Teladan Khalifah Umar Bin Khattab Saat Dinasihati Rakyatnya.docx

  • Uploaded by: prims .multimedia
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Teladan Khalifah Umar Bin Khattab Saat Dinasihati Rakyatnya.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,760
  • Pages: 11
Teladan Khalifah Umar bin Khattab Saat Dinasihati Rakyatnya Khaulah binti Tsalabah tercatat sebagai perempuan pemberani. Tak tanggung-tanggung, dia pernah menasihati Umar bin Khattab, khalifah kedua kaum Muslim yang membuat takut jin dan setan. Imam al-Qurthubi menceritakan, pada suatu hari Amirul Mukminin pernah berjumpa dengan seorang perempuan di jalan. Saat itu, Umar diiringi banyak orang yang menunggang kuda. Perempuan itu memintanya berhenti. Umar pun berhenti. Dinasihatilah Umar oleh perempuan itu. Ia berkata, "Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut pada siksa." Umar yang terkenal karena ketegasannya menyimak nasihat wanita itu sambil berdiri. Hingga setelah beberapa waktu, ada seorang yang bertanya kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau mau berdiri seperti itu untuk mendengarkan wanita tua renta ini?" Umar menjawab, "Demi Allah, kalau sekiranya beliau menahanku dari permulaan siang hingga akhir siang, aku tidak akan bergeser kecuali untuk shalat fardhu. Tahukah kalian siapa perempuan renta ini?" "Dia adalah Khaulah binti Tsalabah. Allah mendengar perkataannya dari atas tujuh langit. Apakah Tuhan seluruh alam mendengarkan ucapannya, tetapi lantas Umar tidak mendengarkannya?" Khaulah binti Tsa'labah berasal dari kalangan perempuan Anshar. Doa dan gugatannya didengar oleh Allah hingga menjadi sebab turunnya surah Mujadalah ayat 1-4. Kisah ini tidak hanya menunjukkan kemuliaan Khaulah, tapi juga keindahan adab Umar, sang khalifah.

Kisah Teladan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada tahun (599-661 M), satu-satunya manusia yang dilahirkan di bawah naungan Ka’bah. Dengan nama asli Haidar, nama ini diharapkan oleh keluarganya mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah. Nama Ali ini, merupakan panggilan Rasulullah. Ali yang berarti tinggi. Ali dilahirkan dari pasangan Abu Thalib dan Fatimah bin Asad, keduanya merupakan keturunan Bani Hasyim dan termasuk sepupu dari Rasulullah. Ketika Abu Thalib mengalami kebangkrutan dalam usahanya, ia mengirim putra-putranya ke tempat saudara-saudaranya. Ali bin Abi Thalib di asuh oleh Rasulullah bersama istrinya Khadijah Al-Kubra. Karena Rasulullah tidak mempunyai anak laki-laki, Nabi sering memperlakukan Ali bin Abi Thalib sangat istimewa. Ketika Rasulullah menerima wahyu Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau lebih tepatnya orang kedua yang percaya setelah istri Nabi yaitu Khadijah. Pada waktu itu usia Ali masih sekitar 10 tahun. Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah Ali dinikahkan oleh Rasulullah dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Rasulullah menimbang Ali

