TUGAS KEWIRAUSAHAAN “ TOKOH – TOKOH SUKSES DI DUNIA & INDONESIA”
Dosen Pembimbing : Ns. Febriyanti, M.Kep
Nama : Indah Putri Ramadhani NIM : 17112067
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG 2019
10. Sam Walton
Sam Walton adalah pendiri dari supermarket raksasa Walmart yang lahir di sebuah keluarga kurang berada. Sejak usia dini, Sam sudah bekerja untuk membantu memberi makan keluarganya. Pekerjaan yang telah Ia lakoni termasuk memerah susu sapi lalu mengantarkan susu yang sudah dimasukan dalam botol ke para pelanggan, pengantar koran, dan mencari calon pelanggan majalah. Pekerjaan ini mengasah kemampuan Sam untuk bernegosiasi yang pada akhirnya merupakan salah satu faktor kesuksesannya di kemudian hari. Sam terus bekerja sampai dia beranjak remaja, bahkan saat di perguruan tinggi dia masih bekerja sebagai pramusaji. Akhirnya di tahun 1945, Sam membuka toko kelontong pertamanya dengan uang tabungan yang sudah Ia kumpulkan ditambah dengan pinjaman dari ayah mertuanya. Ternyata investasinya membuahkan hasil dikarenakan juga oleh bakat yang Sam punya. Pelajaran: Asah bakat dari dini dan kerja keras. Anda takkan pernah tahu apa yang Anda lakukan sekarang dapat berguna di kemudian hari.
9. Jan Koum
Jan Koum datang ke Amerika dari Ukraine saat dia baru berusia 16 tahun. Keluarganya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mereka terpaksa hidup dari food stamps atau kupon makanan (program pemerintah) yang mereka kumpulkan dari jalanan. Saat itu Jan bekerja sebagai tukang bersihbersih di toko swalayan. Umur 18 tahun, Jan mulai tertarik dengan bahasa pemrograman dan berhasil diterima bekerja di Ernst & Young sebagai penguji keamanan. Setelah itu dia dipekerjakan oleh Yahoo selama sembilan tahun. Di tahun 2009, Jan membeli sebuah iPhone dan menyadari bahwa aplikasi smartphone akan booming dan jadi hal besar di kemudian hari. Maka dia dan temannya mulai membuat aplikasi WhatsApp yang akhirnya dibeli Facebook seharga Rp.252 triliun. Pelajaran: Mempunyai keahlian itu vital. Dan harus selalu waspada akan hal-hal yang sedang atau akan berkembang.
8. Michael Dell
Dari nama belakangnya Anda pasti sudah dapat menebak bahwa Michael Dell adalah pelopor dari perusahaan komputer Dell. Awalnya, Michael bekerja sebagai pencuci piring di sebuah rumah makan Chinese. Beberapa tahun setelahnya, dia menyaring data untuk menemukan pelanggan baru untuk koran Houston Post. Dari pekerjaan ini lah Michael mendapatkan modal untuk membeli tiga sistem komputer. Pada masa itu, belum ada perusahaan yang menjual langsung sistem komputer kepada publik. Michael melihat kesempatan ini dan mulai membangun komputernya sendiri yang lalu Ia jual ke teman-temannya. sebenarnya ayah dan ibu Michael ingin anaknya belajar tentang obat-obatan, namun sejak kecil Michael memang sudah gemar dan tertarik akan bidang teknologi dan bisnis. Untung saja Michael mengikuti mimpinya karena terbukti perusahaan yang didirikan di kamar kosnya saat masih kuliah menjadi sangat sukses. Pelajaran: Follow your passion and seize the opportunity.
7. Kevin Plank
Kevin Plank adalah mantan pria bangkrut yang sering menumpang di rumah ibunya untuk makan. Kevin juga adalah objek lelucon teman-teman footballnya karena keringatnya selalu mengucur deras. Tak tahan dengan ejekan temannya, Kevin memutuskan untuk membuat baju olahraga yang dapat menyerap keringat. Dia meminjam modal dari bank untuk memulai usahanya. Dengan kerja keras dan tekadnya, Ia berhasil mempopulerkan pakaian olahraganya yang bernama Under Armor. Kevin Plank sekarang memiliki kekayaan bersih mendekati $500 juta dolar atau Rp. 6,6 triliun. Pelajaran: Kekuranganmu dapat menjadi kelebihanmu.
