Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan alih fungsi lahan bukanlah hal yang mengherankan maupun menghebohkan di kota besar, begitu pula yang terjadi di Metropolitan Jakarta. Seringkali perubahan guna lahan terjedai dari lahan non-produktif sebut saja permukiman, tanah kosong, bahkan RTH menjadi lahan tempat kegiatan komersial perdagangan dan jasa, ataupun hunian yang lebih mewah seperti apartemen. Sayangnya seringkali peningkatan fungsi lahan ini membawa dampak yang tidak baik kepada masyarakat di daerah sekitarnya, misalnya mengganggu kelancaran lalu lintas, memperparah banjir, dan mengurangi kenyamanan lingkungan permukiman. Hal seperti itulah juga yang terjadi di Kemang, Jakarta Selatan. Namun bukan berarti permasalahan alih fungsi lahan di Kemang sama saja, ada beberapa hal yang membuat kasus ini menjadi menarik. Selama ini Kemang telah dikenal luas sebagai lingkungan hunian para ekspatriat dan kaum elit Indonesia. Selain itu tempat usaha yang berkembang di sana – yang sebenarnya menyalahi Rencana – identik dengan gaya hidup high-class, dari cafe, toko buku, restoran, galeri seni, kantor cabang bank, factory outlet, dan bar atau night club tersedia semua di Kemang. Malah sempat disebut juga sebagai salah satu kawasan industri kreatifnya Jakarta. Dimana para artis, produser, sutradara hang-out , bertemu, membahas pekerjaan, dan kemudian menandatangani kontrak. Sedemikian berkembangnya kawasan komersial Kemang padahal jika ditilik, lahan yang ditempati oleh para private sector itu masih berstatus sewa. Alhasil lahan yang mereka miliki itu bisa saja sewaktu-waktu digusur saat diminta lagi oleh pemilik aslinya (masyarakat yang memiliki lahan). Karena status sewa itu pula, pemerintah pun tidak kuasa menarik retribusi maupun pajak. Pemerintah pun merasa rugi bermilyar-milyar. Nampaknya pun masyarakat Kemang sudah cukup menahan diri menghadapi kondisi lingkungannya yang semakin terdegradasi dan tidak nyaman sehingga masyarakat Kemang pun bersuara di media. Berbekal ilmu pengetahuan dan kemampuan, masyarakat Kemang memperjuangkan haknya atas lingkungan perumahan yang nyaman. Media yang menjadi alat komunikasi dan interaksi mereka adalah media-media yang beredar di Ibukota dan kebanyakan menjangkau masyarakat kelas menengah ke atas dan masyarakat kelas atas.
1
Menghadapi aspirasi masyarakat Kemang yang frontal di media itu, pemerintah pun terlihat kalang kabut. Beragam alternatif sempat dilontarkan oleh berbagai pihak yang mewakili pemerintah. Salah satu di antaranya adalah pemutihan kawasan, yang tentunya ditolak oleh masyarakat dan bahkan ada pemerhati tata kota yang menyebut bahwa solusi pemutihan adalah solusi gantung diri. Dengan mengajukan solusi pemutihan, yang jelas-jelas tidak tersebut di dalam UU 26 tahun 2007, pemerintah berarti bersikap tidak mau tahu, permisif, dan bisa saja manut pada maunya pasar. Alhasil permasalahan alih fungsi guna lahan di Kemang inipun mendapat perhatian dari kelompok yang lebih besar karena selain menyangkut kondisi lingkungan permukiman yang semakin tidak nyaman, sikap pemerintah yang sepertinya tidak punya kekuatan menghadapi mau pasar kemudian mengabaikan rencana tata ruang, menjadi suatu cerita tersendiri. Menarik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Kasus Kemang ini, menelusuri perjuangan masyarakat ekspatriat dan high-class Indonesia yang berpendidikan ini.untuk memperoleh haknya, dan respon serta kebijakan pemerintah akankah lebih mengutamakan tata ruang atau kemauan pasar.
Rumusan Persoalan Persoalan utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : “Bagaimana regime mengarahkan planning dan development di Kawasan Kemang?” Dan 5 pertanyaan lain yang akan membantu mengarahkan isi makalah ini antara lain : 1. Rezim seperti apa yang terjadi dalam persoalan alih fungsi Kemang? 2. Kemanakah perencanaan di Kemang diarahkan? 3. Adakah pihak yang diuntungkan maupun dirugikan dalam kasus ini? 4. Apakah sebenarnya pembangunan di Kemang diharapkan? 5. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi kasus ini?