yang paling tepat dalam banyak hal salah satunya dari kalangan Bani Hasyim, dan Ali pula yang paling dulu mempercayai kenabian Muhammad setelah Khadijah. Ali bin Abi Thalib selalu belajar di bawah bimbingan Rasulullah langsung dalam banyak hal lain. Ali bin Abi Thalib merupakan panglima perang yang gagah berani dengan pedangnya yang bernama Dzulfikar menebas musuh-musuhnya di medan pertempuran melawan kafir Quraisy. Ali bin Abi Thalib telah banyak mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah kecuali pada perang Tabuk, dia terkenal dalam ketangguhan menunggang kuda dan keberaniannya, dia merupakan salah seorang yang di jamin masuk surga oleh Rasulullah, pada saat dirinya masih hidup, dialah kesatria umat Islam. Para sejarah Islam berpendapat bahwa kulit Ali berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar, berbadan besar, berwajah tampan, dan di beri nama kunyah oleh Rasulullah dengan sebutan Turab. Sahabat yang satu ini memiliki citra kepahlawanan yang sangat cemerlang sebagai bukti atas keberaniannya dalam membela agama Islam. Di antaranya, dia menginap di ranjang Rasulullah pada saat peristiwa hijrah, dia mempersembahkan dirinya untuk sebuah kematian demi membela Rasulullah, dialah orang pertama bersama Hamzah dan Ubaidah bin Al-harits yang memenuhi panggilan perang tanding. Dan dia juga termasuk kelompok kecil yang tetap tegar bersama Rasulullah pada perang Uhud. Pada perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam, Ali bin Abi Thalib menjadi pahlawan di samping Hamzah. Banyak dari kalangan kaum kafir Quraisy tewas di tangan Ali, dalam usia yang masih mudah yaitu sekitar 25 tahun. Perang Khandaq merupakan saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Amar bin Abdi Wud mengajak duel kepada tentara Islam sebelum peperangan dimulai. Dia berkata: Di manakah surga yang kalian klaim bahwa jika mati kalian pasti memasukinya? Apakah kalian tidak memberikan aku seorang lelaki untuk berperang melawanku? Maka Ali bin Abi Thalib keluar menghadapinya. Kemudian Amar bin Abdi Wud berkata: Kembalilah wahai anak saudaraku, dan siapakah paman-pamanmu yang lebih tua darimu, sesungguhnya aku tidak suka menumpahkan darah seorang lelaki sepertimu. Maka Ali bin Abi Thalib berkata: “Demi Allah, aku tidak sedikit pun merasa banci menumpahkan darahmu. Maka Amar pun marah dan turun dengan menghunus pedangnya seperti kilatan api, lalu bergegas menantang Ali dengan emosi yang meluap. Maka Ali pun menghadapinya dengan sebuah perisai lalu Amru menyabetkan pedangnya hingga menancap pada perisai dan melukai kepala Ali, kemudian Ali memukulkan pedangnya ke pundak musuhnya sehingga, Amar tersungkur hingga terdengarlah suara gaduh para prajurit Islam, Kemudian setelah Rasulullah mendengar suara takbir, maka beliau mengetahui bahwa Ali telah menewaskan musuhnya. Ketika Ali bin Abi Thalib kembali, Rasulullah mencium Ali dengan berurai air mata. Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, di kemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Rasulullah bersabda: “Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan RasulNya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Ali merupakan salah seorang yang dididik langsung oleh nabi sejak kecil, sehingga pengetahuan ilmunya sangat luas, baik pemahaman tentang Islam, dalam memerintah, dan bergaul antar sesama. Sehingga Rasulullah bersabda tentang keilmuan Ali bin Abi Thalib, “Ana Madinatul ilmi wa Aliyyun babuha. Faman Aradal madinah fa ya’tihamin babihi- Akulah kota ilmu dan Ali-lah pintunya Barang siapa yang mau memasuki kota, hendaklah ia datang melalui pintunya”. Hadits ini sanadnya bersambung langsung sampai Rasulullah. Ada satu peristiwa yang menandakan bahwa Ali cerdas dalam ilmunya, datang seorang wanita kepada Umar bin Khathab dan telah melahirkan seorang anak lelaki yang telah berumur enam bulan lalu diperintahkan agar wanita tersebut di rajam. Maka Ali berkata kepada Umar: Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala: Ali berkata: Masa kehamilan adalah enam bulan dan menyapihnya dalam masa dua tahun. Maka Umar pun menggagalkan eksekusi rajam dan dia berkomentar: Sebuah perkara yang seandainya Ali bin Abi Thalib tidak memberikan pendapat padanya maka niscaya aku binasa. Di antara perkataan Ali bin Abi Thalib adalah, “ambillah lima perkara dariku janganlah seorang hamba mengharap kecuali kepada Tuhannya, tidak khawatir kecuali terhadap dosa-dosanya, janganlah orang yang tidak mengetahui merasa malu bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya, dan janganlah orang yang alim merasa malu mengatakan: “Allah yang lebih mengetahui” jika dia ditanya tentang perkara yang tidak diketahuinya, kedudukan sabar terhadap keimanan sama seperti kedudukan kepala dalam jasad dan tidak ada keimanan tanpa kesabaran. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, dalam pemerintahannya Ali bin Abi Thalib mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena di bunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang bersal dari golongan Khawarij saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tahun 19 Ramadhan, dan Ali pun menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 13 Rmadhan tahun 40 Hijriah. Ali kuburkan secara Rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa Ali dikubur di tempat lain. Akan tetapi yang jelas seorang Ali bin Abi Thalib merupakan kesatria panglima Islam dalam menumpas kafir Quraisy demi tegaknya kalimah “Laaila ha illlah Muhammadar Rasulullah”.

Keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling mulia, bahkan dikatakan ia adalah manusia termulia setelah para nabi dan rasul. Keutamannya adalah sesuatu yang melegenda, hal itu diketahui oleh kalangan awam sekalipun. Membaca kisah perjalanan hidupnya seakan-akan kita merasa hidup di dunia hayal, apa benar ada orang seperti ini pernah menginjakkan kaki di bumi? Apalagi di zaman kita saat ini, memang manusia teladan sudah sulit terlestari.

Namun seiring pergantian masa dan perjalanan hidup manusia, ada segelintir orang atau kelompok yang mulai mencoba mengkritik perjalanan hidup Abu Bakar ash-Shiddiq setelah Allah dan Rasul-Nya memuji pribadinya. Allah meridhainya dan menjanjikan surga untuknya, radhiallahu ‘anhu. ٍ ‫ضوا َع أنهُ َوأَ َع َّد لَ ُه أم َجنَّا‬ ‫ت تَجأ ِري‬ ُ ‫َّللاُ َع أن ُه أم َو َر‬ َّ ‫ي‬ ِ ‫ان َر‬ َ ‫ار َوالَّذِينَ اتَّبَعُو ُه أم بِإِحأ‬ ِ ‫َوالسَّابِقُونَ أاْل َ َّولُونَ ِمنَ أال ُم َه‬ َ ‫اج ِرينَ َو أاْل َ أن‬ ٍ ‫س‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ض‬ َٰ ‫أ‬ ‫أ‬ َ َ ‫ار خَا ِلدِينَ فِي َها أبَدًا ۚ ذَلِكَ الفَ أو ُز العَ ِظي ُم‬ ُ ‫تَحأ ت َ َها أاْل أن َه‬ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100) Kritik tersebut mulai berpengaruh pada jiwa-jiwa yang mudah tertipu, kepada hati yang lalai, dan kepada pribadi-pribadi yang memiliki hasad kepada generasi pertama. Kali ini kita tidak sedang menceritakan kepribadian Abu Bakar secara utuh, karena hal itu sulit diceritakan di tulisan yang singkat ini. Tulisan ini akan menyuplikkan sebagian teksteks syariat yang menjelaskan tentang kemuliaan Abu Bakar. Nasab dan Karakter Fisiknya Nama Abu Bakar adalah Abdullah bin Utsman at-Taimi, namun kun-yahnya (Abu Bakar) lebih populer dari nama aslinya sendiri. Ia adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Ta-im bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasyi at-Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Luai. Ibunya adalah Ummu al-Khair, Salma binti Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Ta-im. Dengan demikian ayah dan ibu Abu Bakar berasal dari bani Ta-im. Ummul mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anhu menuturkan sifat fisik ayahnya, “Ia seorang yang berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya, wajahnya selalu berkeringat, hitam matanya, dahinya lebar, tidak bisa bersaja’, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan memakai inai atau katam (Thabaqat Ibnu Sa’ad, 1: 188). Adapun akhlak Abu Bakar, ia adalah seorang yang terkenal dengan kebaikan, keberanian, sangat kuat pendiriannya, mampu berpikir tenang dalam keadaan genting sekalipun, penyabar yang memiliki tekad yang kuat, dalam pemahamannya, paling mengerti garis keturunan Arab, orang yang bertawakal dengan janji-janji Allah, wara’ dan jauh dari kerancuan pemikiran, zuhud, dan lemah lembut. Ia juga tidak pernah melakukan akhlakakhlak tercela pada masa jahiliyah, semoga Allah meridhainya. Sebagaimana yang telah masyhur, ia adalah termasuk orang yang pertama memeluk Islam.