6. Jacob Arabo
Jacob lahir di Uzbekistan dan pindah ke Amerika bersama keluarganya saat dia berumur 14 tahun. Keluarganya benar-benar tidak mempunyai apa-apa ketika sampai di Amerika, bahkan Jacob terpaksa keluar dari sekolah untuk bekerja menafkahi keluarganya. Di umur 16, Jacob mulai mengenal industri perhiasan dimana dia mulai mendesign dan menjual perhiasan buatannya sendiri. Dua tahun setelahnya, dia sudah mempunyai lebih dari 10 orang karyawan. Karena ketekunan dan tekadnya, dia berhasil membuat nama untuk dirinya sendiri dan perusahaannya Jacob and Co. yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia, dengan daftar pelanggannya meliputi David Beckham sampai Jay-Z. Pelajaran: Tekun dan punya determinasi.
5. John Paul DeJoria
Di masa mudanya, John bekerja sebagai pengantar koran, petugas kebersihan dan sopir truk demi bisa makan. Di masa remajanya John juga terlibat dengan geng-geng jalanan Los Angeles. Bahkan John terpaksa harus tidur di mobilnya dan sempat dua kali menjadi tunawisma. Namun semua itu berubah ketika pada suatu hari saat dia sedang bekerja di perusahaan perawatan rambut, dia memutuskan untuk bermitra dengan salah satu penata rambut di perusahaan tersebut untuk membuat perusahaannya sendiri yang sekarang bernama Paul Mitchell. Mereka berdua meminjam uang sebesar Rp.30 juta (setelah inflasi) dan mulai menjual produk shampoonya sendiri dari rumah ke rumah. Sekarang Paul Mitchell mendapatkan pendapat sebesar Rp. 13 triliun per tahunnya. Pelajaran: Kadang perlu untuk bermitra dengan orang yang mempunyai visi yang sama. Percaya dengan produk Anda sendiri dan jangan takut untuk ditolak.
4. Steve Jobs
Sosok di balik semua gadgets kesayangan Anda sekarang, kesuksesan Steve tidak datang dalam semalam. Bahkan masa lalunya cukup menyedihkan. Steve lahir tanpa orang tua, lalu dia diadopsi oleh sebuah keluarga yang kurang mampu. Steve tidak pernah menamatkan kuliahnya, namun sebisa mungkin Ia meraih pengetahuan sebanyak-banyaknya dari kelas yang Ia ikuti. Steve juga sering tidur di lantai kamar temannya, mengumpulkan botol Coca-Cola untuk ditukar dengan uang, dan makan gratis seminggu sekali di kuil lokal. Pada tahun 1976, Steve memulai awal perusahaan Apple Computers dengan Steve Wolzniak di garasi orang tuanya. Meski tidak mempunyai uang, Steve punya visi dan ide inovatif untuk mengubah dunia. Steve adalah alasan utama perusahaan Apple begitu sukses saat ini. Pelajaran: Visi dan Inovasi itu penting.
3. Ashish Thakkar
Ashish Thakkar baru berusia 12 tahun ketika dia dan keluarganya berhasil melarikan diri dari genosida Rwanda yang terjadi di tahun 1994. Setelah berlindung bersama dengan 1200 orang lainnya di sebuah hotel, mereka akhirnya dapat terbang keluar dari negaranya menuju Uganda. Orang tua Ashish kehilangan semua harta yang mereka tabung selama puluhan tahun. Di umur 15 tahun, Ashish mendapatkan keuntungan pertamanya saat dia berhasil menjual sebuah komputer ke keluarga temannya. Dia lalu meminjam uang dari bank untuk mengimpor floppy disks dan produk komputer lainnya dari Dubai. Inilah awal dari perusahaan Mara Group. Lama kelamaan Ia membuka kantor sendiri di Dubai dan menjual produknya ke perusahaan-perusahaan di seluruh Afrika. Sejak saat itu Mara Group terus bertumbuh dan sekarang bisnisnya merangkup instrastruktur telekomunikasi, kemasan, hotel, pusat konferensi dan pusat perbelanjaan, pabrik kertas, dan ribuan hektar tanah pertanian. Ashish juga dikenal sebagai pemuda yang selalu ingin tahu dan belajar dari orang lain. Ia juga mendorong dirinya untuk berkembang dengan terus membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Sebagai contoh: Saat perusahaannya mampu menghasilkan 30 ton kardus sebulan, Ashish mengunjungi perusahaan lain yang mampu membuat 3000 ton kardus. Pelajaran: Jangan sombong, terus belajar dari yang lain dan banyak bertanya.