Sasaran Studi Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk mengendapkan dan mengaplikasikan teori politik perkotaan yang telah didapat selama perkuliahan. Bagaimanapun juga politik tanpa bahasan studi kasus akan menjadi suatu topik yang abstrak tanpa konteks, dan akhirnya menjadi kosong. Tujuan lainnya adalah menjawab pertanyaan yang diajukan dalam Rumusan Persoalan :
2
1. Mengidentifikasi rezim apa yang berkembang di kasus Kemang. 2. Mengidentifikasi kemana Kemang diarahkan. 3. Mengidentifikasi stakeholders dan posisi mereka. 4. Mengidentifikasi apakah pembangunan di Kemang diharapkan atau tidak. 5. Memberi pandangan atas alternatif solusi yang diajukan.
Metodologi Studi Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran media on-line, antara lain The Jakarta Post, Kompas, Republika, Gatra, juga beberapa website-website terkait dengan Kasus Kemang, alih fungsi guna lahan di Jakarta, dan RTRW 2010 DKI. Analisis Data Sebagai kerangka analisis politik dan perencanaan, dipilih urban regime dan power in planning research. Urban regime dipandang tepat untuk menjelaskan mekanisme alih fungsi lahan yang terjadi di Kemang. Power in planning digunakan untuk memberi gambaran bagaimana pembangunan
yang terjadi di Kemang diarahkan dan diharapkan serta
mengidentifikasi posisi para aktornya.
Sistematika Pembahasan Makalah ini terbagi menjadi 4 bab. Bab 1 Pendahuluan. Bagian ini akan memberi gambaran dan kerangka mengenai apa yang akan dibahas di halaman-halaman selanjutnya. Terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Persoalan, Sasaran Studi, Metodologi Studi, dan Sistematika Pembahasan. Bab 2 Kisah Kasus Kemang. Dalam bab ini dapat ditemukan latar belakang alih fungsi lahan Kemang dilihat dari kacamata planning, siapa saja stakeholders yang terlibat, dan proses bagaimana persoalan Kemang ini terangkat ke publik serta respon pemerintah. Bab 3 Kekuatan Politik Perkotaan dalam Kasus Kemang. Bab ketiga ini akan menyajikan hasil analisis dan diskusi dengan menggunakan dasar teori Urban regime dan Bringing Power into Planning Research sebagai kerangka analisis. Bab 4 Simpulan. Bagian penutup ini dimaksudkan untuk mengikat kembali apa-apa yang telah ditulis dalam makalah ini.
3
Kisah Kasus Kemang Latar Belakang Kasus Barisan Tempat Usaha di Kawasan Kemang
Sumber : http://properti.kompas.com/read/xml/2009/05/04/20224039/kemang.akan.ganti.wajah
Menurut RTRW DKI Jakarta Tahun 2010, Kawasan Kemang yang terletak di bagian selatan Jakarta ini ditetapkan sebagai kawasan permukiman. Kawasan ini juga menjadi daerah resapan air karena tingkat kepadatannya yang cukup rendah. Kawasan dengan kepadatan rendah renda artinya memiliki koefisien dasar bangunan (KDB) yang juga rendah (Nilai KDB memberi gambaran luas tentang peresapan air di suatu lahan). Semakin kecil nilai KDB, semakin luas lahan yang tidak tertutup bangunan. KDB di Kemang hanya 20 persen, berarti seharusnya seha luas lahan yang tidak tertutup bangunan sebanyak 80% dari luas Kemang yang 330 ha. Akan tetapi saat ini Kemang telah berubah menjadi kawasan komersial kelas atas. Catatan terbaru Dinas Tata Ruang DKI menyebut, sampai akhir 2008 sekitar 73% lahan dan da permukiman di Kemang berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Padahal, seharusnya hanya 1,5% dari kawasan ini yang boleh dimanfaatkan untuk membuka toko, pusat bisnis, atau perkantoran. Yang lebih parahnya, semua pengusaha ini statusnya masih bersifat ssewa ewa sehingga pemerintah pun tidak bisa menarik retribusi. Persoalan perubahan guna lahan ini disebabkan oleh kurangnya kontrol dari pemerintah sendiri dalam pemberian ijin usaha. Ji Jika ka dikaitkan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI yang diberlakukan dii lingkungan kawasan kawasan-kawasan kawasan permukiman tersebut, adanya bentuk kelonggaran dalam pemberian izin perubahan fungsi rumah tinggal melalui kebijakan penataan
4
ruang turut mendorong terjadinya alih fungsi, seperti yang terlihat dalam Instruksi Gubernur Nomor 77 Tahun 1997 tentang status quo penerbitan usaha di kawasan Kemang. Selain itu, izin prinsip dari masing-masing instansi menjadi faktor yang mempercepat pertumbuhan kegiatan usaha. Rendahnya peran koordinasi antar-institusi yang berwenang dalam bidang perizinan dan pengendalian diperkirakan turut mempercepat proses dominasi dalam perubahan fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha. Alih fungsi guna lahan ini disebabkan oleh terjadinya kenaikan nilai jual obyek pajak (NJOP) akibat perubahan fungsi kawasan. Dengan demikian, memang lebih untung menjadikan rumah tinggal sebagai lahan usaha yang lebih produktif karena ini dapat menutupi biaya yang harus mereka keluarkan untuk membayar pajak. Akan tetapi inilah yang kemudian menjadi awal mula timbulnya protes warga di lingkungan permukiman elit di Jakarta ini.
