WALIMATUL URSY A. PENGERTIAN Walimah itu berasal dari kalimat al-walam yang bermakna sebuah pertemuan yang diselenggarakan untuk jamuan makan dalam rangka merayakan kegembiraan yang terjadi, baik berupa perkawinan atau lainnya. walimatul ‘ursy dapat diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. Walimah merupakan sunah yang sangat dianjjurkan menurut jumhur ulama (Ulama Malikiyah, Hanafiah dan sebagian besar Syafi’iyah). Dalam pendapat Imam Malik yang tertera didalam kitab al-umm karya Imam Syafi’I serta pendapat Zhahiriyah bahwasanya walimah tersebut hukumnya wajib, karena sabda Nabi kepada Abdurrahman bin Auf, بشاة ولو أولم ‘’Adakakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing’’ B. ADAB PENYELENGGARAAN WALIMATUL URSY Untuk menciptakan suasana penuh kegembiraan dapat diciptakan karena mengikuti aturan yang ada, seperti: 1) Bila ada kesempatan, hendaknya melakukan walimah dengan menyembelih seekor kambing atau lebih. Sebagaimana dalil yang menjelaskan, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, ‘’Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw mengadakan walimah terhadap istriistrinya sebagaimana wallimah terhadap Zainab. Beliau menyembelih seekor kambing.’’ 2) Apabila tidak mempunyai kemampuan, maka penyelenggaraan dianggap sah dengan menyajikan makanan apapun yang mudah baginya. Sesuai dengan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas. ‘’Rasulullah tinggal diantara Khaibar dan Madinah selama tiga malam untuk mempersiapkan perkawinannya dengan Shafiiyah. Saya kemudian mengundang kaum muslimin menghadiri walimah. Hidangan yang tersaji hanyalah roti yang tidak berdaging. Hidangan apa adanya itu dihidangkan dengan alas kulit kambing yang dibentangkan. Kemudian ditaburkan diatasnya berupa kurma, keju dan samin. Maka kaum muslimin pulang dalam keadaan kenyang.’’ 3) Dalam menghormati tamu hendaknya mengikuti ketentuan sunah. Yatiu memberi makan kepada orang-orang yang baik. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, Nabi Muhammad saw bersabda ‘’Janganlah menyertaimu melainkan orang mukmin. Dan janganlah makan hidanganmu melainkan orang yang bertakwa.’’ 4) Tidak diperkenankan mengundang orang-orang kaya dan yang mempunyai kedudukan saja. Sementara itu, orang-orang miskin terlupakan. Diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘’Sejahat-jahatnya hidangan makanan dalam walimah adalah jika yang diundang hanya orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin ditinggalkan. Barangsiapa tidak mendatangi undangan, maka dia bermaksiat kepada Allah dan RasulNya’’ 5) Diperkenankan mengadakan walimah tiga hari setelah upacara perkawinan berlangsung yaitu saat pertemuan antara kedua mempelai. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad kuat dari Anas, ‘’Nabi telah menikah dengan Shafiyah dan maharnya ialah membebaskannya dari perbudakan. Sedangkan walimahnya tiga hari setelah itu.’’
