Tpk Hukum Online, Dll

  • Uploaded by: Pincuk
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tpk Hukum Online, Dll as PDF for free.

More details

  • Words: 6,950
  • Pages: 19
http://ganryukg.wordpress.com/2009/05/08/penerapan-peraturanuu-pornografi-di-negara-lain/

Penerapan Peraturan/UU Pornografi di Negara Lain May 8, 2009 Disahkannya UU pornografi oleh DPR masih menyisakan ketidak-puasan berbagai kalangan … mulai dari artis … aktivis … sampai anggota DPR … Bahkan pengesahan UU pornografi ini … diiring oleh aksi tidak sportif dari fraksi PDI-P dan PDS … dengan melakukan ‘walk-out’ … (beritanya bisa dilihat di : http://matanews.com/) … Bukan itu saja … bahkan setelah disahkan … UU pornografi ini juga digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) … dengan alasan bahwa UU ini melanggar HAM … Benarkah demikian … ??? … Dalam postingan kali ini … saya ingin mengutip tulisan yang menunjukkan bahwa wajar kok jika negara menerapkan UU pornografi … Bahkan negara yang sangat menjunjung kebebasan berekspresi seperti Amerika juga mempunyai perangkat UU anti pornografi kok … Berikut kutipannya … : Penerapan Peraturan/UU Pornografi di Negara Lain Amerika Sebagai ‘pendekar HAM dunia’, Amerika Serikat mengusung kebebasan berekpresi, pornografi didefinisikan sebagai materi yang menunjukkan hal-hal seksual untuk tujuan menimbulkan rangsangan mencakup kecabulan atau obscenity. Tetapi, di negara yang sering kali menepuk dada sendiri sebagai kampiun demokrasi itu, pornografi ternyata sangat dibatasi peredarannya. ‘’Lihat saja, majalah Playboy dan Penthouse. Di sana peredarannya sangat dibatasi, tidak dijual bebas begitu saja,’’ kata Gati. Lewat the First Amandment, Amerika Serikat, sangat melarang obscenity ataupun pornografi yang melibatkan anak-anak di bawah umur (child pornography). Regulasi soal pornografi antar negara-negara bagian saja berbeda-beda. Ada yang disebut standar komunitas. Karena itu, menarik bila AS kita tiru dalam hal tertentu. AS itu negara yang sangat luas dan relatif heterogen, sehingga standar komunitas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berbedabeda. Di Utah yang sangat konservatif, kita tidak bisa menemukan media porno seperti majalah Playboy. Sangat berbeda dengan San Francisco. Di Amerika Serikat serta negara-negara Eropa, produk pornografi memang memiliki aturan yang jelas, mulai dari proses produksi hingga distribusinya. Misalnya bagi mereka yang mempertontonkan tubuh tanpa busana di majalah atau tabloid, haruslah memenuhi standar manusia dewasa. Begitu juga dengan pendistribusiannya, tidak disembarang tempat media cetak sejenis bisa ditemukan. Toko-toko yang menjual film atau majalah berbau seks tak akan terang-terangan memajangnya. Pintu toko biasanya juga tertutup rapat dan hanya mereka yang sudah berusia 18 tahun ke atas yang diizinkan masuk. Selain itu, kehadiran toko tersebut juga harus jelas, artinya jauh dari sekolah, tempat ibadah, perpustakaan atau tempat publik lainnya. Eropa

Di negara-negara Barat ada larangan dalam artian tidak bisa dijual secara bebas. Kalaupun diizinkan, tetap dengan operasi, distribusi dan pasar terbatas. Atau dengan penonton, konsumen dan pembaca terbatas. Kalau kita bikin perbandingan seperti itu, maka yang bisa diterima semua kalangan di sini adalah yang berada di tengah-tengah. Negara-negara Eropa Barat yang sangat bebas dalam nilai-nilai seksualnya, mereka memproduksi pornografi, tapi dijual di tempat-tempat khusus. Tidak sembarang orang bisa membelinya, daerahnya disebut Red District atau Red Zone. Sedangkan di Inggris, masalah pornografi diatur melalui Protection of Children Act yang diundangkan tahun 1978. Negeri Big Ben itu bahkan mengkriminalisasi tindakan mengambil, mendistribusikan, memamerkan, atau memiliki (bahkan mesti jumlahnya hanya satu) foto tak pantas dari seorang anak di bawah usia 16 tahun. Norwegia pun memiliki Amanded Penal Code yang mereka undangkan tahun 1992 untuk mengatasi pornografi. Australia Sementara di Australia, kepemilikan pornografi anak dianggap ilegal menurut The Australian Costums Service, undang-undang yang mereka perkenalkan dan terapkan mulai 1995. Singapura Singapura itu keras sekali dalam menangani masalah pornografi. Kita tidak akan menjumpai barang-barang pornografi yang dijual secara terbuka di Singapura. Majalah Playboy dan Penthouse tidak akan dapat ditemukan di Singapura. Di TV kabel Singapura, Britney Spears dimungkinkan untuk ditonton. Tapi Britney Spears sudah dianggap sebagai sesuatu yang tak boleh disiarkan di TV Malaysia. Di Indonesia masih boleh kan? Meskipun demikian gambargambar yang benar-benar seronok masih sulit ditemukan pada tabloid-tabloid di sini. Bahkan Singapura mengeblok akses ke situs-situs internet yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Singapura. Salah kita selama ini adalah menganggap bahwa tak ada yang bisa diregulasi dari internet. Jadi ada sebuah list tentang hal-hal yang terlarang dalam soal pornografi dan ada hal yang masih dimungkinkan. Beda dengan Eropa Barat yang hanya membatasi distribusi, peredarannya dan akses terhadap terhadap pornografi. Singapura yang menyatakan diri negara sekuler sangat ketat mengatur televisi dan media massa. Tidak ada play boy disana. Cina Hampir sama dengan Thailand, Cina memblokir semua situs porno dari internet. Jepang Masalah ponografi diatur dalam article 175 of Japenese Penal Code. Negeri Matahari Terbit itu melarang tercetaknya gambar alat kelamin orang dewasa, persetubuhan, dan rambut alat kelamin di setiap media yang dibaca publik secara terbuka. ‘’Sedangkan, representasi alat kelamin anak-anak tidak diatur secara ketat,’’ kata dia. Taiwan