2. Francois Pinault
Pinault sekarang adalah konglomerat di bidang fashion, tetapi pada satu waktu, Ia harus berhenti sekolah karena tidak tahan dibully oleh teman-temannya yang mengejek kemiskinannya. Sebagai seorang pengusaha, Pinault dikenal untuk nya taktik ‘predator’nya, yang meliputi membeli perusahaan-perusahaan kecil dengan harga yang murah ketika pasarnya sedang jatuh. Dia secara perlahan akhirnya memiliki rumah mode high-end nya sendiri termasuk Gucci, Stella McCartney, Alexander McQueen, dan Yves Saint Laurent. Pelajaran: Dia yang tertawa belakangan biasanya lebih sukses.
1. Rajkumar Gupta
Rajkumar Gupta adalah pendiri dari Mukti Group. Dia juga adalah perintis dan pembuat konsep untuk arsitektur modern Kolkata, alhasil meluncurkan apartemen huni pertamanya pada tahun 1984. Sejak saat itu Mukti Group tumbuh menjadi pemain kunci di Bengal, mempunyai banyak pusat hiburan dengan multipleks, hotel internasional, lounge, restoran dan banyak lagi. Terlahir di keluarga miskin, Rajkumar berhasil mendapatkan pekerjaan full-time di perusahaan kecil dengan gaji Rp.150.000,-/bulan. Ia lalu pindah ke perusahaan lain dan bekerja disana selama 5-6 tahun, mulai dari dasar dan belajar trik dagang sampai akhirnya Rajkumar sanggup membuka bisnisnya sendiri. Setelah itu, Rajkumar menyewa sebuah rumah kecil satu kamar dimana Ia dan keluarganya bisa tidur meski harus bersesak-sesakan. Namun hal ini tidak menghentikan dia untuk berbuat baik demi orang lain. Ia rajin menyumbang dan terlibat dalam kegiatan sosial. Karena ini namanya menjadi dikenal banyak orang sehingga mereka tahu bahwa Rajkumar adalah orang yang jujur. Dan ketika mereka mendengar bahwa Rajkumar sedang pitching bisnis, mereka tidak ragu-ragu untuk menanamkan investasi padanya. Pelajaran: Manfaatkan waktu di pekerjaan Anda sekarang untuk belajar. Jangan takut untuk hidup susah pada awalnya, dan jangan segan untuk memberi apa yang Anda punya jika itu dapat membantu orang lain.
SALAH SATU TOKOH SUKSES DI INDONESIA
Pendidikan tidak selalu menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Begitu pula yang dialami oleh Sunny Kamengmau (41). Sunny seorang pebisnis tas asal Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Merek tas yang diproduksinya cukup dikenal yaitu Tas Robita. Namun, dibalik kesuksesannya Sunny ternyata hanya memiliki latar belakang pendidikan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Latar belakang saya datang dari Alor, NTT. Saat itu usia 18 tahun saya datang ke Bali berbekal tamatan SMP karena saya merasa tidak betah sekolah dan memutuskan untuk pergi merantau dan akhirnya saya sampai ke Bali,” ungkap Sunny kepada indotrading.com, Rabu (21/7/2016). Datang ke Bali berbekal ijazah tamatan SMP, Sunny akhirnya bekerja secara serabutan. Di usia yang masih muda itu, Sunny pernah bekerja sebagai operator cuci mobil dan buruh renovasi hotel. Hingga akhirnya ia menetap bekerja di Un’s Hotel yang terletak di Jalan Benesari, Legian, Kuta. “Akhir tahun 1994 kerja di sana Un’s Hotel sebagai tukang kebun. Setahun kemudian naik pangkat jadi security sampai tahun 2000,” kenang Sunny.