Sejarah Kawasan Kemang Pada tahun 1950-an kawasan Kemang masih merupakan daerah perkebunan. Disini banyak dijumpai pohon bernama Kemang (Mangifera Kemangcaecea) sehingga kemudian kawasan ini dikenal dengan sebutan itu. Tahun 1960-an, mulai berkembang permukiman yang ditinggali oleh penduduk Betawi. Tahun 1970-an, ekspatriat mulai masuk ke areal permukiman di Kemang (tahap penetrasi). Posisi yang strategis mejadikan kawasan ini lokasi incaran orang-orang asing yang bertempat tinggal di Jakarta. Masuknya para pekerja asing itu diikuti dengan pertumbuhan layanan kebutuhan bagi mereka seperti hotel, restoran, kafe, dan minimarket mulai tahun 1980-an (tahap invasi). Tahap selanjutnya, dengan semakin menariknya lokasi, terjadi perubahan dominasi proporsi fungsi, yaitu fungsi lama (permukiman) berubah menjadi fungsi baru ke bentuk nonpermukiman. Akhirnya terjadilah suksesi, yaitu penggantian sama sekali dari suatu fungsi lama ke fungsi baru. Karena adanya peningkatan kegiatan komersial ini maka beban jalan pun meningkat karena semakin banyak kendaraan yang melalui kawasan Kemang. Wajah Kemang telah bermetamorfosis sedemikian rupa sehingga sampai saat ini jalan yang membentang sepanjang 3 kilometer itu ditumbuhi puluhan bahkan mungkin ratusan cafe, resto, dan rumah makan. Daerah Kemang kini lebih dikenal sebagai the most popular hangout places yang menyuguhkan musik hingar-bingar di malam hari.
5
Saat ini beberapa rumah tinggal lama di kawasan tersebut telah disulap menjadi bar, restoran, factory outlet, kantor cabang bank tertentu, studio foto, dan lainnya. Tumbuh kembangnya usaha-usaha jasa di lingkungan perumahan ini secara tidak langsung berdampak terhadap tata keseimbangan lingkungan tempat tinggal. Tiap malam, kebisingan meliputi kawasan ini. Berbagai perilaku pengunjung bar, restoran dan tempat-tempat yang buka saat malam hari di Kemang pun mengganggu kenyamanan mereka. Kemacetan parah yang terjadi akibat alih fungsi ini memperpanjang waktu tempuh kendaraan mereka keluar maupun masuk Kemang. Dulu, sebelum kawasan komersial mendominasi guna lahan Kemang, hanya perlu waktu sekitar 30 menit untuk berkendara keluar dari daerah ini. sekarang, paling tidak perlu waktu 1 jam lebih untuk itu. Jalan utama Kemang yakni dari Kemang Raya ke Ampera selebar 6-8 meter sudah tidak cukup lagi menanggung beban aksesibilitas kendaraan yang melaluinya. Selain itu, alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup ini juga turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di Jakarta. Tiap tahun, banjir yang melanda daerah Kemang semakin parah karena tata saluran air di kawasan ini terbilang buruk. Saat hujan datang, banyak ruas di sepanjang Jalan Kemang Raya berubah menjadi genangan air.