6) Diwajibkan bagi sang suami dan orang-orang yang mempersiapkan undangan perkawinan untuk menghindari walimah yang munkar dan melanggar syariat. Misalnya, percampuran antara pria dan wanita, nyanyian para biduan dengan musik yang menggairahkan serta suguhan khamr[3]. 7) Undangan harus mencakup seluruh anggota keluarga yang mengundang, atau tetangga, atau tetangga atau keluarga tetangga, atau penduduk dusun(tidak boleh pilih kasih/membedabedakan) 8) Yang mengundang acara walimah ialah orang muslim. Jadi undangan orang kafir itu tidak wajib dipenuhi, karena dengan memenuhi berarti sama dengan menunjukkan kasih sayang kepada orang kafir. Dan hal itu hukumnya haram, berdasarkan firman Allah swt didalam Surat Al Mumtahanah ayat pertama, yang artinya: ‘’Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang.’’ Didalam Suarat Al Mujadalah ayat 22 Allah swt juga berfirman yang artinya: ‘’Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya’’ 9) Orang yang mengundang bukan orang yang sebagian besar hartanya ialah harta haram. Jika itu yang terjadi maka makruh hukumnya memenuhi undangannya. Bahkan kalau ia tahu bahwa makanan yang disuguhkannya haram iapun haram memakannya. Dan jika tidak tahu maka tidak haram. Dan tidak wajib hukumnya memenuhi undangan jika tahu bahwa harta orang yang mengundang ialah harta syubhat. Oleh karena itu Al Zarkasyi mengatakan, ‘’Tidak wajib hukumnya memenuhi undangan yang diselenggarakan orang zaman sekarang.’’ Renungan yang sangat dalam untuk kita, bahwa pada zaman Al Zarkasyi saja sudah tidak boleh, apalagi zaman sekarang kita ini. tata krama dalam mendatangi sebuah acara walimah, antara lain sebagai berikut: 1) Diliputi suasana kegembiraan dan niat hendak menyemarakkan perayaan yang diadakan pihak pengundang. Thabrani dalam kitab hadisnya, ash shaghir, meriwayatkan dengan sanad yang baik bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mendatangi saudaranya sesama muslim dengan kemauan untuk menggembirakannya, maka Allah akan menggembirakannya dihari kiamat” 2) Alangkah lebih baik jika orang yang mendatangi walimahan itu mendoakan bagi kedua mempelai. Doa yang dipanjatkan sebagai berikut: خير في بينكما وجمع عليك وبارك لك هللا بارك ‘’Semoga Allah memberkahi kepadamu, mencurahkan barakah untukmu dan mempertemukan kalian berdua dalam keadaan baik’’ (HR.Tirmidzi) 3) Menjauhkan dari makanan dan minuman yang disuguhkan dengan bejana dari emas dan perak. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw bersabda
‘’janganlah kamu minum dan makan dari bejana emas dan perak dan janganlah pula makan diloyangnya’’ 4) Jika dalam walimah perkawinan terlihat suatu hal yang dilarang (perbuatan maksiat), maka sebisa mungkin untuk ditegur dan diberi peringatan. Diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu Mas’ud, pada suatu saat ada seorang laki-laki membuatkan makanan-makanan dan Nabi saw diundang untuk datang. Beliau bertanya pada laki-laki itu ‘’Apakah dirumah terdapat sebuah gambar?’’ ‘’Ya benar ada’’ jawab orang itu. Melihat hal itu beliau tidak mau masuk. Setelah gambar tersebut dicabut barulah beliau berkenan memasuki rumah tersebut. Dalam hadis lain yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Aisyah ra ia berkata: ‘’Saya membuat sejenis makanan, kemudian saya memanggil Rasulullah saw. Setelah beliau datang dan dilihatnya ada gambar, beliau segera berbalik kembali.’’ Keterangan lainnya didapat diperoleh dari riwayat Abu Hasan. Diterangkan oleh Abu Hasan dari Imam Auzai, ia berkata: ‘’Beliau tidak memasuki rumah yang terdapat gendang atau alat musik lainnya.’’ 5) Menghindari ucapan selamat yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyyah, misalnya ucapan semoga rukun dan mendapatkan keturunan. Diriwayatkan oleh Abu Syaibah dan Nasai dari Hasan Ibn Aqil ibn Abi Thalib, ia berkata: pada sauatu hari ada wanita dari suku Jasyam masuk kesuatu tempat dengan mengatakan ‘’semoga rukun dan mendapat keturunan.’’ Maka perawi hadis ini menyatakan kepadanya untuk tidak mengatakan ucapan tersebut, sebab Rasulullah saw telah melarangnya. Mereka bertanya, ‘’lalu apa yang harus aku lakukan hai Abu Zaid?’’ katakanlah ‘’Allah memberkati kamu dan berkat itu dicurahkan kepada kamu. Sesungguhnya kami diperintahkan untuk mengucapkan kata-kata seperti itu.’’ C. HUKUM MENGHADIRI WALIMATUL URSY Menurut ulama Hanafiah hukumnya sunah, sedangkan menurut jumhur ulama menyatakan bahwa menghadiri walimah hukumnya wajib ‘ain. Tidak ada alasan untuk tidak menghadiri walimah, seperti kedinginan, kepanasan atau sibuk. Hal itu karena adanya hadis Nabi saw yang berbunyi: القاسم أبا عصي فقد يجب فلم وليمة الي دعي من ‘’Barangsiapa diiundang untuk menghadiri acara walimah, lantas ia tidak menghadirinya maka ia telah bermaksiat kepada Rasulullah saw’’ Juga hadis فليأتيها عرس وليمة الي أحدكم دعي اذا ‘’Jika salah seseorang diantara kalian diundang menghadiri acara walimah pernikahan maka hendaklah mendatanginya’’ Menghadiri acara pernikahan hukumnya wajib, bahkan untuk orang yang berpuasa sekalipun , akan tetapi tidak harus memakan makanannya. Itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra فليطعم مفطرا كان وان فليصل صاءما كان فان فليجب أحدكم دعي اذا
‘’Jika salah seorang diantara kalian menghadiri acara walimah hendaknya menghadirinya. Jika ia berpuasa hendaknya dia berdoa dan jika ia tidak berpuasa hendaknya makan makannya’’
D. HIKMAH SYARIAT WALIMATUL URSY Adapun hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan walimatul ‘ursy ialah untuk mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberitahu terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.
IDDAH A. PENGERTIAN Iddah berasal dari kata Adad yang artinya menghitung maksudnya adalah perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut istilah yaitu lamanya perempuan (Istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya. Para ulma’ bersepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya. Karena Allah berfirman: قروء ثالثه بأنفسهن يتربصن والمطلقات........ ( البقرة: 228) Artinya: “ wanita yang di tholak hendaknya menahan diri menunggu (tiga kali kuru’)”…. (alBaqoroh [2]: 228). B. MACAM-MACAM DAN HUKUM IDDAH 1. Iddah Talak Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain: a) Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’). Firman Allah SWT: َ صنَُ َو ْال ُم ُُطلَّ َقات َُّ ن يَحِ لُ َوال قُ ُروءُ ثَالث َ ُةَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َُّ ن لَ ُه ُْ َ َللاُ َخلَقَُ َما يَ ْكت ُ ْمنَُ أ َُّ ن فِي َُّ ن أ َ ْر َحامِ ِه ُْ ِن إ َُّ ن ُك َُّ ِاَلل يُؤْ م َُِّ ِن اآلخِ ُِر َو ْاليَ ْو ُِم ب َُّ َوبُعُولَت ُ ُه ْ َّن يَت ََرب ْ َ َّ ُِن أ َ َحق َُّ ن ذَلِكَُ فِي ِب َُر ِ ِّده ُْ صال ًحا أ َ َرادُوا ِإ َُّ ل َولَ ُه ُُ ْن الَّذِي مِ ث َُّ علَ ْي ِه ُِوف ر ع م ال ب ُ ل ا ج ِلر ل و ُ ن ه ي ل ع ة ُ ج ر د ُ َللا و يز ُ ز ع ِيم ُ ك ح (البقرة : ْ ْ ِن إ َ َّ ُ ْ َ ِ ِ َ ِّ ِ َ ِ َ َ َ ُ َ ِ َ َ َ 228) Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Mengenai quru’ para ulama’ fiqih berpendapat berbeda-beda: 1. Fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu artinya suci yaitu masa diantara haid. 2. Fuqaha lain berpendapat bahwa quru’ itu haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi Laila. Alasanya adalah untuk mengetahui kolongnya rahim, tidak hamil bagi wanita yang di talak, sedangkan kekosongan rahim hanya di ketahui dengan haid. 3. Fuqaha Anshor berpendapat bahwa quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit dan Syaf i’. alasanya adalah menjadi pedoman bagi kosongnya rahim dimana masa suci pada haid bukan bukan berarti berpegang pada haid terakhir maka tiga yang di syaratkan harus lengkap masa suci diantara 2 haid.
