Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
MENGELOLA REALITAS PLURALITAS DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT NILAI MAX SCHELER 1. Pendahuluan “Manusia tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai sebagai sifat atau kualitas yang membuat sesuatu berharga, layak diingini dan dikehendaki, dipuji, dihormati, dan dijunjung tinggi, pantas dicari, diupayakan dan dicita-citakan perwujudannya, merupakan pemandu dan pengarah hidup kita sebagai manusia. Berdasarkan sistem nilai yang kita miliki dan kita anut kita memilih tindakan mana yang perlu dan bahkan wajib kita lakukan dan mana yang perlu dan wajib kita hindarkan. Berdasarkan sistem nilai yang kita miliki dan kita anut, kita memberi arah, tujuan, dan makna pada diri dan keseluruhan hidup kia. Dengan kata lain, berdasarkan sistem nilai yang kita miliki dan dalam kenyataan kita hayati, akhirnya kita membentuk indentitas diri kita sebagai manusia dan bahkan menentukan nasib keabadian kita.”1 Demikianlah kutipan yang diambil penulis dari kata pengantar J. Sudarminta dalam buku Paulus Wahana yang berjudul Nilai Etika Aksiologi Max Scheler. Dari kutipan di atas, manusia, demikianlah ia dinamakan, adalah manusia yang tidak hidup tanpa nilai. Sebab dengan nilai, manusia digerakkan untuk “maju selangkah”; manusia mengalami transformasi. Nilai. Ia tidak berada jauh dari hidup kita. Ia berada dekat degan hidup kita. Bahkan sangat dekat. Kehadirannya menuntut kesadaran kita. Kehadirannya bukanlah pertamatama berdasarkan pada pengalaman atau karena pengalamanlah maka kita mengetahui bahwa nilai sesuatu itu baik atau jelek atau nilai itu ada dan tidak ada. Tidak! Saya tegaskan sekali lagi Tidak. Nilai itu entah baik atau jahat ada dalam dirinya sendiri tanpa bergantung pada apa yang mengembannya. Ia tetap ada dalam dirinya sendairi. Sekarnag, kitalah yang berusaha agar apa yang bernilai itu kita sadari sehingga kita mengalami apa yang disebut mengidentifiksai plus menginternalisasi nilai. Jika demikian apa hubungan antara nilai dengan realitas pluralitas Indonesia? Hidup kita selalu dikelilingi dengan aneka nilai. Dan nilai-nilai itu menuntut pertanggungjawaban kita artinya kita mempunyai tanggung jawab atas arah dan tujuan hidup kita tanpa mengabaikan nilai-nilai yang ada disekitar kita. Nilai-nilai yang ada disekitar kita termanifestasi dalam realitas pluralitas di Indonesia. Realitas yang menyimpan nilai-nilai yang mendorong dan mengarahkan manusia menuju kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi, manusia, justru menggunakan realitas itu sebagai senjata dan alsan untuk saling bermusuhan, saling bertikai satu sama lain. Jadi, agar realitas pluralitas yang tetap merupakan perbedaan tanpa mengalami pergeseran ke arah pertentangan dan yang masing-masingnya memiliki nilai yang ideal, maka perlulah kita memperlajari dan memahami nilai. Demikianlah maksud dari paper ini ditulis. Menemukan, memahami dan melihatnya peranannya bagi kehidupan manusia dan mengelola realitas pluralitas di Indonesia. 2. Membaca realitas pluralitas di Indonesia Manusia. Demikianlah ia dinamakan. Penamaan ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari pribadi-pribadi atau persona2. Karena pada hakikatnya manusia 1 2
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 5. Istilah yang biasa digunakan oleh Max Scheler bahkan dalam menjelaskan mengenai manusia ia menggunakan istilah persona.