Di Taiwan, produk lukisan, video, foto, CD-ROMs, electronic signals, dan produk lain yang menggambarkan interaksi seksual atau kegiatan yang tidak pantas yang melibatkan orangorang berusia di bawah 18 tahun, dianggap kriminal. Malaysia Negara yang agak bergerak ke arah menghabisi pornografi sama sekali, tapi masih membuka kemungkinan lain. Iran Menghabisi pornografi sama sekali. Kalaupun masih tersisa, pornografi berada di wilayah yang ilegal. Arab Saudi Menghabisi pornografi sama sekali. Kalaupun masih tersisa, pornografi berada di wilayah yang ilegal. Thailand Sebagai Daerah pariwisata terbesar di Asia Tenggara, Thailand sudah ada penataan yang sangat serius mengenai pornografi. Saat ini, di Thailand industri pornografi ilegal sudah semakin sempit. Filipina Mungkin tidak banyak yang menduga, tetapi negara itu memiliki Republic Act No 7610 yang mereka undangkan pada 1993. Isi regulasi tersebut, antara lain, melarang tindakan mempekerjakan atau memaksa anak-anak di bawah usia 18 tahun melakukan kegiatan cabul atau pertunjukan tidak pantas. Kegiatan yang dilarang itu baik pertunjukan langsung, terekam di dalam keping video, atau menjadi model dalam publikasi cabul dan materi pornografi. Sri Langka Sri Langka memiliki Ciode Sec 286A, tahun 1995. Kamboja Kamboja juga tengah membahas aturan hukum soal pornografi. Indonesia Karena di Indonesia tak ada regulasi pornografi, maka disebut sebagai The heaven of pornography (Surga Pornografi). Anda bisa memperoleh di mana pun dan tidak ada pembatasan atas siapa pun untuk mengedarkan pornografi. Lihat saja di Jakarta, di seluruh pelosok kota bertebaran lapak, kios dan toko buku menjual majalah serta tabloid yang membuat mata melotot. Bahkan, kita kadang tak perlu bersusah-

payah mencarinya, sebab penjual dengan proaktif datang menawarkan ke pintu-pintu mobil atau ke kantor-kantor. Tidak hanya itu, si penjual sama sekali tak mempedulikan usia si pembeli. Konsumen yang berbaju seragam sekolah pun tak akan ditolak saat membolak-balik halaman demi halaman tabloid yang memperlihatkan senyum menggoda wanita berpakaian seronok. Padahal, di majalah atau tabloid tersebut umumnya mencantumkan kategori media mereka yang hanya untuk dikonsumsi khalayak dewasa. Tidak cuma media lokal, bagi mereka yang ingin lebih memuaskan mata dengan penampilan wanita yang lebih vulgar, majalah asing dengan harga miring juga tersedia. Seperti saat Tim SIGI mendatangi sebuah pusat penjualan buku bekas di Jakarta Pusat, semuanya tinggal sebut. Mulai dari majalah yang terbilang soft seperti Maxim atau FHM hingga yang tergolong porno seperti Hustler, Penthouse serta Playboy, sanggup mereka sediakan. Masalah harga dari produk pornografi yang murah sekali. VCD porno di Glodok, Jakarta, dengan uang sepuluh ribuan bisa dapat tiga atau empat keping. Dalam tingkat kevulgaran pornografi juga luar biasa. Harga semurah itu bisa terjadi karena teknologinya yang sangat murah. Anda tahu, kepingan VCD itu sangat murah. Jadi dengan margin keuntungan yang rendah pun, karena jumlah pembeli yang banyak, mereka bisa juga untung. Hal ini yang tak terjadi di Eropa Barat. Dan masih banyak Negara-negara lain yang menerapkan UU Pornografi yg belum terliput…. Bila di negara lain hal itu diatur, bukankah justru Indonesia akan terasing bila tidak mengatur hal tersebut? Karena itu, kekecewaan sebagaimana yang diutarakan diatas, sangatlah beralasan. sumber : http://ruuappri.blogsome.com/2006/05/ Jadi … dukunglah UU pornografi … … Dengan UU pornografi ini … harkat dan martabat wanita akan lebih terlindungi … karena memang yang sering menjadi obyek seksual adalah kaum wanita … Jika memang wanita tidak ingin dianggap hanya sebagai obyek seksual belaka … sudah selayaknya ikut mendukung UU ini … Menentang UU pornografi … sebenarnya sama saja dengan mendukung pandangan bahwa wanita itu memang cuma obyek seks belaka … Lihat tulisan postingan saya tentang ‘Wanita Berpakaian Seksi … ” di sini … Oke … ??? … Baca juga pembahasan http://moeflich.wordpress.com/

tentang

perlunya

UU

pornografi

http://wapedia.mobi/id/Pornografi?t=4. Pornografi dan hukum di berbagai negara di dunia 4. 1. Pornografi di Indonesia Artikel utama untuk kategori ini adalah Pornografi di Indonesia.

di

:

4. 2. Pornografi di sejumlah negara lain •



• • •





• •

Amerika Serikat: Bahan-bahan porno berat legal pada tingkat Federal kecuali bila memenuhi uji Miller tentang ketidakpantasan, yang sangat jarang. Pornografi anak yang menyajikan gambaran tentang anak-anak yang benar-benar terlibat dalam tindakantindakan seks atau yang berpose dalam penampilan yang porno adalah kejahatan. Tuntutan terhadap pornografi maupun toleransinya sangat berbeda-beda dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya dan dari kota ke kota. Materi-materi/tindakantindakan tertentu dikeluarkan sendiri dari bahan porno biasa. Bahan-bahan porno tidak boleh diberikan kepada orang yang berusia kurang dari 18 tahun atau di beberapa daerah, 21 tahun. Beberapa upaya untuk membatasi pornografi di internet telah dibatalkan oleh pengadilan; lihat: Pornografi internet. Australia: Peraturan diperketat di bawah pemerintahan John Howard, namun pornografi masih cukup mudah diperoleh. Lihat Sensor di Australia. Bahan-bahan porno dapat dibeli dan disewa di Northern Territory dan ACT, dan tidak boleh mengandung kekerasan, menyalahgunakan anak atau menampilkan gambaran yang merendahkan martabat. Berbagai negara bagian mempunyai undang-undang tentang pornografi, tetapi dengan catatan bahwa ada banyak toko dewasa di masing-masing negara bagian dan wilayah yang boleh menjual atau menyewakan bahan-bahan yang bersifat porno. Secara teknis menjual bahan-bahan porno illegal di Queensland, tetapi memilikinya tidak dianggap ilegal. Austria: Bahan-bahan yang "membahayakan remaja " atau bahan-bahan yang merendahkan martabat manusia tidak boleh dipamerkan atau dijual kepada orang-orang yang berusia kurang dari 18 tahun. Telanjang tidak dianggap termasuk bahan seperti ini. Belanda: Undang-undang yang sangat liberal. Dijual secara terbuka di tempat-tempat penjualan koran dan majalah. Bestiality dinyatakan ilegal setelah dikeluarkannya undang-undang kesejahteraan binatang yang baru. Brasil: Pornografi anak adalah kejahatan. Pornografi biasa (tidak termasuk hubungan seksual dengan binatang) legal. Para aktor laki-laki di film-film lokal harus mengenakan kondom dalam adegan-adegan penetrasi. Semua pemain harus berusia minimum 18 tahun. Bila dijual di tempat-tempat umum, majalah dan sampul DVD yang menampilkan alat kelamin harus disembunyikan dari pemandangan umum. Bahan pornografi manapun hanya boleh dijual kepada orang yang berusia minimal 18 tahun. Britania Raya: Bahan-bahan porno berat dilarang hingga 1999, ketika kesulitan-kesulitan halangan perdagangan sehubungan dengan keanggotaan Komunitas Eropa menjamin arus yang relatif bebas dari barang-barang seperti itu untuk kebutuhan pribadi saja. Video R18 hanya tersedia dalam toko-toko seks yang mempunyai izin khusus, tetapi majalah-majalah porno berat tersedia di penjual-penjual suratkabar dan majalah di beberapa tempat. Pornografi dalam bentuk tulisan saja tidak pernah dituntut sejak pengadilan Inside Linda Lovelace pada 1976. Departemen Dalam Negeri berencana untuk memperkenalkan undang-undang yang melarang pornografi dengan kekerasan. Bulgaria: Bahan porno berat "tidak dianjurkan" untuk diedarkan kepada orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun. Bahan porno ringan jarang disensor, bahkan oleh stasiun-stasiun TV pemerintah. Majalah-majalah dan koran-koran porno semakin banyak beredar sejak jatuhnya komunisme pada awal 1990-an. Karena ekonomi yang tidak stabil, pada akhir 1990-an hanya segelintir penerbit yang bertahan. Denmark: Larangan terhadap literatur porno dicabut pada 1966. Pada 1969 Denmark menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasikan porno berat. Jerman: Pornografi anak dilarang. Meskipun hukum mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 14 tahun, bahan porno tidak boleh melibatkan orang yang berusia di bawah umur 18 tahun. Pornografi berat (yang terkait dengan kekerasan dan binatang) tidak boleh dibuat atau didistribusikan; pemilikannya diizinkan. Porno berat



