BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama
: Tn. S
Usia
: 74 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tanggal Lahir
: 31 Desember 1944
Alamat
: Jl. Inpres kp tengah Nosa Jakarta
Pekerjaan
: Pegawai swasta
Status Pernikahan
: Menikah
Tinggi badan
: 170 cm
Berat badan
: 43 kg
Tanggal MRS
: 4 Maret 2019
Nomor Rekam medik
: 863669
1.2 Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 06 Maret 2019 pukul 10.00 WIB di Kamar Operasi 5.
a. Keluhan Utama
: Luka yang lama sembuh pada ibu jari kaki kanan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang dengan keluhan terdapat luka pada ibu jari kaki kanan sejak 10 hari SMRS. Awalnya luka tersebut berupa seperti bisul berisi nanah dengan diameter ± 3 cm. Kemudian bisul tersebut pecah menjadi luka terbuka dan membuat daerah disekitar luka menjadi merah dan bengkak. Pasien mengaku, pada awalnya luka tersebut tidak terasa nyeri. Ketika bisul berisi nanah tersebut pecah, anaknya secara mandiri merawat luka tersebut dengan rebusan air daun sirih, cairan antiseptik rivanol dan betadine. Namun lebih dari 5 hari perawatan luka di rumah, luka menjadi semakin melebar dan berbau tidak sedap. Luka yang bengkak tersebut membuat pasien tidak bisa beraktivitas seperti sebelumnya. Pasien mengaku dulu pernah
1
dirawat di Rumah Sakit Polri karena sakit Diabetes satu tahun yang lalu. Riwayat penyakit Diabetes diakui pasien sudah diderita sejak ± 6 tahun lalu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
:
-
Riwayat hipertensi
: konsumsi namun tidak rutin
-
Riwayat diabetes melitus
: konsumsi namun tidak rutin
-
Riwayat Penyakit kardiovaskular
: disangkal
-
Riwayat Penyakit Pernapasan
: Tidak memiliki riwayat asma, TBC
-
Riwayat operasi sebelumnya
: 1 tahun yang lalu
-
Riwayat Obat yang diminum
: Amlodipin dan metformin
-
Riwayat Anestesi
: 1 tahun yang lalu anastesi regional
d. Riwayat Penyakit Keluarga -
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien
-
Riwayat diabetes mellitus
: ibu kandung dari pasien
-
Riwayat asma
: disangkal
-
Riwayat jantung
: disangkal
-
Riwyata hipertensi
: ayah kandung dari pasien
e. Riwayat Alergi 1. Riwayat alergi makanan
: disangkal
2. Riwayat alergi minuman
: disangkal
3. Riwayat alergi obat
: disangkal
1.3 Pemeriksaan Fisik 1) Tanda Vital a. Kesadaran
: Compos Mentis E4V5M6
b. Tekanan Darah
: 153/79 mmHg
c. Nadi
: 84 x/menit
d. Respirasi
: 20 x/menit
e. Saturasi
: 98% 2
: 36,8 oC
f. Suhu 2) Status Generalis a. Kepala
Mata
:
Conjungtiva Anemis (-/-) ; Sklera Ikterik (-/-) Sekret (-/-) Pupil isokor 3 mm/3 mm
Mulut
:
Oral Candidiasis (-) ; Faring tidak hiperemis; Tonsil (T1 - T1) ; Gigi Geligi: Caries dentis (-)
b. Leher
:
Pembesaran KGB (-/-)
c. Toraks Paru
Inspeksi
:
Pergerakkan dinding dada simetris.
Palpasi
:
Vocal fremitus kanan dan kiri seimbang
Perkusi
:
Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
:
Suara nafas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-) ,Wheezing (-/-)
Inspeksi
:
Iktus Cordis tidak terlihat; Thrill (-)
Palpasi
:
Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline Clavicula sinistra
Perkusi
:
Pekak (Batas jantung dalam batas normal)
Auskultasi
:
BJ I&II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)
Inspeksi
:
Datar, Supel, Jejas (-)
Palpasi
:
Nyeri tekan regio abdomen (-)
Jantung
Abdomen
Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi
:
Tympani
Auskultasi
:
Bising usus (+) Normal 3x/menit
Ekstremitas
:
Akral hangat, capillary refill time <2 detik
Edema : (-) Luka ulkus diabetik pada digiti I pedis dextra
Genitalia
:
Tidak ada kelainan. Dalam batas normal.
