Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng as PDF for free.

More details

  • Words: 5,629
  • Pages: 21
SURVEI CAKUPAN IMUNISASI DI PROVINSI SULAWESI TENGAH SYAMSUDDIN HM JAMALUDDIN SAKKUNG NUR HASNI HARUN NI WAYAN FUAD ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (a) Untuk mengetahui respon ibu balita terhadap program imunisasi; (b)Untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah; (c) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi Penelitian ini mengambil lokasi pada tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Ketiga kabupaten /kota tersebut adalah Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Parimo. Pengambilan ketiga kabupaten/kota ini dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa ketiga kabupaten tersebut dapat merepresentasifan keadaan sebagai berikut. Kabupaten Banggai memiliki cakupan tinggi akan tetapi mengalami KLB campak. Kabupaten Morowali merepresentasikan cakupan rendah dengan KLB tinggi dan Kabupaten Parimo merepresentasikan cakupan tinggi tetapi tidak mengalami KLB di Sulawesi Tengah. Langkah – langkah penentuan sampel adalah sebagai berikut : Untuk penentuan sampel lokasi kabupaten ditentukan dengan pendekatan purposive sampling. Sementara untuk penentuan sampel kecamatan dan sampel desa dilakukan secara cluster. Sedangkan penentuan sampel ibu bayi dilakukan secara snowball method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon ibu balita terhadap program imunisasi masih relatif rendah. Rendahnya respon tercermin pada masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi bayi dari berbagai antigen yang ada.Tingkat cakupan imunisasi dari 5 antigen yang ada adalah sebagai berikut : Cakupan imunisasi kumulatif untuk vaksin BCG adalah sebesar 88 %. Cakupan Imunisasi kumulatif untuk DPT 75,75 %, Sementara untuk cakupan imunisasi campak sebesar 25,7 %.Tingkat cakupan imunisasi kumulatif polio sebesar 91,3% Sedangkan cakupan imunisasi kumulatif untuk HB sebesar 76,5 %.Faktor yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi adalah sebagai berikut : (1). adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah sebelum berusia 1 bulan,(2) masih adanya keengganan ibu bayi untuk mengimunisasi karena takut resiko sakit pada anak.(3) Jarak rumah dengan tempat pelayananan imunisasi. (4) Kurang tetapnya jadual imunisasi pada posyandu-posyandu tertentu.

2

I. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan yang telah dan tetap berlangsung sekarang ini telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap perbaikan kesehatan masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan masyarakat seperti angka kematian bayi yang semakin menurun, angka kematian balita, dan angka kematian ibu juga memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun serta umur harapan hidup yang semakin meningkat. Tapi bila dibandingkan dengan negara-negara di Asean tingkat derajat kesehatan masyarakat Indonesia justru menjadi terendah. Rendahnya kinerja kesehatan ini tidak terlepas dari masih terbatasnya infrastruktur kesehatan kita. Alokasi dana kesehatan masih sangat rendah. Keadaan ini sangat berpengaruh pada implementasi program-program kesehatan. Walaupun alokasi dana yang relatif terbatas jika dibandingkan program-program kesehatan yang ada, Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan tetap melakukan beberapa strategi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Diharapkan dengan adanya strategi-strategi ini akan memberikan dampak pada perbaikan pelayanan kesehatan yang selanjutnya akan memberikan pengaruh pada perbaikan derajat kesehatan masyarakat. Kematian Bayi, Kematian Balita, dan Kematian Ibu serta umur harapan hidup merupakan

indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

pembangunan di bidang kesehatan. Tinggi rendahnya angka kematian bayi dan balita serta angka kematian ibu sangat berhubungan dengan keadaan sosial dan ekonomi serta budaya masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar kesehatan menunjukkan bahwa penyebab kematian bayi adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti tetanus, neonatorum, difteri, pertussis dan campak. Melalui program imunisasi di masyarakat maka angka kematian bayi dapat diturunkan. Beberapa hal yang mempengaruhi upaya meningkatkan dan mempertahan Universal Child Immunisation (UCI) adalah pemantapan cold chain, peningkatan kemampaun pelayanan kesehatan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, pemahaman keluarga dan tokoh

3

masyarakat tentang pentingnya imunisasi serta upaya penggerakaan masyarakat (Rois, 2000 dalam Hariadi, 2001.) Sehubungan dengan adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk membangun kesehatan masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang. Pemerintah telah berupaya dengan maksimal untuk usaha tersebut. Sebagai wujud dari keseriusan pemerintah dalam memperhatikan masalah kesehatan ini, maka langka awal yang harus dibangun adalah membuat komitmen lalu komitmen dituangkan dalam bentuk kebijakan dan program aksi. Salah satu program aksi pemerintah dalam upaya meningkatkan harapan

hidup

serta

menurunkan

angka

kematian

bayi

adalah

dengan

mengimplementasikan program imunisasi. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan program imunisasi ada 7 yaitu tuberkulosis, Difteri, pertusis, tetanus, polio, campak dan hepatitis B. Walaupun telah lama dilaksanakan program imunisasi ini, akan tetapi dalam kenyataannya bahwa masih saja terdapat kejadian luar biasa terhadap penyakit – penyakit yang dapat dicegah dengan program imunisasi. Data tahun 2006 berdasarkan hasil laporan investigasi dan pemeriksaan dokter di Morowali telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) penyakit campak sebesar 364 kasus, sementara kejadian luar biasa (KLB) campat juga terjadi di beberapa daerah lain di Sulawesi Tengah seperti Toli-Toli sebesar 31 kasus, Banggai sebesar 19 kasus dan Kabupaten Bangkep sebesar 21 kasus. Masih tetap tingginya kejadian luar biasa (KLB) pada penyakit campak tidak terlepas dari masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi baik untuk ibu hamil, bayi dan wanita usia subur. Data tahun 2004 cakupan imunisasi campak di Propinsi Sulawesi Tengah sebesar 90,1 %. Kemudian pada tahun 2005 tingkat cakupan imunisasi campak menurun menjadi 74,3 %.

