Tokoh penyebar ISLAM & medianya
Kanjeng Sunan Kalijaga dg lagu LIR ILIR Secara tersirat, lagu lir ilir merupakan pesan pada manusia untuk menunaikan rukun Islam. Makna lagu ini bisa lebih luas. Sebuah pesan yang sangat indah. Bagiku, lagu ini sangat mengguncang. Terasa ada kesan mistis. Meski sebenarnya bercerita tentang kewajiban umat manusia, dan perilaku dalam kehidupan. Ngomongngomong, ini lagu yang biasa dinyanyikan bagi kalian yang ingin main-main memanggil jaelangkung. “Kalijaga kuwi sopo?”cerita singkatnya: Tentang Brandal Lokajaya, yang melihat pohon cemara (kalo ga salah) berbuah emas. Brandal Lokajaya yang selalu merampok dan memalak orang lewat itu sebenarnya Raden Said, putra adipati Tuban, Raden Arya Wilwatikta (sudah muslim). Yang akhirnya bergelar Wali (sunan) dan masuk sebagai salah satu dari Wali Songo setelah bertemu dengan Sunan Bonang dan menjadi murid serta sahabatnya.
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8828 Gamelan Sekaten, Sarana Penyebaran Agama Islam Sunan Kalijaga Ahad, 1 April 2007 17:11
Jogja, NU Online Tradisi sekatren akrab ditelinga kita sebagai bagian dari perayaan maulud Nabi Muhammad yang diselenggarakan di Jogja. Konon, tradisi Sekaten diawali saat zaman kerajaan Islam Demak, dalam upaya penyebaran agama Islam, salah satu Wali Songo yaitu Sanan Kalijaga, menciptakan perangkat gamelan sebagai sarana untuk menarik perhatian warga kerajaan itu sehingga mereka mau berkumpul. Gamelan itu dibunyikan dengan gending-gending atau lagulagu yang diciptakan Sunan Kalijaga sendiri. Setelah rakyat kerajaan itu berkumpul,
kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan tentang agama Islam, dan mengajak mereka untuk membaca kalimat Syahadat sebagai syarat menjadi pemeluk agama Islam. Kemudian Sunan Kalijaga memberikan nama "Kyai Sekati" atau "Sekaten" dari asal kata syahadatain yaitu saat Sunan Kalijaga menuntun bacaan Syahadat bagi rakyat yang masuk menjadi Islam saat itu. Upacara itu kemudian dijadikan tradisi oleh kerajaankerajaan Islam di Jawa hingga kini. Upacara Sekaten yang menjadi tradisi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini waktunya selama tujuh hari dari tanggal 5 sampai 11 pada bulan Mulud/Rabiulawal untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW . Tahap upacara dalam sekaten dimulai dengan dibunyikan pertama kali gamelan pusaka sebagai pertanda dimulainya upacara sekaten dan diselenggarakan upacara menyebar udhik-udhik (uang logam) dan gamelan dipindahkan dari dalam kraton ke halaman Masjid Gedhe. Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai raja dan pengiringnya hadir di Masjid Gedhe untuk mendengarkan pembacaan riwayat Maulid Nabi Muhammad SAW dan diselenggarakan upacara udhik-udhik di pagongan dan serambi Masjid Gedhe dan saat malam terakhir gamelan dibawa dari halaman Masjid Gedhe ke dalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten. Dua perangkat gamelan Sekaten pusaka milik Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat, masingmasing bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo, ditempatkan di "pagongan" kidul dan lor pelataran masjid Gedhe Kauman Alun-alun Utara Yogyakarta ditabuh oleh para "abdidalem" niyogo kraton. Kecuali bertepatan pada Kamis malam atau malam Jumat yang menurut kepercayaan masyarakat Jawa, merupakan malam keramat, gemelan tersebut dibunyikan hingga malam menjelang peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi Muhammad SAW. Sementara itu di pelataran Masjid Gedhe Kauman tampak banyak penjual nasih gurih, "endog abang" yaitu telor bebek/ayam yang diberi warna merah serta daun sirih. Sebagian masyarakat Yogyakarta hingga kini masih mempercayai jika mengunyah sirih saat gamelan itu ditabuh akan awet muda. Sedangkan makan nasi gurih dan endog abang akan memperoleh berkah dari Tuhan. (ant/kut)
Akulturasi Budaya ISLAM di Jawa Trulyjogja.com >> Sosial Budaya >> Upacara Grebeg Maulud
Upacara Grebeg Maulud 05/08/2005 01:01 Upacara yang juga biasa disebut "Bedhol Songsong" oleh masyarakat Yogyakarta ini merupakan upacara puncak dari peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara ini diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud setiap tahunnya. Ini berarti pagi hari setelah perangkat gamelan kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu dibawa masuk kembali ke dalam keraton dan di simpan di bangsal Sri Manganti. Upacara Grebeg Maulud dimulai dengan kirab atau parade kesatuan prajurit kraton yang mengenakan pakaian kebesaran masing-masing. Sedangkan puncak dari acara ini adalah iringan gunungan yang dibawa menuju Masjid Agung, dimana diselenggarakan do'a dan upacara persembahan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada upacara ini, sebagian gunungan, yang dipercaya memiliki daya tuah terutama bagi kaum tani, dibagi-bagikan kepada masyarakat dengan cara diperebutkan. Masyarakat berebut mendapatkannya. Menutut anggapan mereka, dengan mendapatkan bagian dari gunungan ini, tekad mereka akan dapat semakin kuat. Dan bila di tanam di lahan persawahan, maka hasil panen mereka akan melimpah. Mereka meyakini bahwa khasiat do'anya dapat membawa berkah dari Tuhan berupa kesuburan dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman. Tak hanya Upacara Grebeg Maulud, banyak upacara kebudayaan lainnya yang diselenggarakan di Yogyakarta. Salah satunya adalah Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 Bulan Besar, berkaitan dengan peringatan Hari Raya Qurban – Idhul Adha. Upacara lainnya adalah Grebeg Syawal yang di selenggarakan pada tanggal 1 Syawal sebagai ucapan terimakasih dan rasa syukur masyarakat Yogyakarta kepada Tuhan, dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh.(yds)
Media Dakwah adeenz.wordpress.com/. Menjelang shalat, saat malam takbiran, atau ketika acara-acara keagamaan digelar, bedug dominan menjadi instrumen pembuka. Sejak kapan budaya ini ada ?