3
1.4 Pemeriksaan Penunjang Hasil Uji Hematologi Rutin (5 Maret 2019) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Leukosit (WBC)
8,0
ribu/ul
3,8 – 10,6
Eritrosit (RBC)
4,9
Juta/ul
4,4 – 5,9
Hemoglobin (HGB)
13,8
g/dL
13,2 – 17,3
Hematokrit
40
%
40 – 52
Trombosit
391
ribu/uL
150 – 400
MCV
82,1
fL
80 – 100
MCH
28,0
Pg
26 – 34
MCHC
34,2
g/dL
32 – 36
14,2 *
%
<14
Kontrol
14,50
detik
Pasien
12,3
detik
Kontrol
23,4
detik
Pasien
28,4
detik
20 – 40
141 *
mg/dL
< 110
1,00
mg/dL
< 12
HEMATOLOGI Hematologi Rutin 2
RDW FAAL HEMOSTASIS Protombin Time (PT)
12 – 17
Masa Tromboplastin (APTT)
KIMIA KLINIK METABOLISME KARBOHIDRAT Glukosa Darah Sewaktu GINJAL Kreatinin
1.5 Kesan Anastesi Laki-laki 74 tahun menderita ulkus diabetes melitus digiti I pedis dextra dengan ASA II 4
1.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan yaitu : 4. Intravena fluid drip (IVFD) RF 20 tpm 5. Pro debridement 6. Informed Consent Operasi 7. Konsul ke Bagian Anastesi 8. Informed Consent Pembiusan Dilakukan operasi dengan general anastesi dengan pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA) dengan status ASA II 1.7 Kesimpulan Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka : 9. Diagnosis pre operatif
: Ulkus DM pedis digiti I dextra
10. Status Operatif
: ASA II, Mallampati I
11. Jenis Pembedahan
: Debridement
12. Jenis Anastesi
: General anastesi dengan pemasangan Laryngeal Mask
Airway (LMA). 1.8 Laporan Anastesi 13. Diagnosis Pra Bedah
: Ulkus DM pedis digiti I dextra
14. Diagnosis Pasca Bedah
: Gangreng phalang distal digiti I dextra
15. Penatalaksanaan Pre Operatif : Infus Ringerfundin 500 cc 16. Penatalaksanaan Anastesi
:
a. Jenis Pembedahan
: Debridement
b. Jenis Anastesi
: General anastesi dengan pemasangan Laryngeal Mask
Airway (LMA) c. Teknik Anastesi
: Pasien tidur terlentang kemudian diberikan pre oksigenasi
5 menit, Cuffed O2 3 liter per menit, kemudian i.v obat anestesi, observasi TTV per 5 menit d. Mulai Anastesi
: 6 Maret 2019, pukul 10.45 WIB
e. Mulai Operasi
: 6 Maret 2019, pukul 10.50 WIB
f. Premedikasi
: - Midazolam 2,5 mg iv - Fentanyl 50 mcg iv 5
g. Medikasi
: Propofol 80 mg i.v
h. Analgetic
: Ketorolac 30 mg i.v
i. Antibiotik
: Metronidazole 1 gram i.v
j. Obat emergency
: Ephedrine 10 mg i.v
k. Posisi
: Terlentang
l. Cairan Durante Operasi : RF 500 cc m. Selesai operasi
: 11.15 WIB
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Diabetes Mellitus 3.1.1 Definisi Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. 3.1.2 Klasifikasi Etiologi Diabetes Mellitus
Tipe 1
Tipe 2
Tipe lain
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut - Autoimun - Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes mellitus gestasional
7
3.1.3 Klasifikasi kaki diabetik
Gambar 1. Klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner2 Derajat ulkus kaki diabetik Wagner sesuai dengan klasifikasi Wagner (Oyibo dkk., 2001) yaitu : Grade 0: Tidak lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan benuk kaki seperti claw, callus (kulit telapak kaki menebal) Grade I: Ulkus terbatas pada kulit Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses. Grade III: Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi osteomielitis, abses atau selulitis. Grade IV: Gangren jari kaki atau kaki bagian distal. Grade V: Gangren seluruh kaki. 3.3 Debridement Debridement adalah suatu tindakan membuang material yang tidak hidup, benda asing, dan jaringan tidak sehat yang sulit sembuh dari luka. Target utama penanganan ulkus kaki diabetik adalah untuk mencapai penutupan luka secepat mungkin, dan menurunkan angka amputasi.