Nabi SAW bersabda : يطلقها ش ُِّم تطهر حتى ثحيض تطهر ش ُِّم يحيض حتى فليراجعها مرة يمسِّها ان قبل شآء ان Artinya : “ suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehinggah ia haid, kemudian suci kemudian haid lagi kemudian menceraikanya juka mau sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk menceraikan istri. b) Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan فعرتهن ارتبتم ان نسائكم من المحيضى من يئسن والىء ِّ )الطالق( يحض لم واِّلئ اشهر ثلثة Artinya : “ Dan (pr) yang putus asa dari haid diantara (pr) jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka untuk tiga bulan, dan begitu pula (pr) yang tidak haid.” (Q.S. At Talak : 28 :4) c) Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya. Firman Allah SWT : طلقتموهن ث ُِّم المؤمنت امنوااذانكحتم ياايهاالذين ُِّ التمسوهن ان قبل من ُِّ عليهن لكم فما ُِّ للالحزاب( ونها تعتر عرة من:94) Artinya : ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan@ yang beriman, kemudian k-moe ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu minta menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49) Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya seperti iddahnya orang i’lah di setubuhi’’ Firman Alloh SWT : بانفسهن يتربصن ازوجا ويذرون منكم يتوفِّون والذين ُِّ وعشرا اثهر اربعة Artinya : “ orang-orang yang meniggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya ( )عدةuntuk 4 bulan 10 hari” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234) 2. Iddah Hamil Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan. Firman Alloh SWT : هن يضعن ان اجملهن لألجمال واولت ُِّ ) الطالق( يسرا امره من له يجعل هللا يتق ومن حمل Artinya :“ dan (pr yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandunganya . dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh menjadikan baginya kemudian dalam urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4) Contoh :
Apabila ia hamil dengan anak kembar maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua jika (pr) itu keguguran maka iddahnya ialah: sesudah melahikan baik baginya hidup, mati, sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup /belum. 3. Iddah Wafat Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Firman Allah SWT : َُصنَُ أ َ ْز َوا ًجا َو َيذَ ُرونَُ مِ ْن ُك ُْم يُت ََوفَّ ْونَُ َوالَّذِين َُّ ع ْش ًرا ُأ َ ْش ُهرُ أ َ ْر َب َع ُةَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه ْ ن َيت ََر َّب َ البقرة( َو: 234) Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. AlBaqoroh: 234) 4. Iddah wanita yang kehilangan suami. Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah bulan 10 hari. قال عنه هللا رضي عمر عن: تحل ثم وعشرا أشهر أربعة تعتد ثم سنين أربعة تنتظر فإنها هو أين ندر لم زوجها فقدت امرأة أيما. Artinya: “ Dari Umar R.A berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana ia berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4 tahun, kemudian hendaknya ia beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah. (H.R Malik). 5. Iddah perempuan yang di Ila’ Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak. a. Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia harus menjalani Iddah. b. Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah. Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu menghabungkan antara iddah dan maslahat bersamasama. Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’ yang lebih mempewrhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya. E. KEDUDUKAN HUKUM IDDAH Apabila iddahnya adalah iddah tala’ maka suami berhak merujuk kembali. Akan tetapi, apabila ia hendak menikah dengan laki-laki lain, maka ia harus menunggu sampai iddahnya habis. F. .HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM MASA IDDAH Fuqoha’ telah sepakat dalam masa iddah tala’ roj’I berhak mendapat nafka dan tempat tinggal. Istriistri yang di talak dalam keadaan hamil masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Firman Allah SWT: ُن أ َ ْس ِكنُوه َُّن ُْ ِْث م ُُ س َك ْنت ُُْم َحي ُْ ُِن َوال ُوجْ ِد ُك ُْم م َُّ ضاروه َُّ علَ ْي ِه ُْ ن َو ِإ َُّ ت ُك ُِ ن فَأ َ ْن ِفُقُوا َح ْملُ أُوال َُّ علَ ْي ِه َُّ َح ْملَ ُه َ ُ ض ِِّيقُوا ت َ ُ ن ِلت َ ن َ ض ْعنَُ َحتَّى َ ن َي َ ن ( الطالق: 6)
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin” (Q.S. At-Thalaq :6).