Keutamaan Abu Bakar – Orang yang Rasulullah Percaya Untuk Menemaninya Berhijrah ke Madinah ‫َّللا َم َعنَا‬ ِ ‫ص‬ َّ ُ‫ص َره‬ ُ ‫ِإ ََّّل ت َ أن‬ َ ‫َار إِ أذ يَقُو ُل ِل‬ َ َ‫ص ُروهُ فَقَ أد ن‬ ِ ‫ي اثأنَي ِأن ِإ أذ هُ َما فِي أالغ‬ َ َّ ‫اح ِب ِه ََّل تَحأ زَ أن ِإ َّن‬ َ ِ‫َّللاُ ِإ أذ أ َ أخ َر َجهُ الَّذِينَ َكفَ ُروا ثَان‬ “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. (QS. At-Taubah: 40) Dalam perjalanan hijrah ini, Abu Bakar menjaga, melayani, dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mempersilahkan Rasul untuk beristirahat sementara dirinya menjaganya seolah-olah tidak merasakan letih dan butuh untuk istirahat. Anas bin Malik meriwayatkan dari Abu Bakar, Abu Bakar mengatakan, “Ketika berada di dalam gua, aku berkata kepada Rasulullah, ‘Sekiranya orang-orang musyrik ini melihat ke bawah kaki mereka pastilah kita akan terlihat’. Rasulullah menjawab, ‘Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang manusia sementara Allah menjadi yang ketiga (maksudnya Allah bersama dua orang tersebut)’. Rasulullah menenangkan hati Abu Bakar di saat-saat mereka dikepung oleh orang-orang musyrikin Mekah yang ingin menangkap mereka. – Sebagai Sahabat Nabi yang Paling Dalam Ilmunya Abu Said al-Khudri mengatakan, “Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah telah menyuruh seorang hamba untuk memilih dunia atau memilih ganjaran pahala dan apa yang ada di sisi-Nya, dan hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi Allah’. Kata Abu Sa’id, “(Mendengar hal itu) Abu Bakar menangis, kami heran mengapa ia menangis padahal Rasulullah hanya menceritakan seorang hamba yang memilih kebaikan. Akhirnya kami ketahui bahwa hamba tersebut tidak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Abu Bakar-lah yang paling mengerti serta berilmu di antara kami. Kemudian Rasulullah melanjutkan khutbahnya, “Sesungguhnya orang yang paling besar jasanya dalam persahabatan dan kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan memilih kekasih selain Rabbku, pasti aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih, namun cukuplah persaudaraan se-Islam dan kecintaan karenanya.” – Kedudukan Abu Bakar di Sisi Rasulullah Dari Amr bin Ash, Rasulullah pernah mengutusku dalam Perang Dzatu as-Salasil, saat itu aku menemui Rasulullah dan bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang paling Anda

cintai?” Rasulullah menjawab, “Aisyah.” Kemudian kutanyakan lagi, “Dari kalangan lakilaki?” Rasulullah menjawab, “Bapaknya (Abu Bakar).” – Saat Masih Hidup di Dunia, Abu Bakar Sudah Dipastikan Masuk Surga Abu Musa al-Asy’ari mengisahkan, suatu hari dia berwudhu di rumahnya lalu keluar menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa berangkat ke masjid dan bertanya dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dijawab bahwa Nabi keluar untuk suatu keperluan. Kata Abu Musa, “Aku pun segera pergi berusaha menysulunya sambil bertanya-tanya, hingga akhirnya beliau masuk ke sebuah kebun yang teradapat sumur yang dinamai sumur Aris. Aku duduk di depan pintu kebun, hingga beliau menunaikan keperluannya. Setelah itu aku masuk ke kebun dan beliau sedang duduk-duduk di atas sumur tersebut sambil menyingkap kedua betisnya dan menjulur-julurkan kedua kakinya ke dalam sumur. Aku mengucapkan salam kepada beliau, lalu kembali berjaga di depan pintu sambil bergumam “Hari ini aku harus menjadi penjaga pintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tak lama kemudian datanglah seseorang ingin masuk ke kebun, kutanyakan, “Siapa itu?” Dia menjawab, “Abu Bakar.” Lalu kujawab, “Tunggu sebentar.” Aku datang menemui Rasulullah dan bertanya padanya, “Wahai Rasulullah, ada Abu Bakar datang dan meminta izin masuk.” Rasulullah menjawab, “Persilahkan dia masuk dan beritahukan padanya bahwa dia adalah penghuni surga.” Penutup Demikianlah Abu Bakar ash-Shiddiq dengan keutamaan-keutamaan yang ada padanya. Sebuah keistimewaan yang mungkin tidak pernah terlintas di benak kita, kita dijamin surga, menjadi kekasih Rasul, orang kecintaan Rasulullah, dan sahabat dekatnya. Lalu bagaimana bisa di hari ini ada orang yang merendahkan kedudukan beliau, setelah Allah dan Rasul-Nya memuliakan dia? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari sifat buruk yang merendahkan wali-Nya, menjadi musuh orang yang Dia cintai. Semoga Allah meridhai Abu Bakar ash-Shiddiq.