• • • •





• •

dibatasi kepada pembeli berusia 18 tahun atau lebih. Bila sebuah toko bisa dimasuki anak kecil, bahannya tidak boleh dipampangkan dan hanya boleh dijual dengan diamdiam dan dengan permintaan khusus. Izin orangtua khusus dibutuhkan untuk memperlhiatkan materi porno berat kepada anak-anak mereka dengan tujuan pendidikan. Hukum mendefinisikan pornografi sebagai porno berat, jadi segala sesuatu yang lainnya tidak dibatasi. Hong Kong: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan to anak-anak under 18 of umur, atau bila dipamerkan kepada umum (kecuali dalam tempat terbatas dan hanya terlihat di dalam "sebuah galeri seni atau museum yang bonafide"), atau bila diterbitkan tanpa sepenuhnya dibungkus tanpa peringatan yang "dengan mudah kelihatan" yang menyatakan bahwa bahan yang terkandung mungkin bisa membuat orang tersinggung dan tidak boleh diberikan kepada mereka yang di bawah umur.[7] Hongaria: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan to anak-anak under 18 of umur. Mempertontonkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila dikaburkan. Irlandia: Ilegal hingga pertengahan tahun 1990-an. India: Pornografi ilegal dan mendapatkan sanksi hukuman. Namun, penegakan hukum sangat lemah dan bahan-bahan porno mudah tersedia. Israel: Ilegal untuk orang-orang berusia di bawah 18 tahun, meskipun hukum jarang diberlakukan. Pornografi dalam segala bentuknya dapat ditemukan di tempat-tempat penyewaan video (termasuk mesin penjual video). Ada toko-toko Israel yang khusus menjual pornografi, serta sejumlah perusahaan yang memproduksi porno Israel. Karena pornografi anak hampir-hampir tidak mendapatkan perhatian masyarakat ataupun pemerintah masalah ini dapat dikatakan sebagai bentuk porno satu-satunya yang ilegal. Satuan polisi Israel untuk kejahatan komputer mengambil langkah-langkah ekstrem terhadap hal itu, termasuk penggunaan pengawasan internet dan pembobolan sistem. Jepang: Seperti di Eropa, foto telanjang biasa ditampilkan dalam media umum. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, dilarang keras memperlihatkan rambut kemaluan ataupun alat kelamin orang dewasa. Gambar-gambar rambut kemaluan pada majalah-majalah impor biasanya akan dirobek, dan bahkan video-video yang paling eksplisit pun tidak akan memperlihatkannya. Sejak sekitar 1991, para penerbit buku foto mulai menantang larangan ini sehingga rambut kemaluan kini cukup diterima umum. Gambar-gambar dari jarak dekat (close-up) terhadap alat kelamin tetap dilarang. Pada 1999, pemerintah memberlakukan undang-undang yang melarang foto-foto dan video anak-anak yang telanjang, yang sebelumnya cukup biasa ditampilkan di media umum. Manga dan anime pada umumnya tetap tidak diatur, meskipun penerbit-penerbit besar cenderung melakukan sensor diri untuk menghindari lobi kelompok-kelompok orangtua. Kanada: Undang-undang berbeda-beda dari provinsi ke provinsi, namun penjualan kepada orang berusia di bawah 18 tahun (batas usia berbeda-beda menurut provinsi) umumnya dilarang. Kebanyakan bahan dijual di toko-toko dewasa, meskipun tidak ada undang-undang spesifik yang mengatur distribusinya. Bea cukai Kanada diberikan wewenang untuk menghentikan pemasukan bahan-bahan yang dilarang menurut undang-undang ketidakpantasan; banyak toko buku homoseksual dan lesbian menuntut bahwa peraturan ini diberlakukan secara diskriminatif terhadap barang-barang porno untuk seks sejenis. Beberapa stasiun TV juga telah menyiarkan film-film porno ringan setelah lewat tengah malam. Pornografi anak ilegal, meskipun sebuah keputusan Mahkamah Agung Kanada yang kontroversial baru-baru ini tentang hak privasi sangat mempengaruhi usaha pemerintah untuk melacak dan menyitanya. Lihat pula Sensor di Kanada. Kolombia: Pornografi anak dilarang di bawah konstitusi baru. Pemasarannya diatur dengan ketat. Kebanyakan bahan dijual di pasar gelap. Bogota mempunyai sekurangkurangnya 300 tempat di mana pornografi (porno berat) dapat diperoleh secara legal. Malaysia: Ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah.

• •



• •

• • •



Meksiko: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak di bawah usia 18, namun penegakan hukum lemah. Norwegia: Bahan-bahan porno berat sudah lama secara de jure ilegal, tetapi pada praktiknya legal, artinya, ilegal untuk membuat, mendistribusikan dan menjual, tetapi legal untuk memilikinya. Orang dapat membelinya misalnya di luar negeri, lewat internet, atau melalui TV satelit. Ada juga sejumlah toko porno yang ilegal, khususnya kota-kota yang lebih besar. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hukum, para editor majalah-majalah, saluran TV domestik dan TV kabel erotik mengaburkan organ-organ seksual yang melakukan aktivitas biasanya dengan menggunakan segi empat hitam, dll. Tetapi, setelah Mahkamah Agung pada 7 Desember 2005 secara bulat membebaskan seorang bekas editor majalah karena menerbitkan porno berat yang tidak ditutupi pada 2002, dipahami bahwa porno berat tercetak tidak lagi ilegal, dan diharapkan bahwa majalah-majalah porno akan dapat dijual secara terbuka di toko-toko umum. Belum jelas apakah keputusan Mahkamah Agung akan mempengaruhi film atau TV. (Namun perlu dicatat bahwa menggambarkan kegiatan-kegiatan seksual yang melibatkan anakanak, binatang, nekrofilia, pemerkosaan, atau dengan menggunakan kekerasan tetap ilegal.) [8], [9], [10] Prancis: Pornografi yang sangat penuh kekerasan atau sangat grafis (sangat jelas) diberi peringkat X, dan hanya boleh diperlihatkan di bioskop-bioskop tertentu. Bahan-bahan ini tidak boleh dipampangkan kepada anak-anak. Pornografi dikenai pajak khusus (33% untuk film-film peringkat X, 50% untuk pelayanan porno online). Sistem peringkatnya kontroversial; misalnya, pada 2000, film Baise-moi yang secara seksual eksplisit dan penuh kekerasan mula-mula diberi peringkat hanya "terbatas" oleh pemerintah Prancis, tetapi klasifikasi ini dibatalkan oleh keputusan Conseil d'État (Dewan Negara) berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh perhimpunan-perhimpunan yang mendukung agama Kristen dan nilai-nilai keluarga. RRC: Baru-baru ini melegalkannya, majalah-majalah dewasa dijual kepada umum, meskipun isi aturannya secara spesifik tidak diketahui. Rusia: Produksi dan distribusi secara eksplisit dilarang, tetapi Duma negara bagian telah berkali-kali gagal untuk mengesahkan undang-undang yang mengatur bahan-bahan porno, sehingga status dari kebanyakan materi tidak jelas. De jure semua pornografi diizinkan (termasuk porno anak-anak), tetapi de facto ada sejumlah batasan tentang di mana bahan-bahan itu dapat dijual. Hubungan seksual dengan binatang dan pornografi anak-anak de facto dilarang. Majalah-majalah erotik dijual secara terbuka, biasanya tidak menampilkan puting susu dan daerah rambut kemaluan di sampulnya. Kebanyakan materi difilmkan di Saint-Petersburg; di sana hukum mendefinisikan pornografi sebagai materi-materi termasuk pemerkosaan, bestiality, nekrofilia atau pornografi anak, sehingga semua bahan lainnya tergolong erotika legal. Singapura: Ilegal, termasuk penerbitan ringan seperti Playboy. Slovenia: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak yang berumur kurang dari 18 tahun. Mempertontonkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila dikaburkan. Swedia: Bahan yang melibatkan binatang de-facto legal tetapi dikenai undang-undang kesejahteraan binatang. Boleh ditonton oleh mereka yang berusia minimal 18 tahun, tidak ada batas untuk majalah. Orang berusia di bawah 18 tahun dilarang berperan dalam film-film buatan Swedia. Swiss: Legal, dikenai sejumlah perkecualian: penjualan atau memperlihatkan kepada orang-orang berusia di bawah 16 tahun atau kepada penonton yang tidak menyetujuinya dapat dikenai hukuman denda atau penjara hingga tiga tahun. Hukuman yang sama dapat dikenakan untuk pemilikan, penjualan, impor, dll. terhadap materi pornografi anak, bestiality, pengeluaran hajat atau tindakan-tindakan kekerasan. Ada perkecualian

• • • •

untuk pornografi apabila mengandung nilai-nilai budaya atau ilmiah. Lihat Ayat 197 Undang-undang Pidana. Taiwan: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun. Memampangkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila dikaburkan. Turki: menjual kepada anak-anak di bawah 18 tahun ilegal. Vietnam: Ilegal. Penegakan hukum ketat. Menurut undang-undang, pornografi merusakkan nilai-nilai standar Vietnam. [11] Yunani: Majalah-majalah ringan, kalender, dan kartu permainan dijual secara terbuka di kios-kios tepi jalan dan di toko-toko wisata. Pornografi yang ekstrem atau sangat jelas umumnya dibatasi hanya dijual di toko-toko dewasa. Kini kebanyakan kios di Athena memampangkan majalah-majalah dan DVD porno berat.

5. Catatan kaki 6. Lihat pula •

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi

7. Pranala luar • • •

Patrick Robertson: Film Facts, 2001, Billboard Books, ISBN 0-8230-7943-0 Asacp.org Asosiasi situs yang menganjurkan perlindungan anak -- Organisasi situs dewasa yang menentang pornografi anak. (id) Pornografi, dan Kekerasan Seksual di Media, Diakses 3 Januari 2008.

7. 1. Komentar •

"About Porn" Tinjauan tentang topik yang memuakkan ini pada 2 Februari 2005

7. 2. Berita • • • • • • • • •

(en) "Google bersalah karena menyediakan gambar-gambar porno dalam ukuran kecil." RealTechNews, 21 Februari 2006 (en) "FBI assembling porn squad" Washington Post, 20 September 2005 (en) "Archaeologist finds 'oldest porn statue'" oleh Krysia Diver, The Guardian, 4 April 2005 (en) Berkowitz, Ben: Bisnis Porno Mendorong Teknologi DVD, Reuters, 2004. (en) Sim Sex Not So Scintillating Wired Magazine, 7 Juni 2004 --Mencakup ringkasan terinci tentang permainan Hentai dan membahas rendahnya tingkat penjualannya di AS (id) Inul, Nurnaningsih, dan Marilyn Monroe (id) Selamat Tinggal Generasi Nurnaningsih! (id) Mereka yang Berani Beradegan Panas (id) Acara Seks Datang Kembali

7. 3. Advokasi • •

(en) Buku Andrea Dworkin tentang pornografi: Men Possessing Women Buku klasik feminis tentang pornografi (en) Anti-Porn resource Center Sebuah daftar yang panjang berisi sumber-sumber advokasi anti-pornografi

• • • • • • • • •

(en) Analisis feminis tentang Playboy oleh Linnea Smith (en) Mitos Porno: Advokasi anti porno dari perancang T-shirt feminis "one angry girl" (en) Koalisi Melawan Perdagangan Perempuan (CATW) - daftar sumber-sumber tentang industri seks (terutama terpusat pada pelacuran) (en) Pornografi dan Kekerasan Seksual oleh Robert Jensen (en) Situs Diana Russell Pornografi sebagai penyebab pemerkosaan dari buku Diana Russell. (en) Katarsis dan Pornografi - Pornografi mencegah pemerkosaan (en) Pornografi menolong perempuan, masyarakat (en) Hustling Kelompok Kiri (en) Remaja, Pornografi, dan Internet oleh Dick Thornburg dan Herbert S. Lin, penyunting

7. 4. Pemerintah • • •

(en) Laporan Akhir Komisi Jaksa Agung tentang Pornografi. Juli 1986 U.S. Department of Justice, Washington D.C. 20530. (en) Eksploitasi Anak dan Bagian Pornografi tentang pornografi anak (en) Kutchinsky, Berl, Profesor Kriminologi: Undang-undang pertama yang mengesahkan pornografi (Denmark)

7. 5. Sosiologi • •

• •

(en) Beck, Marianna Ph.D., "The Roots of Western Pornography", part 2, sejarah pornografi di Barat. (en) Diamond, M. dan Uchiyama, A: Pornografi, Pemerkosaan dan Kejahatan Seks di Jepang, International Journal of Law dan Psychiatry 22(1): 1-22 (1999). Laporan bahwa peningkatan yang signifikan dari tersedianya pornografi di Jepang diikuti dengan penurunan dalam kejahatan seks, sesuai dengan temuan-temuan serupa di negaranegara lain. (en) Makalah "Moralitas dalam Media" dengan sejumlah sumber yang memperlihatkan bahwa ada hubungan antara kejahatan dengan pornografi. (en) Artikel:Pornografi dan Sensor dalam: Stanford Encyclopedia of Philosophy

Daftar kategori: Artikel yang tidak memiliki catatan kaki, Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan, Pornografi, Seksologi, Hiburan Bahasa lain: English, Bahasa Melayu, Español, Deutsch, Français, Italiano, 日 本 語 , Русский, Português, Latina, ‫العربية‬, Lainnya...