RUJUK A. PENGERTIAN Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah :228 “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka(para suami) itu menghendaki islah”. (Q.S.Al-Baqarah:228) Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah). Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal: a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan qabla al dukhul. b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG RUJUK Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah. Oleh karena itu ia tidak berhak membatalkannya, sekalipun suami missal berkata: “Tidak ada Rujuk bagiku” namun sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk. Sebab allah berfirman: Artinya: Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu”. (al-Baqarah:228) . Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami. Rujuk boleh diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”. Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi’I bahwa talak itu memutuskan hubungan perkawinan. Ibn Hazm berkata: “Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.” Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk tanpa saksi bukan disebut rujuk sebab allah berfirman. Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik dan lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (Q.S. At-Thalaq: 2). C. SYARAT DAN RUKUN RUJUK
1. Syarat Rujuk a) Saksi untuk rujuk Fuqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan, sedangkan Imam syafi’I mewajibkan. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-qur’an yaitu:
“…….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil…..”
Ayat tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiayas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah. b) Belum habis masa iddah c) Istri tidak di ceraikan dengan talak tiga d) Talak itu setelah persetubuhan Jika istri yang telah di cerai belum perah di campuri, maka tidak sah untuk rujuk, tetapi harus dengan perkawinan baru lagi. 2. Rukun Rujuk 1) Suami yang merujuk Syarat-syarat suami sah merujuk: a) Berakal b) Baligh c)Dengan kemauan sendiri d) Tidak di paksa dan tidak murtad
2) Ada istri yang di rujuk Syarat istri yang di rujuk: a) Telah di campuri b) Bercerai dengan talak bukan dengan fasakh c) Tidak bercerai dengan khuluk d) Belum jatuh talak tiga. e) Ucapan yang menyatakan untuk rujuk.
3) Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik. 4) Dengan pernyataan ijab dan qabul
D. Syarat lapadz (ucapan) rujuk a. Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”. b. Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister mengatakan mau. c. Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan.
E. Hikmah Rujuk 1) Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga 2) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian. 3) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
F. Hukum Rujuk 1) Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu. 2) Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut. 3) Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk. 4) Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk. 5) Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan.
G. Prosedur rujuk Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut: a. Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua orang saksi. b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suamiistri tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan. c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama. d. Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke. pengadilan agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan. f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing. g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku pendaftaran rujuk.
