Tugas Makro Pie.docx

  • Uploaded by: Thomas Indo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Makro Pie.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,858
  • Pages: 10
PIE/GASAL 2018-2019/KP. A/Makro

PENGANTAR ILMU EKONOMI Tugas Makro ”Identifikasi penyebab melemahnya Rupiah terhadap US Dollar”

DISUSUN OLEH Nilai

No. NRP

Nama Mahasiswa

Presensi

Presentasi

89

160516004

Christian

93

160516013

Andi Akbar Hariyanto

160516006

Joe Fardy

160516003

Thomas Indo

160516011

M. Aji Nugroho

88

Makalah

Penanya :

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI & TEKNIK MANUFAKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SURABAYA 2018

BAB I Pendahuluan Nilai tukar atau kurs adalah suatu perbandingan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Biasanya yang menjadi patokan adalah mata uang Dolar Amerika Serikat atau US Dollar (USD). Pada awal tahun 2018, nilai tukar Rupiah terhadap USD adalah Rp 13.500. Jadi 1 USD sama dengan Rp13.500. Artinya dengan uang Rp. 13.500 bisa mendapatkan 1 USD. Lalu pada Agustus 2018 nilai tukar Rupiah terhadap USD adalah Rp14.400. Oleh karena itu, seringkali disebut nilai mata uang Rupiah menurun/melemah. Namun, sebenarnya istilah yang lebih tepat dalam bahasa ekonomi adalah “depresiasi”. Ketika satu mata uang mengalami depresiasi, pastinya mata uang lain yang menjadi perbandingan akan mengalami kenaikan atau istilah yang lebih tepat adalah “apresiasi”. Dalam hal ini, USD mengalami apreasiasi atau penguatan terhadap nilai mata uang Rupiah.

BAB II Identifikasi Dampak yang paling mudah diamati antara lain harga barang impor seperti gadget atau barang-barang digital seperti game sekarang jadinya lebih mahal disbanding dengan sebelumnya. Kenaikannya pun cukup signifikan. Sebenarnya dampak kenaikan nilai tukar USD tidak hanya tentang harga gadget, tapi ada banyak sekali. Dampaknya pun juga bukan hanya dampak negative, namun juga ada dampak positif. Depresiasi nilai mata uang Rupiah sebenarnya bukan disebabkan oleh nilai rupiah itu sendiri, melainkan nilai USD yang menguat. Kenaikan nilai Dolar AS inilah yang menjadi pemicu awal depresiasi nilai mata uang berbagai negara, termasuk Rupiah Indonesia. Hampir seluruh nilai mata uang berbagai negara terdepresiasi terhadap nilai USD. Beberapa data yang didapatkan sejak awal Maret sampe awal Juli 2018, mata uang Singapura (SGD) terdepresiasi 3.22%, Yen Jepang (JPY) terdepresiasi sebesar 4.17%, bahkan Euro (EUR) dan Pound sterling (GBP) juga terdepresiasi masing-masing 4.54% dan 4.76%. Jadi sebenarnya bukan hanya negara Indonesia yang mengalami penurunan nilai mata uang namun mata uang berbagai negara juga mengalami hal yang sama, termasuk negara-negara yang ekonominya sudah sangat maju sekalipun juga terkena dampak depresiasi pada mata uang mereka.

Nilai USD sendiri dapat menguat atau mengalami apresiasi ketika ada pihak pembeli yang sepakat untuk menukarkan nilai mata uang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam hal USD dengan Rupiah, terjadi pergeseran nilai mata uang dengan skenario seperti ini: Ketika bulan Januari 2018, pemilik USD sepakat menjual 1 USD seharga Rp13.300. Sebaliknya, pemilik Rupiah tidak keberatan membeli 1 USD seharga Rp 13.300. Lalu pada bulan Februari 2018, pembeli dan penjual sama-sama sepakat menukar 1 USD dengan Rp 13.700. Sampai pada bulan Mei 2018, pembeli dan penjual sepakat menukar 1 USD dengan Rp 14.000. Hal ini berlanjut hingga bulan Agustus 2018, nilai tukar 1 USD = Rp 14.400. Dalam teori ekonomi, hal ini sebenernya hanya mekanisme pasar dalam membentuk harga keseimbangan. Sesuai dengan hukum permintaan, yaitu ketika tingkat permintaan terhadap USD meningkat dan tingkat penawaran yang tetap, maka harga USD pun akan naik. Komoditas atau barang yang diperjualbelikan di sini adalah valuta asing, yaitu mata uang USD dimana harga dari valuta tersebut adalah kurs atau nilai tukar.

