Twisted Chronicle

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Twisted Chronicle as PDF for free.

More details

  • Words: 934
  • Pages: 5
Twisted Chronicle part I Malam itu Kokeshi uring-uringan. Bagaimana tidak? Jarum pendek sudah bergeser sedikit melewati angka 10, dirinya belum bisa juga terhubung ke internet. Hari Jumat itu awalnya tampak menyenangkan. Voucher pre-paid internet di tangan, cemilan ringan di meja, sejuta kata-kata yang siap ia tumpahkan ke atas papan ketik QWERTY, dan Murakamitri menunggu di belahan dunia lainnya. Tidak akan ada lagi hari Jumat se-exciting ini. Kokeshi terhanyut dalam ekstase yang telah melandanya sejak beberapa hari lalu saat Murakamitri sepakat untuk mengobrol dengannya pada hari ini. Tidak terhitung berapa kali ia berharap mendapati Murakamitri sedang online setiap kali pergi ke warnet. Tidak jarang ia sengaja ke warnet hampir tengah malam, dengan harapan kemungkinan Murakamitri online pada sore hari waktu Londres lebih besar, hanya untuk dipersilakan pergi 10 menit kemudian oleh empunya warnet karena akan segera tutup. Saat itu ia sangat gembira. Ia merasakan antusiasme yang begitu besar menggelitik sekujur tubuhnya. Hampir-hampir ia melompat kegirangan. Segala sesuatu terlihat begitu menjanjikan sampai saat di mana sebuah kesialan tak terduga terjadi. Mustahil dirinya untuk bisa keluar rumah pada Jumat malam. Online dari warnet jelas bukan pilihan. Maka Kokeshi mengantisipasi dengan membeli voucher pre-paid internet agar ia bisa online dari rumah. Ia tahu bahwa driver modem yang akan digunakannya hanya terdapat di laptop Zyrex butut yang telah dihibahkan ke adiknya. “Bisalah nanti ku pinjam”, pikir Kokeshi. Maka Kokeshi tenang-tenang saja menunggu pukul 22.00 WIB tiba sambil mendengarkan musik. Waktu menunjukkan pukul 21.45 WIB saat Kokeshi mengetuk pintu kamar adiknya. Tanpa membuka pintu si adik bertanya, “Kenapa?”

“Pinjem laptop sebentar, mau dipake online.”, sahut Kokeshi. Tak ada jawaban. Kokeshi mengira bahwa adiknya sedang menggulung-gulung kabel dan sebentar lagi akan membuka daun pintu kamarnya. Setelah sekian lama, belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Kokeshi mengetuk lagi dan mengulangi ucapannya sebelumnya. Kali ini adiknya menjawab tegas sekaligus mengesalkan, “Ga boleh!” WTF?? Kokeshi naik pitam dan mulai menggedor kamar adiknya. Aksinya mulai menjurus represif karena bukan cuma sekali ini saja adiknya berulah seperti ini. “Gue perlu banget laptopnya. Ada urusan penting!” “Urusan penting apa? Besok pagi aja.” Ini sangat menyebalkan karena si adik tidak mau meminjamkan bukan karena ia sedang memakai laptopnya. Nyatanya ia sedang tidur. Ia hanya sedang TIDAK INGIN meminjamkannya. HP Kokeshi bergetar. Ada SMS masuk. Dari Murakamitri. Ia memberitahu kalau dirinya sudah online. Kokeshi membalas, 15 menit lagi ia menyusul. Kokeshi kembali melanjutkan tindakan represifnya sembari berteriak. Dalam lubuk hati ia memohon-mohon, “Tolong adikku sayang, jangan sekarang ya ngambeknya. Besok aja deh. Nanti abang belikan martabak manis kesukaan adik atau abang kenalkan dengan teman abang yang cantik-cantik.” Tapi karena saking kesalnya (dan panik karena sudah telat), kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah, “WOIIIII!!!! GUE PERLU LAPTOPNYA SEKARANG. ELO NGERTI DIKIT KENAPA SIH? JANGAN SAMPE GUE PECAHIN KACA KAMAR ELO!!”.