NAFKAH
A. Pengertian nafkah Nafkah menurut bahasa (Etimologi) berasal dari bahas Arab yaitu dari kata Infaq, yang berarti membelanjakan. Sedangkan menurut para ulama fiqh, nafkah mengandung beberapa pengertian, antara lain:
1. Syaeikh Ibrahim Bajuri, menyebutkan bahwa kata nafkah diambil dari kata infaq, yang berarti “Mengeluarkan”. Dan menurutnya kata nafkah ini tidakdigunakan kecuali untuk kebaikan.1
2. Menurut Abur Rahman al-Jaziri, “nafkah secara kebahasaan adalah mengeluarkan dan membayarkan. Seperti perkataan “saya menafkahkan ternak” apabila ternak itu telah keluar dari pemiliknya dengan menjual atau merusaknya. Maka apabila ia katakan, “saya menafkahkan benda ini, niscaya habis terjual”.2 Pengertian Nafkah ialah tanggung jawab utama seorang suami dan hak utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada, tanpa sedikitpun unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga. Nafkah menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan, baik istri kaya ataupun fakir dalam firman Allah Swt. : ﺴ ُعَةُ ُِِّﻤنﺴَعَﺘِهِ ُُﺬْقِفﻨُﻴِل َُ ﻮ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.”(QS. Ath-Thalaq :7). B. Hadis mengenai Memberi Nafkah dan kandungannya Artinya, Hakim Muawiyah Qusyairi menerima berita ini dan bapaknya RA, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “hai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang kami atas suaminya?” jawab Beliau, “Hendaklah ia memberikan makanannya, jika makan, memberikan pakaian, jika ia berpakaian”.(HR Muslim) Termasuk suatu kesalahan atas suami jika hanya memakan sesuatu sendiri dan istrinya tidak dibolehkannya, lain halnya jika membahyaakan istri. Artinya, Abu Hurairah RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “tangan diatas (memberi) lebih baik dari tangan dibawah (yang menerima pemberian), maka mulai dari orang yang ia tanggung nafkahnya, karena istri dapat berkata kepada suaminya, “berilah saya makanan ataukah saya diceraikan?” Hadis diatas mengajarkan agar mencukupkan nafkah istri atau keluarga lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Termasuk istri atau keluarga yang jahat, jika nafkahnya sudah memadai, tetapi ia menutup pintu kemugkinan suami berbuat baik terhadap karibnya yang lain. C. penentuan jumlah Nafkah Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung nafkahnya, istri mengurus segala kebutuhan, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal. Dalam hal ini, istri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah tertentu, selama suami melaksanakan kewajibannya itu. Jika suami bakhil, yaitu tidak memberikan nafkah secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Hakim boleh memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh istri serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh istri ternyata benar.
Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk mencukupi kebutuhannya apabila suami melalaikan kewajibannya. Orang yang mempunyai hak boleh mengambil haknya sendiri jika mampu melakukannya, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Aisyah; ْاَﻦهﻨْﺪًاﺒﻨْﺖَعُﺘْﺒَةَقَالَﺖ٠ﻉ٠عَﻦعاﺌِﺸَةﺮ:اﻦَّاﺒاَﺴُفْﻴاَﻦَﺮَﺠُﻞ٬ِﻴَاﺮَﺴُﻮْﻞَاللَّه ي َﺪلَﻮَﻮىِﻨْﻴِﻄْعُﻴﺴىْﻴلَﻮﺡْﻴﺤَﺸ ِ ﺖﺬَﺨَاالَّﻤاِا ْ ﻞﻢَلْعَﻴَالَوُهَوُهْﻨِ ُﻤ ْ قا:ِﻚ ْﻴفْﻜَﻴاَﻤﺬﻯُﺤ ﴿ﺮواهاﺤﻤﺪوالﺒﺨارﻯوﻤﺴلﻢواﺒوﺪاوﺪوالﻨﺴاﺌى٠ِ“﴾وَﻮَلَﺪَﻚِﺒِالْﻤَعْﺮُﻮْﻒDari Aisyah r.a. sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku sehingga akau harus mengambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah SAW. Bersabda, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i). Hadis di atas menunjukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri. Oleh karena itu, jumlah nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, tempat, dan keberadaan manusia. Jelas bahwa kewajiban nafkah hanya diberikan kepada yang berhak, yaitu dengan memberikan sesuai kebutuhan bukan menentukan jumlah nafkah yang harus diberikan karena dikhawatirkan terjadinya keborosan penggunaan dalam keadaan tertentu. Maksudnya pemberian belanja secukupnya dalam arti sesuai dengan besarnya kebutuhan hidup yang wajar bagi istri. Demikianlah maksud dari sabda Rasulullah, “dengan cara yang baik” bukan sebaliknya, sepeerti boros atau kikir. Apabila suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, maka istrinya boleh mengambil apa yang dapat mencukupi dirinya jika ia seorang dewasa dan berakal sehat, bukan seorang pemboros atau orang yang gemar berbuat mubazir. Sebab, orang-orang seperti ini tidak boleh diserahi harta benda, sebagaiman firman Allah SWT : Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu).” (QS. Al-Nisa’ : 5).
