Twisted Chronicle Part II
Terasing sendiri di tengah keramaian ini. Sudah kubilang pada diriku sendiri, “tak usah kau datang ke sana hari ini”. Sekarang rasakan akibatnya. Apa yang harus ku katakan? Bagaimana aku memulai percakapan dengan posisi tidak nyaman seperti ini? Tadi, ia menyuruhku datang ke tempatnya. Aku menolak. Konfrontasi langsung, aku belum siap untuk itu. Aku bilang aku makan dulu sendiri. Sedapat mungkin mengulur waktu, memberikan kesempatan untuk berpikir ulang. Apakah yang sedang aku lakukan ini benar? Atau sebuah operasi bunuh diri yang akan menghilangkan namanya dari peta globalku. Ia muncul, jantungku melompat-lompat bagaikan bermain pogo. Ah, ia tersenyum. Entah tulus atau tidak. Orang-orang di sebelahnya, sial, aku tak begitu akrab dengan mereka. Tenang, tenang. Tarik napas. Mereka juga manusia, sepertimu. Hanya lebih normal. Kami berjalan menyusuri lorong itu. Suara gelindingan bola menghantam barisan pin menyambar telinga. Hey, kenapa ada si keriting brengsek ini di sini? Ada yang mengundang dia kah? Mungkin dia berpikir juga di saat yang sama, siapakah yang mengundang aku hadir di sana. Gelindingan bola terus memenuhi seluruh ruangan. Aku mencuri-curi kesempatan mengobrol dengannya. Apa yang harus kubicarakan? Harus ku katakan kalau aku tak pernah luput melihat profil friendsternya? Harus ku bilang kalau aku menulis serangkaian kata yang memujanya? Ia jelas akan menendangku keluar dari papan catur kalau aku melakukannya. Bicarakan kotanya. Bicarakan negaranya. Lebih baik, lebih aman, lebih cerdas (kelihatannya). Dia merespon! Dia merespon! Dengan baik! Ah, ini menyenangkan. Pilihan obrolan yang tepat akan menyelamatkan tubuhku yang gemetar di dalamnya paling tidak untuk beberapa saat. Eh, eh, apa-apaan ini, kenapa si curly fries ini selalu menyerobot pembicaraanku. Siapa sih yang mengundang dia ke sini? Ingin rasanya ku lempar bola kayu nomor 15 tepat ke tempurung kepalanya. Beralih dari lintasan bola gelinding, kami berpindah tempat. “Harry Potter”, tukas mereka. “Sudah menonton”, jawabku. Kenyataannya, aku tak pernah peduli kepada bocah bercodet petir di jidat. Ingin, ingin tetap tinggal. Tapi setengah diriku yang pengecut (tapi terkadang lebih bijaksana) memaksaku untuk segera enyah dari tempat itu. Aku pun berpisah darinya, sembari melambaikan tangan. Hatiku berteriak, “Aku akan kembali!!”