Stakeholders yang Terlibat Stakeholders yang terlibat dalam kasus Kemang ini dapat digolongkan menjadi 3 yaitu, penghuni permukiman di Kemang sebagai pihak yang merasa terganggu, pelaku usaha sebagai pihak yang mendapat penghidupan dari komersialisasi kawasan, dan terakhir, pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Menariknya, dalam kasus ini masyarakat sebagai pihak yang merasa dirugikan tidak diwakili ataupun didukung oleh LSM, namun mereka berjuang menyuarakan aspirasi mereka secara mandiri dengan membentuk suatu suara (baca:koalisi) warga kemang. Interaksi yang dilakukan oleh para stakeholder ini adalah melalui pelemparan opini dan berita di media-media di Jakarta. Sampai saat ini belum terdengar kabar adanya pertemuan tatap muka dan diskusi antara ketiga pihak tersebut. Masyarakat yang tinggal di Kawasan Kemang ini kebanyakan merupakan orang-orang yang cukup kaya serta berpendidikan tinggi seperti ekspatriat, duta besar, dokter, dan lainnya. Mereka merasa terganggu dengan maraknya kegiatan komersial di sekitar tempat tinggal mereka
6
karena menimbulkan kemacetan, kebisingan dan membuat banjir yang melanda Kemang semakin parah tiap tahunnya. Hal ini mengganggu kenyamanan mereka tinggal di Kawasan Kemang yang memang sejak semula diperuntukkan sebagai kawasan permukiman ini. Menariknya, seringkali dalam kasus alih fungsi lahan terutama di permukiman kelas bawah, LSM akan tampil sebagai mediator. Sedangkan dalam kasus Kemang ini, masyarakat yang merasa dirugikan tampil mandiri tanpa LSM. Sedangkan di sisi lain para pelaku usaha memperoleh keuntungan dengan terjadinya alih fungsi lahan dan ijin usaha yang mudah diperoleh. Pemerintah pun tidak bisa menarik retribusi pada mereka karena status lahannya masih sewa. Dengan adanya rencana pemerintah DKI Jakarta untuk benar-benar mengubah Kawasan Kemang menjadi kawasan komersial maka para pelaku usaha akan semakin diuntungkan karena ini akan memperlancar kegiatan usaha mereka sekaligus meningkatkan keuntungan yang mereka peroleh. Pihak pemerintah terdiri dari DTK, P2B, Pemkot, Pemda DKI, dan Dinas Pariwisata. Dari kegiatan usaha ini, pemerintah tentu mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit, terutama dari pengadaan ijin kegiatan usaha di Kawasan Kemang. Apalagi jika pelaku usaha harus membayar sejumlah besar denda, semakin banyak keuntungan yang akan diperoleh.
Proses Terangkatnya Kasus Kemang di Publik Warga permukiman Kemang yang merasa terganggu oleh maraknya kegiatan komersial di sekitar tempat tinggal mereka ini kemudian menyampaikan gugatannya di media. Media yang memuat reaksi keras para warga ini sebagian besar merupakan media high-class seperti Jakarta Post, Kompas, dan Republika. Tanggapan pemerintah maupun pelaku usaha pun ternyatakan lewat media. Memang sampai saat ini interaksi antar aktor yang berkepentingan dalam kasus alih fungsi lahan Kemang ini masih tidak langsung, baru terlihat sebatas lewat media.