8
Jaringan mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka.
8,9,10
Metode debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia, mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan kimia hanya membuang jaringan nekrosis (debridement selektif), sedangkan metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan jaringan hidup (debridement non selektif).
9,10
Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes dan metode yang paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus dimana infeksi telah merusak fungsi kaki atau membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan untuk memungkinkan kontrol infeksi dan penutupan luka selanjutnya. Debridement enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase, fibrinolisin-Dnase, papain- urea, streptokinase, streptodornase dan tripsin. Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan balutan tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan keuntungan tambahan dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh karena itu, penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas. Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan sampai mengering, debris nekrotik menempel pada kasa dan secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka ketika kasa dilepaskan. 3. 4 Anastesi Umum 3.4.1 Definisi Anestesia umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen dalam anesthesia umum adalah hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit) dan relaksasi otot. Adapun indikasi dari dilakukannya anastesia umum ialah bayi atau anak usia muda, dewasa yang memilih anestesi umum, pembedahan yang luas/ekstensif, pembedahan lama, pembedahan dimana anestesi 9
lokal tidak praktis atau tidak memuaskan, penderita sakit mental, pasien dengan riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi lokal.3 3.5 Penilaian dan Persiapan Pra-Anastesia3 a. Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan napas dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan intubasi. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut mallampati dibagi menjadi 4 gradasi
Pemeriksaan rutin lain ialah pemeriksaan derajat Mallampati serta inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
10
c. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa pendarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thorax. D. Klasifikasi Status Fisik Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesi, karena dampak samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Status fisik pasien digolongkan menjadi 6, yaitu - ASA 1
: Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan biokimia
- ASA 2
: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik ringan atau sedang
- ASA 3
: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, aktivitas lebih terbatas
- ASA 4
: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat
- ASA 5
: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
- ASA 6
: Pasien dengan mati batang otak yang organnya akan digunakan untuk tujuan donor
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan ”E” e. Masukan Oral Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi umum harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu selama induksi anestesi.
11
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6 – 8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah tebatas diperbolehkan 1 jam sebelum induksi anestesi. 2 f. Premedikasi Premedikasi adalah pemberiaan obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi, diantaranya : 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan 2. Memperlancar induksi anestesi 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus 4. Meminimalkan jumlah obat anestetik 5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah 6. Menciptakan amnesia 7. Mengurangi isi cairan lambung 8. Mengurangi refleks yang membahayakan Anestesia umum, menurut cara pemberian obatnya dapat dibagi menjadi : - Intravena - Inhalasi - Perektal - Kombinasi Teknik anestesi umum dapat dibagi menjadi 2 yaitu napas spontan dan napas terkendali. Teknik-teknik tersebut dapat menggunakan alat berupa pipa trakeal (intubasi), sungkup muka, LMA (laryngeral mask airway), COPA (cuffed oro pharyngeal airway) dan LSA (laryngeal seal airway). 3.5.6 Teknik Anastesia Umum dengan Laryngeal Mask Airway (LMA) Laryngeal mask airway (LMA) telah banyak digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau pipa trakea selama pemberian anastesi untuk mempermudah ventilasi dan jalan dari pipa trakea pada pasien dengan kesulitan jalan napas dan untuk membantu ventilasi selama
12
bronkoskopi fiberopti dan juga pemasangan dari bronkoskop. LMA telah mengungguli Combitube sebagai alat untuk menangani kesulitan jalan napas.1 A. Indikasi7 Indikasi penggunaan LMA diantaranya adalah: - Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi pipa trakeal untuk airway management. LMA bukan suatu penggantian pipa trakeal, ketika pemakaian pipa trakeal menjadi suatu indikasi. - Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan. - Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadar. b. Kontraindikasi7 -
Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus intestinal)
-
Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
-
Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar
-
Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
-
Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
-
Ventilasi paru tunggal.
3.6 Tingkat Kesuksesan Pemasangan LMA Keberhasilan Insersi Laryngeal Mask Airway (LMA) Bergantung pada Beberapa Detail 1. Pilihlah ukuran yang sesuai dan pemeriksaan terhadap kebocoran sebelum melakukan insersi. 2. Ujung yang masuk terlebih dahulu dari balon yang telah dikempiskan harus bebas dari kerutan dan menjauhi pembukaan. 3. Lumasi hanya bagian belakang balon.
