahwa setiap Presiden Amerika Serikat (AS) memiliki karakter yang kuat dalam menentukan kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar negeri menjadi salah satu isu penting, terutama menjelang Pemilihan Presiden, karena AS selalu berorientasi memimpin ke luar dan menjalankan perannya sebagai negara adikuasa dan mewujudkan persepsi dirinya terhadap American Empire1. Preferensi kebijakan luar negeri juga bisa ditentukan oleh situasi dan musuh yang menantang keamanan AS pada periode tertentu. George W. Bush dikatakan sebagai pemimpin yang Jacksonian dan neokonservatif. Baginya, keamanan dan kepentingan negara adalah hal paling penting, dan penggunaan kekerasan dan kekuatan militer sekalipun dapat dibenarkan demi membela integritas negara. Hal ini berbeda dengan pendahulunya seperti Jimmy Carter yang adalah seorang liberalis tradisional dan menganut aliran Jeffersonianisme. Fokus utama Carter adalah mengenai pengembangan ekonomi dalam negeri dan akan menindak siapapun yang mengancam kemakmuran ekonomi AS. Sedangkan bagi Bill Clinton, kebijakan luar negerinya adalah perpanjangan tangan paradigma neoliberalisme yang menginginkan terwujudnya pasar bebas dan globalisasi, sehingga setiap negara harus menghapuskan tarif dan meliberalisasi pasar. Hegemoni AS kini, tidak akan terwujud tanpa proses yang panjang. Terdapat empat fase penting yang menentukan momentum ekspansi American Empire yang dikelompokkan oleh Kurth berdasarkan skala persebarannya, yakni : kontinental, hemisphere, free-world atau half-world dan global. Kisah dimulai sejak Perang Sipil AS yang mengakhiri perbudakan dan malah memperkuat solidaritas Amerika sebagai negara perserikatan. Setelah berserikat, AS 1

Istilah ini muncul sejak kemenangan AS dalam Perang Amerika-Spanyol. Istilah ini tadinya digunakan sebagai metafora atas ekspansi imperialisme AS ke Amerika Selatan dan kawasan Pasifik . Pada masa imperialisme, setiap penjajah pasti menjuluki daerah jajahannya sebagai empire.Contoh: Roman Empire atau kekaisaran Roma yang memang kukuh bertahan ketika jajahan Kerajaan Roma.. Ide American Empire terbilang unik karena tidak diasosiasikan dengan penguasaan teritori seperti yang dilakukan para kolonial di masa dahulu, gagasan ini mengacu pada supremasi AS terhadap ekonomi, militer, politik dan pengaruhnya secara global di abad ke-21

1

lebih berorientasi mengembangkan ekspansi ke Utara dan kepulauan Karibia, khususnya dalam upayanya menjadi pemimpin yang mengangkat citra liberal demokrasi, pasar bebas dan globalisasi. Selanjutnya American Empire merambah ke skala belahan bumi lain (hemispheric) terutama ke kawasan Amerika Selatan dan Samudera Pasifik dimana AS harus berperang dengan para penjajah Spanyol, ketika AS berusaha membebaskan Puerto Rico dan Kuba dari penjajahan Spanyol. Kemenangan AS dalam Perang Amerika-Spanyol menciptakan dominasi Amerika di seluruh Amerika Selatan dan Pasifik, hingga AS mampu menganeksasi Hawaii dan Filipina. Selanjutnya keterlibatan AS di Perang Dunia II, khususnya pasca serangan Pearl Harbor oleh angkatan udara Jepang, mendorong AS untuk bergabung dengan Sekutu Eropa Barat dan karena kekuatan saat itu, maka Sekutu memenangkan perang. Kemenangan Sekutu dan AS atas Perang Dunia II, membawa dominasi AS ke tingkat yang lebih besar : dominasi dan pengaruh bagi Eropa Barat dan Asia Timur. Keempat, kemenangan ideologi liberal demokrasi atas komunisme Uni Soviet pasca Perang Dingin telah mengokohkan unipolaritas hegemoni AS di dunia. Tiga perubahan di atas membawa kita kepada pembentukan pola penting perwujudan American Empire: hampir seluruh kawasan dunia telah dikuasai dan perluasan dominasi AS akan terjadi apabila AS terlibat perang melawan musuhnya, memenangkan perang dan mendapatkan dukungan dari aliansinya. Apakah pola serupa terjadi pada di masa berikutnya? Ternyata situasi unipolaritas ini mendapatkan banyak tantangan. Peristiwa 9/11 bisa dikatakan sebagai tamparan keras terhadap keadaan unipolaritas ini. Ini membuktikan masih ada yang bisa menyaingi supremasi AS. Respon AS terhadap serangan ini adalah invasi terhadap Irak di bulan Maret 2003. Metode preemption2 telah membuka lembar baru dalam sejarah peperangan AS khususnya di abad ke-21dan khususnya mengenai hakikat dari perang tersebut, karena Bush dan negaranya berperang melawan jaringan teroris transnasional. Bagi Bush musuh non-konvensional harus diserang dengan cara yang tidak biasa juga. Bush, kemudian berusaha memperluas definisi “musuh” bagi negaranya, sekaligus menerapkan kebijakan koersif terhadap negara-negara yang memberikan ruang perlindungan bagi teroris. Bagi Bush negara-negara dengan karakter demikian, yang dijuluki dengan sebutan rogue states3, merupakan lahan bertumbuhnya gerakan teroris ekstrimis. Absennya rezim demokrasi 2