Di sela-sela kesibukannya sebagai security, Sunny menyempatkan diri belajar bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang secara otodidak. Cara itu dilakukan untuk mempermudah dirinya melayani para tamu hotel yang mayoritas adalah wisatawan asing. “Kebanyakan yang datang tamu dari Eropa termasuk orang Jepang tetapi jumlahnya sedikit,” katanya. Rubah Nasib dari Tas Robita Tidak disangka, bekerja di Un’s Hotel memberikan keuntungan tersendiri bagi Sunny karena dari sini perjalanan bisnisnya dimulai. Sejak bekerja di Un’s Hotel, Sunny berkenalan dengan seorang warga negara Jepang pemilik usaha Real Point Inc. bernama Nobuyuki Kakizaki. Kemahiran berbahasa Jepang yang dimiliki Sunny membuat pertemanan mereka semakin dekat hingga Nobuyuki mengajak Sunny bekerja sama. Nobuyuki sering mengajak Sunny untuk membeli barang-barang kerajinan tangan dan aksesoris di toko untuk dijual kembali ke Jepang. Para pelanggannya di Jepang memang sering tidak kebagian barang hingga harus menerapkan sistem Pre Order (PO). Pria kelahiran Maxzmur, Alor (NTT) 12 September 1975 ini kemudian diajari bagaimana cara memilih barang berkualitas hingga cara mengirimnya ke Jepang. Itu semua dilakukan Sunny saat pagi atau siang hari karena malamnya ia tetap bekerja sebagai security di hotel. Hingga akhirnya, di awal tahun 2000 mereka berdua mulai memproduksi tas kulit. Namun tas kulit ini belum diberi merek. “Pada tahun 2000 awal kami ada ide buat tas kulit. Cari ke tempat pengepul di daerah dekat bandara di Kampung Jawa,” ujar Sunny. Dari kampung Jawa, akhirnya Sunny dan Nobuyuki mendapati satu orang perajin yang mampu membuat tas kulit. Sejak saat itu produksi tas mulai dilakukan meski masih coba-coba. “Kami coba untuk buat sampel tas kulit. Akhirnya beberapa bulan ada respon yang pesan. Pertama kali yang pesan dari Jepang. Mungkin hanya belasan yang dijual dan sebulan omzetnya masih tidak tentu,” tambahnya. Dari penjualan tas kulit itu, Sunny mendapatkan upah tambahan dari Nobuyuki. Sampai pada tahun 2003, Sunny dan partnernya membentuk CV Realisu dengan brand Tas Robita. Nama Robita dipilih karena partner bisnisnya yaitu Nobuyuki Kakizaki suka dengan karakter tokoh Nobita di film kartun Doraemon. Singkat cerita bisnisnya semakin berkembang dan mengalami peningkatan cukup besar. Tercatat di tahun 2007, produksi tas mencapai 5.000 pcs setiap bulannya. Puncaknya terjadi di tahun 2009 dimana Sunny dan Nobuyuki telah memiliki karyawan hingga mencapai 300 orang. “Akhirnya kami mulai bentuk Tas Robita tahun 2003. Saya bangun tempat produksi. Saat itu karyawan baru 20 orang. CV Realisu dari situ,” ungkap Sunny.