Dengan demikian, jika suami berkewajiban memberi nafkah berbuat durhaka, sedangkan istrinya yang berhak menerima nafkah tidak sehat, maka wajib menyerahkan nafkah tersebut kepada walinya atau orang tuanya yang adil untuk mengendalikan nafkahnya. Istri juga berhak mendapatkan tempat tinggal beserta peralatannya sesuai dengan keadaan suaminya. Dalam hal ini, tidak meutup kemungkinan untuk menanggungnya secara bersama-sama. D. Syarat-syarat wajib Nafkah Nafkah keluarga menjadi wajib apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya hubungan kerabat yang mewajibkan adanya hubungan waris-mewaris antara kerabat yang membutuhkan dan kerabat yang mampu. b. Adanya kebutuhan kerabat yang menuntut nafkah. c. Kerabat yang menuntut nafkkah tersebut tidak mampu berusaha sendiri. d. Orang yang dibebani kewajiban nafkah cukup mampu, kecuali kewajiban nafkah untuk anak atau orang tua. e. Satu agama, kecuali nafkah untuk anak dan orang tua. c. Nafkah Anak
Kewajiban ayah memerlukan syarat-syarat sebagai berikut : a. Anak-anak membutuhkan nafakah (fakir) dan tidak mampu bekerja. b. Ayah mempunyai harta dan berkuasa memberi nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupannya. Atas dasar adanya syarat-syarat nafkah, apabila anak fakir telah sampai pada umur mampu bekerja, meskipun belum baligh, dan tidak ada halangan apa pun untuk bekerja, gugurlah kewajiban ayah untuk memberi nafkah kepada anak. Berbeda halnya apabila anak yang telah mencapai umur dapat bekerja itu terhalang untuk bekerja disebabkan sakit atau kelemahan-kelemahan lain. Maka, ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah untuk anaknya itu.
Anak perempuan dibebankan kepada ayah untuk memberi nafkah kepadanya sampai ia kawin, kecuali apabila anak telah mempunyai pekerjaan yang dapat menopang hidupnya tetapi ia tidak boleh dipaksa untuk bekerja mencari nafkah sendiri. Apabila ia telah kawin, nafkahnya menjadi kewajiban suami. Apabila suaminya meninggal dan tidak mendapat warisan yang cukup untuk nafkah hidupnya, ayahnya berkewajiban lagi memberi nafkah kepadanya, seperti pada waktu belum menikah.
Nafkah Orang tua Kewajiban anak memberi nafkah orang tua termasuk dalam pelaksanaan perintah Al-Qur’an agar anak berbuat kebaikan kepada kedua orang tuanya. Hal ini sesuai dengan Surat Luqman ayat 15: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman:15) Kewajiban memberi nafkah orang tua dapat gugur apabila anak tidak mampu bekerja, baik karena menderita sakit maupun karena masalah kecil. Dalam hal ini, nafkah orang tua dan anak menjadi tanggungan kerabat lain yang lebih dekat, berturut-turut sesuai urutan ‘ashabah dalam hukum waris. Dalam hal tidak ada sama sekali kerabat yang berkemampuan untuk memberikan nafkah, nafkah orang tua itu diperoleh dari negara yang berasal dari baitul mal kaum muslimin.
