Uangkeamanan

  • Uploaded by: Blackbird
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uangkeamanan as PDF for free.

More details

  • Words: 2,490
  • Pages: 7
Uang Keamanan, Kekuasaan, dan Aturan di Komuniti

Eka Chandra

Tulisan ini memeriksa bagaimana caranya memahami kekuasaan di dalam konteks tata pengaturan kota masa kini melalui prespektif disiplin ilmu antropologi, khususnya antropologi ekonomi. Pemeriksaan dilakukan terhadap praktek pungutan uang keamanan di Cicadas yang ditemukan dari hasil penelitian Yayasan AKATIGA pada tahun 2006. Konsep yang digunakan dalam rangka pemeriksaan adalah korupsi dan pertukaran. Tulisan ini berpendapat bahwa kegiatan pungutan uang keamanan lebih menyerupai konsep pertukaran komoditi dibanding

korupsi atau pungutan ilegal.1 Dengan begitu, analisis terhadap kekuasaan dan perananya di dalam pengaturan (governance) dapat beranjak dari konsepsi bahwa kekuasaan adalah komoditi. Implikasi dari konsepsi ini adalah bahwa upaya memahami kekuasaan lebih diarahkan kepada konteks dan jenis regulasi yang secara nyata menata struktur, hubungan-hubungan, proses dan simbol kekuasaan, dibanding analisis terhadap sumber-sumber dan legitimasinya. Saya berpendapatan bahwa uang keamanan di jalanan adalah contoh dari bekerjanya lembaga pasar, daripada lembaga kekuasaan formal.

A. Kekuasaan dan pengaturan Beberapa tahun terakhir ini, upaya penanggulangan kemiskinan telah mempertimbangkan persoalan politik sebagai persoalan yang penting diperhatikan. Kemiskinan misalnya dilihat sebagai fungsi atau hasil akhir dari suatu mekanisme penentuan kebijakan yang tidak membuka peluang rakyat terlibat di dalamnya. Pemerintah dianggap terlalu kuat kuasanya dan tidak membuka

kemungkinan-kemungkinan lain bagi peran serta rakyat. Upaya penanggulangan

kemiskinan lalu diterjemahkan ke dalam program-program pemberdayaan politik, yaitu memberi kuasa lebih besar kepada rakyat di satu sisi dan mengurangi kuasa pemerintah di sisi lainnya. Apa persisnya kuasa yang dimaksud dalam program-program tersebut? Kekuasaan cenderung dilihat sebagai sarana pengendalian. Cara melihat kekuasaan sebagai sarana pengendalian terlihat jelas dari analisis-analisis yang menitik beratkan kepada sumbersumber kekuasaan, keabsahannya, dan jenis kekuasaan khusus yang tercakup dalam konsep 1

Istilah ‘pungutan illegal’ digunakan sementara untuk membedakannya dengan pungutan legal, yaitu jenis pungutan resmi yang ditarik pemerintah kota. Terdapat dua jenis pungutan legal, yaitu pajak dan retribusi. Kedua jenis pungutan tersebut diatur oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Sejak tahun 1998 sampai 2003 semua jenis pungutan resmi di kota Bandung diatur oleh 36 buah peraturan daerah (lihat lampiran). Pungutan yang tidak diatur oleh peraturan daerah atau jenis peraturan resmi lainnya dikategorikan sementara sebagai ‘pungutan illegal’.

1

‘kewenangan’. Studi-studi tentang birokrasi, organisasi, dan pemberdayaan masyarakat cenderung memahami kekuasaan dengan cara demikian. Cara pandang semacam itu seringkali tidak mampu menjawab persoalan kesemerawutan tata ruang kota, kecilnya pendapatan pemerintah, ketidak tepatan prioritas-prioritas anggaran, pelayanan publik yang inefisien, dan sejumlah perilaku organisasi dan birokrasi lainnya yang ‘menyimpang’. Di pihak lain, terdapat model-model pengaturan yang bekerja tanpa adanya kewenangan formal. Studi-studi tentang organisasi masyarakat sipil dan penggunaan kewenangan di level paling bawah misalnya, menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dan tidak terkonsentrasi di satu pusat pengendalian pemerintahan tertentu. Kenyataan bahwa ‘kewenangan’ pemerintah tidak lagi memonopoli jalannya pemerintahan dan terdapat berbagai sumber kekuasaan lainnya di luar pemerintah membawa kepada pertanyaan tentang bagaimana memahami kekuasaan dan aturan di dalam konteks perkembangan model-model pengaturan dan tata pemerintahan yang bekerja saat ini.

