BAB I Masalah 1 : Setelah berulang-kali menjalani memeriksa sebagai saksi, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Achmad Sujudi menjadi tersangka dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan pada 2003 silam. Tapi, KPK belum menahan menteri kesehatan periode 2001 hingga 2004 itu. KPK menetapkan status tersangka bagi Sujudi setelah menemukan dua bukti soal keterlibatan pria kelahiran Bondowoso itu dalam pengadaan alat kesehatan itu. Sayang, Juru Bicara KPK Johan Budi SP merahasiakan kedua bukti tersebut. Yang pasti, Sujudi mengakui telah menerima uang sebesar Rp 700 juta terkait proyek senilai Rp 190,5 miliar itu. Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini sebenarnya sudah mengembalikan uang tersebut kepada KPK pada Kamis (14/5) pekan lalu. Penunjukan langsung ini tentunya melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemerintah. Sebab, pengadaan barang di atas Rp 50 juta harus melalui proses tender. Dengan adanya status baru bagi Sujudi ini, jumlah tersangka dalam kasus ini menjadi tiga orang. Sebelumnya, awal Maret 2009 lalu, KPK sudah menetapkan bekas Direktur Utama PT Kimia Farma Distribution and Trading Gunawan Pranoto dan Direktur Utama Rifa Jaya Mulia Rinaldi Yusuf sebagai tersangka. Kesalahan dalam pengadaan barang itu ternyata bukan hanya dalam penunjukan. KPK juga mencium ada penggelembungan (mark up) nilai proyek. Akibatnya, KPK menghitung negara merugi sebesar Rp 71,5 miliar. Sebagian uang proyek ini rupanya mengalir ke kocek pribadi pejabat teras Departemen Kesehatan. Selain ke kocek pribadi Sujudi, KPK juga menerima pengembalian duit dari beberapa pejabat Departemen Kesehatan. Di antaranya dari mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Daddy Argadiredja yang mengembalikan uang sebesar Rp 700 juta pada Rabu (13/5), bekas Direktur Jenderal Pelayanan Medik Sri Astuti Suparmanto sebesar Rp 500 juta, mantan Dirjen Pelayanan Medik Ahmad Hardiman sebesar Rp 500 juta, Ida Ayu Sinta sebesar Rp 400 juta, dan Niken Irwanti sebesar Rp 300 juta pada pertengahan Maret 2009 lalu. Selain pengadaan alat kesehatan ini, KPK juga sedang mengusut dugaan korupsi pengadaan alat rontgen di Departemen Kesehatan yang terjadi pada 2007 lalu. 'KPK sudah menetapkan Mardiono selaku pimpinan proyek sebagai tersangka. KPK menduga, Mardiono telah menggelembungkan nilai proyek dan tidak menyalurkan alat rontgen ke rumah sakit yang membutuhkan. Akibatnya, negara merugi Rp 15,4 miliar.