Nafkah Suami atas istri yang beriddah Mengenai wanita yang beriddah kematian suami terdapat khilafiyah a. Hanafiyah, Syafiiyyah dan Jamaah berpendapat bahwa ia tidak berhak atas nafkah dari waris suaminya berdasarkan telah terhenti tanggung jawab suami yang meninggal itu atas istrinya. b. Hadi dan lain-lain berpendapat bahwa ia berhak nafkah dari waris suaminya, karena ia dilarang keluar rumah dan sesuai QS AlBaqarah: 240 “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istrinya, yaitu diberi nafkah selama satu tahun tanpa mengeluarkannya dari rumah. Akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tidak ada dosa bagimu (para wali/waris) membiarkannya berbuat makruf (baik) terhadap dirinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. Perempuan, dalam masa idah talak raj’i atau hamil berhak mendapatkan nafkah, karena Allah berfirman dalam Surat Al-Talaq :6 yang menunjukkan bahwa perempuan hamil berhak mendapatkan nafkah, baik dalam idah talak raj’i atau bai’n, atau juga dalam idah kematian. Adapun dalam talak bai’n, para ahli fikih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan hamil, maka ada tiga pendapat : a. Pendapat pertama, ia berhak mendapatkan rumah, tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah. (pendapat Imam Malik dan Syafi’i). Mereka berhujjah dengan firman Allah SWT QS. AL-Talaq :6. b. Pendapat kedua, dikemukakan oleh Umar bin Khathab, Umar bi Abdul Aziz dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa istri berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Dalam Surat Al-Talaq: 6 tersebut menunjukkan wajibnya memberikan tempat tinggal. Jika memberikan tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan sendirinya juga wajib memberikan nafkah seperti makanan, pakaian, dan lainnya. c. Pendapat ketiga, istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur, dan Ishaq.
Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa : 1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya, atau mantan istri yang masih dalam iddah. 2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat.
E. Kontekstualisasi Hadis Memberi Nafkah 1. Jangan Berlaku Kikir Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, ٠ُﻜفىﺒالﻤَﺮﺀِإﺜﻤًاأﻦْﻴُﻀَﻴﱢعَﻤَﻦْﻴَقُوﺖ “Cukuplah seseorang berdosa bila menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud(Hasan)). 2.Hendaklah engkau berbuat ekonomis, tanpa harus kikir ataupun boros. Semua itu dalam rangka mewujudkan kebahagiaan bagimu dan bagi orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Kapan Istri Tidak Berhak Mendapatkan Nafkah Nafkah wajib bagi istri selama ia menunaikan berbagai tanggungan. Ia memenuhi batasan-batasan fitrahnya. 1. Jika ia sombong dengan fitrahnya, menyimpang dari aturan, berpaling pada jalan, melampaui suami dalam tujuan kehidupan rumah tangga maka ia tidak mendapatkan hak ini. 2. Atau ia meninggalkan rumahnya dengan sendirian, mempergunakan banyak waktunya di luar rumah dengan tanpa izinnya. Karena nafkah merupakan kewajiban untuk istri dengan usahanya untuk dirinya, kesepakatannya, waktunya, kesungguhannya dengan ketenangan suami dan kebahagiaannya berupa pemberian buah-buah kehidupan keluarga. Adapun jika seorang laki-laki berkurang dalam menanggung istrinya yang tetap dan biaya hidupnya sedang ia mendapatkan dan mampu maka ia diminta untuk melaksanakan hak dan tanggungan istri. 3.
Jika Suami Mengalami Kesulitan
Dari Abu Hurairah berkata : “Nabi bersabda: Sedekah yang paling utama adalah sesuatu yang ditinggalkan
orang kaya
dan melakukan
sesuatu
untuk orang yang
menjadi bagian
keluarga.perempuan berkata kepada suaminya, ‘Engkau hendak memberiku makan dan engkau hendak menceraikanku.’ Seorang hamba berkata: ‘Berilah aku makan dan mintalah aku untuk bekerja.’ Anak laki-laki berkata: ‘ Berilah aku makan, kepada orang yang mengajakku.”
DAFTAR PUSTAKA Al-quran Terjemah, Bandung: Diponegoro, 2008. Cet. 9 Allusy, Abu Abdullah bin Abd al-Salam. Ibanatul Ahkam sharah bulughul Maram. Al-Hidayah, 2010. Juz 3 As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, pedoman berkeluarga dalam Islam, Jakarta: AMZAH, 2010.