What is MPN?
Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Bank Persepsi yang untuk selanjutnya disebut Bank adalah Bank Umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak. Pos Persepsi yang untuk selanjutnya disebut Pos adalah Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang untuk selanjutnya disebut NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui MPN. Nomor Transaksi Bank yang untuk selanjutnya disebut NTB adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank. Nomor Transaksi Pos yang untuk selanjutnya disebut NTP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang diterbitkan oleh Pos. Nomor Penerimaan Potongan yang untuk selanjutnya disebut NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan. Surat Perintah Membayar yang untuk selanjutnya disebut SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara yang untuk selanjutnya disebut KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Bukti Penerimaan Negara yang untuk selanjutnya disebut BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan NTPN dan NTB/ NTP serta elemen lainnya yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM yang mencantumkan NTPN dan NPP. Tempat Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang untuk selanjutnya disebut TP-PBB adalah Bank Pemerintah/Bank Swasta Nasional/ Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan dan memindahbukukan hasil penerimaan PBB ke Bank/Pos. Kantor Pelayanan Pajak yang untuk selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Pasal 2 (1) Pembayaran dan/atau penyetoran pajak oleh Wajib Pajak atau TP-PBB dilakukan di Bank/Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (2) Pembayaran dan/atau penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana lain yang yang disepakati antara Bank dan Wajib Pajak. (3) Atas Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Wajib Pajak diberikan bukti pembayaran/bukti setoran yang berupa : a. Bukti Penerimaan Negara (BPN);atau b. Surat Setoran Pajak yang diterakan NTPN serta elemen lain sebagai validasi pembayaran. (4) Atas pemotongan/pemungutan pajak yang berasal dari potongan SPM diberikan Bukti Penerimaan Negara (BPN). (5) Pembayaran dan/atau penyetoran pajak sebagaimana ayat (1) serta pemotongan/ pemungutan pajak sebagaimana ayat (4) dinyatakan sah setelah mendapatkan NTPN dan NTB atau NTPN dan NTP atau NTPN dan NPP dan telah dilakukan rekonsiliasi oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. (6) Bukti Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dianggap sebagai Surat Setoran Pajak dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan. Pasal 3 (1) Data pembayaran/penyetoran pajak yang telah disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) diterima Direktorat Jenderal Pajak dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan selanjutnya disebut Data MPN. (2) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak meneruskan Data MPN ke unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Data MPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sumber data bagi KPP dan pihak terkait lainnya dalam pemenuhan kewajiban pembayaran/penyetoran pajak oleh Wajib Pajak. (4) Tata cara pengolahan Data MPN pada Kantor Pusat, Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Pajak adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 4 Data MPN s merupakan sumber data Penerimaan Bruto. Pemenuhan Kewajiban Pajak Pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib Pajak, baik pribadi maupun badan, diatur dalam peraturan Menteri Keuangan, Nomor 184/PMK.03/2007 taznggal 28 Desember 2007, yang mengatur tentang Penentuan tanggal jatuh tempo dan penyetoran Pajak, penentuan tempat pembayaran Pajak, dan tata cara pembayaran, pentetoran, dan pelaporan Pajak, serta tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak, menetapkan : Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN). Jatuh tempo pembayaran Pajak diatur sebagai berikut : (1) PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. (2) PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. (3) PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (4) PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (5) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (6) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (7) PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (8) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. (9) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak. (10) PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara. (11) PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (12) PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (13) PPn atau PPn dan PPnBM yng terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (14) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (15) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (16) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir. (17) Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar
paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing- masing jenis pajak.
Bukti Pemungutan Pajak (1) Pemotong atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. (2) Pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan atau pegawai tetap, memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
Surat Pemberitahuan Masa dan Tahunan (SPT masa) (1) Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak tersendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh atau Pemungut PPN, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (11), ayat (12), ayat (13), dan ayat (15) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya. (3) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) dan ayat (14) wajib melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir. (4) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (16) dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir. Pasal 8 (1) Surat Pemberitahuan Masa atau laporan hasil pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak, Pemotong Pajak atau Pemungut Pajak terdaftar dan/atau dikukuhkan. (2) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (3) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Jenis-Jenis Paket Data (ISO 8583 financial standard packet exchange); JENIS-JENIS PAKET DATA Sistem SISPEN TERPADU menggunakan beberapa jenis paket data untuk mengakomodasi jenis-jenis transaksi yang dilayani. Adapun jenis transaksi yang dilayani oleh Sistem SISPEN TERPADU adalah: • Pembayaran • SSP: Surat Setoran Pajak • PBB: Pajak Bumi dan Bangunan • BPHTB: Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. • SSBP: Surat Setoran Bukan Pajak • SSPB: Surat Setoran Pengembalian Belanja • SSPCP: Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor • SSCP: Surat Setoran Cukai Atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri. • STBS: Surat Tanda Bukti Setor (Pungutan Ekspor) Klasifikasi jenis paket data yang digunakan dalam Sistem SISPEN TERPADU, adalah: • Financial Transaction • Reversal • Network Management Paket data ini mengacu kepada ISO 8583 message exchange standard, terdiri dari :
Data Penerimaan Melalui berikut :
MPN yang dijadikan bahan penelitian adalah sebagai
Kolom Nilai Keterangan DB 1 FLAG_LKP Berisi kode atas pembukuan penerimaan pajak oleh KPPN melalui kas Negara, berpengaruh pada SAU FLSAH ID 37175629 JML_SETOR 12500 KAP 000 KD_BANK 0441 KD_CAB_BAN 000447 KD_KPP 442 KD_KPPN 025 KD_MAP 411211 KD_SETOR 100 MAPLAMA 411211 P-47 Addi t iona l Da t a – Rincian Daftar MAP pada SSPCP & SSCP NPWP
000508366
P-48 Addi t iona l Da t a – Surat Setoran Pajak (SSP) Untuk tanggapan transaksi pembayaran SSP (0200) dengan P-3 adalah 200000: 01-03: (3) panjang data (berisi 064). 04-12: (9) berisi NPWP (contoh: 012345678) 13-15: (3) berisi Kode KPP (contoh: 001) 16-19: (4) berisi kode cabang WP (contoh: 0000 untuk kantor pusat) 20-25: (6) kode MAP transaksi (contoh: 411121). 26-28: (3) kode jenis setoran (contoh : 110) 29-30: (2) Masa pajak 1. 31-32: (2) Masa Pajak 2. 33-36: (4) Tahun Pajak. 37-51: (15) Nomor SK. 52-67: (16) Kode NTPN. PTNTP
0511000407151402
Sama dengan NTPN Nomor Transaksi Pembayaran Pajak yang selanjutnya disebut NTPP adalah nomor bukti/tanda pembayaran/penyetoran pajak yang diterakan pada SSP yang digunakan dalam sistem pembayaran pajak secara on-line, yang dihasilkan oleh suatu mesin penomoran dengan formula rahasia yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak.