SERIAL AYAT-AYAT DHU’AFA Tas Keresek Oleh : Syamsi Sarman, BAZ Tarakan
Siang ini aku kedatangan tamu istimewa, yakni seorang ibu dengan dua orang anak perempuan kecil. Dengan gaya menunduk-nunduk ia memasuki ruang kerjaku. Kata temanku, ibu ini sudah beberapa hari datang ingin menemuiku. Begitu pentingkah kataku dalam hati. Kulihat dua anak perempuan di sisinya tak begitu ceria seperti kebanyakan anak seusianya. Seakan melengkapi raut wajah dingin ibunya. Jelas sekali terlihat kalau mereka sedang memendam suatu masalah. Sang ibu seperti tak sabar ingin menumpahkan keluh kesahnya. Ia membuka cerita dengan kata terima kasih, karena suaminya telah mendapat bantuan dana untuk membeli sebuah perahu. “Alhamdulillah suami saya sudah bisa melaut mencari ikan,” katanya dengan rona gembira yang dipaksakan. Beberapa hari yang lalu memang BAZ (Badan Amil Zakat) membantu dana pembelian perahu seharga enamratus ribu Rupiah. “Tapi, pak” katanya lagi dengan rasa berat mengungkapkannya. “Ada apa, bu,” sambutku cepat. Lama ia terdiam, sehingga suasana sempat hening sejenak. “Ada apa, bu,” kataku lagi ditengah kesenyapan itu. Kulihat ia berusaha tegar untuk memulai menyusun kata-kata. “Ibu saya, pak. Ia meninggal sebelum sempat kami bawa berobat.” Aku mulai merasa tidak tahan ketika melihat mata ibu itu berkacakaca. Aku mulai kebingungan mencari kata-kata yang mau dilontarkan. “Lho, ibunya sakit apa ?” tanyaku. “Sebetulnya ia sudah lama sakit di kampung. Kami tak punya uang untuk membawanya berobat.” Ibu itu menjelaskan. Sesak dadanya terlihat menahan kesedihan. Aku terus ingin tahu padanya, “Kan, bisa diurus untuk mendapatkan askes gakin ?” Sambil mengelus kepala anak perempuannya ia menguraikan ceritanya, “Itulah masalahnya, ia tidak punya KTP. Dan untuk mendapatkan KTP sulit karena tidak ada surat pindah dari kampung. Mau diurus ke kampung, kan pakai ongkos lagi.” katanya dengan ucapan yang sudah sedikit lebih lancar. ”Belum lagi sempat selesai urusan KTP nya, si ibu meninggal ....” katanya sambil menutupkan kedua tangannya yang coklat kehitaman pada wajahnya. Aku sempat tertegun tak tahu mau bicara apa. Sebelum terucap ungkapan ”innalillahi wainna ilaihi roojiun.” Terbayang olehku betapa nyiris nasib ibu ini. Aku coba menggoyang-goyangkan kakiku di bawah meja, sekedar untuk menguasai perasaanku yang terbawa emosi. Sekaligus untuk memberikan keasadaran pada diri, bahwa yang kualami ini bukan sinetron ratapan anak tiri di televisi. Kualihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan anak-anaknya. ”Anak ibu dua orang ini ?” tanyaku menatap kearah anak perempuan yang terus menunduk. ”Ya, mereka ini kembar, Ada kakaknya dua orang. Yang pertama laki-laki dan yang kedua perempuan. Dan ada lagi adiknya umur dua tahun di rumah.” Terus terang aku enggan bicara soal keluarga berencana (KB) pada ibu ini. Kupikir tak banyak gunanya, toh semua sudah terjadi. ”Bagaimana sekolahnya, bu ?” Aku semakin ingin tahu keadaan keluarga yang duduk lesu dihadapanku ini. ”Sebenarnya itulah yang membuat saya datang lagi ke sini, pak. Kakaknya lulus SD tahun ini. Hampir tiap hari ia merengek mau masuk SMP. Tapi bapaknya tak mau. Saya juga tak tahu mau bilang apa. Kakaknya saja, anak saya yang pertama itu cuma sampai kelas empat. Sekarang ia harus membantu bapaknya ke laut. Suasana di ruang kerjaku kembali hening. Emosiku terpancing lagi. ”Bukankah sekarang sekolah tidak perlu bayar lagi. Ibu
masukkan saja anak ibu di SMP yang dekat, kemudian mintakan surat keterangan miskin dari kantor kelurahan,” kucoba memberi harapan. ”Betul kata bapak, tapi bagaimana saya membelikan bajunya, sepatunya, bukubukunya. Dua adiknya ini saja kadang bajunya bergantian. Setahun ini di kelas satu mereka tak pernah bersepatu kalau ke sekolah. Kami hanya belikan mereka sandal jepit. Mereka ke sekolah membawa tas keresek. Kalau sudah robek, ia ganti dengan tas keresek lainnya.” ”Cukup, bu. Saya sudah paham !” kataku menghentikan keluhannya. Aku merasa seperti ambruk. Sekarang giliran aku yang berusaha tegar mendengar ceritanya. Kugoyangkan lebih laju kakiku sambil sesekali menarik nafas panjang. Tiba-tiba terdengar suara azan dzuhur dari masjid agung yang tak jauh dari kantorku. Aku bergumam dalam hati. Ah, aku ingin mengadukan kegalauan hatiku pada Allah yang telah memanggilku. Allahu akbar, kebesaran asma Allah diawal azan itu telah memberiku inspirasi untuk membesarkan semangat hidup keluarga ini. ”Ibu, sekarang boleh pulang. Sampaikan pada anak ibu bahwa ia bisa masuk SMP. Daftarkan saja dimana ada SMP yang dekat. Nanti baju, tas, sepatu dan buku-bukunya akan kami berikan. Kamu juga (kataku kepada dua orang anak perempuan di samping ibu itu), nanti kami beri sepatu dan baju. Tas kereseknya nanti kami ganti dengan tas ransel yang bagus, lengkap dengan buku-bukunya. Ya bu, anak-anak ibu harus tetap sekolah. Dari BAZ akan membantu kesulitan keluarga ibu.” Kulihat ada kegembiraan di wajah mereka. Ibu itupun pamit pulang membawa kedua anaknya. Dari belakang kutatapi mereka meninggalkan kantor BAZ. Mereka nampak berbincang-bincang kecil sambil melangkah. Langkah-langkahnya terlihat lebih bersemangat. Sesekali anak-anak itu melompat girang. Aku bergegas menuju masjid agung. Azan telah berakhir saat aku mengambil air wudhu. Tak kulewatkan sholat ini untuk curhat kepada Allah. Kuungkapkan dalam doaku tentang tas keresek anak-anak yang malang. Tamu tadi memang istimewa. Ia bisa membuatku lebih khusyuk berbincang dengan Allah.