Kesepakatan seperti pada scenario di atas dapat terjadi karena ada suatu keuntungan lain yang didapatkan dengan menukar rupiah ke USD. Secara logis, hal ini tentu merugakan pemilik rupiah karena kekayaannya akan berkurang. Namun para investor, pengusaha, dan konglomerat di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia, tiba-tiba dalam periode waktu yang relatif singkat mau menukar segala bentuk kekayaan mereka agar beralih menjadi dalam bentuk USD. Fenomena ini bukan terjadi hanya di Indonesia saja tapi juga di seluruh belahan dunia, Hal ini disebabkan karena dalam beberapa tahun terakhir, negara Amerika Serikat (AS) mengalami defisit perdagangan yang semakin lama semakin besar. Jadi nilai impor AS dari berbagai negara partner dagangnya di seluruh dunia jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspornya. Hal ini membuat keuangan AS kewalahan, karena harus menutup selisih kerugian dagang. Strategi yang ditempuh AS untuk menutup selisih tersebut adalah dengan menarik investor sehingga ada investasi masuk dan melakukan hutang. Di sisi lain, AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia saat ini, melakukan perdagangan dengan hampir seluruh negara di dunia, dan saat ini partner dagangnya yang terbesar adalah Tiongkok, negara dengan perekonomian nomor 2 terbesar di dunia. Nah, perdagangan antara AS dan Tiongkok ini juga mengalami defisit yang cukup besar bagi sisi AS seperti ditunjukkan pada gambar 1.1. Pada gambar ini, dapat dilihat perkembangan neraca perdagangan AS dengan Tiongkok sejak 2010

Gambar 1.1 Perkembangan neraca perdagangan AS dengan Tiongkok Melihat kerugian dagang yang semakin parah dari tahun ke tahun, akhirnya AS merencanakan beberapa program kebijakan untuk mengatasi deficit tersebut. Program kebijakan itu baru mulai dijalankan pada tahun 2018, salah satunya ketika bulan Maret 2018 diumumkan

bahwa AS akan mengenakan tarif atau pajak impor untuk produk besi baja dan aluminium yang masuk ke pasar AS sebesar 25%. Sebenarnya kebijakan tersebut ditujukan untuk semua negara yang mengekspor besi baja dan aluminium ke AS, namun karena Tiongkok merupakan partner dagang terbesar AS, maka produsen besi baja dan aluminium dari Tiongkok yang sangat merasakan dampak dari pengenaan tarif ini. Dengan mengenakan tarif tambahan ini, diharapkan kerugian dagang AS akan menjadi semakin kecil daripada sebelumnya. Sebagai respon dari kebijakan tarif AS tersebut, Presiden Tiongkok, Xi Jinping juga tidak mau kalah, mereka mengumumkan bahwa Tiongkok akan mengenakan 25% tarif untuk 128 produk-produk AS yang memasuki pasar Tiongkok, termasuk berbagai produk pangan. Hal inilah yang memulai perang dagang. Pihak Tiongkok tahu bahwa salah satu kekuatan ekspor AS didominasi oleh sektor agrikultur, sehingga tentu saja pengenaan tarif tambahan ini akan mengikis pendapatan bagi para petani dan pengusaha peternakan di AS. Suasana perang dagang ini semakin panas ketika AS juga mengemukakan kecurigaannya bahwa Tiongkok melakukan praktek perdagangan yang tidak adil (unfair trade practices) terkait pencurian kekayaan intelektual (intellectual property) dan inovasi teknologi. Untuk hal ini, AS melaporkan kepada World Trade Organization (WTO), sebagai badan internasional yang salah satu tugasnya adalah memastikan bahwa perdagangan internasional dapat berjalan dengan lancar tanpa ada kecurangan.

