TENTARA NASIONAL INDONESIA DAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (INDONESIAN ARMY)
TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (INDONESIAN NAVY)
TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN UDARA (INDONESIAN AIR FORCE)
KEPOLISAN NEGARA REPUBLIK INONESIA (INDO NESIAN POLICE)
Kronologi sengketa Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masingmasing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. , sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia Keputusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan. Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak
untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad. Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan ma salah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar engacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.