Government responses Ijin usaha yang diberikan di Kawasan Kemang sebenarnya hanya berlaku selama 10 tahun. Ketika pada tahun 1990an, ijin tersebut habis ternyata tetap belum ada yang menghentikan kegiatan usahanya dan pindah. Pemerintah pun tidak melakukan penertiban saat itu. Sekitar tahun 2000, akhirnya dilakukan penertiban berupa penyegelan di beberapa tempat usaha yang dibuka di kawasan Kemang. Namun, pada perkembangannya harus diakui bahwa pemerintah tidak kuasa
7
membendung perubahan Kemang yang begitu cepat sehingga usaha penertiban ini berhenti. Ketika kemudian isu ini booming kembali pada tahun ini, respons pemerintah terbilang cukup cepat (karena permasalahan ini sebenarnya memang sudah mencuat sejak beberapa dekade lalu) walaupun saling bertentangan satu sama lain. Pada 1999, Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 140 tentang Kampung Kemang sebagai kampung modern keluar. Isinya adalah izin bagi tempat usaha yang berlokasi di sebagian kawasan Kemang dan telah didata pada 22 Januari 1998. Kepala Dinas Tata Ruang Wiriyatmoko mengatakan, pemerintah akan menata Kemang menjadi kawasan bisnis dan hunian seperti Kuta Bali. Wiriatmoko juga mengatakan bahwa mereka telah melakukan pengkajian dan hasilnya pihaknya tidak akan menertibkan kawasan Kemang yang sekarang telah dipenuhi oleh jejeran kafe, restoran, pub, bar, dan hotel, ke peruntukan semula yakni perumahan (pemutihan). Pengelola bangunan diizinkan melakukan kegiatan usaha (Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 140/1999 tentang Kampung Kemang) namun harus membayar denda sesuai yang ditetapkan dalam Perda Nomor 1/2006 tentang Retribusi Daerah. Hitungan denda terdiri atas berapa meter lahan yang dihuni, perubahan fungsi bangunan, lokasi, dan lama bangunan itu berdiri. Akan tetapi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo justru membantah rencana pemutihan kawasan Kemang Jakarta Selatan. Ia justru menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah alih fungsi guna lahan Kemang ini, akan dilakukan penataan kawasan elit itu secara proporsional, yang artinya tetap dilihat mana guna lahan yang bisa diizinkan dan mana yang tidak. Bangunan yang difungsikan untuk aktivitas bisnis akan dikaji lebih lanjut. Bukan tak mungkin bangunan tersebut dikembalikan fungsinya sebagai rumah tinggal jika terbukti menyalahi aturan. Peruntukan lahan permukiman masih harus diperhatikan dan dipertahankan karena masih cukup banyak menyebar di Kemang. Jika ditelusuri dari media dan forum lain, salah satu alasan mengapa pengembalian fungsi guna lahan Kemang dari komersial menjadi permukiman dipandang sangat sulit –terutama oleh pemerintah daerah– adalah karena image yang sudah sedemikian melekatnya pada Kemang sebagai kawasan high class dan creative industry di Jakarta. Namun seberapa banyaknya pun alternatif pilihan kebijakan yang mungkin diambil pemerintah, keputusannya akan terlihat di RTRW DKI Jakarta terbaru yang akan memuat kebijakan pemerintah tentang kawasan Kemang.
8
Kekuatan Politik Perkotaan dalam Kasus Kemang Rezim yang Terjadi Stone mendefinisikan rezim sebagai “an informal yet relatively stable group with access to institutional resources that enable it to have a sustaned role in making governing decisions. Selanjutnya pada artikel yang lain disebutkan bahwa rezim adalah “the informal arrangement by which public bodies and private interests function together in order to be able to make and carry out governing decisions” (Stone 1989, 6). Berdasarkan dua definisi tersebut maka sebuah rezim dapat terjadi karena adanya suatu koalisi secara informal antara pihak publik yang diwakili oleh pemerintah dan pihak swasta atau pengusaha. Selanjutnya, regime theory ini fokus pada proses yang terjalin antara pihak pemerintah dan mediasi daripada hubungan antara pemerintah dengan warganya. Teori ini mampu menganalisis perubahan ekonomi kota yang terjadi sesuai dengan contoh kasus studi. Pada kasus studi tentang perubahan fungsi lahan dari perumahan menjadi komersial menunjukkan adanya perubahan ekonomi kota Jakarta. Hal ini menyebabkan munculnya regime baru yaitu symbolic regimes. Kemunculan regime ini diindikasikan oleh beberapa indikator yang merupakan indikator dari symbolic regimes. Pertama, adanya perubahan ideologi kota ataupun image kota yang ditandai dengan kenaikan nilai jual obyek pajak (NJOP). Kenaikan NJOP ini memicu perubahan fungsi lahan dari rumah tinggal menjadi komersial karena akan lebih menguntungkan. Bila dipandang dari segi pemerintah kota, kebijakan untuk menaikkan NJOP ini mengindikasikan pergeseran image yang ingin dimunculkan terhadap Kemang dari kawasan permukiman menjadi kawasan komersial. Perubahan image ini berhasil terjadi dengan naiknya angka alih fungsi lahan dari hunian menjadi komersial. Hanya saja pemerintah tidak mengantisipasi kemungkinan lain yang terjadi dari perubahan ini dan terbukti dengan banyaknya protes warga. Kondisi ini sesuai dengan definisi awal dari suatu rezim yang sebagai hubungan antara pemerintah dan beberapa pihak yang berkepentingan dengan mengabaikan hubungan antara pemerintah dengan warganya. Hal ini pulalah yang mengindikasikan kemunculan suatu regime baru. Sebuah regime yang terbangun antara pemerintah kota dengan para pengusaha yang berkepentingan untuk membangun ekonomi kota Jakarta. Jenis rezim ini memungkinkan pengarahan citra yang ingin dibentuk oleh pemerintah kota sebagai pihak yang bertanggungjawab