Asli Handmade Bikin Tas Robita Laku di Jepang Ketika ditanya soal modal awalnya berbisnis, Sunny Kamengmau mengaku bahwa ia sama sekali tidak mengeluarkan modal. “Jadi awal modal nggak ada sama sekali. Saya waktu itu motor saja sewa. Kemudian kredit motor setahun kemudian. Bahkan partner saya itu tahun 2004, itu empat kali pengiriman tidak dibayar dan saya memiliki utang numpuk. Dia (Nobuyuki Kakizaki) kemudian mengeluarkan kredit di Jepang untuk menyelesaikan pembayaran itu,” kata Sunny. Meski sempat mengalami berbagai kendala, produk Tas Robita sangat diminati pasar Jepang. Menurut Sunny salah satu penyebab utama adalah karena orang Jepang sangat suka pada produkproduk asli buatan tangan (handmade). “Tas ini natural dalam bentuk anyaman. Di samping itu, warnanya juga dibilang antik ya bagi orang Jepang. Prosesnya juga handmade semua. Di Jepang handmade dihargai sangat mahal,” tambahnya. emasaran di Jepang ditangani langsung oleh Nobuyuki. Strategi yang digunakan ialah dengan cara merekrut sales-sales handal yang ahli menjual produk. Kemudian Sunny juga rutin melakukan analisis market dan membangun konsep tas jenis apa yang paling disukai di pasar Jepang. Jadi setelah kembali ke tanah air, Sunny segera membuat produk tas yang sesuai dengan kebutuhan pasar di Jepang. “Setiap saat saya pergi ke Jepang untuk meeting dan mencari tahu market maunya apa. Saya sudah tahu apa yang dicari pasar Jepang. Mulai dari produksi, kualitas, hingga bahan baku harus bagus karena standar kualitas yang ketat di Jepang,” ujar Sunny. Di dalam produksi Tas Robita, Sunny menerapkan kebijakan yang cukup ketat. Produk tas yang dibuatnya harus sedemikian sempurna mulai dari jahitan, jenis kulit yang digunakan hingga tempelan manik-manik asesoris tas. Hal ini dilakukan Sunny agar masyarakat Jepang puas dengan kualitas yang ditawarkan Tas Robita. Sementara itu, harga jual Tas Robita di Jepang rata-rata dibanderol Rp 4-5 juta untuk ukuran besar dan Rp 2-3 juta untuk ukuran kecil. Sejak tahun 2006 hingga 2012 rata-rata penjualan Tas Robita di Jepang bisa mencapai Rp 25-30 miliar setiap tahun. Bangkit dari Masa-Masa Sulit Setiap bisnis pasti pernah mengalami masa naik turun. Meski sudah mengekspor produk ke Jepang sejak tahun 2000, sejak dua tahun terakhir ini produksi Tas Robita mengalami penurunan. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu kendalanya. Selain itu, partner-nya Nobuyuki Kakizaki meninggal dunia karena penyakit kanker paru-paru. “Partner saya dua tahun lalu (2014) meninggal. Dia adalah motivator saya. ini sudah meninggal 2014. Omzet juga turun karena beliau fokus di pengobatan. Produksi juga turun dari 3.500 pcs
per bulan. Sekarang sejak dia (Nobuyuki Kakizaki) meninggal kemarin kita produksi 1.500 pcs per bulan,” tutur Sunny dengan nada sedih. Meski begitu, anak kedua dari lima bersaudara ini tidak lantas putus asa. Sepeninggal Nobuyuki Kakizaki, Sunny mulai bekerjasama dengan istri Nobuyuki yang mengambil alih perusahaan di Jepang. Selain itu, Sunny juga mulai membuat produk yang lebih inovatif dan melakukan kontrol produksi yang sangat ketat terhadap produknya. Dari mulai pemilihan material sampai produksi dicek sama saya langsung karena saya mengetahui standar kualitas kontrol produk di Jepang. Saya mengajari staf cara-cara mengecek dengan teliti. Jadi sebelum barang dikirim, barang sudah di-checking. Dari mulai pemilihan sampai proses produksi saya kontrol semua,” tutur Sunny. Tidak hanya itu, Tas Robita justru mendapatkan pesaing berat yaitu produk asal China di pasar Jepang. Tetapi justru dengan tawaran harga yang lebih mahal, Tas Robita mampu mengalahkan tas buatan China yang harganya lebih murah. “Pasar kita berbeda karena ini handmade. Beda sekali dengan produk China yang berbasis pabrik,” sahutnya. Tidak hanya bekerjasama dengan istri Nobuyuki Kakizaki, Sunny juga lebih memperluas pasar dengan bekerjasama dengan berbagai stakeholder agar bisa mendistribusikan ke ritel dan outlet di Jepang. Akhirnya ia mendapatkan rekan bisnis dari Jepang yang bisa memasukan produk tas buatannya di Toko Inoya, Jepang. “Dengan Inoya saya langsung produksi 800 pcs,” sebutnya.