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20405&cl=Berita RUU Pornografi [30/10/08]

Disahkan

Dalam

Suasana

Kontroversial

Bukan hanya F-PDIP dan F-PDS yang melakukan walk out, dua anggota F-PG asal Bali juga melakukan hal yang sama.

Perjalanan pembahasan RUU Pornografi yang selama ini sarat kontroversi dan perdebatan akhirnya berakhir. Hari ini (30/10), melalui Rapat Paripurna DPR, RUU yang sedianya bertitel RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini disahkan. Sebagaimana proses pembahasannya, pengesahan RUU Pornografi juga berjalan tidak mulus. Interupsi dari sejumlah anggota DPR saling bersahutan, baik yang pro maupun yang kontra. Kubu terakhir yang paling ngotot menyuarakan aspirasinya. Ketua Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (F-PDIP) Tjahjo Kumolo, misalnya, menegaskan sikap penolakan fraksinya. Menurut Tjahjo, RUU tersebut memuat dua pelanggaran yakni prosedural dan substansial. “Kami menolak pengesahan RUU ini, dan melakukan walk out!” ujarnya lantang sambil meninggalkan ruangan sidang (walk out) dan diikuti beberapa rekannya sesama fraksi. Pelanggaran prosedural yang dimaksud adalah tidak dijalankannya catatan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini sedianya dijalankan sebelum pengesahan RUU dilakukan. Artinya pemerintah diharapkan dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, khususnya sejumlah daerah yang resisten seperti Bali dan Sulawesi Utara. Menurut Tjahjo, F-PDIP menolak pengesahan karena didasari oleh beberapa alasan yang dianggap substansial. Pertama “penyelundupan” pengaturan pornoaksi dalam definisi pornografi. Spesifik, Tjahjo menyebut Pasal 1 dan Pasal 10 yang mencantumkan kata “pornoaksi, gerak tubuh, dan pertunjukkan di muka umum”. Ketentuan ini, lanjutnya, melanggar kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004. Pasal berikutnya yang dipersoalkan F-PDIP terkait dengan peran serta masyarakat, yakni Pasal 20 sampai Pasal 22. Dalam pasal ini terlihat bahwa RUU memberikan peran masyarakat yang terlalu besar dan luas. Tjahjo khawatir masyarakat tertentu yang cenderung anarkis dapat menyebabkan kekacauan. Tidak hanya batang tubuh, bagian penjelasan juga tidak luput dari protes F-PDIP. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan terminologi “persenggamaan yang menyimpang”. Ketentuan ini, menurut Tjahjo, bertentangan dengan aturan World Health Organization (WHO) tahun 1993. WHO menyatakan homoseksualitas dan lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan. Penolakan serupa juga datang dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS). Ketua F-PDS Carlo Daniel Kadang mengatakan fraksinya menolak karena menangkap kesan RUU Pornografi disahkan terburu-buru. Padahal, seperti halnya F-PDIP, Carlo mencatat ada amanat Bamus yang belum dirampungkan yakni sosialisasi. “Dengan ini kami secara resmi menolak pengesahan RUU ini,” tegasnya. Aksi walk out ternyata tidak hanya dilakukan oleh fraksi, dua anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar juga melakukan hal serupa. Mereka, Ni Nyoman Tisnawati Karna dan Gede Sumarjaya, berpendapat RUU Pornografi belum pantas dijadikan UU. Sumarjaya bahkan mendapat kesan RUU dipaksakan untuk disahkan, karena seingatnya baru tadi malam (29/10) diagendakan akan dibicarakan. Walaupun diwarnai walk out dan interupsi, RUU Pornografi akhirnya mulus disahkan berdasarkan persetujuan delapan fraksi lainnya. Ancaman terhadap HAM

Tidak lama setelah pengesahan, dua lembaga yakni Komnas Perempuan dan Elsam langsung menerbitkan siaran pers. Komnas Perempuan menyatakan pengesahan RUU Pornografi terlalu dipaksakan. Baik DPR maupun pemerintah, dinilai Komnas Perempuan telah terjebak dalam politisasi moralitas dan agama. “Komnas Perempuan menyesalkan pengesahan RUU Pornografi siang ini oleh DPR di tengah kontroversi yang masih sangat besar di antara masyarakat tentang perlu atau tidaknya undangundang ini,” demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan. “Nasi sudah menjadi bubur”, tuntutan yang disuarakan Komnas Perempuan pun lebih diarahkan pada implikasi dari penerapan UU Pornografi. Komnas Perempuan meminta Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA untuk meningkatkan kesigapan aparatnya terhadap aksi-aksi masyarakat tertentu yang atas nama undang-undang berpotensi melakukan kekerasan. Tuntutan juga dialamatkan ke Menteri Dalam Negeri. Komnas Perempuan meminta Mendagri mengawasi terbitnya peraturan-peraturan daerah imbas dari UU Pornografi. Peraturan dimaksud dikhawatirkan dapat melanggar hak-hak asasi kaum perempuan dan kalangan minoritas. Sementara, Elsam tegas menyatakan pengesahan RUU Pornografi merupakan ancaman terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Pengesahan ini, menurut Elsam, merupakan bukti bahwa DPR mengabaikan prinsip dasar penyusunan sebuah peraturan yakni efektivitas. Elsam menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, seperti Pasal 1 terkait definisi ponografi yang dianggap terlalu luas. (CRF/Rzk)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21246&cl=Berita MK [19/2/09]

Segera

Sidangkan

Pengujian

UU

Pornografi

Permohonan telah didaftarkan pada 9 Februari lalu. Sidang perdana rencananya akan digelar Senin depan (23/2). Pemohon mempersoalkan tiga pasal dalam UU Pornografi. Janji sejumlah kalangan yang akan menguji UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) tampaknya benar-benar telah ditepati. Tanpa perlu gembar-gembor, sebelas pemohon yang berasal dari Indonesia bagian Timur telah mendaftarkan permohonan pengujian UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Permohonan didaftarkan pada 9 Februari,” ujar Staf Bagian Penerimaan Perkara MK Widi Atmoko kepada hukumonline, Kamis (19/2). Sidang perdana permohonan pengujian UU ini dijadwalkan akan disidang pada Senin (23/2) mendatang. Para pemohon di antaranya Billy Lombok (Gereja Masehi Injil Minahasa), Jeffrey Delarue (DPP KNPI Sulawesi Utara), Janny Kopalit (Pemuda Katolik Manado), Goinpeace Tumbel (DPD Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Sulut), Bert Supit (Majelis Adat Minahasa), Charles Lepar (Forum Pemuda Lintas Gereja Manado) dan lain-lain. Para pemohon memberikan kuasa kepada pengacara senior Otto Cornelis Kaligis.