Khusus Kabupaten Morowali yang banyak mengalami

kejadian luar biasa penyakit campak. Data tahun 2004 tingkat cakupan imunisasi campak sebesar 79,6 % dan pada tahun 2005 menurun menjadi 38,3 %. Penurunan tingkat cakupan ini telah memberikan pengaruh yang cukup berarti pada peningkatan kasus kejadian luar biasa penyakit campak di daerah ini. Data ini pula membuktikan bahwa ada hubungan yang cukup berarti antara peningkatan cakupan imunisasi dengan kasus kejadian yang luar biasa terhadap suatu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

4

Keadaan tersebut di atas memberikan pengaruh pula pada adanya deferensiasi kematian bayi pada masing-masing daerah. Meskipun angka kematian bayi dari beberapa kali sensus dan survei yang telah dilakukan selama ini memperlihatkan kecenderungan yang makin menurun, akan tetapi penurunan tersebut pada masingmasing daerah tidak relatif sama. Ada daerah-daerah yang relatif cepat penurunan angka kematian bayi dan balitanya dan ada pula daerah-daerah yang relatif lamban. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh karena adanya perbedaan dalam beberapa hal antara lain cakupan imunisasi serta mungkin akses masyarakat terhadap sarana-sarana kesehatan relatif terbatas. Melihat kenyataan dari latar belakang tersebut di atas itulah yang mendorong untuk melakukan penelitian survei cakupan imunisasi dan juga sebagai bahan evaluasi terhadap program –program kesehatan yang dilaksanakan selama ini. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih aktual, sehingga dapat dilakukan intervensi kebijakan kesehatan yang lebih tepat bagi pemerintah khususnya dalam strategi pemberian imunisasi. Dengan demikian sasaran kebijakan untuk menekan angka kematian bayi, dan balita serta kematian ibu serta peningkatan kesejahteraan penduduk bisa tercapai. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana respon ibu balita terhadap program imunisasi; Sejauh mana tingkat cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah dan Faktor-faktor apa yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah?

II. TUJUAN PENELITIAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan (a) Untuk mengetahui respon ibu balita terhadap program imunisasi; (b)Untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah; (c) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan khususnya pada : 1.

Dinas Kesehatan, dapat dijadikan pedoman untuk menentukan arah kebijakan khususnya program imunisasi, sehingga resiko kesakitan dan kematian yang

5

disebabkan oleh penyakit –penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah bisa diturunkan. 2. Bagi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam upaya pengembangan penelitian khususnya yang berkaitan dengan masalah program imunisasi. III. TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Konsep dan definisi Imunisasi adalah pemacuan reaksi kekebalan dengan menggunakan organisme

dalam dosis yang sangat kecil yang terlalu lemah untuk menyebabkan timbulnya suatu penyakit. (Sitorus, 1996 :136). Salah satu penyebab penyakit adalah berbagai jenis kuman atau mikroba (bakteri, virus, parasit), atau zat racun dari kuman tersebut (racun difteria, tetanus) kesemuanya disebut antigen. Pemberian antigen ini tidak dapat begitu saja karena justru akan membuat bayi atau anak sakit.Maka sebelumnya antigen tersebut harus dilemahkan atau dimatikan terlebih dulu sebelum pada bayi. Antigen yang berasal dari kuman yang dimatikan atau dilemahkan ini disebut vaksin. Jadi vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan yang digunakan untuk vaksinasi. Vaksinasi adalah penanaman vaksin ke dalam tubuh manusia untuk mengaktifkan antibodinya agar orang kebal

terhadap penyakit tersebut.

Jadi imunisasi bertujuan untuk membentuk

kekebalan tubuh terhadap sesuatu penyakit. Program immunisasi adalah sebuah program aksi yang diluncurkan oleh pemerintah dalam upaya mengeliminir resiko kesakitan dan kematian khususnya kematian bayi yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan immunisasi. Tujuan umum dari program ini adalah menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sementara tujuan khusunya adalah tercapainya UCI desa, tercapainya Erapo (Eradiksi polio) yaitu tidak adanya virus polio liar, tercapainya ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum), tercapainya recam (reduksi campak), dan tercapainya mutu pelayanan imunisasi yang standar. Setiap manusia selalu menjadi sasaran serangan mikro organisme yang tersebar di mana-mana, dan tubuh kita telah mengembangkan sistem kekebalan yang efektif untuk melawan serangan mikro organisme tersebut. Untuk melawan organisme yang masuk,

6

tubuh kita membentuk antibodi. Tubuh kita juga memproduksi mekanisme perlawanan lainnya, seperti sel-sel darah putih yang melahap organisme yang masuk ke tubuh kita, dan hati yang menghancurkan racun yang dihasilkan oleh organsime tersebut. Kita perlu mendapat serangan dari organisme tertentu (cukup sekali saja) untuk memacu tubub membentuk anti bodi yang akan terus berfungsi seumur hidup kita.(Ronald H. Sitorus, 1996). Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnolog, khususnya tehnologi kedokteran telah memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam pembangunan di bidang kesehatan. Akibat dari pengembangan tehnologi ini banyak sekali penyakit-penyakit yang sudah mampu dieliminasi dengan adanya vaksin sebagai intrumen untuk membentuk zat antibodi yang menyebabkan adanya kekebalan tubuh manusia untuk menghadang antigen kuman yang masuk dalam tubuh. Keberhasilan manusia dalam menemukan vaksin untuk memerangi campak, telah memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam menurunkan resiko kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh campak. Selanjutnya para ahli kedokteran pula telah menemukan suatu vaksin untuk memerangi rubella yaitu suatu penyakit infeksi yang apabila ditularkan oleh seorang ibu selama 3 bulan pertama dari masa kehamilan, akan mengandung resiko tinggi dalam menimbulkan

keterbelakangan mental

serta cacad jasmani pada si bayi yang

dikandungnya. (Sitorus, 1996 : 136). Kekurangan gizi merupakan satu rentetan yang saling kait mengkait antara satu dengan lainnya. Dari segi epidemilogik kejadian ini merupakan interaksi antara lingkungan (environment) dan manusia (host) melalui agennya yaitu kekurangan energi dan protein pada tingkat sel-sel tubuh. Lingkungan sendiri dibagi menjadi dua yaitu lingkungan yang bersifat makro misalnya berupa kemiskinan (poverty), tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan yang jauh dari memuaskan, produktifitas yang rendah, neraca ekononi yang tidak menguntungkan, utilisasi sumber daya alam yang tidak tepat, dan sebagainya. Kesemuanya ini menimbulkan tidak cukupnya produksi pangan dan rendahnya tabungan serta terjadinya ketimpangan dalam pendistribusian. Kedua, lingkungan yang bersifat mikro, misalnya adanya daya beli masyarakat yang rendah, konsep yang salah mengenai makanan dan pengolahannya serta distribusi makanan diantara anggota rumah tangga yang tidak merata, pola

7

penyapihan (penghentian menyusui anak) serta pemberian makan tambahan yang cukup (Munir, 1986). Pendidikan ibu yang tinggi memberikan kontribusi bagi dirinya dalam memahami tentang masalah-masalah kesehatan melalui bacaan, media cetak dan media elektronik. Sebagai implikasi dari pemahaman terhadap masalah-masalah kesehatan tersebut akan membentuk suatu tingkat keterampilan yang baik terhadap masalah kesehatan serta adanya waktu yang dimanfaatkan dalam perawatan anak akan berpengaruh langsung terhadap kelangsungan hidup balita. Karena hubungan biologis antara ibu dan bayinya selama masa kehamilan dan masa menyusui, kesehatan dan status gizi ibu serta pola reproduksinya akan mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup anaknya. Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988) mengemukan bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup balita melalui peningkatan keterampilan dalam upaya perawatan kesehatan yang berkaitan dengan kontrasepsi, gizi, ilmu kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit. Di samping pendidikan ibu, pendidikan ayah juga ikut memberi peranan dalam menurunkan angka mortalitas balita. Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988) menyatakan pendidikan ayah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi aset rumah tangga dan komoditi pasar yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pendidikan ayah dapat mempengaruhi sikap dan kecenderungan dalam memilih barang-barang konsumsi, termasuk pelayanan pengobatan anak. Efek ini merupakan hal yang paling berarti untuk kelangsungan hidup anak pada saat ayah yang lebih berpendidikan menikah dengan wanita yang kurang berpendidikan. Bila seseorang dikenai sesuatu penyebab penyakit atau ditulari bibit penyakit, belum tentu akan menjadi sakit, karena masih tergantung pada beberapa hal. Salah satu diantaranya adalah daya tahan tubuh yang tinggi baik jasmani, rohani maupun sosialnya dapat menghindarkan manusia dari berbagai jenis penyakit. Menurut Entjang (1993) daya tahan tubuh ini dapat dipertinggi dengan : 1. Makanan yang sehat, cukup kualitas maupun kuantitasnya 2. Vaksinasi untuk mencegah penyakit infeksi tertentu 3. Cara hidup teratur seperti bekerja, beristirahat, berekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya 4. Pemeliharaan pembinaan jasmani dengan olah raga secara teratur

8

5. Patuh pada ajaran agama 6. Menambah pengetahuan baik dengan menuntut ilmu di bangku sekolah ataupun dari pengalaman-pengalaman hidup dalam masyarakat. Daya tahan masyarakat tergantung pula daya tahan perorangan yang membentuk masyarakat tersebut. Makin tinggi daya tahan perorangan, serta makin banyak perorangan yang meningkatkan daya tahan tubuhnya, akan makin tinggi pula daya tahan masyarakat, sehingga kesehatan masyarakat akan lebih terjamin. Keberhasilan daripada peningkatan kesehatan seseorang sangat tergantung dari perilaku kesehatannya. Notoatmodjo (1993) menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit, yaitu bagaimana seseorang merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan) tentang penyakit dan

rasa sakit yang

ada pada dirinya dan luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Selanjutnya Notoatmodjo, (1993) menyatakan bahwa proses dan terbentuknya perilaku tersebut dipengaruh oleh faktor intern yang mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. 2.2

Konsep dasar Terjadinya Penyakit. Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen,

induk semang atau lingkungan atau yang dikenal dengan istilah penyebab majemuk (multiple causation of disease) sebagai lawan dari penyebab tunggal (single causation). Menurut para ahli berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang pernah dilakukan bahwa model-model timbulnya penyakit dewasa ini dikenal tiga model yaitu (1) segi tiga epidemologi (the epidemologic triangle),Menurut model ini ada ada tiga faktor yang menyebabkan penyakit yaitu : penyebab penyakit (agen), Lingkungan (environment) dan Induk semang (host). (2) Jaring-jaring sebab akibat (the web of causation). Menurut model ini adanya perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan. dan (3) roda (the weel). Model ini memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan pentingnya agen.

9

Di sini dipentingkan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya pengaruh

dari

masing-masing

lingkungan

tergantung

pada

penyakit

yang

bersangkutan.(Notoatmodjo, 2003 : 32). 2.3 Penyakit Menular Yang dimaksud dengan penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan atau berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui perantaraan. Penyakit menular ditandai dengan hadirnya agen atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu kepada orang yang lain, ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : Agen (penyebab penyakit), Host (induk semang) dan route of transmission (jalannya penularan). Apabila diumpamakan berkembangnya suatu tanaman, dapat diumpamakan sebagi biji (agen) tanah (host) dan iklim (route of transmission). Dalam hal penyakit menular, maka terdapat agen-agen infeksi (penyebab infeksi).

Mahluk hidup sebagai pemegang peranan di dalam epidemiologi yang

merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi: 1. Golongan virus, misalnya influenza, trachoma, cacar dan sebagainya. 2. Golongan riketsia, misalnya typus 3.

Golongan bakteri, misalnya disentri

4.

Golongan protozoa, mnisalnya malaria, filaria, schistosoma dan sebagainya.

5.

Golongan jamur yakni bermacam-macam cacing perut seperti ascaris (cacing

gelang), cacing kremi, cacing pita, cacing tambang dan sebagainya. Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah suatu faktor penting di dalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit (penyebab penyakit ) mempunyai habitat sendiri-sendiri, sehingga ia dapat tetap hidup yang disebut reservoar, yang diartikan sebagai (1) habitat dimana bibit penyakit tersebut dan berkembang (2) survival dimana bibit penyakit tersebut sangat tergantung pada habitat, sehingga ia dapat tetap hidup.

10

IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi pada tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Ketiga kabupaten /kota tersebut adalah Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Parimo. Pengambilan ketiga kabupaten/kota ini dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa ketiga kabupaten tersebut dapat merepresentasifan keadaan sebagai berikut. Kabupaten Banggai memiliki cakupan tinggi akan tetapi mengalami KLB campak. Kabupaten Morowali merepresentasikan cakupan rendah dengan KLB tinggi dan

Kabupaten

Parimo

merepresentasikan

cakupan

tinggi

tetapi

tidak

mengalami KLB di Sulawesi Tengah. Langkah –langkah penentuan sampel adalah sebagai berikut : Untuk penentuan sampel lokasi kabupaten ditentukan dengan pendekatan purposive sampling. Sementara untuk penentuan sampel kecamatan dan sampel desa dilakukan secara cluster. Sedangkan penentuan sampel ibu bayi dilakukan secara snowball method. Dalam upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih valid pada penelitian ini, maka ada 2 sumber data yang diperlukan yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari informasi ibu bayi yang menjadi responden dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi tehnik pengumpulan data primer adalah sebagai berikut : 1. Observasi (Pengamatan) Yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap obyek yang diteliti. Pengamatan dilakukan pada aktifitas pegawai dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat serta kegiatan lain yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya. 2. Interview (wawancara) Wawancara adalah merupakan salah satu tehnik yang dipergunakan dalam menjaring informasi yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini. Sebagai instrumen yang lebih handal dalam merekam informasi, maka peneliti

menggunakan

dua

pendeketan

wawancara

yaitu

pendekatan

wawancara terstruktur dengan bantuan kuesioner dan pendekatan wawancara tidak terstruktur yang dilakukan untuk mendapatkan data terutama dari

11

informasi kunci yang dianggap paling mengetahui dan memahami tentang cakupan imunisasi dan kendala dalam meningkatkan cakupan imunisasi. Dalam upaya untuk lebih memudahkan penelusuran penelitian ini, maka penjelasan secara operasional tentang variabel-variabel penelitian mutlak diperlukan dalam kontek penelitian ini. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. UCI (Universal Child Immunization) adalah sebuah indikator untuk mengukur tercapainya imunisasi dasar lengkap ≥ 80 % sebelum anak berusia 1 tahun. 2. Tingkat cakupan imunisasi adalah persentase bayi yang telah mendapatkan imunisasi pada masing-masing penyakit yang memiliki vaksin pada program imunisasi. 3. Pengetahuan ibu tentang imunisasi adalah sejauhmana pemahaman ibu tentang imunisasi yang diukur dengan pendekatan skala Likers. 4. Respon ibu tentang imunisasi adalah merefleksikan tanggapan ibu akan imunisasi anaknya 5. Status imunisasi lengkap apabila seorang bayi yang berumur 12 bulan telah mendapatkan 12 kali vaksin dari 5 antigen yang ada. Untuk menganalisis sejauhmana tingkat cakupan imunisasi di daerah penelitian, maka metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif. Sedangkan untuk menganalisis tentang pengetahuan serta respon dan cakupan imunisasi pada masingmasing daerah penelitian adalah dengan menggunakan analisis Chi-Square.

VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pendidikan Responden Pendidikan responden dalam penelitian lebih bervariasi, ada yang berpendidikan sekolah SD tidak tamat, sebanyak 39 responden. Dari 39 responden yang berpendidikan SD tidak tamat tersebut yang relatif besar ada di wilayah Kabupaten Banggai yaitu sebesar 46,2 %, kemudian disusul dengan kabupaten Parimo 28,2 % dan Kabupaten Morowali sebesar 25,6 %. Kemudian pengamatan terhadap Pendidikan SD, 37,0 % terdapat di Kabupaten Banggai kemudian disusul Kabupaten Parimo sebesar 35,9 % dan 27,2 % lainnya di Kabupaten Morowali.

12

Kemudian pengamatan terhadap pola distribusi responden berdasarkan pendidikan lanjutan pertama memperlihatkan pola sebaliknya. Kabupaten Parimo justru responden yang lebih tinggi berpendidikan SLTP disusul Kabupaten Banggai sebesar 33,6 % dan menempatai jumlah respondren terrendah pendidikan SLTPnya adalah Kabupaten Morowali. Kemudian pengamatan terhadap pola distribusi responden menurut

pendidikan

SLTA

dan

Pendidikan

Tinggi

serta

Akademi

justru

memperlihatkan pola terbalik lagi yakni Kabupaten Morowali menempati urutan tertinggi responden yang memiliki pendidikan SLTA dan Pendidikan Tinggi. Dari kedua strata pendidikan tersebut Kabupaten Morowali menempati urutan pertama dan menyusul Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali (Tabel 1). 2. Pendapatan Responden Pola

distribusi

pendapatan

responden

menurut

tempat

tinggal

juga

memperlihatkan keragaman. Sebagian besar dari responden yaitu 306 responden yang terpilih dalam penelitian ini memiliki pendapatan antara 200000 hingga 500.000. Dari 306 responden tersebut 31,0 % bertempat tinggal di Kabupaten Parimo, Sementara 36,9 % bertempat tinggal di Kabupaten Banggai dan lainnya sebesar 32,0 % bertempat tinggal di Kabupaten Morowali. Sementara untuk responden yang berpendapatan 1.500.000 ke atas sebagian besar (33,9 %) responden bertempat tinggal di Kabupaten Morowali. Disusul Kabupaten Banggai dan Kabupaten Parimo. Jika dilihat dari aspek pendapatan, tampak responden Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai memiliki pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Parimo akan tetapi jika dilihat dari aspek cakupan iminisasi justru kabupaten Parimo lebih tinggi tingkat cakupannya dibandingkan dengan kabupaten Morowali maupun kabupaten Banggai. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pendapatan tidak memberikan pengaruh yang berarti dalam cakupan imunisasi. Demikian pula dengan aspek pendidikan. Hasil uji beda antara pendidikan dan cakupan imunisasi tidak memperlihat perbedaan yang berarti.

13

3. Pemberian Vaksin Imunisasi Aktifitas untuk mengetahui seorang bayi telah mendapat imunisasi lengkap atau belum adalah dengan melihat di Kartu Menuju Sehat (KMS) dimana setiap kotak imunisasi sudah terisi penuh atau telah mendapat imunisasi campak setelah berumur 9 bulan sampai sebelum satu tahun. Perilaku dari 460 responden yang benar tentang upaya untuk mengetahui imunisasi lengkap, mengalami peningkatan untuk bayi yang telah memperoleh vaksin imunisasi lengkap (12 kali) sebanyak 103 responden (22,4%) yakni vaksin BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 4 kali, campak 1 kali dan hepatitis B 3 kali. Nilai proporsi pemberian vaksin imunisasi yang bervariasi juga ditentukan dengan umur bayi dari responden, berdasarkan hal tersebut mempengaruhi frekwensi jumlai pemberian vaksin imunisasi. Pemberian vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang diberikan pada bayi yang baru lahir atau umur 0-1 bulan terutama bayi lahir di rumah sakit/bidan praktek menunjukkan peningkatan proporsi bayi responden yang telah memperoleh vaksin BCG sebanyak 405 responden dari 460 responden (88%), masih adanya bayi yang belum memperoleh vaksin BCG (12%) dikarenakan berbagai alasan diantaranya takut, sibuk dan tempat imunisasi yang jauh. Pemberian vaksin Difteria, Pertusis dan Tetanus (DPT) pada bayi sebanyak 3 kali (DPT1, DPT2 dan DPT 3) dengan selang waktu pemberian minimal 4 minggu, sehingga pemberian vaksin DPT berdasarkan umur bayi. Variasi umur bayi responden menyebabkan proporsi jumlah bayi responden memperoleh vaksin DPT sebanyak 1 kali terdiri atas 85 bayi responden (18,5%), sebanyak 2 kali terdiri atas 82 bayi responden (17,8%) dan sebanyak 3 kali terdiri atas 181 bayi responden (39,3%). Hal tersebut menunjukkan sebagian besar bayi responden telah memperoleh vaksin DPT (75,7%) dari 460 responden. Pemberian imunisasi campak merupakan upaya potensial untuk mecegah wabah penyakit campak, pemberian vaksin campak yang dilakukan pada bayi pada usia 9 bulan menyebabkan menurunnya kepedulian ibu untuk membawa bayi untuk mendapatkan vaksin campak. Dari 460 responden hanya 118 bayi responden (25,7%) yang sudah mendapatkan vaksin campak, sisanya 342 bayi responden (74,3%) belum mendapatkan vaksin campak. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan tindakan

14

untuk memberikan pemahaman terhadap ibu tentang manfaat pemberian vaksin campak dan dampak yang ditimbulkankan. Menurunnya cakupan imunisasi campak pada daerah riset disebabkan oleh Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang telah dijalani bayi pada saat pemberian vaksin sebelumnya yang diduga membuat bayi kesakitan (gejala panas) dan bahkan mengalami kematian. Proporsi bayi responden yang telah memperoleh vaksin imunisasi polio hampir setengah (44,6%), menunjukkan peningkatan disebabkan jadwal penerimaan vaksin polio yang teratur oleh petugas kesehatan, selain itu pemahaman ibu tentang manfaat dan dampak bagi bayi yang tidak menerima vaksin polio. Walaupun sekitar 40 bayi responden (8.7%) yang belum memperoleh vaksin polio, hal tersebut menunjukkan masih ada responden yang tidak mau membawa bayi untuk diberi vaksin imunisasi disebabkan berbagai alasan. Variasi pada bayi responden yang telah memperoleh vaksin polio disebabkan oleh variasi umur bayi responden yang tidak merata, seiring dengan pemberian vaksin polio yang diberikan dalam selang waktu pemberian minimal 4 minggu. Pemberian imunisasi pada bayi dengan menggunakan vaksin HB yang dilakukan selama 3 kali menunjukkan variasi proporsi yang disebabkan oleh variasi umur bayi responden. Bayi responden yang telah memperoleh vaksin imunisasi HB sudah 3 kali mencapai 167 bayi responden (36,3%), bayi yang telah memperoleh vaksin imunisasi 1 kali mencapai 20,7%, hal ini terjadi pada bayi yang lahir dipuskesmas langsung menerima vaksin HB dalam kurun waktu 24 jam pertama kelahiran. Masih adanya bayi responden yang belum pernah memperoleh vaksin HB mencapai 108 bayi responden (23,5%) menunjukkan bahwa masih ada responden yang tidak memahami menfaat imunisasi HB. Status vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin pada bayi adalah Vaksin BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, campak 1 kali dan HB 3 kali. Distribusi status imunisasi yang tidak lengkap artinya ada 357 bayi responden (77,6%) yang rata-rata baru memperoleh imunisasi 1 hingga 11 kali. Proporsi 22,4% yang telah memperoleh vaksin imunisasi lengkap artinya sekitar 103 bayi responden telah memperoleh 12 kali vaksin imunisasi.

15

Alasan responden yang tidak mengimunisasikan bayinya sebagian besar adanya budaya pada masyarakat yang tidak mengizinkan anaknya keluar rumah karena belum berumur 1 bulan, dari 460 responden sekitar 37 responden (8.0%) yang memberikan alasan tersebut. Namun, sebagian besar mencapai 78,5% (361 responden) yang tidak memberikan alasan tidak mengimunisasikan bayinya karena memang sebagian besar responden telah mengimunisasikan bayinya walaupun belum lengkap. 4. Reaksi Pada Tubuh Bayi Atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Peningkatan jawaban responden yang merasakan defek pemberian vaksin imunisasi mencapai 63,3% (291 responden dari 460 responden) dengan variasi reaksi yang berbeda-beda diantaranya peningkatan suhu tubuh mencapai 41,5%, demam 19,6%, bekas suntikan bengkak 1,3% dan Diare 0,7%. Reaksi yang terjadi pada bayi setelah memperoleh vaksin imunisasi merupakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berupa kejadian kesakitan, hal itu terjadi karena reaksi vaksin atau gejala yang timbul dipicu oleh vaksin walaupun diberikan secara benar karena sifat dasar dari vaksin tersebut. Kejadian reaksi setelah imunisasi selain disebabkan vaksin juga faktor kebetulan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada masyarakat setempat dengan karakter serupa tetapi tidak mendapat imunisasi (adanya jawaban responden gejala diare yang merupakan faktor kebetulan), reaksi suntikan juga merupakan penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi misalnya rasa sakit dan bengkak. Walaupun adanya reaksi atau kejadian ikutan pasca imunisasi tidak terlalu berdampak secara proporsional terhadap sikap responden untuk tetap melanjutkan imunisasi berikutnya mencapai lebih dari setengah responden (61,7%) atau sekitar 284 responden dari 460 responden, dengan alasan sebagian besar menyatakan supaya anaknya tetap sehat dan kebal terhadap penyakit (61,1%) atau 281 responden, hal ini menunjukkan adanya pemahaman ibu tentang manfaat dan dampak yang timbul akibat tidak diimunisasinya bayi. Masih adanya responden yang tidak melanjutkan imunisasi akibat reaksi pasca imunisasi (37,2%) atau 171 responden disebabkan reaksi suntikan tidak langsung yakni rasa takut dan kurangnya pengetahuan responden terhadap imunisasi. Gejala klinis yang