Preemption – diterjemahkan secara harafiah ke dalam Bahasa Indonesia sebagai serangan yang mendahului; dalam penerapannya sering diasosiasikan sebagai bentuk pencegahan dan antisipasi, merupakan kerap dilakukan sebagai serangan militer daripada non-militer (Robert J.Pauly, 2005) 3

Pemerintahan Bush merupakan entitas yang pertama kali mendefinisikan istilah rogue states secara terperinci (versi Bush) dalam National Security Strategies-nya. Bagi Bush dan administrasinya, parameter sebuah negara bisa disebut sebagai rogue state adalah nihilnya apresiasi terhadap hukum internasional, pemerintahan yang brutal terhadap rakyat, obsesi terhadap kepemilikan WMD, menjadi safe heaven bagi menjamur dan berkembangnya

2

menambah potensi terjadinya resistansi ekstrim terutama melalui jalan teror. Terutama ketika beberapa negara dicurigai tengah mengembangkan proyek senjata pemusnah massal (WMD). Perlindungan negara tersebut pada organisasi terorisme akan menambah aksesibilitas terhadap kepemilikan senjata nuklir oleh teroris dan kartel obat-obatan terlarang. Pertanyaan penting bagi pembahasan review singkat ini adalah : Apakah kebijakan War on Terrorism khususnya invasi ke Irak oleh Presiden Bush memberikan pengaruh terhadap pembesaran American Empire dalam skala global atau sebaliknya?. Ini sekaligus akan menjadi kritik oleh penulis terhadap James Kurth yang tidak menjelaskan hubungan kausalitas antara kedua variabel di atas. Menurut penulis, Doktrin Bush terhadap Perang Melawan Terorisme , serangan preemptive AS ke Irak dan penjatuhan rezim Saddam Husein dengan dalih demokratisasi tidak bisa dijadikan sebagai momentum perluasan dan penguatan American Empire

di panggung politik global, karena Amerika Serikat tidak memenangkan perang

tersebut. Hasil demikian merupakan penguat argumen bahwa American Empire sedang mengalami krisis. Sayangnya, kebijakan pre-emptive Bush bukanlah solusi perang terhadap terrorisme dan malah akan memberikan serangan balik kepada pasukan dan pemerintahan AS, khususnya secara finansial dan jumlah korban perang. Di tahun 2008 sendiri, anggaran belanja militer AS untuk Irak berjumlah USD 28 miliar dan pengeluaran militer AS untuk perang di Irak berjumlah hingga USD 2,7 triliun selama 5 tahun belakangan 4. Padahal untuk mempertahankan supremasi ekonomi dan militer, AS memerlukan uang yang tidak sedikit.Agak ironis, terutama ketika mengetahui Francis Fukuyama bahwa hasil dari Perang Irak adalah : kegagalan menemukan WMD milik Irak, berkembangnya pemberontakan anti-Amerika di Timur Tengah dan instabilitas domestik Irak sendiri karena ketiadaan pemerintah demokratis yang stabil di sana5. Hasil ini tentunya jauh dari prediksi dan ekspektasi para analis kebijakan luar negeri di Gedung Putih sendiri. Kekalahan AS di Irak meskipun meleset dari prediksi analis kebijakan luar negeri pemerintahan Bush, telah dianggap oleh Andrew F.Krepinevich, Jr sebagai bentuk penghambur-hamburan aset negara6. Selain itu penulis ingin membuktikan bahwa metode organisasi terorisme, menentang HAM dan benci kepada Amerika Serikat (Hakan Tunc,2009) 4

Susan Soederberg,The War On Terrorism and American Empire, dalam Alejandro Cullas dan Richard Schull (eds),The War on Terror and American Empire after the Cold War (London :Routledge, 2005) hal 149 5

Francis Fukuyama,The Neoconservative Moment, National Interest, Edisi Summer 2004 .hal 58

6

Andrew F.Krepinevich, Jr, The Pentagon’s Wasting Assets: The Eroding Foundations of American Power, Foreign Affairs, Juli/Agustus 2009. Vol.88 edisi ke-4 hal.19