13
4. Pastikan anastesi yang cukup (blok saraf regional atau umum) sebelum melakukan insersi. Propofol dan opioid menghasilkan kondisi yang lebih superior dibandingkan dengan pemberian thiopental. 5. Posisikan kepala pasien pada sniffing position. 6. Gunakan jari telunjuk untuk memandu balon sepanjang langit-langit mulut dan menuruni hipofaring sampai terasa adanya tahanan yang meningkat. Garis hitam melintang harus selalu menunjuk langsung ke arah kepala (menghadap ke arah bibir atas pasien). 7. Gembungkan balon dengan jumlah udara yang sesuai. 8. Pastikan kedalaman anastesi yang cukup selama mengatur posisi pasien. 9. Obstruksi setelah insersi biasanya akibat dari lipatan bawah epiglotis atau laringospasme sementara. 10. Hindari suction faring, pengempisan balon, atau melepaskan LMA hingga pasien bangun (pada saat pasien dapat membuka mulut saat diperintahkan). 3.7 Variasi Ukuran LMA1 LMA yang dapat digunakan kembali, terbuat dari karet silikon (terbebas dari lateks) dan tersedia dalam berbagai ukuran. Variasi Laryngeal Mask Airway (LMA) dengan Volume Balon Berbeda Tersedia untuk Pasien dengan Berbagai Ukuran Ukuran Mask
Ukuran Pasien
Berat Badan (kg)
Volume Balon (mL)
1
Bayi
< 6.5
2–4
2
Anak-anak
6.5 - 20
Sampai dengan 10
2.5
Anak-anak
20 – 30
Sampai dengan 15
3
Dewasa kecil
> 30
Sampai dengan 20
4
Dewasa normal
< 70
Sampai dengan 30
5
Dewasa besar
> 70
Sampai dengan 30
14
3.8 Teknik Induksi dan Insersi LMA7 Untuk melakukan insersi classic LMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama pergerakan insersi LMA. Jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna. Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak berespon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak berespon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi LMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, tetapi pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan napas yang relaks atau menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan. Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena dapat menekan refleks jalan napas dan mampu melakukan insersi LMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Insersi LMA ke supraglotis dan cuff akan menstimulasi dinding faring yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat diturunkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung. Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke orofaring. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat (seperti fentanyl atau alfentanyl). Jika diperlukan, LMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laringoskopi (sniffing position) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff LMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan insersi. Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa dokter lebih menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Teknik ini akan menurunkan risiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa faring. Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan menstabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang LMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. LMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi LMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi, LMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan 15
mengikuti posterior-superior dari jalan napas. Saat LMA berhenti selama insersi, ujungnya telah mencapai sfingter esofagus bagian atas dan harus sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan titik akhir teridentifikasi. Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernapasan. Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi LMA: 1. ”End point” yang jelas dirasakan selama insersi. 2. Posisi LMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi. 3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi. 4. Garis hitam di belakang LMA tetap digaris tengah. 5. Cuff LMA tidak tampak dimulut. Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran LMA. Penting untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah volume yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan napas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan risiko komplikasi pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan laryngeal recuren) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan napas.
16
Setelah LMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil terhadap posisi LMA dan dapat menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan napas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff LMA sampai tekanan parsial intracuff sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan mempalpasi secara intermiten pada pilot ballon. Setelah insersi, patensi jalan napas harus diuji dengan cara membagging secara lembut. Perlu diingat bahwa cuff LMA menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laring dan tekanan jalan napas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan napas. Dengan lembut, ventilasi akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara pada jalan napas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan napas yang parsial, jika kedua hal tadi terjadi maka LMA harus dipindahkan dan di insersi ulang. Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi. 3.9
Maintenance ( Pemeliharaan ) Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan napas pada orang dewasa sedang
dan juga pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O. Tekanan diatas 20 cmH2O harus dihindari karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas dari LMA tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada tekanan jalan napas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut, tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus dan lambung yang akan meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi. Untuk anak kecil dan bayi, napas spontan lewat LMA dengan waktu yang lama kemungkinan tidak dianjurkan karena LMA meningkatkan resistensi dan akses ke jalan napas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat pipa trakea. Akan tetapi, ventilasi kendali sering lebih mudah pada anak-anak yang mempunyai paru dengan compliance tinggi dan sekat jalan napas dengan LMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Selama fase maintenance anestesi, LMA biasanya memberikan jalan napas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan dipantau dengan alarm yang tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk memastikan kejadian ini terdeteksi. 7 17
3.10
Teknik Ekstubasi Pada akhir pembedahan, LMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan mampu
untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana refleks proteksi jalan napas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada faring secara umum tidak diperlukan dan malah dapat menstimulasi dan meningkatkan komplikasi jalan napas seperti laryngospasm. Saat pasien dapat membuka mulut, LMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat LMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi jika LMA ditarik saat sadar. Jika cLMA ditarik dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan napas dan hipoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasm. 7
3.11 Komplikasi LMA tidak memberikan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi lambung dan LMA pada pasien-pasien yang punya risiko meningkatnya regurgitasi, seperti pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese. Classic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan napas yang lebih kecil dibandingkan dengan pipa trakeal. Namun classic LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah (rata-rata 18 – 20 cmH2O), sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan napas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung. Lebih lanjut lagi, classic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan pipa trakeal selama situasi emergensi pembiusan. ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan classic LMA selama ventilasi kendali, sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50% dibandingkan classic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan napas. Sebagai tambahan, drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi. 7 LMA menyediakan ventilasi alternatif melalui sungkup muka atau pipa trakea. Kontraindikasi dari LMA adalah pasien-pasien dengan keadaan patologis pada faring (contohnya 18
abses), obstruksi faring, abdomen penuh (contohnya kehamilan, hernia hiatus), atau low pulmonary compliance (contohnya penyakit jalan napas restriktif) dengan puncak tekanan inspirasi lebih dari 30 cm H2O. LMA telah dihindari pada pasien dengan bronkospasme atau high airway resistance, tetapi bukti baru menyatakan bahwa karena LMA tidak diletakkan pada trakea, penggunaan LMA memiliki resiko bronkospasme yang lenih sedikit dibandingkan dengan pipa trakea. Meskipun LMA bukan pengganti untuk intubasi trakea, LMA terbukti membantu pada pasien dengan kesulitan jalan napas (pasien-pasien yang tidak dapat diberikan ventilasi atau diintubasi) dikarenakan kemudahan insersi dan tingkat keberhasilan relatif yang tinggi (95-99%). LMA telah banyak digunakan sebagai pipa untuk stylet intubasi, ventilating jet stylet, FOB fleksibel atau pipa trakea berdiameter kecil (6.0 mm). Beberapa LMA yang telah dimodifikasi untuk memudahkan pemasangan pipa trakea yang lebih besar dengan atau tanpa penggunaan FOB telah tersedia. Insersi dapat dilakukan dibawah anastesi topikal dan blok saraf laring superior bilateral apabila jalan napas harus diamankan sementara pasien dalam keadaan bangun.1 3.12
Keuntungan dan Kerugian dari LMA
Keuntungan dan Kerugian dari Laryngeal Mask Airway Dibandingkan Dengan Ventilasi Sungkup Muka atau Intubasi Trakea Keuntungan Hands-free operation Lebih mudah menutup pada pasien-pasien yang berjenggot Dibandingkan dengan sungkup muka
Lebih mudah dilakukan pada operasi di bidang THT
Kerugian Lebih invasif Lebih beresiko terhadap trauma jalan napas
Membutuhkan keahlian baru
Melindungi terhadap
Membutuhkan mobilitas
sekret jalan napas
TMJ
Tidak terlalu beresiko terhadap trauma saraf dan
Difusi N2O ke dalam balon
mata
19
Polusi kamar operasi yang
Kontraindikasi lebih
lebih sedikit
banyak
Tidak terlalu invasif
Meningkatkan resiko terhadap aspirasi gastrointestinal
Sangat berguna pada
Tidak terlalu aman untuk
pasien yang sulit untuk
posisi prone dan jackknife
diintubasi Tidak terlalu beresiko
Membatasi maksimum
terhadap trauma gigi dan
PPV
laring Dibandingkan dengan intubasi trakea
Tidak terlalu beresiko
Pengamanan jalan napas
terhadap laringospasme
yang kurang
dan bronkospasme Tidak membutuhkan
Lebih beresiko terhadap
relaksasi otot
kebocoran gas dan polusi
Tidak membutuhkan
Dapat menyebabkan
mobilitas leher
distensi lambung
Tidak terdapat resiko dari intubasi esofagus maupun endobronkus
3.13
Tipe-tipe LMA7,8
Macam-macam LMA diantaranya yaitu: 1. Classic LMA (cLMA) Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi tuba trakeal. LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukan dengan tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas 20
berlawanan dengan dasar lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan inflasi yang minimal dari lambung.