16

timbul secara cepat maupun lambat yang menyebabkan terjadinya gejala yang berat pada bayi menyebabkan responden trauma melakukan imunisasi lanjutan. 5. Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Imunisasi Reaksi yang terjadi karena pemberian imunisasi atau KIPI menyebabkan bayi menjadi sakit sehingga terjadi aksi terhadap responden untuk membawa bayi untuk berobat ketempat pelayanan kesehatan yang ada di daerah riset. Peningkatan proporsi responden membawa bayi kepuskesmas (30,2%), Polindes (30%) dan posyandu (27%) menunjukkan pemahaman responden tentang tempat berobat yang benar. Ketersediaan pelayanan kesehatan sampai ke desa menunjukkan perhatian pemerintah terhadap pentingnya hidup sehat bagi masyarakat dan menunjukkan pada masyarakat tempat berobat yang benar dan tepat, dengan jarak rumah rumah yang tidak terlalu jauh rata-rata kurang dari 1 kilometer 73,3% (337 responden) menyebabkan kunjungan ketempat berobat tersebut meningkat. Pengorganisasian dan ketenagaan dalam pelaksanaan imunisasi sebagian besar responden menjawab dilakukan oleh petugas kesehatan (78,5%) atau 361 responden mengatakan petugas kesehatan yang melakukan imunisasi, selebihnya dilakukan oleh bidan desa yang telah mengikuti pelatihan untuk tenaga petugas imunisasi sekitar 96 responden (20,9%). Sekitar 0,7% yang tidak menjawab. Petugas kesehatan yang sangat tempat memberikan imunisasi karena pelayanan yang cukup (8.5%), baik (64,3%), dan sangat baik (25%). Pelayanan yang rata-rata baik yang diberikan petugas kesehatan merupakan sugesti terhadap responden untuk tetap melakukan imunisasi terhadap bayinya. Anggapan responden bahwa yang paling tepat memberikan imunisasi adalah petugas kesehatan mencapai 329 responden (71,5%) dan bidan desa mencapai 113 responden (24, %) menunjukkan pemahaman responden bahwa petugas kesehatan dan bidan desa mempunyai kualifikasi tentang program dan pelayanan imunisasi dengan reaksi yang terjadi atau KIPI. Ketersediaan petugas kesehatan pada lokasi riset menunjukkan tingkat kepercayaan responden yang meningkat tentang manfaat imunisasi.

17

6. Pemahaman Responden Tentang Program Imunisasi Pengetahuan tentang tujuan imunisasi dapat dinilai secara kuantitatif jumlah responden yang mengalami peningkatan pengetahuan sebesar 78,3% (360 responden) menjawab tujuan imunisasi menurunkan angka kesakitan atau kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Pengetahuan tentang Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dapat dinilai tidak mempengaruhi terhadap pemahaman responden tentang tujuan program imunisasi tersebut. Perilaku responden yang tetap melakukan imunisasi terhadap bayinya karena telah mendengar program imunisasi dan manfaatnya, peningkatan tersebut ditunjukkan dengan sekitar 456 responden dari 460 responden (99,6%) pernah mendengar program imunisasi tersebut. Dari 460 responden menyatakan pernah mendengar program dan penjelasan tentang imunisasi dari petugas kesehatan sebanyak 345 responden (75,0%), Radio dan televisi sebanyak 73

responden (15,8%), petugas KB dan lainnya sebanyak 41

responden (8,9%) dan 1 responden (0,2%) yang menyatakan tidak pernah. Informasi tersebut berguna dalam menentukan bentuk intervensi khususnya menetapkan serta mengembangkan metode yang tepat dalam penyebaran informasi kesehatan pada sasaran. 7. Pengaruh Faktor Jarak Jarak tempat tinggal antara pusat pelayanan imunisasi dengan tempat tinggal dapat berpengaruh terhadap kecenderungan ibu balita untuk melakukan imunisasi pada anaknya. Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan faktor jarak ini. Pertama : Apabila jarak antara tempat pelayanan imunisai dengan rumah tempat tinggal ibu dan kesulitan alat transportasi, maka kecenderungan ibu untuk melakukan imunisasi anak akan berkurang. Kedua; Apabila jadual imunisasi tidak tepat waktu, walaupun ada dukungan transportasi, kecenderungan mengimunisasi kemungkinan akan tetap rendah. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin dekat rumah tempat tinggal ibu bayi dengan tempat pelayanan, maka semakin tinggi kemungkinan seorang untuk melakukan imunisasi kepada anaknya. Data hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan tersebut di atas. Dari 405 ibu bayi yang pernah melakukan imunisasi pada anaknya, 73, 1 % di antaranya adalah mereka yang memiliki rumah yang jaraknya dengan tempat imunisasi