3

preemption sesungguhnya tidak tepat diterapkan bagi teroris transnasional yang beroperasi di berbagai negara dan memiliki jaringan yang tak tampak oleh kasat mata. Preemption tidak mampu menghentikan serangan teroris yang menggunakan truk, kapal pengirim barang, pesawat. Kelangsungan organisasi Al-Qaeda hingga sekarang juga membuktikan bahwa AlQaeda tidak memerlukan Irak untuk mendukung organisasinya dan memberikan perlindungan7. Unipolaritas sebuah negara di kancah global juga terwujud apabila terdapat legitimasi dan dukungan dari pihak lainnya, misalnya Sekutu AS. Kendati tidak mendapatkan restu dari Dewan Keamanan PBB, Bush ingin membuktikan bahwa dukungan akan Ia dapatkan jika ternyata AS memenangkan perang. Enam tahun berlalu, AS tidak menangkan perang dan hanya reaksi negatif dan pengutukanlah yang dilayangkan kepada pemerintahan Bush,Jr. Rekan lama AS, yakni negara-negara Eropa Barat misalnya menyatakan bahwa upaya demokratisasi melalui invasi merupakan sebuah proyek yang sifatnya utopis. Sebagian besar sekutu AS seperti Inggris, Italia dan Perancis yang mengkomposisikan tentara koalisi dalam invasi Irak, perlahan-lahan menarik pasukannya dari garis depan, dengan alasan tidak adanya tujuan yang jelas dan titik cerah sebagai akhir dari Perang Irak8. Belum lagi merebaknya isu mengenai praktek penyiksaan terhadap teroris yang tertangkap di Abu Ghraib dan Guantanamo Beberapa pengamat politik Amerika Serikat bahkan menyampaikan bahwa proliferasi demokrasi di Irak tidak ditujukan untuk membentuk rezim demokrasi yang datang dari penduduk lokal, melainkan hanyalah pemerintahan boneka yang pro-kebijakan AS9. Tidak sedikit pula yang meramalkan Kebijakan preemption Bush di masa mendatang bisa dijadikan preseden dimana negara-negara bisa mengacuhkan norma seperti hukum internasional dan Piagam PBB 10. Yang jelas, di masa mendatang preemptive action oleh Amerika Serikat bisa menjadi preseden yang buruk. Tensi dan konflik tanpa akhir India dan Pakistan,misalnya , dengan kepemilikan senjata nuklir masing-masing, bisa melangsungkan serangan preemptive terhadap satu sama lain.11 . Di lain pihak, Irak yang kehilangan 200.000 jiwa penduduknya selama 2003-2008, khususnya melihat upaya demokratisasi melalui serangan unilateral sebagai bentuk imperialisme dan 7

Francis Fukuyama, Op.cit., hal.62

8

Michael Cox. The Imperial Republic Revisited: The United States in The Era of Bush, dalam Alejandro Cullas dan Richard Schull (eds),The War on Terror and American Empire after the Cold War (London :Routledge, 2005) hal .125 9

Francis Fukuyama, America At the Crossroads:Democracy, Power and the Neoconservative Legacy,(USA: Yale University,2007) , hal. 22 10

Guliang Gong, Redefine Cooperative Security , Not Preemption.The Washington Quarterly. Spring 2003 hal.2

11

Ibid.,hal .9

4

paradoks terhadap nilai-nilai demokrasi liberal, sebesar apapun dendam mereka terhadap Saddam Hussein. Mereka menganggap AS sebagai pemecah belah kerukunan suku di Irak.12 Amerika Serikat akan selalu menjadi bentuk imperial melalui berbagai proses metamorfosa dan perubahan zaman. Ini tercermin dari sejarahnya menuju American Empire dan bagaimana keempat pemikiran :Jacksonianism, Hamiltonianism, Jeffersonianism dan Wilsonianism diemban oleh masing-masing pemimpin negara sesuai dengan konteks keadaan yang dibutuhkan oleh AS untuk mempertahankan dominasinya dan sesuai dengan tipe kepemimpinan dan pandangan politik Presiden saat itu. Gaya kepemimpinan AS skala global merupakan asumsi dan pandangan dirinya menuju supremasi global. Kebijakan ini bisa saja mendapatkan kecaman dari beberapa pihak dan kecaman bisa berkembang menjadi bentuk resistansi contohnya terorisme. Kekalahan AS dalam perang Irak mungkin tidak mengurangi kekuatan AS, namun cukup untuk menggoyahkan nosi American Empire secara global. Dengan ini penulis menyetujui thesis dasar James Kurth mengenai kausalitas kemenangan perang dan pertambahan kekuasaan AS. Kekalahan AS di Irak bukan hanya didefinisikan oleh kalahnya pasukan dalam perang, namun juga menurunnya simpati rakyat dan partisipasi aliansi AS , kerugian finansial dan lemahnya demokrasi yang diciptakan AS, mengindikasikan menurunnya power AS secara relatif. Namun penulis mau mengutarakan, bahwa saat ini memang masih relevan untuk mengatakan bahwa AS adalah negara dengan pengaruh yang paling kuat di dunia, dengan tidak serta merta menjustifikasi semua kebijakan AS yang dilakukan secara sepihak karena itu akan menunjukkan lemahnya integritas hukum internasional dan multilateralisme.

12

Michael Mann. American Empire : Past and Present. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4152965. pada Kamis, 8 Oktober 2009. 18.19 WIB.hal.36

5

Related Documents


More Documents from "Jason O'Conal"