Untuk itu mari kita periksa satu kegiatan konkret yang terjadi di perkotaan terkait

dengan pengaturan di permukiman dan kegiatan perdagangan di pinggir jalan di salah satu sudut kota Bandung, yaitu gejala pungutan uang keamanan. Pemeriksaan terhadap gejala pungutan uang keamanan dilakukan dengan cara mencocokan gejala tersebut dengan dua konsep yang terkait dengan kekuasaan. Pertama konsep korupsi. Konsep korupsi seringkali dikaitkan dengan kekuasaan, gejala ini dilihat sebagai ‘penyalahgunaan kekuasaan’. Mencocokan gejala pungutan uang keamanan dengan konsep korupsi diharapkan dapat diketahui jenis kekuasaan yang disalahgunakan dalam kegiatan pungutan uang keamanan. Kedua, mencocokannya dengan konsep pertukaran. Konsep ini digunakan untuk melihat regulasi apa yang pada kenyataannya mengatur struktur kekuasaan, hubungan-hubunganya, proses, serta simbol-simbol kekuasaan yang bekerja dalam konteks kegiatan dan pengaturan pungutan uang keamanan.

B. Pungutan Uang Keamanan Uang keamanan adalah istilah yang digunakan untuk satu jenis pungutan yang diambil dari pedagang kaki lima oleh penguasa daerah resmi di Cicadas. Dipungut setiap hari dari pedagang sebagai imbalan untuk melindungi barang dari pencurian. Contoh: Penitipan barang Rp 15.000/bulan, penitipan motor Rp 5000 /bulan, keamanan dan parkir kendaraan Rp 1000 per hari untuk, jasa keamanan PKL Rp 500 per hari. Total pendapatan jasa keamanan setiap bulannya mencapai Rp 120.000,00, yaitu dari PKL Rp 60.000,00, parkir mobil Rp 45.000,00, penitipan motor Rp 15.000,00. Uang kemanan diambil pula oleh pengurus asosiasi serikat sekerja Pedagang Kaki Lima dengan menggunakan nama lain, yaitu iuran anggota, iuran kartu anggota, dan iuran harian. Anggota

2

ditarik Rp 1.000 per hari sebagai iuran harian anggota dan diwajibkan mempunyai kartu anggota yang harus ditebus sebesar Rp 25.000 untuk satu kali masa berlaku. Bagi yang tidak memiliki kartu dan tidak memberi iuran diancam tidak diakui sebagai anggota serikat sehingga hakhaknya pun tidak diakui; Seperti tidak dibantu jika terkena gusuran, tidak mendapatkan bagian uang jika ada program pemerintah, dan tidak mendapatkan bantuan jika sakit. Tanda keanggotaan organisasi diberikan sebagai identitas manakala pedagang menghadapi persoalan akses tempat berjualan, serta untuk menandakan adanya hak mendapatkan bagian sumberdaya dari ‘program bantuan’. Iuran harian digunakan untuk ‘menggaji’ pengurus dan membiayai keperluan sosial anggota, seperti membiayai pengobatan.

Kewenangan yang berdiri sendiri Ciri yang menonjol dari praktek uang keamanan adalah para pemungutnya memiliki kewenangan yang relatif otonom. Salah satu pemungut uang keamanan adalah pengurus rukun warga. Pengurus rukun warga / RW memiliki kewenangan resmi yang relatif otonom dari pemerintah kota untuk mengatur dan mengelola penduduk di wilayah permukiman. Kewenangan yang otonom dimiliki pula oleh pengurus serikat sekerja dan organisasi pemuda.

