Tidakkah engkau mengindahkan sejarah, bangsa mahasiswa ? Pendahuluan Dalam suatu acara sakral –pengulangan hari kelahiran- Pramoedya Ananta Toer sempat meberi pecutan bagi para golongan intelektual lewat pertanyannya, kala itu tahumn 20016, “mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, sekarang tidak menghasilkan tokoh politik nasional ? Padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh nasional. Mengapa sekarang tidak ?” Pertanyaan tersebut mengajak kita untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam gerakan mahasiswa atau pemuda di era reformasi lampau. Turunnya mahasiswa bersama rakyat yang berhasil melengserkan tahta Soeharto yang telah dipegangnya selama 32 tahun pada Mei 1998, tidak serta – merta menyingkirkan orang – orang didalam lingkaran orde baru. Ini ditandai dengan kosongnya tokoh dari para penyeru reformasi kepemimpinan didalam ranah pemerintahan, yang berakibat pada pengambilalihan gerakan mobilisasi massa yang begitu besar oleh tokoh yang memang masih dalam lingkar orba seperti Gus Dur, Megawati didetik-detik terakhir. Sehingga reformasi yang dulu digembor-gemborkan bahkan sampai saat ini semu akan perubahan besar, dengan alasan kuat adanya kroni-kroni orde baru di pusat kepemerintahan. Setelah hampir 19 tahun masa reformasi, banyak sekali kegundahan rakyat terhadap aktivisme Mahasiswa. Mitos Mahasiswa sebagai agent of change semakin jelas palsunya. Para mahasiswa lebih senang dan bangga duduk manis ditempat perbelanjaan ataupun tempat nongkrong modern atau bahkan menjadi penonton bayaran di acara-acara TV. Ironisnya, disana mereka dengan leluasanya berbicara menyoal artis idola, film populer, dan gaya hdiup hedonis semacamnya, dan bahkan sesekali menghujat adanya demo yang mengatasnamakan kondisi sosial rakyat bawah yang menyebabkan kemacetan dijalanan. Disisi lain gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan hanya berkutat dengan isu isu elit yang bahkan tidak mencerminkan kesepantasannya sebagai mahasiswa sendiri. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar yang mungkin mendatangkan artis papan atas sahaja. Nah, kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer (EO) ? mungkin bisa dihitung dengan jadi berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berjalan di rel yang seharusnya dalam memperjuangkan kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa yang memang menjadikan mereka sebagai icon intelek perjuangan. Peristiwa itu bukan hal yang tak ada latarbelakangnya, tetapi tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah perjalanan bangsa ini. Para pakar beranggapan hal ini adalah kesalahan paham neoliberalisme yang menyebabkan banyak praktek komersialisasi pendidikan ataupun memang dari pengaruh kebudayaan yang dibiasakan. Namun, analisa tersebut meletakan posisi mahasiswa layaknya makhluk pasif tanpa pergerakan, padahal mahasiswa sendiri adalah manusia penuh gejolak pergerakan. Itu adalah faktor eksternal, dan mungkin adanya faktor internal adalah doktrin pemikiran yang mengotak – kotakan permasalahan dalam batasan yang keterlaluan.