Teladan Kepemimpinan Utsman bin ‘Affan Radhiallahu’anhu Kepemimpinan bukanlah suatu perkara yang ringan sebagaimana anggapan sementara sebahagian orang. Bahkan kepemimpinan merupakan suatu tanggungjawab besar yang hanya bisa dibawa oleh orang-orang tangguh yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri sebelum datangnya hari di mana ia ditunjuk sebagai pemimpin umat. Tampuk kepemimpinan juga tidak bisa diberikan pada sembarang orang dan tidak pula bisa diwariskan turun temurun kecuali jika keriteria yang menerima sudah dipandang cukup dan matang. Pada umumnya, orang yang diberi kursi kepemimpinan sebuah negeri tidak lain merupakan orang yang paling hebat dan mulia di zamannya sehingga secara umum

tidak ada yang lebih berhak menerima tanggungjawab besar ini kecuali dirinya. Demikian ini merupakan corak kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin. Namun nampaknya hal semacam ini jarang terjadi di masa sekarang. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu merupakan salah satu dari empat khulafa’ rasyidin tersebut. Berbagai sifat terpuji membuat semua orang tidak ragu memberikannya tampuk kepemimpinan setelah sepeninggalan khalifah kedua, ‘Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu. ‘Utsman merupakan satu dari sekian banyak lulusan terbaik dari madrasah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Darinya lah kepribadian ‘Utsman yang tangguh itu terbentuk. Berbagai keilmuan beliau serap dari sang nabi terakhir itu. Sebuah berkah dari kebersamaannya bersama Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, baik ketika masih di Madinah maupun ketika sudah berhijrah ke Makkah. Satu contoh kongkrit bagaimana ‘Utsman menerima pengajaran dari madrasah kenabian itu ialah kealimannya tentang Al-Quran. Darinya, beliau meriwayatkan sebuah hadits masyhur yang selalu dijadikan sebagai syiar ahli Quran, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”. Tentang bagaimana ‘Utsman beserta shahabat lain mempelajari Al-Quran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka mari kita dengarkan penuturan Abu ‘Abdurrahman As-Sulami. Beliau bercerita, “Orang-orang yang mengajari kami Al-Quran –seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya- menceritakan, bahwa jika mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka mereka tidak akan melampaunya sampai mereka mempelajari ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, ‘Jadi kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amalnya sekaligus”. Sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ‘Utsman sempat menyetorkan hafalan Al-Quran dari awal hingga akhir kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Diceritakan bahwa ‘Utsman radhiallahu’anhu mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rekaat, yaitu rekaat witir. Dan ini merupakan salah satu kebiasaanya. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (VII/215), Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Hal seperti ini telah diriwayatkan dari selain jalur ini, bahwa beliau shalat satu rekaat dengan AlQuran di sisi Hajar Aswad, di waktu haji. Ini merupakan salah satu kebiasaannya. Semoga Allah meridhainya”. ‘Utsman pernah berkata, “Dari dunia ini aku diberi kecintaan pada tiga hal, yaitu memberikan kekenyangan pada orang-orang yang kelaparan, memberikan pakaian pada orang-orang yang tidak punya pakaian, dan membaca Al-Quran”. Beliau juga pernah menyatakan, “Seandainya hati kita suci, tentulah kita belum lagi merasa kenyang terhadap kalam Rabb kita. Dan sesungguhnya diriku merasa benci ada hari di mana aku tidak melihat mushaf Al-Quran.” Dari sini nampaklah bagaimana kepribadian dan akhlak ‘Utsman terbentuk menyatu dalam dirinya. Sesungguhnya itu semua dari berkah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan kebiasaannya menjaga Al-Quran yang menjadikannya kuat menerima tampuk kepemimpinan sepeninggalan ‘Umar bin AlKhattab radhiallahu’anhu.