Kewenangan pengurus RW bersifat otonomom tapi seringkali dicampuri oleh perangkat birokrasi pemerintah kota. Ciri otonomi rukun warga adalah organisasi kepengurusannya secara formal bukan merupakan bagian dari susunan birokrasi pemerintahan kota, melainkan berdiri sendiri. Ketua RW tidak memiliki kewajiban formal apapun untuk melapor atau bertanggung jawab secara rutin kepada lurah, dan pemerintah kota pun tidak memiliki kewajiban apa pun untuk membiayai kegiatan-kegiatan pengurus rukun warga. Kegiatan pengurus dan kegiatan-kegiatan lainnya pun tidak dibiayai oleh anggaran rutin pemerintah kota. Pejabat-pejabat di dalam organisasi pengurus secara otonom ditentukan oleh mekanisme yang dibangun sendiri; misalnya pemilihan ketua dan penentuan ketua-ketua seksi yang mengurusi satu jenis bidang kegiatan. Meskipun memiliki kewenangan yang otonom, pengurus RW seringkali dicampuri oleh pemerintah kota. Terdapat banyak kegiatan RW dicampuri pemerintah, dibiayai dan diarahkan. Ketua RW mendapatkan tugas-tugas penghitungan penduduk, pendaftaran, dan pengenalan atribut-atribut penduduk dan warga untuk dijadikan sasaran program pembangunan. Ketua RW diminta untuk mengawasi penerapan sejumlah peraturan yang terkait dengan kedisiplinan warga (sebagai contoh misalnya pengawasan penerapan peraturan daerah tentang ketertiban di kalangan penduduk). Ketua RW diminta pula untuk mengerahkan sejumlah dana dari penduduk untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh kantor kelurahan. Pemberian uang oleh lurah kepada RW dan pengurusnya untuk menjalankan program-program pun terjadi, baik yang tercatat resmi maupun yang tidak resmi. Kewenangan yang relatif otonom dimiliki pula oleh pengurus organisasi serikat sekerja. Organisasi PKL di Cicadas bagian dari organisasi PKL Bandung Bersatu untuk wilayah Kecamatan

3

Cibeunying Kidul. Organisasi ini diatur berdasarkan wilayah tempat berdagang. Terdapat ketua, koordinator wilayah (korwil), dan koordinator lapangan. Kordinator lapangan bertugas menagih pungutan. Ada mekanisme ‘ngariung’ dalam menyelesaikan masalah di kalangan pengurus, maupun antara pengurus dan anggota.

C. Korupsi atau pertukaran komoditi? Menggunakan label ‘pungutan ilegal’ terhadap praktek pungutan uang keamanan menandai bekerjanya cara berpikir yang mengandaikan adanya pemisahan tegas antara wilayah hukum formal dan non-formal di dalam dunia sosial. Upaya mengkategorikan praktek uang keamanan dalam kerangka pikir demikian jatuh pada rumusan apriori bahwa ia merupakan perbuatan korupsi, perbuatan yang melanggar hukum, dan berujung kepada suatu penilaian mengenai penyalahgunaan kewenangan oleh para pegawai atau pejabat pemerintahan atau secara umum oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dan mengambil keputusan. Bagaimanapun praktek uang keamanan yang muncul di Cicadas tidak memiliki ciri-ciri demikian. Tindakan korupsi sebagaimana yang pernah didefinisikan Wertheim (1977) pada tahun 1969 melingkupi praktek suap menyuap yang ditujukan untuk mempengaruhi pemerintah agar membuat keputusan yang memberikan keuntungan kepada si penyuap, penggelapan uang negara, dan praktek pemerasan, yaitu meminta hadiah atau balas jasa karena mengerjakan suatu tugas di dalam melaksanakan kewajibannya. Pemberian uang keamanan kepada pengurus RW/RT tidak dapat digolongkan sebagai tindakan penyuapan. Pengurus RW/RT tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah pedagang boleh berjualan di pinggir jalan atau tidak. Bahkan jikalau ada peraturan yang melarang penggunaan badan jalan untuk berjualan, pengurus RW/RT tidak memiliki kewenangan dan tugas untuk melakukan pengawasan dan pemberian hukuman. Dari sudut pandang pemberi uang pun tidak diketemukan gagasan bahwa pemberian uang keamanan sebagai suatu bentuk sogokan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan pengurus RW/RT. Dengan begitu praktek uang keamanan dapat dikeluarkan dari golongan praktek suap menyuap. Praktek uang keamanan yang dikumpulkan oleh pengurus RW/RT tidak dapat pula digolongkan sebagai penggelapan uang negara. Uang yang berhasil dikumpulkan tidak serupa dengan uang yang dikelola oleh pegawai pemerintah dalam struktur birokrasi pemerintahan resmi. Mengingat tidak diketemukan peraturan-peraturan tertulis yang mendasari pengelolaan organisasi pengurus RW/RT, termasuk pengelolaan keuangan, maka istilah ‘penggelapan’ tidak berlaku kecuali sebatas penilaian terhadap etika yang seringkali bersumber dari norma-norma sosial yang berlaku.