Masalah 2 : Tidak ada antasari, MAKI praperadilan KPK Lagi Untuk kedua kalinya, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia mengajukan permohonan praperadilan terkait dengan pengusutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas kasus dugaan suap yang dilaporkan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Condro Prayitno. Permohonan praperadilan didaftarkan MAKI ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (14/5) "Karena, kasus ini sudah terlalu lama dan tidak kunjung ditindaklanjuti KPK. Padahal sudah ada lima alat bukti. KPK menunggu apa lagi," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman. Senin (18/5) di Solo. Dalam permohonannya, MAKI meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan KPK segera memproses perkara dugaan kasus suap yang dilaporkan Agus Condro pada Agustus 200S, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Ketika itu Agus Condro melaporkan kepada KPK telah menerima 10 lembar cek perjalanan senilai Rp 500 juta, Cek tersebut diterima setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom, pada Juni 2004. Masalah 3 : Mantan menkes Kembalikan Rp 700 juta Sejumlah mantan petinggi Departemen Kesehatan (Depkes), tampaknya. dibayangi kekhawatiran akan adanya penyidikan dugaan korupsi alat kesehatan (alkes) pada 2003 silam. Mantan Menkes Achmad Sujudi dan mantan Sekjen Depkes Daddy Argadiredja mengembalikan dana masing-masing Rp 700 juta ke Koinisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kami menerima pengembalian dana dari mantan Menkes dan mantan Sekjen terkait pengadaan alkes. Pengembaliannya pada 13 Mei lalu,"jelas Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. di gedung KPK kemarin. Sujudi dan Daddy adalah saksi dalam kasus pengadaan alat kesehatan. Menurut Johan, setelah dihitung. dana tersebut dilerima KPK. "Kami belum tahu apakah penyidik menjadikan dana itu sebagai alat bukti," jelas pria kelahiran Mojokerto tersebut. Dengan pengembalian itu, tambah Johan, KPK telah menerima dana dari sejumlah saksi sekitar Rp 3 miliar. Johan menambahkan, kedua mantan petinggi itu mengaku tidak tahu bahwa uang tersebut terkait pengadaan alkes. "Kami masih menelusuri kaitan dana tersebut." jelasnya. Selain menerima pengembalian dana, KPK kemarin memeriksa sejumlah saksi untuk mengembangkan penyidikan kasus itu. Bersama saksi korupsi kasus lain, total ada 50 saksi yang dimintai keterangan. Pekan sebelumnya, KPK juga memeriksa 30 orang terkait kasus korupsi alkes tersebut. Pertengahan April lalu, KPK menerima pengembalian dana dari saksi mantan Dirjen Pelayanan Medis Departemen Kese'hatan (Depkes) Sri Astuti senilai Rp 500 juta. Sri juga berdalih tidak tahu bahwa uang itu terkait pengadaan alat kesehatan tahun anggaran 2003. Sebelumnya, sejumlah pegawai Depkes yang terseret juga mengembalikan danaRp 1,2 miliar.
Terkait kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka. Yakni, mantan Dirut PT Kimia Farma Gunawan Pranoto dan mantan Dirut PT Rifa Java Mulya Rinaldi Yusuf. KPK. juga mencekal keduanya. Selain itu, KPK sudah mencekal Sujudi. Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Depkes Achmad Hardiman, dan sejumlah pejabat Depkes. Dalam penyidikan proyek yang menyedot anggaran Rp 190 miliar itu, penyidik menemukan dugaan penggelembungan harga serta aliran dana kepada sejumlah pejabat. Total kerugian negara akibat skandal tersebut mencapai Rp 71 miliar. Masalah 4 : Hidup Urip Tri Gunawan, jaksa penerima suap sekitar Rp 6 miliar (USD 660 ribu) dalam kasus BLBI yang melibatkan taipan Sjamsul Nursalim, mulai kemarin harus dijalani di Lapas Cipinang. Itu setelah jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mcngcksckusi mantan Kajari Klungkung itu untuk menjalani hukuman 20 tahun. Sebenarnya KPK menerima salinan putusan seminggu lalu. Namun, eksekusi bam bisa dilaksanakan kemarin karena sejumlah persoalan. Jaksa harus merampunakan oomooros urusan administrasi di Rutan Brimob