9
untuk mengarahkan perkembangan kota. Citra yang dibentuk akan disesuaikan dengan jenis pertumbuhan ekonomi seperti apa yang diharapkan terjadi dan sasaran investor seperti apa yang ingin dipilih. Jika dilihat dari kasus Kemang menunjukkan adanya kesan bahwa para investor yang diharapkan oleh Pemerintah Kota Jakarta adalah mereka yang bermodal besar. Tipe investor ini sesuai dengan penduduk yang tinggal disana dan tergolong ke dalam masyarakat kaya sehingga fasilitas-fasilitas yang dibangun disesuaikan dengan gaya hidup mereka. Kawasan ini juga diarahkan menjadi tempat komersial untuk kalangan menengah ke atas. Selanjutnya, indikasi kedua yang membuat penulis mengklaim telah terjadi symbolic regimes adalah motivasi utama dari para aktor yang terlibat. Motivasi utama dari pemerintah sebagai salah satu partisipan adalah expressive politics. Motivasi ini dipicu oleh keputusasan mereka akan tingkat pertumbuhan ekonomi yang menurun dan angka pengangguran meningkat. Dalam kasus Kemang, kondisi ini ditunjukkan oleh pengabaian penertiban kawasan komersial yang berkembang secara cepat. Pada Tahun 1999 juga diterbitkan Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 140 tentang Kampung Kemang sebagai kampung modern sebagai indikasi keputusasaan pemerintah akan perkembangan ekonomi yang terjadi. Surat tersebut berisi izin bagi tempat usaha yang berlokasi di sebagian kawasan Kemang dan telah didata pada 22 Januari 1998. Saat itu Kepala Dinas Tata Ruang Wiriyatmoko mengatakan, pemerintah akan menata Kemang menjadi kawasan bisnis dan hunian seperti Kuta Bali. Keputusasaan ini juga dipicu oleh krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Sebaliknya, dari segi pengusaha sebagai partisipan lainnya yang turut membangun rezim ini menganggap pencitraan baru bisa membuka peluang usaha khususnya bagi para pengusaha yang mengutamakan kekhasan wilayah seperti tempat hiburan dan tempat makan. Masyarakat Kemang sebenarnya juga tidak bisa dikatakan sebagai murni korban dalam kasus yang terjadi. Sebenarnya mereka juga mendapat keuntungan dari proses pembangunan rezim tersebut. Citra baru sebagai kawasan komersial akan menambah fasilitas permukiman mereka. Keuntungan utama yang mereka dapat adalah meningkatnya nilai jual lahan yang mereka miliki walaupan ada beberapa konsekuensi yang harus dibayar berupa kebisingan, degradasi nilai sosial, dan menurunnya jaminan keamanan. Jadi, ada kesamaan motivasi diantara para partisipan yang terlibat yaitu mendukung adanya perubahan citra Kemang dengan pembangunan walaupun jenis pembangunan yang diharapkan berbeda (hunian vs komersial).
10
Dan yang terakhir, rezim ini terbentuk karena adanya kebutuhan untuk menyokong pertumbuhan penduduk yang tinggi, hierarki pelayanan pemerintah yang lebih tinggi, dan atau kebutuhan usaha berskala nasional, bahkan internasional. Dimana Kemang tak hanya melayani penduduk Kotamadya Jakarta Selatan tetapi juga penduduk DKI Jakarta. Kesemua kondisi ini merupakan kondisi yang terjadi di kawasan Kemang sebagai bagian dari ibu kota negara Indonesia yaitu Jakarta.
Planning In Power Research Where are we going with planning? Perencanaan yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah merupakan sebuah perencanaan yang berorientasi pada pembangunan di bidang ekonomi. Segala kebijakan pemerintah dibuat untuk mendukung tujuan tersebut. Hal ini terbukti dengan kasus Kemang. Alih fungsi lahan dari hunian menjadi komersial membuktikan kemana perencanaan ini sebenarnya diarahkan. Apalagi adanya aturan yang mengijinkan berkembangnya kegiatan komersial di daerah ini berupa Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 140 tentang Kampung Kemang sebagai kampung modern. SK ini adalah bukti nyata arah pembangunan kota yang memprioritaskan kepentingan ekonomi setelah sikap pembiaran pemerintah kota atas ijin usaha yang habis dan kenaikan NJOP. Berdasarkan sejarah atas kasus studi, dapat diindikasikan bahwa perencanaan dijadikan sebagai alat untuk membetuk rezim baru yang berorientasi pada kepentingan ekonomi.