Kondisi perang dagang semakin menjadi di tahun 2018 hingga bulan April, AS mengeluarkan sebuah daftar berbagai produk yang diimpor dari Tiongkok yang rencananya akan dikenakan tarif. Hal ini dibalas oleh Tiongkok dengan mengumumkan pengenaan tarif ke berbagai produk AS lainnya. Perang tarif ini berlangsung terus-menerus hingga bulan Juli 2018. Berikut timeline pengenaan dan juga proposal (pengajuan) rencana pengenaan tarif dari kedua negara seperti ditunjukkan pada gambar 1.2

Gambar 1.2 Rencana pengenaan tariff oleh AS dan Tiongkok Berbagai hal yang terjadi pada Perang Dagang antara AS dan Tiongkok tidak hanya membawa dampak ke dua negara tersebut, tetapi juga ke negara-negara lain di seluruh dunia, mengingat kedua negara tersebut merupakan negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Sebagai akibatnya, kondisi bisnis dan dunia investasi pun mengalami gangguan. Para pemilik modal menjadi ragu dalam memutuskan untuk menanamkan modalnya di sektor mana dan para pelaku bisnis juga jadi bingung dalam menentukan kebijakan perusahaannya. Setelah perang dagang semakin panas dan membuat kepanikan khususnya bagi para investor, pengusaha, dan konglomerat di seluruh dunia, pihak AS pun merasa perlu memberi kepastian kepada para investor dan pelaku bisnis. Oleh karena itu, pada pertemuan bank sentral AS bulan Juni 2018, Federal Reserve atau biasa disebut The Fed (bank sentral, di Amerika) memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunganya hingga mencapai 2%.

Gambar 1.3 Tingkat suku bunga Ketika suku bunga USD dinaikkan oleh The Fed mengakibatkan banyaknya investor, pengusaha, konglomerat mengalihkan kekayaan mereka dalam bentuk USD. Hal itu disebabkan karena mereka akan mendapatkan persentase bunga yang besar apabila menabung dalam bentuk USD. Selain itu, para pengusaha juga sadar jika kekayaan aset mereka tetap berada dalam bentuk mata uang lain (katakanlah Rupiah), maka secara teknis kekayaan mereka akan menurun, mereka akan semakin sulit membeli barang yang berbasis USD. Sehingga mereka juga akan semakin berat membayar utang yang basisnya USD. Menurut Hukum Permintaan, “ketika kuantitas barang yang diminta naik, maka harga barang tersebut pun akan naik juga”. Hal itulah yang terjadi pada mata uang USD. Ketika banyak orang yang membeli instrumen investasi berbasis USD, maka permintaan terhadap mata uang tersebut pun mengalami kenaikan. Sebagai akibatnya, harganya pun menjadi naik. Oleh sebab itu nilai mata uang USD mengalami apresiasi terhadap mata uang berbagai negara di dunia, termasuk salah satunya adalah Rupiah. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kemerosotan nilai Rupiah disebabkan oleh naiknya suku bunga USD sebagai salah satu strategi perang dagang AS melawan Tiongkok yang memicu para pemilik modal untuk menjual menukarkan kekayaannya dalam bentuk Rupiah menjadi berbentuk Dolar Amerika.

