TUGAS KEPERAWATAN BENCANA I
COLABORATIVE LEARNING : EFEK KESEHATAN DARI BENCANA DAN DAMPAK PSIKOSOSIAL BENCANA
Kelompok 5 : Siti Afriyani
1032161005
Sanabillah Yasmin
1032161010
Renny Sauma Wardhani
1032161023
Putri Wahyuni Miftah
1032161036
Nurkholis Wadud
1032161045
Tingkat III / Semester V
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
2018-2019
JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak awal tahun hingga 4 Desember 2017, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat telah terjadi 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Adapun, jumlah tersebut terdiri dari banjir (737 kejadian), puting beliung (651 kejadian), tanah longsor (577 kejadian), kebakaran hutan dan lahan (96 kejadian), banjir dan tanah longsor (67 kejadian), kekeringan (19 kejadian), gempa bumi (18 kejadian), gelombang pasang/abrasi (8 kejadian), serta letusan gunung api (2 kejadian). Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kejadian bencana di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut dia, sebanyak 95 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. "Yaitu bencana yang dipengaruhi cuaca. (Seperti) longsor, kekeringan, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, dan cuaca ekstrem," kata Sutopo dalam paparan di kantor BNPB, Jakarta, Selasa (5/12/2017). (Baca juga: Dampak Siklon Tropis Cempaka, 41 Orang Meninggal dan Hilang) Dari kejadian tersebut, jumlah korban meninggal mencapai 335 orang, korban luka-luka sebanyak 969 orang, dan korban mengungsi dan menderita sebanyak 3,22 juta orang. Sementara itu, kerusakan yang dihasilkan yakni 31.746 rumah rusak, 347.813 unit terendam, ribuan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan peribadatan rusak.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sepanjang 2017, BNPB Mencatat 2.175 Kejadian Bencana di Indonesia" https://nasional.kompas.com/read/2017/12/05/17200331/sepanjang-2017-bnpb-mencatat2175-kejadian-bencana-di-indonesia. Penulis : Estu Suryowati
1.
EFEK KESEHATAN DARI BENCANA Bencana gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi,
dalam
jangka pendek dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2006). Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular. Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda, antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006). A. PASCA BENCANA ALAM a. Dampak Letusan Gunung Berapi adalah tercemarnya udara dengan abu mineral, dan bebatuan, khlorida, natrium, kalsium, magnesium, sulfur partikel debu. Benda-benda ini berpotensial meracuni makhluk hidup warga usia lanjut dan orang dengan penyakit paru kronis seperti asma. dan mata, atau penyakit infeksi dan pernapasan seperti pneumonia dan penyakit paru akibat debu yang mengandung silika. Gas yang keluar dari gunung berapi adalah gas yang larut dalam air, karbondioksida dan
sulfur
dioksida.
Sulfur dioksida dapat menyebabkan gangguan pernapasan, baik pada orang sehat maupun penderita penyakit paru. Secara umum berbagai gas dari letusan gunung berapi dalam dosis dosis tinggi dapat menyebabkan sesak napas, sakit kepala, pusing serta pembengkakan atau penyempitan saluran napas.
b.
Masalah
Kesehatan
Pasca Tsunami
adalah
kerusakan
multisectoral antara lain kerusakan fasilitas kesehatan, sehinga anggota masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan seperti pengobatan yang adequat. Kondisi kesehatan lingkungan pascatsunami memprihatinkan dengan sanitasi yang buruk. Minimnya fasilitas air bersih, binatang perantara bibit penyakit merajalela (tikus, lalat, nyamuk dan zoonosis lainnya) yang potensial menimbulkan epidemi penyakit (malaria, demam berdarah, filariasis, cikungunya, leptospirosis, kolera, diare, dan penyakit infeksi lainnya). Tak kalah pentingnya adalah beban trauma‟ psikis yang berkepanjangan bagi yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda lainnya. Selanjutnya kurang tersedianya sandang dan pangan yang memadai mengakibatkan anggota masyarakat mengalami kekurangan intake zat makanan atau gizi yang optimal. c. Masalah Kesehatan Pasca Banjir adalah diare. Penyakit ini berkaitan erat dengan konsumsi air bersih untuk minum dan memasak. Saat musim penghujan, khususnya saat banjir, banyak sumber air bersih termasuk sumur dan air ledeng ikut tergenang dan tercemar, sehingga kondisi ini berdampak pada sulitnya mengakses air yang layak untuk dikonsumsi. Diare dapat menular dengan cepat dari satu individu ke individu lainnya karena selain akses air bersih yang sulit juga kontaminasi kuman agent diare bisa menjalar ke tempat-tempat yang menjadi sumber mata air minum bersama. Penyakit lainnya yang terkait dengan kontaminasi air adalah kelainan yang timbul seperti iritasi kulit, kutu air, dermatitis dan penyakit kulit lainnya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan pada genangan air, khususnya pada anak-anak yang memanfaatkan genangan air untuk bermain.