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, pemohon mempersoalkan tiga pasal dalam UU Pornografi, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 10. Mereka meminta ketiga pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Ketentuan Pasal 1 angka 1 berbicara mengenai definisi pornografi. Pasal itu berbunyi ‘Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai nilai kesusilaan dalam masyarakat’. Pemohon menilai definisi pornografi dianggap multitafsir. Beragamnya budaya di Indonesia dijadikan dasar argumen. Mereka mencontohkan budaya di Aceh dan Papua yang berbeda. Sehingga, bila mengacu pada ukuran budaya tersebut, maka pengertian pornografi menjadi sangat relatif. “Terbukanya penggunaan definisi yang dapat ditafsirkan oleh setiap orang, maka akan berakibat tidak adanya kepastian hukum,” tulis pemohon dalam permohonan. Padahal, prinsip kepastian hukum dijamin oleh UUD 1945. Sedangkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d dinilai merugikan hak konstitusional pemohon yang bekerja sebagai pekerja seni di Minahasa. Pasal itu berbunyi ‘Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan’. Pemohon merasa terancam dengan pasal ini. Pasalnya, pekerjaan sebagian pemohon adalah pekerja seni yang memproduksi dan memperjualbelikan benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Benda-benda seni itu berupa lukisan, ukiran, patung-patung serta kerajinan khas lainnya. “Apabila para pekerja seni tidak lagi dapat menjual benda-benda seni yang menurut UU Pornografi melanggar batasan pengertian pornografi, maka para pekerja seni tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup,” jelas pemohon dalam permohonannya. Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Pornografi sangat multitafsir. Bunyi pasal itu adalah ‘Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya’. Menurut pemohon, istilah ‘menggambarkan ketelanjangan’ telah mengandung tafsir subjektif yang beragam antar daerah di Indonesia. “Negara Republik Indonesia adalah negara yang pluaralis sehingga penilaian ‘menggambarkan ketelanjangan’ antara daerah yang satu dengan yang lain tidaklah sama,” jelasnya lagi. Di tempat terpisah, Komnas Perempuan mengundang aparat penegak hukum untuk membahas implementasi UU Pornografi. Anggota Komnas HAM Deliana Sayuti Ismudjoko mengatakan UU Pornografi masih memiliki kelemahan, termasuk soal definisi pornografi dan rumusan pasal 4 ayat (1) tadi. Meskipun ada kelemahan, bagi aparat penegak hukum, UU Pornografi tetaplah hukum positif. Komisaris Polisi Nicolas A. Lilipaly, Kanit Pornografi, Pornoaksi dan Susila Polda Metro Jaya, mengatakan polisi sangat terbantu oleh berlakunya UU Pornografi. Sebab, selama ini penyidik sering mengalami kesulitan memproses tindak pidana pornografi dengan hanya menggunakan

pasal 296, pasal 506, pasal 281, pasal 282 dan pasal 283 KUHP. “UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi sangat membantu Polri dalam rangka menegakkan hukum terhadap kejahatan seksual dan kejahatan pornografi,” ujar mantan Kapolsek Singaraja Bali itu. Kalau ada kelemahan, kekurangan atau ketidakjelasan dalam UU Pornografi, sementara kasusnya masuk ke pengadilan, maka tugas hakimlah yang akan menemukan hukum. “Menjadi kewenangan hakim untuk menemukan hukum dan menciptakan hukum jika hukum belum mengatur,” ujar Ketua PN Jakarta Pusat, Andriani Nurdin di Jakarta, Kamis (19/2). (Ali/Mys)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20405&cl=Berita RUU Pornografi [30/10/08]

Disahkan

Dalam

Suasana

Kontroversial

Bukan hanya F-PDIP dan F-PDS yang melakukan walk out, dua anggota F-PG asal Bali juga melakukan hal yang sama. Perjalanan pembahasan RUU Pornografi yang selama ini sarat kontroversi dan perdebatan akhirnya berakhir. Hari ini (30/10), melalui Rapat Paripurna DPR, RUU yang sedianya bertitel RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini disahkan. Sebagaimana proses pembahasannya, pengesahan RUU Pornografi juga berjalan tidak mulus. Interupsi dari sejumlah anggota DPR saling bersahutan, baik yang pro maupun yang kontra. Kubu terakhir yang paling ngotot menyuarakan aspirasinya. Ketua Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (F-PDIP) Tjahjo Kumolo, misalnya, menegaskan sikap penolakan fraksinya. Menurut Tjahjo, RUU tersebut memuat dua pelanggaran yakni prosedural dan substansial. “Kami menolak pengesahan RUU ini, dan melakukan walk out!” ujarnya lantang sambil meninggalkan ruangan sidang (walk out) dan diikuti beberapa rekannya sesama fraksi. Pelanggaran prosedural yang dimaksud adalah tidak dijalankannya catatan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini sedianya dijalankan sebelum pengesahan RUU dilakukan. Artinya pemerintah diharapkan dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, khususnya sejumlah daerah yang resisten seperti Bali dan Sulawesi Utara. Menurut Tjahjo, F-PDIP menolak pengesahan karena didasari oleh beberapa alasan yang dianggap substansial. Pertama “penyelundupan” pengaturan pornoaksi dalam definisi pornografi. Spesifik, Tjahjo menyebut Pasal 1 dan Pasal 10 yang mencantumkan kata “pornoaksi, gerak tubuh, dan pertunjukkan di muka umum”. Ketentuan ini, lanjutnya, melanggar kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004. Pasal berikutnya yang dipersoalkan F-PDIP terkait dengan peran serta masyarakat, yakni Pasal 20 sampai Pasal 22. Dalam pasal ini terlihat bahwa RUU memberikan peran masyarakat yang terlalu besar dan luas. Tjahjo khawatir masyarakat tertentu yang cenderung anarkis dapat menyebabkan kekacauan.