Baiklah. Kiranya beberapa hal di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana sosok kepribadian ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu. Mari sekarang kita lihat ketekadannya dalam memimpin umat. Dalam masa kepemimpinannya, ‘Utsman menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai pijakan kemudian apa saja yang telah digariskan dan diwariskan oleh dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan ‘Umar. Ini pulalah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang diketengahkan At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani, “Ikutilah dua orang sepeninggalanku,” seraya menunjuk Abu Bakar dan ‘Umar. Metode kepemimpinan ‘Utsman ini juga sudah beliau sampaikan di awal khutbah kepemimpinannya. Yaitu dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman kemudian petunjuk dua khalifah yang mendahuluinya. Kenyataan ini tentu mengingatkan kita pada sebuah kaidah kepemimpinan yang masyhur, yaitu sebuah ungkapan, “Mulailah dengan apa yang sudah dilakukan orang-orang terdahulu. Jangan memulai dari apa yang telah dimulai orang-orang terdahulu.” Maksudnya ketika memimpin atau aktifitas lainnya hendaknya dilakukan dengan meneruskan apa yang sudah dilakukan orang-orang terdahulu, bukan malah memulai sebagaimana orang-orang terdahulu memulai. Dari sekian banyak corak kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan ialah perhatiannya terhadap keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Keadaan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan antara diri seorang hamba dengan Rabnya dengan selalu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan-Nya dan tidak melampauinya. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan lurus dan kejayaan akan dapat dengan mudah digapai. Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam meriwayatkan, dari ayahnya, ia berkata, “Aku mendengar ‘Utsman bin Affan menyampaikan khutbah di hadapan orangorang. Beliau berkata, ‘Jauhilah khamr oleh kalian. Sebab, khamr merupakan porosnya segala kejelekan…’ Pada akhirnya beliau berkata, ‘Jauhilah khamr. Demi Allah, iman dan candu khamr tidak akan pernah bersatu dalam diri seseorang’”. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aku menyaksikan ‘Utsman dalam khutbahnya menyuruh agar anjing dapat dibunuh dan merpati dapat disembelih.” Sementara itu Zubaid bin Ash-Shalt mengatakan, “Aku mendengar ‘Utsman berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, jauhilah perjudian –maksudnya dadu. Sebab ada yang mengabariku bahwa ada dadu di rumah beberapa orang di antara kalian. Oleh sebab itu apabila ada dadu di rumahnya, hendaklah ia membakarnya atau menghancurkannya”. Di lain kesempatan ‘Utsman juga berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku sudah mengajak kalian bicara tentang dadu ini. Namun aku tidak melihat kalian membuangnya. Sungguh aku sudah berkeinginan agar kayu-kayu bakar itu dikumpulkan lantas kekirimkan ke rumah-rumah yang menyimpan dadu sehingga aku membakarnya di hadapan mereka”. Jual-beli merupakan aktifitas mutlak yang tidak bisa ditinggalkan oleh siapa pun. Dari aktifitas ini orang dapat memenuhi kebutuhannya. Ia salah satu kegiatan penting masyarakat. Oleh karena itu Utsman juga sangat memperhatikan aktifitas jual beli ini. Salah satunya mengenai harga barang-barang di pasaran. Sebab harga kerap kali menjadi keluhan masyarakat, terutama di masa sekarang ini. Semakin tinggi harga kebutuhan di masyarakat, maka asumsi kemiskinan semakin bertambah akan semakin

nampak jelas. Yang miskin bertambah miskin, sementara yang kaya lambat laun berubah miskin. Demikian teori yang dinyatakan sebagian pakar. Oleh sebab itu tolak ukur harga hendaknya diberikan sepenuhnya pada pemerintah yang sah agar orangorang pasar tidak sembarangan menentukan harga dagangannya yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan keresahan masyarakat. Dalam riwayat lain, sebagaimana yang dinukil As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’ hlm. 163 yang dinukilnya dari Thabaqat Ibnu Sa’d, selain menanyakan harga-harga di pasaran, ‘Utsman juga menanyakan tentang orang-orang yang tengah tergeletak sakit. Dalam Hilyah Al-Auliya (I/61), tersebut bahwa Abu Masyja’ah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi orang sakit bersama ‘Utsman. Ia pun berkata pada orang yang sakit itu, ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Maka orang yang sakit itu mengucapkannya. Utsman berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah melemparkan seluruh kesalahannya denga kalimat itu sehingga kesalahankesalahannya itupun hancur lebur.’ Aku bertanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau katakan? Atau engkau pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ Utsman menjawab, ‘Bahkan aku telah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, hal semacam ini keutamaan untuk orang yang sakit, lalu bagaimana untuk orang yang sehat?’ Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, ‘Untuk orang yang sehat lebih bisa lagi meleburkan kesalahan.’”. Jika ditelusuri lebih dekat lagi bagaimana perhatian besar Utsman terhadap rakyat yang dipimpinnya, tentu akan lebih sangat menakjubkan. Sebuah sikap yang patut diteladani setiap orang yang bertindak memimpin suatu negeri. Perhatiannya itu beliau tunjukkan dalam banyak kesempatan. Baik melalui surat-surat yang sampai padanya maupun dengan cara bertanya langsung kepada tamu-tamu Allah di musim haji. Selain itu beliau juga kerap menghubungi kepala-kepada daerah yang ditugaskannya untuk menanyakan keadaan rakyatnya. Walaupun mungkin dalam setiap urusan masyarakat ada orang-orang tertentu yang sudah ditunjuk kepala negara sebagai penanggungjawab, namun hal tersebut sebaiknya tidak menghalangi seorang pemimpin negara mencari tahu sendiri aktifitas yang tengah berlangsung. Tidak seperti sebagian pemimpin hanya karena sudah menugaskan orang tertentu sebagai penanggungjawab lalu jika ditanya tentang hal tersebut dengan mudah menjawab, “Bukan urusan saya”. Sebuah ungkapan ‘jitu’ untuk lari dari tanggungjawab besar seorang pemimpin negara. Hal rendah seperti ini tidak terjadi pada diri ‘Utsman bin ‘Affan Shallallahu’alaihi Wasallam saat dirinya menjabat sebagai kepala negara. Beliau bahkan dengan sendiri mencari tahu harga-harga barang di pasaran. Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidullah menceritakan, “Aku melihat ‘Utsman bin ‘Affan beserta seorang penyeru. Beliau mengajak orang-orang berbicara dan bertanya dan mencari tahu dari mereka tentang harga-harga dan berita-berita.” Dalam kesempatan itulah ‘Utsman mencari tahu tentang kebutuhan apa sajakah yang masih kurang di tengah rakyat yang dipimpinnya. Maka jika ia mengetahui tentang kebutuhan yang diperlukan rakyat, ia akan segera memenuhi kubutahan tersebut. Salah satu yang sering ia lakukan adalah memberikan biaya orang yang tengah melahirkan beserta nafkah untuk bayinya yang diambilnya dari baitul maal.