Kclapa Dua. Depot tahanan yang selama ini dihuni pria asal Sragen. Jawa Tengah itu. Bukan hanya itu. Sejak beberapa hari lalu, Urip mengeluh sakit. Karena itu. jaksa harus menanyakan kesiapan terpidana korupsi yang diganjar hukuman paling lama tersebut. Pukul 13.00 kemarin sejumlah jaksa meluncur ke Rutan Kelapa Dua Depok. "Kami persiapan dulu. lalu tanyakan kesiapannya," ujar Jaksa Sarjono Turin di Pengadilan Tipikor kemarin. Sampai di sana jaksa dan beberapa pengawal menggiring Urip ke bui baru di Lapas Cipinang. Urip pun pasrah. Dia hanya membawa sejumlah pakaian ganti. Keberangkatan Urip juga dilepas sejumlah kolega yang juga menjadi tahanan KPK Di rutan terscbut ada sejumlah tahanan top. Di antaranya para pesakitan kasus aliran dana BI Rp 100 miliar, besan Presiden SBY, Aulia Pohan, Kepala Biro Gubeniur BI Rusli Simanjuntak, dan anggota DPR Hamka Yandhu. "Sejumlah tahanan lain melepasnya," kata jaksa Dwi Aties Sudarto, salah satu anggota tim eksekusi. Urip akhirnya dijebloskan ke tahanan sekitar pukul 15.00. "Biasa saja, berjalan lancar dan tak ada perlawanan," katanya. Sebelumnya dalam sidang, majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar menyatakan tidak menemukan adanya kekeliruan penerapan hukum dalam putusan di Pengadilan Tingkat Banding PT DKI Jakarta dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pemeriksaan di sidang, Urip disebut menerima USD 660 ribu sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kasus Sjamsul Nursalim, obligor BLBI. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban Urip sebagai jaksa di Kejaksaan Agung
Masalah 5 : Jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan tuntutan 2,5 tahun penjara kepada lima mantan pejabat imigrasi dalam kasus dugaan korupsi biaya pengurusan dokumen keimigrasian bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) selama 1999– 2002. Para mantan pejabat itu, yaitu dua mantan Konsul Jenderal RI Kinabalu Malaysia Muchamad Sukarna dan Kurniawan Rubadi; mantan Kepala Bidang Konekponsosbud KJRI Kinabalu Mas Tata Machron; mantan Kasubid Imigrasi KJRI Kinabalu berkedudukan di Kuching Irsyafli Rasoel; serta mantan Kasubid Imigrasi KJRI Kinabalu berkedudukan di Tawau Makdum Tahir. “Para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama serta berlanjut,” ujar anggota JPU Kadek Wiradhana saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, kemarin. Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut agar kelima terdakwa dikenakan hukuman membayar denda sebesar Rp150 juta subsider hukuman pengganti selama enam bulan penjara. Jaksa menjerat kelima terdakwa dengan pasal penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akibat perbuatan itu, terdakwa telah merugikan kerugian negara sebesar 2,5 juta ringgit Malaysia. JPU juga meminta hakim agar menghukum para terdakwa untuk membayar uang pengganti. Masing- masing, untuk Kurniawan Rubadi sebesar 580.000 ringgit Malaysia dan Muchamad Sukarna sebesar 180.000 ringgit Malaysia. ”Uang itu dikompensasikan dengan pengembalian terdakwa senilai Rp2,5 miliar,” kata Kadek. Sementara terdakwa Mas Tata Machron diwajibkan membayar denda 80.000 ringgit Malaysia dan Irsyafli Rasoel 118.000 ringgit Malaysia. Kadek mengatakan, uang tersebut telah dikompensasikan dengan pengembalian yang nilainya sama. Makdum Tahir juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai 215.000 ringgit Malaysia. Uang tersebut belum seluruhnya dikembalikan. ”Bila tidak dibayarkan,maka diganti dengan hukuman kurungan selama enam bulan,” tandas Kadek. Menurut anggota JPU lainnya, Suwarji, terdakwa Muchamad Sukarna terbukti telah bersepakat dengan Kepala Bidang Konsuler Ekonomi Penerangan Sosial dan Budaya Radite Ediyatmo Guna menerapkan dua tarif dalam pungutan biaya itu. Tarif yang nilainya tinggi dijadikan dasar dalam pungutan biaya kepengurusan dokumen keimigrasian. Sementara tarif yang bernilai rendah dijadikan dasar dalam penyetoran ke kas negara sebagai PNBP.