2. Fastrach LMA (Intubating LMA) LMA Fastrach terdiri dari suatu tube stainless steel yang melengkung (diameter internal 13 mm) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA classic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat epiglotis. Laryngeal mask ini dirancang khusus untuk dapat juga melakukan intubasi trakea. Sifat ILMA : airway tubenya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proksimal ILMA terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid yang menempel pada mask. ILMA didesain untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang netral. Ukuran ILMA : 3–5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm internal diameter. ILMA tidak boleh dilakukan pada pasienpasien dengan patologi esophagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah intubasi, direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi cardiopulmonal. 21
3. LMA Proseal (pLMA) LMA Proseal mempunyai 2 keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan napas yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, pada LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernapasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi lambung. PLMA mempunyai “mangkuk” yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan airway tube.7
4. Flexible LMA Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube terdapat
gulungan kawat
yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat
yang
memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan 22
pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA 2–5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube. Mask dapat berotasi 180o pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30% lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
3.14 Obat-obatan yang digunakan 1. Sedatif Miloz (midazolam) : obat penenang (tranquilizer). Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi, induksi, dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0.05 – 0.10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0.0250.05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit. 2. Analgesik 5 Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasidan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 ug/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar 23
dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.5 3. Induksi 1,5 Propofol (Recofol, diprivan) Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Propofol merupakan cairan emulsi minyakair yang berwarna putih yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml=10mg) dan mudah larut dalam lemak. Propofol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bias secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui infuse, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada pemberian pada orang dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat. 4. Muscle relaksan 1,5 Atracurium (notrixum) Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru, sifatnya tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna dan pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan, dosis 0,5 mg/kg BB, durasi 15-30 menit. Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor nikotinik kolonergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal : 0,5 – 0,6 mg/kg. Dosis rumatan : 0,1 mg/kg. Durasi : 20-45 menit 5. Maintanance anestesi -
Isoflurane 1
Isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang minimal. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isofluran cepat. Sifat fisis: titik didih 58,5, koefisien partisi darah/gas 1.4, MAC 1.15%
24
Farmakologi: Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesa teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dipilih karena :
Halotan pada dosis besar dapat menyebabkan depresi nafas, menurunnya tonus simpatis, terjadinya hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi baroreseptor. Halotan juga menghambat pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.
Enfluran dapat menyebabkan gangguan fungsi hepar pada EEG menunjukkan tanda- tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia. Efek depresi nafas lebih kuat dibanding halotan dan lebih iritatif.
Desfluran lebih mudah menguap dibandingkan anestetik volatil lain sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Desfluran merangsang jalan nafas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. -
N2O 1
N2O diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C (NH4 NO3 2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 100% selama 5-10 menit. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesic digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothoraks, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.
25
Obat Lainnya 1. Efedrin Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan jenis efedra. Efedrin lebih efektif pada pemberian oral, masa kerjanya panjang, dan efek sentralnya lebih kuat. Obat ini bekerja pada reseptor α, β1, β2. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis terhadap efek perifernya. Efek pada kardiovaskuler yaitu tekanan sistolik meningkat dan biasanya tekanan diastolik juga meningkat, sehingga tekanan nadi meningkat. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Aliran darah ginjal dan viseral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak, dan otot rangka meningkat. 2. Deksametason Deksametason adalah suatu glukokortikoid sintetis yang memiliki efek antiinflamasi, antialergi dan anti syok yang sangat kuat, di samping sebagai antirematik. Tidak menimbulkan efek retensi natrium dan dapat diterima oleh tubuh dengan baik. Mekanisme kerjanya, yaitu mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun. Indikasinya antara lain, untuk Rematik artritis, shock, asma bronkhial, dermatitis dan urtikaria, serta gejala alergik lainnya.sedangkan kontraindikasinya adalah penderita tukak lambung, osteoporosis, diabetes melitus, infeksi jamur sistemik, psikosis dan herpes simpleks pada mata. Dosis awal pada pemberian oral adalah 0,75-9 mg/hr PO, terbagi dalam 2-4 dosis.Penyesuaian dapat dilakukan tergantung respon pasien dan dosis awal pada pemberian parenteral adalah 0,5-9 mg/hr IV atau IM, terbagi dalam 2-4 dosis. Penyesuaian juga dapat dilakukan tergantung respon pasien. 3. Sulfas Atropin Merupakan antikolinergik yang bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki system konduksi atrioventrikuler. Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan
26
parasimpatis. Obat ini tidak mencegah timbulnya laringospasme yang berhubungan dengan anestesi umum. Setelah penggunaan obat ini ada perasaan kering di rongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Oleh karena itu, sebaiknya obat ini tidak diberikan pada anestesi local atau regional. Atropine tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. diberikan secara suntikan subkutis, intramuskular, atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak. 4. Tramadol (Tramal) Tramal adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Obat ini dapat diberikan secara oral, im, atau iv dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari. 5. Ceftriakson Obat ini merupakan sefalosporin generasi pertama yang aktif terhadap kuman gram-positif. Waktu paruhnya mencapai 8 jam. Untuk meningitis obat ini diberikan dua kali sehari sedangkan untuk infeksi lain umumnya cukup satu kali sehari. Jumlah seftriakson yang terikat pada protein plasma umunya sekitar 83-96%. Pada peningkatan dosis, persentase yang terikat protein menurun cepat. Dosis lazim obat ini adalah 1-2 g/hari IM atau IV dalam dosis tunggal atau dibagi dua dosis. Untuk anak diberikan dosis 50-75 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam dua dosis. Dosis obat tidak perlu disesuaikan pada gagal ginjal atau gangguan fungsi hati. Seftriakson tersedia dalam bentuk obat suntik 0,25; 0,5; dan 1 g. 6. Ethiferan (Metoklopramid HCL) Obat ini merupakan golongan kolinergik. Mekanisme kerja metoklorpramid di saluran cerna, yaitu potensiasi efek kolinergik, efek langsung pada otot polos, dan penghambatan dopaminergik sentral. Indikasi terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras pada waktu pemeriksaan radiologik lambung dan duodenum, untuk mencegah atau mengurangi muntah akibat radiasi dan paska bedah. Mempermudah intubasi saluran cerna, menghilangkan mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, dan perasaan penuh setelah makan.
27
Kontraindikasi obat ini adalah obstruksi, perdarahan, dan perforasi saluran cerna, epilepsi, feokromositoma, dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping yang dapat timbul yaitu mengantuk, diare, sembelit, dan gejala ekstrapiramidal. Metokloporamid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 m; sirup mengandung 5 mg/ 5 ml ; dan suntikan 10 mg/ 2 ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis dewasa adalah 5-10 mg 3 kali sehari. 7. Adona ( Karbazokrom Natrium Sulfonat) Obat ini merupakan obat hemostatik yang indikasinya untuk perdarahan yang disebabkan menurunnya resistensi kapiler, perdarahan di kulit, mukosa membran, dan membran internal, nefrotik hemoragia dan metroragia, perdarahan abnormal selama atau paska operasi akibat penurunan resistensi kapiler. Dosis dewasa yaitu 30-90 mg/oral dibagi 3 dosis ; ampul (2 ml) IM atau SC 1 kali per hari; 1 ampul (5 ml) – 2 ampul (10 ml) IV atau infuse 1 kali sehari. Dosis dapat ditambah atau dikurangi sesuai usia dan berat ringan gejala. 8. Kalnex (Asam Traneksamat) Obat ini membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan. Indikasinya antara lain untuk mengatasi hematuria yang berasal dari kandung kemih, prostat, dan uretra, serta mengurangi hematuria paska bedah secara bermakna. Efek samping dari obat ini adalah pruritus, eritema, ruam kulit, hipotensi, dyspepsia, mual, diare, inhibisi ejakulasi, eritema konjungtiva, dan hidung tersumbat. Efek samping yang paling berbahaya ialah thrombosis umum. Dosis dewasa dimulai dengan 5-6 g per oral atau infuse IV secara lambat, lalu 1 g tiap jam atau 6 g tiap 6 jam bila fungsi ginjal normal. 9. Vitamin K Vitamin ini berguna untuk mengatasi perdarahan akibat defisiensi vitamin K dengan cara meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah, yaitu protrombin, faktor VII, faktor IX, dan faktor X yang berlangsung di hati. 10. Vitamin C Vitamin ini bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu meupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan skorbut, serta
28
pengobatan penyakit lain yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi vitamin C. Dosis yang dianjurkan minimal 150 mg. 11. Ondansetron Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif. Penggunaan Ondansetron adalah mencegah dan mengobati mual dan muntah pasca bedah. Diberikan dengan cara IV secara lambat, 4 mg, tanpa diencerkan dalam 1-5 menit. Jika perlu dosis dapat diulang. Awitan aksi terjadi dalam waktu <30 menit, dengan lama aksi 12-24 jam. 12. Reverse Reverse terdiri dari prostigmin dan sulfas atropin. Prostigmin merupakan pelumpuh otot atau antikolinesterase yang bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Dosisnya yaitu 0,04-0,08 mg/kgBB. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, berkeringat, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB.