Who gains and who loses? Sempat disebutkan dalam bahasan regime theory, tidak ada pihak yang benar-benar murni dirugikan ataupun diuntungkan karena pada akhirnya semua pihak mendapat keuntungan dari pembangunan di Kemang. Namun pasti ada pihak yang menderita kerugian yang lebih besar daripada pihak yang lain. Pihak yang rugi itu adalah masyarakat yang tidak merasakan kenyamanan lagi hidup di Kemang dan pemerintah yang rugi sendiri akibat ketidaktegasannya dalam memberi izin. Pihak yang diuntungkan, dapat ditebak, adalah para pengusaha yang mendapat banyak kemudahan dan profit di Kemang. Masyarakat tentunya membutuhkan kawasan komersial di lingkungan permukiman mereka agar mereka dapat memenuhi kebutuhannya dengan segera. Namun yang mereka sayangkan adalah degradasi kenyamanan permukiman yang menjadi dampak dari kegiatan
11
komersial yang berkembang terlampau luas. Alasan inilah yang mendasari mereka untuk menggugat dan menempatkan diri di posisi pihak yang loses di mata publik. Hal lain yang dapat disorot dari masyarakat adalah sebenarnya berkat pembangunan kawasan komersial pula citra kawasan Kemang menjadi semakin elit dan harga lahan pun menjadi tinggi di sana. Bagi masyarakat Kemang, tentunya kenaikan harga lahan adalah hal yang patut disyukuri. Bagi masyarakat di luar Kemang yang mampu membeli lahan rumah di Kemang, tentunya memiliki lahan di Kemang adalah suatu hal yang prestisius. Namun bagi masyarakat di luar Kemang yang tidak mampu membeli lahan rumah di Kemang, tentunya adalah hal yang sangat disayangkan dan semakin menciptakan kesenjangan antar golongan kelas secara ekonomi. Pihak lainnya yang sebenarnya loses, adalah pemerintah sendiri sebagai pengambil kebijakan dan pemberi izin. Sebenarnya pemerintah tentu mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dari pengadaan ijin kegiatan usaha di Kemang. Apalagi jika pelaku usaha nantinya diwajibkan membayar sejumlah besar denda, semakin banyak keuntungan yang akan diperoleh. Namun pemerintah pun mengalami kerugian karena tidak dapat menarik retribusi dan pajak kegiatan usaha selama kurang lebih 30 tahun berdirinya kawasan komersial di Kemang. Hal yang tidak kalah merugikannya adalah tercorengnya citra pemerintah akibat ketidaktegasan dalam memberi izin dan menerapkan rencana tata ruang yang akhirnya membuat masyarakat semakin berpikir bahwa pemerintah jaman ini hanya berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek. Di lain pihak, pengusaha merasa diuntungkan dengan kelonggaran pemberian izin usaha selama ini. Lagipula jika benar Kemang akan dijadikan kawasan komersial, kebijakan tersebut akan memuluskan jalan para pengusaha untuk meraup keuntungan yang semakin besar. Sayangnya tempat-tempat usaha, yang dibangun para pengusaha satu per satu tanpa terintegrasi, di Kemang lupa memperhitungkan bahwa saat kawasan komersial begitu luas, dampak bagi lingkungan permukiman di sekitar pun ikut bertambah besar.
Is the development desirable? Jika dilihat dari apa yang saat ini terjadi di Kemang, dimana tempat usaha begitu menjamur di sepanjang kawasan, pembangunan ini jelas tidak diharapkan. Bagaimanapun juga pembangunan kawasan komersial besar-besaran di Kemang adalah hal yang tak pernah direncanakan dalam RTRW DKI 2010. Kegiatan komersial Kemang yang awalnya direncanakan hanya sebesar 15% sekarang malah membludak menjadi 73%. Pembangunan yang berlebihan
12
seperti ini tentunya tidak diharapkan. Masyarakat mengharapkan kawasan komersial yang terbatas di lingkungan permukiman, tidak bising, tidak menimbulkan kemacetan, dan tidak memperparah banjir. Namun pihak pengusaha merasa bahwa kawasan seperti inilah yang mereka butuhkan untuk mengembangkan usahanya. Perijinan yang longgar dan kebebasan dari retribusi maupun pajak sungguh menyenangkan bagi mereka. Iklim usaha seperti inilah yang mereka harapkan.