4

Agak sulit pula mengatakan bahwa praktek uang keamanan adalah korupsi dalam bentuk pemerasan oleh pegawai pemerintah. Sebagaimana telah diketahui bahwa pengurus RW/RT tidak tergolong sebagai pegawai pemerintah, bahkan organisasinya pun bukan bagian dari struktur birokrasi resmi. Dalam pengertian Wertheim, pemerasan digolongkan sebagai korupsi hanya berlaku terhadap pegawai pemerintahan yang meminta balas jasa atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Tugas dan kewajiban pengurus RW/RT bukan bagian dari tugas pegawai pemerintahan dan tidak mendapatkan imbalan resmi dari anggaran pemerintah, kalaupun uang keamanan dilihat sebagai permintaan balas jasa atas pelaksanaan tugas dan kewajiban pengurus RW/RT, tampaknya lebih tepat dikategorikan sebagai praktek pertukaran daripada sebagai praktek pemerasan. Absennya ciri-ciri korupsi pada ‘praktek uang keamanan’melonggarkan keberlakuan analisis yang berupaya mengkaitkannya dengan struktur birokrasi sebagaimana yang dilakukan Wertheim. Tetapi kaitan dengan struktur birokrasi masih mungkin dicari dengan cara melihat uang keamanan sebagai mekanisme redistribusi kekayaan. Praktek uang keamanan dapat dikatakan merupakan tiruan praktek pajak dan upeti dalam struktur birokrasi patrimonial. Dalam struktur ini pajak dan upeti yang diambil oleh raja-raja di masa lalu diperuntukan bagi belanja pribadi dan untuk memperkuat pasukan-pasukan keamanan kerajaan. Pada masa kini, uang yang berhasil dikumpulkan melalui praktek uang keamanan misalnya digunakan hanya untuk gaji pengurus yang bertugas di bidang ‘keamanan lingkungan’ dan sebagiannya lagi digunakan untuk sendiri. Praktek pajak dan upeti dalam struktur patrimonial tidak menyediakan perangkat bagi pendistribusian sempurna oleh sebab kaburnya batas antara kepentingan pribadi dan masyarakat. Menggolongkan praktek uang keamanan sebagai tiruan dari pajak dan upeti dalam struktur patrimonial tidak serta merta mencerminkan bahwa struktur birokrasi pengurus RW/RT memiliki ciri-ciri yang serupa. Walupun tidak terlalu lengkap, struktur organisasi pengurus RW/RT justeru meniru struktur birokrasi modern, kekuasaan dibagi-bagi, jabatan disusun bertingkat dari atas ke bawah, terdapat bidang-bidang kekhususan untuk masing-masing jabatan, dimana terdapat pembagian tugas yang kesemuanya ditujukan untuk mengurus penduduk yang tingal di suatu wilayah yang kecil. Struktur semacam itu membentuk susunan elit penguasa ‘daerah’. Dalam konteks analisis semacam ini, adanya praktek uang keamanan hanya memperkuat bukti bahwa pada kenyataanya struktur birokrasi selalu mengambil bentuk campuran antara ciri-ciri modern dan patrimonial. Salah satu implikasinya adalah seringkali ditemukan kekaburan batas antara ‘kepentingan pribadi’ dan ‘kepentingan masyarakat’. Praktek uang keamanan, meskipun tidak didukung oleh ciri-ciri yang menonjol untuk dikatakan sebagai korupsi, dapat dilihat sebagai implikasi dari kegagalan memisahkan kepentingan pribadi dan masyarakat, serta kegagalan membangun suatu etika dan perilaku rasional birokrasi yang ideal seperti yang dibayangkan Max Weber. Dengan begitu analisis Wertheim yang mayakini

5

bahwa korupsi muncul setiap kali suatu struktur birokrasi terbentuk kurang lebih berlaku, khususnya setiap kali suatu kewenangan yang otonom mendapatkan keabsahannya. Mulai dari sini ulasan terhadap sumber-sumber kekuasaan menemukan konteksnya untuk dibahas. Sebelum mengulas lebih jauh sumber-sumber kekuasaan yang melatari atau yang digunakan dalam praktek uang keamanan, suatu penjelasan lain terhadap praktek uang keamanan di Cicadas dapat diupayakan dengan cara melihatnya sebagai pertukaran ekonomi. Mari kita periksa apakah pungutan uang keamanan dapat digolongkan sebagai barter, pertukaran hadiah, atau pertukaran pasar. Uang keamanan sulit digolongkan sebagai barter. Chapman (1980) misalnya mengatakan bahwa barter adalah pertukaran langsung yang mereduksi berbagai biaya barang yang dipertukarkan tanpa merujuk kepada uang. Para pedagang kaki lima yang memberikan sejumlah uang kepada pengurus RW/RT atau kepada pengurus organisasi menandai bahwa praktek uang keamanan tidak tergolong sebagai bentuk pertukaran langsung. Praktek uang keamanan tidak pula memiliki ciri-ciri sebagai praktek saling memberi, baik dilihat dari prosesnya, dari barang dan jasa yang dipertukarkan, maupun hubungan