29
BAB III ANALISIS KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 74 tahun dating ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan terdapat luka yang lama sembuh pada ibu jari kaki kanan sejak 10 hari SMRS. Luka ini diawali dengan bisul berisi nanah kemudian bisul tersebut pecah dan menjadi luka terbuka. Luka biasa dibersihkan dengan rebusan air sirih, rivanol dan betadine, namun setelah 5 hari luka semakin melebar dan mengeluarkan bau tidak sedap. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus sejak 6 tahun yang lalu namun tidak disiplin konsumsi obat. Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 153/79 mmHg, nadi 84x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,8 0C. Pemeriksaan fisik didapatkan luka ulkus pada digiti 1 pedis dextra, hasil pemeriksaan lab didapatkan peningkatan kadar GDS pasien sebesar 141 mg/dl Dapat disimpulkan pada pasien ini termasuk dalam ASA 2 yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang yang tidak mengganggu aktivitas pasien. Pada pasien juga didapatkan kelainan berupa diabetes melitus yang disertai ulkus DM, jika tidak dilakukan debridement maka ulkus dapat berkembang menjadi gangrene yang menyebar sehingga menyebabkan kaki harus diamputasi. Pada pasien ini digunanakan teknik general anestesi dengan pemasangan LMA, pertama dilakukan oksigenasi dahulu pada pasien selama 5 menit untuk menjaga saturasi pada pasien selama melakukan manajemen air way atau pemasangan LMA, premedikasi diberika midazolam 2,5mg iv yang merupakan obat golongan benzodiazepine yang berguna untuk penenang yang memiliki sifat anti ansietas dengan awitan aksi 30 detik dan lama aksi 15-80 menit, pemberian fentanyl digunakan sebagai analgetik pada saat operasi berjalan, obat ini bekerja cepat dengan masa kerja yang pendek, obat ini bersifat menekan susunan saraf pusat sehingga dapat menurunkan kesadaran pasien. Induksi anastesi dilakukan menggunakan propofol, pemulihan kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susuna saraf pusat (mual, muntah, sakit kepala) adalah keuntungan menggunakan propofol, selain itu efek farmakologisnya yaitu menimbulkan depresi sintesa hormone steroid adrenal sehingga kadar glukosa darah akna relative stabil. Pada proses debridement ini juga diberikan metronidazole sebagai antibiotic mengingat luka yang dalam dan berbau pada pasien ini.
30
DAFTAR PUSTAKA 1. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suatika K, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. PB Perkeni. 2015 2. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran. 2012. 3. American Heart Association.2006.circulation.No 133.December.Pp 898 4. Departemen Anestesiologi dan Intensive Care. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. 5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2008. 6. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology.3rd ed. Appleton & Lange Stamford 2009; 110-125. 7. Edward, Morgan G. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006. 8. Miller RD. Anesthesia 5th ed Churchill Livingstone Philadelphia.2010; 1585-1610. 9. Syarif A, Sunaryo. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009. 10. Tahir MS, Khan NA, Masood M, Yousaf M, Waris S. A Comparison of Pressor Responses Following Laryngeal Mask Airway vs Laryngoscopy and Andotrakheal Tube Insertion. Anaesth Pain & Intensive Care; 2014; 12(1):11-5.
31