Demam
berdarah (DBD), malaria, filariasis, dan chikungunya juga meningkat prevalensinya pascabanjir. B. PENGARUH BENCANA PADA KESEHATAN Pengaruh bencana yang terjadi tiba-tiba tidak hanya menyebabkan banyak kematian, tetapi juga gangguan sosial besar- besaran dan kejadian luar biasa (KLB) penyakit edemi, serta kelangkaan bahan pangan sehingga orang yang selamat sepenuhnya bergantung pada bantuan luar.
Jika disadari, faktor-faktor umum itu dapat digunakan untuk mengoptimalkan pengelolaan bantuan kemanusiaan bidang kesehatan dan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Poin-poin berikut harus diperhatikan : 1. Terdapat hubungan antara tipe bencana
dan
pengaruhnya
terhadap kesehatan. Pernyataan itukhususnya benar berkaitandengan dampak langsungnya dalam menyebabkan cedera. Contoh, gempa bumi dapat menyebabkan banyak kasus cedera yang memerlukan perawatan medis, sedangkan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang relatif sedikit. 2. Sebagian pengaruh bencana merupakan ancaman yang potensial, bukan
ancamanyang
perpindahan penduduk
dapat dan
menyebabkan peningkatan
dihindari, perubahan
risiko
terhadap lingkungan
penularan
kesehatan. yang
penyakit,
Contoh,
lain
dapat
walau
kasus
epidemik umumnya bukan merupakan akibat bencana alam. 3. Tidak semua risiko kesehatan yang potensial dan actual pascabencana akan terjadi diwaktu yang bersamaan. Risiko itu cenderung muncul di waktu yang berbeda dan cenderung berbeda tingkat kepentingannya diwilayah yang terkena bencana. Dengan demikian, jatuhnya korban biasanya terjadi diwaktu dan tempat terjadinya dampak dan korban itu membutuhkan perawatan medis segera, sedangkan waktu yang lebih panjang untuk berkembang dan risiko tersebut memuncak di tempat yang berpenduduk padat dan standar sanitasinya memburuk. 4. Kebutuhan makanan,tempat tinggal sementara, dan layanan kesehatan dasar saat bencana biasanya tidak menyeluruh. Bahkan orang yang selamat sering kali dapat menyelamatkan beberapa keperluan dasar untuk hidup. Lagipula, orang pada umumnya segera pulih dari keterkejutan mereka dan secara spontan terlibat dalam pencarian dan penyelamatan korban, pemindahan orang yang cedera, dan kegiatan pemulihan swadaya lainnya. 5. Perang sipil dan konflik menimbulkan kumpulan masalah kesehatan masyarakat tersendiri dan kendala-kendala operasional
C. JENIS PENYAKIT SESUAI DENGANJENIS BENCANA Jenis Bencana
Jenis Penyakit Diare/amebiasis, gastritis ISPA, ASMA Konjutivis, Leptospirosis Dermatitis: kontak jamur, bakteri,
Banjir
skabies Fraktur Tulang, Luka memar ISPA, Diare Luka Bakar, Konjungtivis Luka Memar, Luka Sayatan Gastritis, Malaria, ASMA Penyakit Mata, Penyakit Kulit
Longsor Gunung Meletus Gempa/Tsunami
2.
DAMPAK PSIKOSOSIAL BENCANA A. DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA INDIVIDU Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih. Oleh karena itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi, tergantung banyak faktor, namun bisa mencapai 90% atau bahkan lebih. Penyintas akan menunjukkan
setidaknya
beberapa
gejala
beberapa jam paska bencana. Pada bencana
psikologis yang negatif setelah social, misalnya konflik, dua belas
minggu paska bencana 20-50% atau bahkan lebih masih dapat menunjukkan tanda-tanda
signifikan
dari
gangguan tersebut. Jika tidak diatasi dan
diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius.
a. Stress Akut Pasca Trauma Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. 1. Emosi Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa. 2. Pikiran Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga (pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi, menghindari
pikiran
tentang
bencana
dan
menghindari
tempat,
gambar, suara mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu 3. Tubuh Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid, hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot 4. Perilaku Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang berlebihan atau penarikan social, sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri b. Post Trauma Stress Disorder (PTSD) Jika setelah lebih dari dua bulan gejala gejala di atas (SAPT) masih ada maka dapat diduga mengalami PTSD, jika memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari kejadian bencana. 1. Reecperience atau mengalami kembali Penyintas seakan mengalami kembali peristiwa traumatic yang mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk setiap tidur, merasa mendengar, melihat kembali kejadian yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya dari bencana. Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka bermain perang-perangan berulang-ulang. 2. Avoidance atau menghindar hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya menghindari pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau orang
yang mengingatkan penyintas dari trauma, ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan pikiran yang kosong 3. Hyperarusal atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat dingin, panik dan nafas terengah-engah saat c.