sosial yang

terdapat di dalam pemberian uang keamanan. Menurut Mauss (1976 ) seseorang memberikan hadiah kepada orang lain bersifat sukarela, spontan, dan terbebas dari kepentingan. Pembayaran yang diberikan oleh para pemilik kendaraan yang dititipkan di kantor RW mengandung kepentingan bahwa manfaat yang akan diperolehnya adalah perlindungan dari ancaman pencurian. Tidak ditemukan ciri-ciri yang menandai adanya hubungan personal antara pihak yang menerima dan memberi uang keamanan. Kasus keluhan si pemberi uang akibat tidak diperolehnya jaminan keamanan barang dari si penerima uang menandai bahwa praktek uang keamanan tidak bersifat sukarela, dan bukan pertukaran yang bersifat spontan. Praktek uang keamanan tampaknya hanya mungkin digolongkan sebagai pertukaran pasar yang disengaja. Ciri-cirinya jelas, uang digunakan sebagai alat pertukaran, hubungan antara pemberi uang dan penerima kurang lebih impersonal, harga dan jasa kurang lebih ditentukan secara rasional. Rasionalitas penentuan harga misalnya dicontohkan oleh keluhan-keluhan pemberi jasa keamanan yang memperbandingkan jumlah uang yang diberikan oleh pedagang dengan beban tugas perlindungan yang diharapkan dapat diterima oleh si pedagang. Walaupun tidak terbentuk suatu harga yang disepakati, ‘tugas pengamanan’ yang dijalankan menjadi tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pembayaran yang disepakati menentukan penawaran (supply) yang pada kasus tersebut tidak sepenuhnya memenuhi permintaan (demand - perlindungan keamanan secara penuh).

6

D. Penutup Dari hasil pemeriksaan di atas, dapat dikatakan bahwa praktek pungutan uang keamanan tidak lain adalah suatu bentuk pertukaran komoditi yang kurang lebih diatur oleh mekanisme pasar.

Komoditi sederhananya adalah segala sesuatu yang sengaja dipertukarkan (Appandurai 1986)2. ‘Jasa perlindungan keamanan’ - yang seringkali dilihat sebagai ‘kekuasaan negatif’ yang mengendalikan -, dapat diperlakukan secara konseptual sebagai komoditi. Dengan begitu, untuk memahami kekuasaan di dalam arena pengaturan lainnya dapat beranjak dari konsep komoditi itu sendiri, yaitu sarana dan alat yang memiliki nilai guna dan nilai tukar. Implikasi cara pandang semacam ini adalah bahwa analisis diarahkan kepada konteks atau arena-arena khusus serta kepada jenis-jenis regulasi dan caranya regulasi tersebut menata struktur, hubungan-hubungan, proses dan simbol-simbol kekuasaan yang bekerja di dalam satu jenis model pengaturan. Ulasan lebih jauh tentang hal ini akan dipaparkan pada kesempatan lain. Bagi wacana sistem pengaturan dan tata pemerintahan, praktek uang keamanan adalah contoh dari pertukaran kekuasaan yang cara kerjanya menyerupai mekanisme pasar, yang muncul di

dalam

situasi

dimana

sebagian

orang

ingin

menerapkan

birokrasi

modern

sekaligus

mempraktekkan redistribusi kekayaan patrimonial. Temuan ini setidaknya mencerminkan bahwa pada kenyataannya terdapat berbagai sistem pengaturan yang berbeda yang bekerja secara tumpang tindih menata kekuasaan di dalam kehidupan sosial.

Daftar acuan Appandurai, A., 1986 ‘Introduction: commodities and the politic of value’ dalam Arjun Appandurai (ed.). The social life of things: Commodities in cultural perspective, Cambridge University Press: New York Chapman, A., 1980. Barter as a universal mode of exhange. Mauss, M. 1976. The Gift, NewYork: Norton Wertheim, 1977 ‘Segi-segi sosiologi korupsi di Asia Tenggara’ dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott (ed.) Etika Pegawai Negeri, Bhratara Karya Aksara – Yayasan Obor: Jakarta.

2

Melihat komoditi dengan cara demikian melingkupi definisi awal Marx yang mengatakan bahwa komoditi adalah “an object outside us, a thing that by its properties satisfies human wants of some sort or another” (1967, p.35) yang memiliki nilai guna dan nilai tukar.

7

Related Documents

Uangkeamanan
December 2019 27

More Documents from "Blackbird"

Kabupaten Kota Indonesia
December 2019 32
Desa
April 2020 39
Uangkeamanan
December 2019 27