Ibnu Qutaibah dalam Al-Mushannaf fi Al-Hadits (III/1023) melaporkan dari ‘Urwah bin AzZubair, ia menuturkan, “Aku telah menjumpai zaman kepemimpinan ‘Utsman. Tidak ada jiwa muslim pun kecuali memiliki hak dari baitul maal”. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (X/386) menceritakan bahwa suatu saat ‘Utsman merasa kehilangan wanita yang biasa membantunya. Beliau diberi tahu bahwa ternyata wanita tersebut tengah melahirkan bayi. Maka beliaupun mengirimkan 50 dirham dan kain dari Sunbulani. Utsman berkata, “Pemberian dan pakaian ini untuk anakmu. Apabila dia sudah berusia setahun, kami akan menambahnya menjadi 100”. Demikian juga di antara kegiatan ‘Utsman demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dengan penuh kesejahteraan ialah memberikan arahan pada orangorang yang diberinya tugas memimpin suatu daerah tertentu. Hal tersebut beliau sampaikan dalam bentuk tulisan (surat) yang beliau kirimkan kepada setiap orang yang bertanggungjawab atas daerah-daerah yang dipimpinnya. Dalam surat tersebut, sebagaimana yang termaktub dalam Tarikh Ath-Thabari (V/244), ‘Utsman mengingatkan kewajiban mereka terhadap rakyat. Beliau mengatakan bahwa tugas mereka bukanlah mengumpulkan harta zakat, namun lebih kepada kepentingan serta kemaslahatan masyarakat umum. Oleh karena itu beliau menyebutkan langkah-langkah politik yang baik, yaitu dengan memberikan hak maysrakat sepenuhnya dengan tetap mengambil kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Dengan demikian, keadaan masyarakat akan menjadi stabil. Namun jika sebaliknya, perhatian pemimpin hanya berpusat pada penarikan zakat dari masyarakat, maka berarti sudah tidak ada lagi rasa malu pada diri mereka, amanah menjadi terlantarkan, dan tidak ada lagi sikap menunaikan janji. Sementara itu, beliau juga mengirim surat pada para panglima perang beserta pasukannya. Isinya pun berupa arahan dan petunjuk bagaimana menjadi panglima yang baik dan apa saja tugas yang semestinya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Beliau menulis, “Amma ba’d… Sesungguhnya kalian adalah penjaga kaum muslimin dan pembela mereka. ‘Umar telah menggariskan tugas untuk kalian yang masih kami ingat, bahkan beliau sampaikan di hadapan para pembesar kita. Oleh karena itu jangan sampai aku dengar dari salah seorang kalian ada yang mengubah dan menggantinya, sehingga Allah akan mengubahnya dengan kalian dan menjadikan orang lain menggantikan posisi kalian. Maka perhatikanlah masa depan kalian, aku pun akan memperhatikan apa saja yang telah Allah wajibkan atas diriku tentang apa saja yang semestinya kuperhatikan dan apa yang seharusnya kulakukan”. Demikian yang tercatat dalam Tarikh Ath-Thabari (V/244). Begitu pula surat edaran yang beliau tulis untuk masyarakat umum. Isinya pun berupa arahan dan anjuran bagaimana sebaiknya menjadi rakyat yang baik. Surat tersebut, seperti yang dicatat dalam Tarikh Ath-Thabari (V/245), antara lain menekankan agar umat selalu berada di dalam koridor agama yang dibangun berdasarkan ittiba’ (mencontoh dan meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dan agar tidak memberatkan diri serta melakukan perkara-perkara yang dibuat-buat (bid’ah). Sibuknya memimpin umat negara yang sudah hampir memasuki Eropa tidak kemudian membuat ‘Utsman melalaikan akan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah ‘Azza wa Jalla. Justru dalam kepemimpinannya ini beliau lebih memperbanyak beribadah kepada Allah dan bermunajat pada-Nya. Ia begitu sadar bahwa amanat serta tanggungjawab yang diembannya bukanlah perkara ringan. Oleh sebab itu hubungan antara dirinya dengan Rabb-nya kiranya dapat lebih dipererat lagi agar dalam