What should be done? Jelas terlihat, pembangunan kawasan komersial di Kemang pasti didukung oleh pihakpihak yang memperoleh keuntungan darinya, dan ditentang oleh pihak-pihak yang menanggung dampak buruknya. Tinggal pemerintah yang dapat menentukan kemana arah pembangunan kawasan Kemang dibawa, akan menggunakan rasionalitas siapa, masyarakat atau pelaku usaha. Kebijakan yang diambil harus dipertimbangkan dengan matang karena jika pada akhirnya yang terjadi di Kemang ini diberi semacam dispensasi maka bukan tidak mungkin kawasan lain yang guna lahannya juga berubah akan menuntut hal yang sama. Dengan adanya pemutihan ini, sama saja artinya pemerintah berusaha melegalkan kesalahan yang dibuat sendiri. Dengan adanya rencana perubahan guna lahan Kawasan Kemang, Pemprov DKI Jakarta terbukti tidak konsisten melaksanakan aturan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2010. Tahun depan, RTRW 2010 akan berakhir dan akan dibentuk Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2020. Jika perubahan peruntukan ini jadi disahkan, berarti ada pengaturan wilayah yang berbeda lagi setelah 2010. Jakarta akan semakin semrawut karena ketidakkonsistenan Pemprov DKI. Solusi yang paling memungkinkan melihat kondisi kawasan Kemang yang sudah semakin didominasi kegiatan komersial seperti ini setidaknya, peruntukan kawasan komersial bisa diterapkan hanya pada kawasan yang telah berkembang menjadi pusat tempat usaha sedangkan kawasan lain tetap dipertahankan sebagai perumahan. Tentunya denda harus tetap dikenakan bagi para pengusaha yang sudah mengabaikan dan menyalahi aturan. Nominal denda pun baiknya dibuat cukup besar untuk membuat mereka jera.
13
Simpulan Kelonggaran pemerintah dalam memberi izin usaha di Kawasan Kemang sebenarnya semakin mengangkat citra dan prestige kawasan tersebut. Kampung Betawi yang kemudian dikenal sebagai hunian para ekspatriat itu sekarang memiliki citra baru sebagai the most popular hangout places, yang selalu produktif di kala pagi, siang, sore, malam, dan bahkan tengah malam. Pemberian izin yang longgar itu tentu saja tidak terjadi serta-merta, penulis mengidentifikasi adanya suatu symbolic regime yang terjadi. Ada 4 indikasi, yaitu adanya hubungan antara pemerintah dan beberapa pihak yang berkepentingan dengan mengabaikan hubungan antara pemerintah dengan warganya, adanya perubahan ideologi kota ataupun image kota, motivasi utama dari para aktor yang terlibat, adanya kebutuhan untuk menyokong pertumbuhan penduduk yang tinggi, hierarki pelayanan pemerintah yang lebih tinggi, dan atau kebutuhan usaha berskala nasional, bahkan internasional. Perencanaan dan pembangunan di Kemang ini diarahkan oleh para pelaku urban regime itu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi membawa dampak negatif sehingga masyarakat tampil sebagai pihak yang dirugikan sedangkan di lain sisi pihak pengusaha menikmati keuntungannya. Bahkan pemerintah yang awalnya merupakan koalisi dari symbolic regime yang terjadi pun sebenarnya mengalami kerugian. Tentu saja bukan pembangunan yang menyalahi RTRW dan membawa banyak dampak buruk seperti ini yang diharapkan. Untuk itu perlu adanya evaluasi dan penyesuaian rencana, mencari solusi terbaik yang sesuai dengan kondisi Kemang saat ini. Sungguh, pemutihan bukanlah ide yang bagus dan malah akan mengesankan pemerintah ingin menyelamatkan muka sendiri padahal tidak selamat. Alangkah baiknya jika pemerintah dapat mengambil kebijakan yang bijak, berorientasi tata ruang jangka panjang, dan komprehensif. Solusi yang penulis ajukan adalah peruntukan kawasan komersial bisa diterapkan hanya pada kawasan yang telah berkembang menjadi pusat tempat usaha tanpa melupakan denda yang harus dibayar oleh para pengusaha itu sedangkan kawasan lain tetap dipertahankan sebagai perumahan.
14