Tidak hanya batang tubuh, bagian penjelasan juga tidak luput dari protes F-PDIP. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan terminologi “persenggamaan yang menyimpang”. Ketentuan ini, menurut Tjahjo, bertentangan dengan aturan World Health Organization (WHO) tahun 1993. WHO menyatakan homoseksualitas dan lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan. Penolakan serupa juga datang dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS). Ketua F-PDS Carlo Daniel Kadang mengatakan fraksinya menolak karena menangkap kesan RUU Pornografi disahkan terburu-buru. Padahal, seperti halnya F-PDIP, Carlo mencatat ada amanat Bamus yang belum dirampungkan yakni sosialisasi. “Dengan ini kami secara resmi menolak pengesahan RUU ini,” tegasnya. Aksi walk out ternyata tidak hanya dilakukan oleh fraksi, dua anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar juga melakukan hal serupa. Mereka, Ni Nyoman Tisnawati Karna dan Gede Sumarjaya, berpendapat RUU Pornografi belum pantas dijadikan UU. Sumarjaya bahkan mendapat kesan RUU dipaksakan untuk disahkan, karena seingatnya baru tadi malam (29/10) diagendakan akan dibicarakan. Walaupun diwarnai walk out dan interupsi, RUU Pornografi akhirnya mulus disahkan berdasarkan persetujuan delapan fraksi lainnya. Ancaman terhadap HAM Tidak lama setelah pengesahan, dua lembaga yakni Komnas Perempuan dan Elsam langsung menerbitkan siaran pers. Komnas Perempuan menyatakan pengesahan RUU Pornografi terlalu dipaksakan. Baik DPR maupun pemerintah, dinilai Komnas Perempuan telah terjebak dalam politisasi moralitas dan agama. “Komnas Perempuan menyesalkan pengesahan RUU Pornografi siang ini oleh DPR di tengah kontroversi yang masih sangat besar di antara masyarakat tentang perlu atau tidaknya undangundang ini,” demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan. “Nasi sudah menjadi bubur”, tuntutan yang disuarakan Komnas Perempuan pun lebih diarahkan pada implikasi dari penerapan UU Pornografi. Komnas Perempuan meminta Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA untuk meningkatkan kesigapan aparatnya terhadap aksi-aksi masyarakat tertentu yang atas nama undang-undang berpotensi melakukan kekerasan. Tuntutan juga dialamatkan ke Menteri Dalam Negeri. Komnas Perempuan meminta Mendagri mengawasi terbitnya peraturan-peraturan daerah imbas dari UU Pornografi. Peraturan dimaksud dikhawatirkan dapat melanggar hak-hak asasi kaum perempuan dan kalangan minoritas. Sementara, Elsam tegas menyatakan pengesahan RUU Pornografi merupakan ancaman terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Pengesahan ini, menurut Elsam, merupakan bukti bahwa DPR mengabaikan prinsip dasar penyusunan sebuah peraturan yakni efektivitas. Elsam menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, seperti Pasal 1 terkait definisi ponografi yang dianggap terlalu luas. (CRF/Rzk)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21930&cl=Berita

DPR [7/5/09]

Yakin

UU

Pornografi

Tak

Merusak

Kebudayaan

DPR mengakui penafsiran pornografi dalam Pasal 10 UU No. 44 Tahun 2008 bersifat subjektif. Disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Argumentasi para pemohon pengujian UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada umumnya serupa. UU itu dianggap dapat merusak kebudayaan Indonesia yang plural. Pemohon dari Minahasa, Sulawesi Utara bahkan khawatir pekerjaannya akan hilang pasca pemberlakuan UU itu. Mereka adalah para pemahat yang memproduksi dan memperjualbelikan lukisan, ukiran, patung dan kerajinan lain yang kerap mengandung muatan pornografi seperti lukisan atau patung telanjang. Anggota Komisi III DPR RI Azlaini Agus meminta para pekerja seni itu tak perlu khawatir. Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi memang melarang setiap orang untuk memproduksi atau memperjualbelikan produk yang mengandung muatan pornografi. Namun, lanjut Azlaini, UU Pornografi memberi pengecualian terhadap ketentuan tersebut. Ia menunjuk ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Pornografi. Pasal tersebut berbunyi 'Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus'. Azlaini mengatakan bila profesi pemohon sebagai pembuat patung maka pemohon masih bisa menjual karyanya meski terindikasi memiliki muatan pornografi. “Pemohon bisa menjual ke Art Shop atau Gallery. Jadi tak benar bila UU Pornografi itu melanggar hak kebudayaan,” tegasnya di ruang sidang MK, Rabu (6/5). Azlaini juga mengaku tak sependapat bila UU Pornografi dapat merusak budaya di masingmasing daerah yang beraneka ragam. Ia mengambil contoh ketentuan Pasal 10 UU Pornografi yang sedang diuji. Pasal itu menyebutkan 'Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya'. Politisi Partai Amanat Nasional ini mengakui kalau pasal ini memang ditafsirkan secara subjektif. Namun, ia menolak bila penafsiran subjektif itu dikaitkan kepada ketidakpastian hukum. “Penafsiran subjektif justru menghormati budaya-budaya daerah yang beragam,” sebutnya. Penafsiran itu dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup dalam adat istiadat masyarakat setempat. Contohnya, bila seorang pria asal Papua yang kerap menggunakan koteka di daerahnya. Menurut Azlaini, pria tersebut tak bisa dikenakan pasal pornografi. Pria itu baru bisa terkena pasal pornografi bila menggunakan koteka di daerah lain yang berbeda nilai adat istiadatnya dari Papua. “Kalau dipertunjukan di daerah lain, baru dia bisa dikenakan pasal ini,” ujarnya. Pemerintah dalam opening statementnya juga setali tiga uang dengan DPR. Pemerintah menegaskan UU Pornografi tidak membatasi, mengurangi atau setidak-tidaknya menghalanghalangi perkembangan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. UU Pornografi, menurut pemerintah, justru secara tegas bertujuan untuk menghormati, melindungi dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Selain itu tidak ada satu pasal pun dalam bab tentang larangan dan pembatasan dalam UU Pornografi yang membatasi perkembangan budaya. Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Airlangga Soetandyo Wignyosoebroto justru mengkritik DPR dan Pemerintah dalam membuat UU Pornografi. Menurutnya, sebuah UU

harus digali dari hukum yang hidup di dalam masyarakat, sehingga Undang-Undang itu bisa digunakan untuk menjawab persoalan yang ada di masyarakat. Ia menilai UU Pornografi tak memenuhi kriteria itu. “Undang-Undang ini bisa mengundang datangnya konflik,” ujar ahli dari pemohon ini. Sekedar mengingatkan, permohonan pengujian UU Pornografi ini diajukan oleh tiga kelompok pemohon yang berbeda. Mereka adalah kelompok masyarakat asal Minahasa, Koalisi Bhinneka Tunggal Ika, serta Tim Advokasi Perempuan untuk Keadilan. Pasal yang diuji di antaranya Pasal 1 angka 1 seputar definisi pornografi, Pasal 4 ayat (1), Pasal 10, serta Pasal 20 dan Pasal 21 yang mengatur keterlibatan masyarakat dalam menangani masalah pornografi.

(Ali)

http://www.christianpost.co.id/society/nation/20090830/4952/Sidang-Judicial-Review-UUPornografi-Tahap-2-Hadirkan-Saksi-Ahli-/index.html Sidang Judicial Review UU Pornografi Tahap 2 Hadirkan Saksi Ahli Maria Reporter Kristiani Pos

F.