menjalankan tugas mendapat petunjuk dari-Nya. Gambaran banyaknya ibadah yang menjadi rutinitas Utsman salah satunya sudah kita sebutkan di atas. Ya. Beliau Biasa mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rekaat shalat di sisi Hajar Aswad. Oleh karena itu ketika menafsirkan ayat kesembilan dari surat Az-Zumar yang berbunyi: ‫اجدًا َوقَائِ ًما يَ أحذَ ُر أاْل ِخ َرةَ َويَ أر ُجو َرحأ َمةَ َربِ ِه‬ ِ ‫س‬ َ ‫أ َ َّم أن ه َُو قَانِتٌ آنَا َء اللَّ أي ِل‬ “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Az-Zummar: 9). ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu mengatakan, “Dia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.” Sementara itu ketika menafsirkan ayat: ‫ص َراطٍ ُّم أست َ ِق ٍيم‬ ِ ‫َه أل يَ أست َ ِوي ه َُو َو َمن يَأ أ ُم ُر بِ أالعَ أد ِل ۙ َوه َُو َعلَ َٰى‬ “Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (An-Nahl: 76). Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu menyatakan, “Dia adalah ‘Utsman”. Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu juga terkenal biasa melakukan puasa sepanjang masa dan pada malam harinya mengerjakan shalat sepanjang malam kecuali di awal malam yang digunakannya untuk memejamkan mata sejenak. Demikian seperti yang ‘terekam’ dalam Shifah Ash-Shafwah I/302. Selain itu Utsman juga dikenal sebagai sosok yang berkepribadian dermawan dan tawadhu’ meski sebagai orang nomor satu di zamannya. Mubarak bin Fadhalah meriwayatkan dari Al-Hasan, ujarnya, “Aku pernah melihat Utsman tidur di Masjid sedangkan selendangnya (kain yang biasa dikenakan untuk menutupi bagian atas badan) berada di bawah kepalanya. Orang-orang pun mulai berdatangan duduk di sisinya sehingga seakan-akan beliau bagian dari mereka.” Demikianlah sekelumit riwayat hidup Utsman radhiallahu’anhu di masa-masa kepemimpinannya. Tentu di sana masih banyak lagi potret kebijaksanaan dan keteladanan Utsman dalam memimpin yang kiranya perlu dicontoh oleh siapa saja yang tengah memegang tampuk kepemimpinan, sekecil apa pun kepemimpinan yang dipegangnya. Jika kita terus menelusuri sejarah Islam beserta tokoh-tokohnya, tentu kita akan merasa cukup mencari sosok dan pelajaran untuk masa depan yang lebih baik. Tidak ada tokoh dan keindahan sejarah mana pun yang dapat menandingi sejarah Islam serta para pelaku sejarah itu. Maka tidak ada teladan kecuali keteladanan dalam Islam. Namun sayang seribu sayang, kenyataan justru berkata sebaliknya. Banyak orang yang lebih mendahulukan sejarah dan ketokohan orang-orang Barat dibandingkan ketokohan umat Islam sendiri. Padahal jika sedikit saja mereka mau membuka matanya membaca sejarah Islam, tentu mereka akan merasa lebih daripada cukup. Wallahua’lam.

Related Documents


More Documents from "Nurul Mukhlisa"