teringat kejadian, kesulitan konsentrasi dan mudah terkejut. Generalized Anxiety Disorder meliputi: Kecemasan yang berlebihan
dan khawatir tentang berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu. d. Dukacita Eksrim Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan e. Post Trauma Depresi, Depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling umum dalam penelitan terhadap penyintas
trauma.
Gangguan ini sering terjadi dalam kombinasi dengan Post Traumatic Stress Disorder. Gejala umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia (ataupun kebalikannya hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan berkurang (atau berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan konsentrasi, apatis dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak menunjukkan minat atau kesenangan dalam aktivitas hidup), penarikan sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa, ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak dapat dibatalkan, dan lekas marah. B. DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA KOMUNITAS Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi
tapi
juga
pada
komunitas. Paska bencana dapat saja tercipta masyarakat yang mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat. Bencana fisik bisa menghancurkan lembaga masyarakat, seperti sekolah dan komunitas agama, atau dapat mengganggu fungsi mereka karena efek langsung dari bencana pada orang yang bertanggung jawab atas lembaga-
lembaga, seperti guru atau imam. Saat guru, tokoh adat atau tokoh agama menjadi penyintas dari bencana dan tidak dapat mejalankan fungsinya, maka sarana dukungan sosial dalam komunitas menjadi terganggung. Beberapa penelitian menunjukkan meningkatnya kekerasan, agresi, penggunaan narkoba dan alcohol pada saat sistem masyarakat tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu beberapa lembaga keagamaan merespon cepat, dengan mengirim ustad-ustad, pendeta atau tokoh agama lainnya ke daerah bencana. Para tokoh agama memberikan kontribusi penting untuk menghidupkan kembali aktivitas dan ritual agama. C. DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA ANAK DAN REMAJA Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana. Rasa aman utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua dan guru) serta keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat terpengaruh oleh reaksi orang tua mereka dan orang dewasa lainya . Jika orangtua dan guru mereka bereaksi dengan panik, anak akan semakin ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan kehilangan ketaraturan hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur untuk kegiatan belajar, dan bermain, membuat anak kehilangan kendali atas hidupnya. a. Kerentanan Psikologis pada anak pra sekolah ( 1-4 Tahun) Gangguan psikis adalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al. 2002).
b. Kerentanan Psikologis pada anak usia sekolah ( 5-12 Tahun) Adanya reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999). c. Kerentanan Psikologis anak usia remaja (13- 18 Tahun) Kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi. D. DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA WANITA Kondisi psikososial didaerah bencana khususnya bagi kaum perempuan mengakibatkan berbagai goncangan psikologis seperti hilangnya rasa percaya diri, muncul kekhawatir bahkan memunculkan gejala phobia yaitu perasaan takut yang berlebihan. Individu dan komunitas mengalami trauma dan tekanan hidup bertubi-tubi dan berkelanjutan. Hal tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya: a. Gambaran umum tentang dirinya b. Dukungan sosial yang diterimanya c. Kapasitas berpikir dan penyesuaian diri d. Tingkat keparahan e. Pengalaman traumatic Kaum perempuan di daerah bencana karena hidup dengan kondisi yang lebih lebih buruk dari sebelumnya maka memunculkan perasaan gelisah, sedih, tak berdaya dan bingung. Harapan hidupnya seolah-olah hilang. Depresi akan mucul akibat ketidakmampuan melakukan perubahan. Individu dan komunitas mengalami situsi belajar dari pengalaman dan situasi hidup bahwa mereka tidak mampu mengatasinya. Trauma yang muncul ini bersifat kolektif dan memberikan dampak psikososial.
E. DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA LANSIA Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan mental. Kemampuan adaptasi yang dimiliki juga sudah sangat jauh berkurang, sehingga sangat rentan terhadap perubahan. Selain itu kaum lanjut usia ini juga telah kehilangan peran, sehingga merasa dirinya tidak berarti dan tidak dibutuhkan lagi oleh keluarganya. Mereka juga rentan terhadap kemungkinan diabaikan oleh keluarga. F. PERAN
PERAWAT
DAN
AKTIVITAS
SOSIAL
DALAM
MENANGGULANGI DAMPAK PSIKOSOSIAL 1. Aktivitas Sosial Berdasarkan Tahap Bencana Tahap Tanggap Daruta : Pasca dampak – Langsung a. Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya defusing dan debriefing untuk mencegah secondary trauma b. Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya berbagai macam teknik relaksasi dan terapi praktis c. Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat. d. Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak e. Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis Tahap Pemulihan: Bulan pertama a. Lanjutkan tahap tanggap darurat b. Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan efek trauma c. Melatih konselor bencana tambahan d. Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada penyintas e. Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua a. Lanjutkan tugas tanggap bencana. b. Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang reseliensi atau ketangguhan. c. Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka yang masih membutuhkan pertolongan psikologis. d. Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang membutuhkan. e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya berbasis lembaga.
Fase Rekonstruksi a. Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja kemanusiaan dan penyintas bencana. b. Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana lagi. c. Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi konselor jika mereka membutuhkannya. d. Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri. 2.
Aktivitas Psikososial Pada Kelompok Usia A. Anak – Anak Dukungan psikososial dapat diberikan dalam berbagai bentuk kegiatan dan program, namun perlu diingat bahwa segala bentuk interaksi dengan anak berpotensi untuk memulihkan anak secara psikologis. Hal ini penting untuk difahami oleh semua pekerja kemanusiaan yang terlibat dalam respons bencana, baik yang bekerja langsung dengan anak maupun tidak. Dukungan ini tidak hanya berarti bekerja dengan anak, tetapi juga dengan orang tua, warga sekitar dan organisasi lain untuk membantu anak memperoleh akses dan pelayanan dasar yang perlu mereka dapatkan. (Unicef Indonesia – Perlindungan Anak dalam Keadaan Darurat). Dukungan psikososial diberikan dalam beberapa bentuk, seperti Mengajak anak-anak melakukan kegiatan-kegiatan atraktif, bermain, bernyanyi dan perlombaan-perlombaan sederhana untuk memotivasi semangat dan menyalurkan emosi anak. Pemulihan aktifitas pendidikan melalui pembelajaran transisi di tenda atau sekolah darurat. Dapat didukung dengan kegiatan menggambar, menulis cerpen tentang pengalaman seharihari atau pengalaman saat peristiwa bencana terjadi atau impian masa depan. Menggali potensi, bakat dan minat anak dibidang seni, olah raga dan permainan-mainan tradisional lokal. Juga konseling personal untuk kelompok anak yang mengalami stress akut (teridentifikasi mengalami trauma) B. Remaja a. Mengajaknya Sholat dan Zikir untuk relaksasi b. Melakukan aktifitas social c. Melakukan aktifitas olahraga
d.
Melakukan aktifitas kesenian seperti menari, menyanyi, main
musik, drama, melukis, dan lain-lain e. Menulis dan Menonton film C. Dewasa a. Ajak untuk perbanyak melakukan kegiatan agama b. Temani mereka c. Ajak bicara tentang apa saja sehingga ia tidak merasa sendiri d. Menjadi pendengar yang baik terutama saat ia menceritakan perasaannya tentang bencana yang menimpa e. Dorong korban untuk banyak beristirahat dan makan yang cukup f. g. h. i. j. k.
Ajak korban melakukan aktifitas yang positif Ajak korban untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari Ajak bercanda dengan menggunakan humor ringan Ajak berbincang-bincang tentang kondisi saat ini diluar Membantu menemukan sanak saudara yang masih terpisah Memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga
menimbulkan harapan D. Lansia a. Berikan keyakinan yang positif b. Dampingi pemulihan fisiknya dengan melakukan kunjungan berkala c. Berikan
perhatian
yang
khusus
untuk
mendapatkan
kenyamanan pada lokasi penampungan d. Bantu untuk membangun kembali kontak dengan keluarga maupun lingkungan sosial lainnya e. Dampingi untuk menapatkan
pengobatan
dan
bantuan
keuangan
DAFTAR PUSTAKA Adeney, Farsijana. (2007). Perempuan dan Bencana. Yogyakara : Selendang Ungu Press Departemen
Kesehatan
RI,
2007;
Pedoman
Tekhnis
Penanggulangan
Krisis
Kesehatan Akibat bencana (mengacu pada standar interasional) Panduan bagi Petugas kesehatan yang bekerja dalam penanganan krisis kesehatan akibat bencana di indonesia.
Pan American Health Organization, 2006. Bencana Alam Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Natural Disaster: Protecting The Public's Health) alih bahasa Munaya Fauziah SKM, MKM, Jakarta: EGC. Sukanddarumidi. 2010. Bencana Alam & Bencana Anthropogene. Yogyakarta : Penerbit Kanisus Djauhari Noor. 2014. Bencana Geologi. Yogyakarta: Deepublish