Posted: Aug. 30, 2009 07:37:14 WIB

Sidang Judicial Review UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tahap 2 kembali disidangkan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis. (Foto: Kristiani Pos)

Ahli Pemohon Achie S Luhulima. (Foto: Kristiani Pos)

Tari Tumatenden dari Minahasa dipertunjukkan dipertunjukkan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi. (Foto: Kristiani Pos) JAKARTA – Sidang Judicial Review UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tahap kedua kembali digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pemohon dan pemerintah, serta pihak terkait meliputi Komnas Perlindungan Anak, Kowani, MUI. Sidang berlangsung mulai pukul 10.00 hingga 16.15 WIB dengan berkas perkara yang teregistrasi dengan No. 10/PUU-VII/2009, 17/PUU-VII/2009, dan 23/PUU-VII/2009 ini diajukan oleh 47 Pemohon, Komisi Pemuda Sinode, DPD KNPI Sulawesi Utara, Pemuda Katolik Manado, DPD GAMKI Sulawesi Utara, Komisi WKI Sinode GMIM, Majelis Adat Minahasa, Forum Pemuda Lintas Gereja Manado, GMNI Sulawesi Utara, BEM Fak. Bahasa & Seni, Univ. Negeri Manado, Aliansi Mahasiswa Pemuda Minahasa Selatan, Pemuda remaja KGPM. Bertindak sebagai kuasa pemohon perkara No. 10/PUU-VII/2009 adalah O.C Kaligis, Purwaning M Yanuar, Rico Pandeirot, Narisqa, Rachmawati, TH Ratna Dewi, Dea Tunggaesti, Vinencius H Tobing, dan Dewi Ekuwi Vina. Pemohon Perkara No. 17/PUU-VII/2009 adalah Patra M Zen, Nur Hariandi, Tabrani Abby, Zainal Abidin, Asfinawati, Abdul Haris, Carolina Martha Sumampouw, Kristian Feran, dan Andi Muttaqien, dengan Ahli Pemohon Rocky Gerung dan Franz Hendra. Pemohon Perkara 23/PUU-VII/2009 adalah Sri Nurherawati, Wahyu Wagiman, Indriaswaty Dyah Saptaningrum, Ermelina Singereta, Naning Ratningsih, Fauzi, Ummi Habsyah, Supriyadi Widodo Eddyono, Taufik Basari, Haryanti Rica, Melly Setyawati, dan Margaretha T Andoe, dengan Ahli Pemohon Achie S Luhulima. Ahli pemerintah yang akan memberikan pandangan dan penjelasannya pada sidang tersebut terdiri atas Ade Armando (media massa), KRMT Roy Suryo (teknologi informasi), Inke Maris (komunikasi), Taufik Ismail (budayawan), Elly Risman (psikolog), Andre Mayza (neuroscientis), Tjipta Lesmana (komunikasi massa), dan Pery Umar Farouk (surveyor internet). Dalam permohonannya, pemohon mengujikan definisi “pornografi” yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi karena dianggap memuat pengertian yang sangat bias dan dangkal untuk membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Lalu, para pekerja seni mengujikan Pasal 4 ayat 1 UU tersebut yang didalilkan Pemohon melanggar hak konstitusional para pekerja seni, khususnya di wilayah Minahasa, sebab para pekerja seni tersebut mencari nafkah dengan menjual lukisan, ukiran, pahatan, patung-patung serta kerajinan khas lainnya yang secara eksplisit memuat ketelanjangan. Di samping itu, ketentuan Pasal 10 UU tersebut dianggap memberikan definisi yang kabur mengenai istilah “menggambarkan ketelanjangan”. Istilah ini mengandung tafsir subyektif yang beragam di antara daerah-daerah di Indonesia.

Pasal 20 dan Pasal 21 juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945. Alasan Pemohon, pengaturan tersebut menunjukkan Pemerintah bersama DPR menyerahkan penafsiran makna pornografi ke masyarakat. Selanjutnya, Pasal 23 UU tersebut juga diujikan karena secara substantif dianggap tidak ada satu pasal pun yang mengatur hukum acaranya (hukum formil), sehingga penggunaan UU Pornografi hanya berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian, Pasal 43 yang mewajibkan semua orang untuk memusnahkan semua produk pornografi meski untuk kepentingan sendiri, dianggap sulit terimplementasi karena tidak ada sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya. Di samping itu, ketentuan Pasal 10 UU tersebut dianggap memberikan definisi yang kabur mengenai istilah “menggambarkan ketelanjangan”. Istilah ini mengandung tafsir subyektif yang beragam di antara daerah-daerah di Indonesia. Pasal 20 dan Pasal 21 juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945. Alasan Pemohon, pengaturan tersebut menunjukkan Pemerintah bersama DPR menyerahkan penafsiran makna pornografi ke masyarakat. Selanjutnya, Pasal 23 UU tersebut juga diujikan karena secara substantif dianggap tidak ada satu pasal pun yang mengatur hukum acaranya (hukum formil), sehingga penggunaan UU Pornografi hanya berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian, Pasal 43 yang mewajibkan semua orang untuk memusnahkan semua produk pornografi meski untuk kepentingan sendiri, dianggap sulit terimplementasi karena tidak ada sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya. Sebelum mendengar keterangan ahli, pihak pemohon menyuguhkan sebuah tarian Tumatenden dari Minahasa dipertunjukkan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi sebagai salah satu contoh kasus perdebatan pornografi. Tjipta Lesmana sebagai Ahli Pemerintah usai menyaksikan tarian tersebut berujar, “setelah menyaksikan tarian tersebut, saya bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa tarian tadi adalah tarian tradisional,” ujar Tjipta. Ia juga memaparkan perbedaan antara obscene dengan porno. Menurutnya, obscene adalah pencabulan atau kegiatan seksual yang digambarkan secara eksplisit, sementara pornografi tidak. Menurutnya ada lima bidang yang tidak dapat ditafsirkan sebagai pornografi, kelima bidang itu meliputi seni, adat istiadat/custom, sastra, ilmu pengetahuan, olahraga. Tjipta juga menjelaskan bahwa UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi diakuinya ada beberapa kelemahan pada pasal 1,4 dan 10 pada UU Pornografi yang perlu direvisi dengan mencantumkan kelima bidang tersebut sebagai pengecualian pengertian pornografi agar tidak menyebabkan kesalahpahaman Hakim Maria Farida Indrati dalam kesempatan tersebut menanyai Pemohon. “Kalau dikatakan Pasal 1 angka 1 bermasalah, apakah menurut anda dengan adanya muatan peraturan ini sudah ada pengurangan pornografi?” tanyanya pada para ahli. Hakim Ahmad Sodiki juga mengingatkan pandangan tentang pluralisme dan pandangan yang menggeneralisasikan keseragaman di seluruh Indonesia. Tjipta Lesmana yang mendapat banyaknya pertanyaan Majelis Hakim, ia menuturkan bahwa Morality Value itu pada dasarnya berkembang terus. “Itulah mengapa definisi Miller menggunakan kata community. Sebab, UU ini tidak bisa berlaku dari Sabang sampai Merauke. UU ini menurut saya adalah bagian dari perkembangan zaman saat ini,” jelasnya.

Inke Maris menambahi bahwa dalam UU di Indonesia tidak mengandung UU Pornografi, dan menurutnya berbeda dengan di Amerika yang sudah ada UU Pornografi. “Kalau di Indonesia, yang ada adalah UU tentang pencabulan dan kesusilaan,” tukasnya. Mendengar keterangan ahli, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menggarisbawahi mengenai fungsi hukum. “Hukum tidak hanya menertibkan masyarakat, tetapi juga penguasa yang sewenang-wenang.” Sementara Hakim Muhammad Alim, merujuk pada Teori Hans Kelsen, menegaskan berlakunya empat lingkungan dalam hukum, yakni orang, tempat, waktu, dan masalah.

Related Documents

Tpk Hukum Online, Dll
June 2020 19
Sk Tpk
October 2019 44
Dll
November 2019 55
Dll
November 2019 53
Dll
December 2019 46
Tpk 62-70.doc
May 2020 22

More Documents from "Putty Annisa"