18

kurang dari 1 km. Sementara mereka yang rumahnya lebih dari 4 km dari tempat pelayanan imunisasi hanya sebesar 1,7 %. Hasil uji beda antara jarak dengan kemungkinan imunisasi juga membuktikan pernyataan tersebut di atas. Hasil uji beda dengan tingkat kepercayaan 5 % bahwa ada berbedaan yang signifikan antara jarak rumah dengan keinginan imunisasi. Data hasil penelitian ini memberikan makna bahwa dalah upaya memudahkan akses masyarakat terhadap pusat-pusat pelayanan kesehatan di harapkan untuk membangunan saranasarana kesehatan yang mudah terjangkau oleh masyarakat. 8. Aspek Urutan Anak yang dilahirkan Urutan anak yang dilahirkan sangat berpengaruh terhadap kecenderungan ibu bayi untuk mengimunisasikan anaknya. Biasanya anak pertama selalu menjadi pusat perhatian pada seorang ibu. Belas kasihannya serta perhatian selalu lebih termasuk perhatiannya terhadap masalah kesehatan anaknya. Hasil penelitian dalam survei kesehatan dan demografi Indonesia tahun 2003 menunjukkan bahwa kecenderungan untuk mengimunisasikan anak yang pertama lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang kedua atau anak yang ketiga. Hasil penelitian dalam survei kesehatan dan demografi tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini. Anak pada urutan pertama persentase dalam imunisasi BCG jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak kedua maupun anak yang ketiga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini Hasil uji beda dengan menggunakan pendekatan analisis Chi-Squares memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara urutan anak yang pernah dilahirkan dengan kecenderungan untuk melakukan imunisasi kepada anaknya. Data hasil uji beda tersebut di atas memperkuat pernyataan bahwa ada perbedaan perhatian orang tua kepada anak khususnya perhatian terhadap imunisasi. Anak yang dilahirkan pertama sekali menempati perhatian yang sangat tinggi pada imunisasi, sedangkan anak-anak berikutnya kurang mendapatkan perhatian yang serius seperti anak pertama dalam hal imunisasi. 9. Aspek Pekerjaan Salah satu informasi yang diperoleh dalam penelitian ini yang bersumber dari ibu bayi, tentang penyebab tidak dilakukan imunisasi kepada anak mereka adalah

19

karena alasan sibuk bekerja. Pertanyaan penelitian apakah memang benar secara kumulatif pekerjaan berpengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi pada bayi mereka? Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa dilihat dari jenis pekerjaan yang ditekuni oleh ibu rumah tangga, sebagian besar tidak bekerja atau hanya mengurus rumah tangga, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil, ABRI/Polri, bertani, wiraswasta dan sebagainya. Dilihat dari perilaku imunisasi kepada anak mereka, tampak tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil uji beda antara kecenderungan imunisasi dengan jenis pekerjaan diperoleh Chi-Squares hitung lebih kecil jika dibandingkan dengan Chi-Squares tabel dengan derajat bebas sebesar 4, yang memberi makna bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis pekerjaan ibu bayi dengan kecenderungan mereka untuk melakukan imunisasi pada bayi mereka. VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.

Respon ibu balita terhadap program imunisasi masih relatif rendah. Rendahnya respon tercermin pada masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi bayi dari berbagai antigen yang ada.

2.

Tingkat cakupan imunisasi dari 5 antigen yang ada adalah sebagai berikut : Cakupan imunisasi kumulatif untuk vaksin BCG adalah sebesar 88 %. Cakupan Imunisasi kumulatif untuk DPT 75,75 %, Sementara untuk cakupan imunisasi campak sebesar 25,7 %.

3.

Tingkat cakupan imunisasi kumulatif polio sebesar 91,3% Sedangkan cakupan imunisasi kumulatif untuk HB sebesar 76,5 %.

4.

Faktor yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi adalah sebagai berikut : (1). adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah sebelum berusia 1 bulan,(2)

masih adanya keengganan ibu bayi untuk

mengimunisasi karena takut resiko sakit pada anak.(3) Jarak rumah dengan tempat pelayananan imunisasi. (4) Kurang tetapnya jadual imunisasi pada posyanduposyandu tertentu.

20

Saran-Saran 1.

Perlunya pemberian penyuluhan secara intensif kepada masyarakat tentang pentingnya dan manfaat dari mengimunisasi anak.

2.

Perlunya ketersediaan vaksin yang teratur dalam menunjang pelaksanaan imunisasi.

3.

Perlunya ada ketepatan jadual untuk pelaksanaan imunisasi di setiap posyandu.

4.

Perlunya pemberian penghargaan kepada petugas dan kader kesehatan desa yang berprestasi

5.

Dalam upaya meningkatkan partisipasi kader kesehatan di desa, maka disyarankan untuk memberikan insentif kepada mereka dalam bentuk pembebasan biaya pelayanan kesehatan baik untuk kader maupun untuk keluarganya yaitu suami/isteri dan anak pada pelayanan kesehatan di puskesmas maupun di rumah sakit.

6.

Perlunya penentuan pusat pelayanan imunisasi yang mudah terjangkau oleh ibu bayi untuk melakukan imunisasi pada bayinya.

21

DAFTAR KEPUSTAKAAN Anonim, 1981. Pedoman Operasional Program Imunisasi, Subdirektorat Imunisasi Direktorat Pengamatan EPIM dan Kesma Direktorat Jenderal PPM dan PL Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta. Anonim, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Departemen Kesehatan, Jakarta. Hasbullah Thabrani, 2005. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta. Indah Entjang, 1993. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasrul Effendy, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Penerbit Buku Kedokteran , Jakarta. Soekidjo Notoatmodjo, 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Soekidjo Noto atmodjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit, Rineka Cipta, Jakarta. Soekidjo Notoatmodjo, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Penerbit Rineke Cipta Jakarta.

Related Documents