Bedug adalah salah satu media dakwah yang digunakan Walisongo saat mengajarkan Islam di tanah Jawa. Walisongo biasanya menggantungkan bedug di sebuah masjid atau surau untuk kepentingan ibadah. Alat itu kemudian ditabuh lima kali sehari guna menandai awal waktu shalat. Pada perkembangan berikutnya, bedug semakin lekat dengan masjid, seraya dipakai untuk menandai berbagai peristiwa penting keagamaan, terutama menyambut Ramadhan dan Idul Fitri. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menengarai, kepercayaan masyarakat itu sangat mungkin benar. Karena beberapa elemen lain dalam masjid juga diadopsi dari luar budaya Islam. Menara masjid, misalnya, diduga berasal dari tempat pemujaan Dewa Api dalam tradisi Majusi. Saat Islam datang, menara dialihfungsikan menjadi tempat adzan dan landmark bangunan ibadah. Demikian pula kubah yang asalnya diperkirakan bukan dari Arab, tapi Romawi. Kubah kemudian dipadukan dalam masjid, agar suara orang yang beribadah jadi lebih bergema, dan lengkungan atapnya diperlukan untuk ventilasi udara segar. Adopsi budaya ini menghasilkan identifikasi yang unik. Sejak Islam datang ke Nusantara, bedug sudah dipakai hampir di seluruh masjid. Suara bedug biasa dijadikan tanda bagi para pengelana akan adanya sebuah desa. Saat itu sudah banyak bedug ditempatkan di beberapa masjid. Seperti Masjid Agung Sumedang, Jawa Barat, yang telah memiliki bedug sejak tahun 1850.
Tokoh Pembaharu Islam Indonesia0
Pembawa obor Islam yang mula-mula ke Indonesia adalah kaum saudagar, yang disamping mereka berniaga berjual-beli, langsung menyiarkan agama Islam. Tetapi setelah Indonesia jatuh ke bawah cerpu telapak kaki penjajah Belanda, mereka menetapkan saja bahwa Islam masuk ke Indonesia di dalam kurun Ketiga Belas Masehi, karena di abad itulah berdiri Kerajaan Islam di Pasai, Aceh. Padahal sudah barang tentu bahwa bukanlah kerajaan yang berdiri lebih dahulu sebelum ada rakyat. Tetapi di permulaan abad keenam belas, yaitu tahun 1511, didorong oleh rasa benci yang sangat mendalam diantara kerajaan-kerajaan Kristen bekas Perang Salib dan sesudah runtuhnya Kerajaan Islam di Andalus, bangsa Portugis telah menyerang Malaka sehingga jatuh. Dan diakhir abad itu, yaitu tahun 1596, masuklah Belanda ke pelabuhan Banten yang permai, terletak di Pulau Jawa sebelah Barat. Setelah itu, satu demi satu masuklah pengaruh mereka menaklukkan, kadang-kadang secara kekerasan dan kadang-kadang secara tipuan, baik di Jawa atau di Sumatera atau di pulau-pulau yang lain. Maka dengan segala daya dan upaya, tipu dan daya, berusahalah mereka menghapus pengaruh Islam yang menjadi sendi kekuatan bangsa Indonesia itu, baik denganpedang ataupun dengan siasat lain. Maka dalam masa 442 tahun di Semenanjung Tanah Melayu (yang telah mencapai kemerdekaannya 31 Agustus 1957 yang lalu), dan 350 tahun di Indonesia, mereka berusaha keras memadamkan cahaya Islam. Tetapi Allah tidak mau melainkan disempurnakanNya juga cahayaNya, bagaimanapun juga orang kafir menolaknya! Hampir 4 abad lamanya kami berjuang untuk tetap hidup, kami berjuang untuk mempertahankan supaya agama kami jangan hapus karena pengaruh kekuasaan asing yang berbeda agama itu. Segala sesuatu telah diambil dengan paksa dari tangan kami, sejak dari kekuasaan raja-raja kami sampai kepada kekayaan tanah kami yang subur dan pusaka nenek moyang kami. Sehinga yang tinggal pada kami hanyalah satu saja lagi, yang mereka tidak sanggup mengambilnya, yaitu Iman dan kepercayaan kami yang dalam dan teguh, yaitu “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah!”.