Kokeshi melihat jam, sudah setengah 11. Murakamitri pasti di ujung sana bertanya dalam hati, “Kemana sih ni orang? Ga bisa on time apa? Dasar Indonesia”. Aksi Kokeshi makin menjadi. Ia mengancam akan membongkar pintu kamar si adik. Kotak perkakas ayah sudah dibawanya ke depan pintu dan siap untuk digunakan. Adik tidak bergeming dan masih terus ngotot bahwa ia tidak mau meminjamkan laptopnya. “Buka donk pintunya!! Gue perlu laptopnya sebentar aja”, ujar Kokeshi sambil mencaricari obeng mana yang cocok untuk membongkar pintu kamar yang menghalanginya dari apa yang ia angan-angankan selama seminggu ini. Sial bagi Kokeshi, obeng di dalam perkakas tidak ada yang cukup besar untuk mencongkel pintu kamar jahanam itu. Ditambah ia terbayang wajah ayah yang akan murka bila ia mencongkel kamar itu hanya karena urusan meminjam laptop. “Semua bisa diomongin baik-baik”, begitu ayah sering berucap. Kokeshi menyesal karena terburu emosi (maklum panik, udah telat dari waktu seharusnya) dan malah membuat adik yang lagi super bete menjadi mega bete (bah, apa pula ini?). Kokeshi hampir putus asa. Amarahnya yang tadi sempat sampai ke ubun-ubun perlahan surut. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terbayang wajah Murakamitri yang menunggu dengan bosan sambil mempertanyakan integritas dirinya akan janji. Ia sedang mengetik SMS pembatalan kepada Murakamitri saat si adik keluar dari kamar dan memberikan laptopnya. “Jangan lama-lama.” Tiba-tiba kekesalan Kokeshi timbul lagi dan dari dalam hatinya ia ingin mengumpat, “Heh! Kenapa ga dari tadi? Elo pikir elo siapa? Seenaknya aja. Elo ga punya kuping apa dari tadi gue udah teriak-teriak di sini?”

Tapi entah kenapa yang keluar dari mulut Kokeshi hanya sepatah kata, “Thank You”. Sudah lewat jam 11 saat itu. Kokeshi langsung mengebut. Memasukkan kode voucher pre-paid internet, menyambung kabel, dan online di MSN. Ia langsung menyapa Murakamitri dan kalimat pertama yang dikeluarkan oleh Murakamitri, “15 menit ga pernah selama ini”. Kokeshi nyengir-nyengir goblok sendirian lalu meminta maaf atas keterlambatannya. Mimik “nyengir-nyengir goblok” acap kali mewarnai muka Kokeshi sepanjang pembicaraan. Tentu saja Murakamitri tidak bisa melihatnya. Tapi Kokeshi sendiri membayangkan bagaimana ekspresi wajah Murakamitri saat pembicaraan berlangsung. Gembira kah? Kesal kah? Atau cuek saja karena saat itu Murakamitri sedang multitasking? Entah. Topik pembicaraan beragam. Dari musik, film, buku, hingga blognya Kokeshi yang sering ia bangga-banggakan ke semua orang (padahal ga segitunya). Kokeshi pun mengenal sebuah nama yang akan menjadi sangat penting di kemudian hari: Narciso Rodriguez. Belum sampai 1 jam saat Murakamitri hendak mengakhiri pembicaraan. Ia harus pergi ke pesta ulang tahun temannya. Walaupun belum puas, Kokeshi sangat bersyukur atas pembicaraan yang singkat itu mengingat “perjuangan”nya mendapatkan laptop cukup melelahkan. Kokeshi ingat betul apa yang dikatakan Murakamitri di akhir obrolan. “I Don’t Wanna go”. Sampai sekarang Kokeshi masih senyam-senyum bila mengingat kalimat itu walaupun ia tidak tahu dengan pasti “why she didn’t wanna go?”

Mungkin saja Murakamitri sedang mual-mual karena keracunan makanan, menderita demam tinggi berkepanjangan, atau sedang ada badai salju melanda Londres. Apa pun artinya, Kokeshi tidur dengan nyenyak sekali malam itu.

Related Documents

Twisted Chronicle
May 2020 13
Twisted
May 2020 5
Chronicle
November 2019 27
Twisted Pair
November 2019 18