BAB III Dampak yang ditimbulkan Dampak Buruk bagi Indonesia dari depresiasi Rupiah terhadap USD 1. Investor asing berkurang karena mengalihkan kekayaannya ke dalam bentuk USD. berkurangnya investor asing ini membuat index harga saham Indonesia (IHSG) mengalami penurunan sejak awal tahun 2018. Dengan menurunnya IHSG, maka perusahaan-perusahaan Indonesia mengalami kekurangan modal untuk mengembangkan bisnis mereka. 2. membesarnya utang negara dari prediksi sebelumnya Utang Indonesia sebagian besar berbentuk Dolar Amerika. Dengan kenaikan nilai USD, jumlah utang negara kita jadi lebih besar daripada prediksi sebelumnya. Kemampuan negara Indonesia untuk membayar utang negara juga perlu disesuaikan. Pada akhir tahun, Pemerintah cenderung menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Pada saat penyusunan itu, Pemerintah akan mengasumsikan nilai tukar Rupiah terhadap USD akan sebesar apa. Misalnya untuk APBN tahun 2018, Pemerintah mengasumsikan nilai tukarnya adalah 1 USD = Rp 13.400. Akibatnya, perkiraan keuangan negara banyak yang meleset. Misalnya dengan asumsi nilai tukar seperti itu, nilai utang negara yang dalam bentuk USD akan membengkak karena yang terjadi saat ini adalah 1 USD sebesar Rp 14.400. 3. Menurunnya daya konsumsi masyarakat bagi barang impor Kemampuan masyarakat Indonesia yang memegang Rupiah menjadi semakin sulit untuk bisa membeli barang-barang dari luar negeri yang dipatok dengan USD. Ada beberapa

pihak

di

Indonesia

yang

justru

merasa

diuntungkan

dengan

terdepresiasinya nilai Rupiah. Berikut beberapa di antaranya 1.

Para Eksportir

Para eksportir atau pelaku usaha yang target pasarnya adalah pasar luar negeri. Mereka diuntungkan dengan tingginya harga Dolar AS karena hal tersebut membuat produk-produk mereka menjadi relatif lebih murah dibandingkan produk lainnya yang sejenis. Misalnya biaya produksi tas Rp120.000. Dengan nilai tukar 1 USD = Rp12.000, berarti dalam mata uang USD

menjadinya 10 USD. Tetapi jika nilai tukarnya 1 USD = Rp14.400, biaya produksinya menjadi 8.28 USD. Sehingga barang tersebut akan menjadi lebih murah di pasar internasional. Karena lebih murah, tentunya barang tersebut akan lebih laku. 2.

Sektor Pariwisata

Selain para eksportir, sektor pariwisata juga diuntungkan. Bila sebelumnya turis dari Amerika membawa uang USD 1.000 mendapatkan Rp12.000.000, sekarang mereka bisa mendapatkan Rp14.400.000 dengan naiknya nilai dolar. Hal ini tentu akan menarik minat turis asing yang berkunjung ke Indonesia. Hal itu juga mengakibatan semakin besar pula daya beli mereka. Semakin konsumtifnya para tursi membawa dampak baik bagi para sektor pariwisata. 3.

Tenaga Kerja Indonesia yang dibayar dengan USD

Tenaga kerja Indonesia yang berpendapatan dalam mata uang USD, seperti Tenaga Kerja Asing dan juga pekerja freelancer yang memiliki client dari luar negeri juga mendapat keuntungan dengan naiknya nilai dolar. Hal itu dikarenakan ketika nilai tukar USD meningkat, mereka dapat menukar dengan nominal Rupiah yang lebih besar. Misalnya jika diawal tahun 2018 pendapatan mereka $500, jika ditukar sama dengan Rp6.700.000, kini dengan pendapatan $500 mereka dapat menukar dengan Rp7.250.000.

Daftar pustaka : https://www.zenius.net/blog/19265/mengapa-nilai-tukar-rupiah-dolar-amerika-naik https://www.moneysmart.id/dolar-naik-terus-sebab-akibat/ https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-4238196/dolar-as-tembus-rp-15000-ini-penyebabnya https://www.merdeka.com/uang/penjelasan-sederhana-mengapa-dolar-bisa-naiktinggi/pemerintah-meminta-devisa-hasil-ekspor-bawa-pulang.html

Related Documents

Tugas Makro Pie.docx
June 2020 3
Makro
May 2020 17
Makro
June 2020 14
7_gizi Makro
June 2020 10
Vinos Makro
May 2020 6
Asgment3 Makro
December 2019 5

More Documents from "nurjila"

Part4a.pdf
June 2020 7
Tugas Makro Pie.docx
June 2020 3
June 2020 3
Makalah Indooo.docx
June 2020 11
Bio.docx
June 2020 4