Tradisi Menghormati Ibunda Sunan Giri Dewi Sekardadu dan Nyadran Sidoarjo
Upacara tradisional nyadran yang dilakukan masyarakat nelayan di Sidoarjo, setiap tahun, dipusatkan di makam GUSTI AYU DEWI SEKARDADU, Dusun Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran.. "Dewi Sekardadu itu bukan orang sembarangan. Beliau ibundanya Raden Paku, salah satu wali penyebar agama Islam," . Cerita bermula dari Tanah Blambangan, Banyuwangi, pada masa Prabu MINAK SEMBUYU. Dewi Sekardadu, putri Minak Sembuyu yang cantik jelita, diserang penyakit sangat berat. Segala macam upaya sudah dicoba, tabib-tabib terkenal sudah bekerja, tapi sia-sia. Pada tahun 1362 (versi Pak Durohim), kebetulan Syech MAULANA ISKAK (asal Yaman) tengah menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Waktu itu, ujung rezim Majapahit, penduduk tanah Jawa memang belum banyak memeluk Islam. Kebetulan Maulana berada di Blambangan. Raja yang putus asa akhirnya bikin sayembara. Siapa yang bisa menyebuhkan Dewi Sekardadu akan dijadikan mantu kalau masih muda. Kalau sudah tua, jadi kerabat kerajaan. Maulana, sang ustad, ikut sayembara, dan akhirnya sukses menyembuhkan Dewi Sekardadu. Syech dari Timur Tengah itu pun menikah dengan DEWI SEKARDADU BINTI MINAK SEMBUYU. "Tapi Raja nggak suka Maulana karena nggak mau jadi Islam. Itu membuat permusuhan di antara mereka. Tegang terus," tutur Pak Durohman. Diserang terus oleh Minak Sembuyu membuat Maulana pamit mundur kepada istrinya. Saat itu Dewi sudah hamil tujuh bulan. Kalau lahir laki-laki, pesan Maulana, namakan dia RADEN PAKU. Syech Maulana kemudian meninggalkan Blambangan, pergi berdakwah di tempat lain. "Tahun 1365 Sunan Giri alias Raden Paku lahir," kata Durohim. Raja Blambangan murka. Ia khawatir Raden Paku bakal merusak wibawanya. Karena itu, ia memutuskan untuk membuang cucunya ini ke laut. Para prajurit memasukkan si bayi
ke dalam peti dan mengapungkannya. Mengetahui anak tercintanya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri ke laut mengejar-ngejar anaknya. Sia-sia. Gelombang terlalu besar, dan apalah kemampuan berenang manusia. Singkat cerita, kata Durohman, jasad Dewi Sekardadu dan peti pembawa Raden Paku harus berpisah. Dewi Sekardadu dibawa ke arah Sidoarjo, sementara peti berisi bayi Raden Paku nyasar ke Gresik. Kebetulan, pada 1365 itu, ada nelayan Balongdowo [Sidoarjo] tengah mencari kerang di perairan Selat Madura. Kaget sekali mereka melihat jasad perempuan cantik yang digotong ramai-ramai oleh ikan keting. Jasad itu terdampar di pantai, dan dikebumikan secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan KETINGAN alias KEPETINGAN. SEPERTI babat atau cerita rakyat lainnya, urusan makam DEWI SEKARDADU memang ada beberapa versi. Konon, makam ibunda Sunan Giri ini ada di tiga, bahkan tujuh tempat. Abdul Rohim alias Pak Durohim, penjaga makam Dewi Sekardadu di Kepetingan, tenang-tenang saja. Bagi nelayan Ketingan, Balongdowo, dan Bluru Kidul, kontroversi seputar lokasi makam Dewi Sekardadu tidak begitu penting. Yang paling penting, Dewi Sekardadu bukan orang sembarangan karena ia ibunda Sunan Giri, salah satu wali penyebar Islam di Jawa. Karena itu, ritual nyekar atau ziarah di makam Dewi Sekardadu menjadi tradisi turuntemurun para nelayan di Sidoarjo. Upacara nyadran senantiasa menjadi momen untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang telah mereka nikmati. Mereka juga berdoa, menggelar pengajian di kompleks makam Dewi Sekardadu, agar rezeki dari laut selalu dilimpahkan kepada para nelayan. "Tempatnya bagus untuk berdoa, sekaligus syukuran," kata Haji Waras. Begitulah. NYADRAN alias TASYAKURAN LAUT alias PETIK LAUT selalu menjadi hajatan meriah bagi keluarga besar nelayan Sidoarjo. Sebuah tradisi orang kampung untuk bersyukur kepada Allah yang Mahabesar. Posted by Lambertus L. Hurek at 11:38 AM 2 comments Labels: cagar budaya