1
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
adalah makhluk sosial (Latin socius artinya teman, sahabat)3 artinya manusia yang selalu membutuhkan orang lain untuk menjadi sahabat atau teman dalam kehidupannya untuk menjalin sebuah keharmonisan dalam membangun sebuah kehidupan yang lebih baik Manusia tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebab dalam dan oleh masyarakatlah manusia menjadi manusia. Atau dengan kata lain di dalam masyarakat, manusia semakin dimanusiawikan; manusia semakin menemukan siapakah dirinya. Dan inilah realitas kita sekarang. Kita hadir di dunia khususnya sebagai warga negara Indonesia dengan aneka latar belakang yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan konkrit setiap hari. Oleh karena itu kita tidak dapat memungkiri lagi realitas pluralitas Indonesia yang merupakan suatu realitas eksistensial yang terbentuk dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang secara kodrati berbeda. Di sini dapat dikatakan bahwa pluralitas Indonesia ada secara kodrati. Pluralitas kodrati ini kemudian secara sosial, agama, kultural dan lain sebagainya mengalami perkembangan dalam gerak dinamika kehidupan manusia dan melahirkan aneka visi dan misi mengenai kehidupan dan masa depan ‘ke mana arah’ yang hendak dituju sebagai usaha “mengaktualisasikan” nilai yang ada dalam diirnya. Realitas pluralitas di Indonesia secara kodrati terus berkembang dan perlu mendapat perhatian yang intensif demi menjaga keutuhan dan keharmonisan masa depan bangsa. Oleh karena itu, kita tidak bisa melarikan diri dari kenyataan yang mengatakan bahwa pluralitas yang pada hakekatnya merupakan kekayaan, pemersatu yang melahirkan visi dan misi masa depan telah berubah menjadi lahan yang subur bagi munculnya pertentangan. Perbedaan bukan lagi menjadi perbedaan melainkan menjadi sebuah pertentangan. Pertentangan ini mewujudkan dirinya dalam sikap primordialisme, kecenderungan masyarakat modern yang melangkah lebih ekstrim dalam menyingkapi pluralitas yang ada dengan mengatur sistem kehidupan sosial menurut sudut pandang yang individualistic, ekslusivisme, fundamentalisme, dan lain sebagainya. De facto, kita tidak bisa berdiam diri melihat realitas pluralitas masyarakat ini terus berada dalam lingkaran pertentangan. Sebuah usaha mengelola pluralitas menjadi bagian yang sangat penting sehingga dari perbedaan yang ada akan tercipta dinamika kehidupan manusia yang harmonis. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap pluralitas yakni sikap kesediaan untuk menerima perbedaan bukan hanya melihatnya sebagai realitas obyektif melainkan sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajuan bangsa, ‘kini dan saat ini’. Sehingga mampu membuka ruang bagi ‘sistim pergaulan sosial’ di mana terciptanya relasi secara alamiah untuk saling memperkaya yang melahirkan masyarakat yang terbuka dalam kemajemukkan, multikulutral dan demokratis. 3. Mempertanyakan realitas pluralitas di Indonesia dan mencari akar problem realitas pluralitas di Indonesia Mengapa pluralitas itu ada? Jawabannya karena ada manusia. Manusia yang bagaimana? Manusia yang menyadari bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang sama dengan manusia lainnya kendati kembar sekalipun. Maka konkretisasinya, manusia membentuk suatu sistem sosial yang di dalamnya terdiri dari persona-persona yang saling berinteraksi secara tetap dan terpola yang dinamakan masyarakat. Maka dalam masyarakat, pluralisme itu ada. Sebelum pluralisme “menampakan dirinya” dalam tindakan-tindakan yang ekstrim seperti individualistik, fundamentalisme, esksklusivisme, 3
Laurens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia. 2005. hlm 1030.
2
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
dan lain sebagainya, pluralisme sudah ada dalam diri manusia itu sendiri dalam keadaan baik. Saat manakah sesuatu yang baik itu menjadi suatu pertentangan? Jawabannya ada dalam manusia itu sendiri, dimana manusai mengalami apa yang dinamakan diorientasi makna pluralitas manusia mengidentifikasi tanpa menginternalisasinya.. Jika demikian, apa sesungguhnya yang dikejar manusia dalam hidup ini dengan realitas pluralitas yang ada? Nilai. Demikianlah dapat dijawab. Tetapi nilai yang mana? Ada banyak nilai dalam hidup ini. Salah memilih nilai maka akan berdampak negatif—dalam kerangka pluralitas maka munculnya individualistik, fundamentalisme, esksklusivisme, dan lain sebagainya. Dan kesalahan memilih nilai inilah yang ditemukan penulis sebagai akar problem realitas pluralitas di Indonesia. Apa itu nilai? Apakah keberadaanya subyektif atau obyektif? Bagaimana Filsafat Nilai berbicara dalam mengelola realitas pluralitas yang ada di Indonesia? 4. Max Scheler—Filsuf Jerman (1874 -1928) a. Riwayat Hidup Max Scheler4 Max Scheler dilahirkan di Munich, Jerman pada tanggal 22 Agustus 1874. ayahnya seorang Lutheran dan ibunya seorang Yahudi Ortodoks. Sebagai seorang anak remaja, ia masuk Katolik, karena ketertarikkannya pada ajaran mengenai cinta. Scheler belajar ilmu kedokteran di Munchen dan Berlin, Filsafat dan Sosiologi pada W.Dilthey dan G.Simmel pada tahun 1895. Ia memperoleh gelar doktornya pada tahun 1897. Setelah belajar di Munchen, Berlin, Heildelberg dan Jena, ia kemudian menjabat sebagai dosen privat di Jena dan Munchen pada tahun 1899. Seluruh hidupnya, Scheler memiliki pemikiran yang begitu berpengaruh bagi filsafat pragmatisme Amerika. Kemudian, Max Scheler mengajar di Universitas Jena dari tahun 1900 sampai tahun 1906. Pada tahun 1902, ia bertemu bertemu dengan Edmund Hursell seorang fenomenolog untuk pertama kalinya di Halle. Scheler tidak pernah menjadi murid Hursell. Akan tetapi, perjumpaan dengannya memberikan pengaruh yang besar bagi Scheler. Scheler menjadi seorang fenomenolog yang getol menyebarluaskan ajaran Hursell ini. Dari tahun 1907-1910 ia mengajar pada universitas di Munchen. Ia bergabung dengan lingkungan fenomenolog Munchen diantaranya M.Beck, Th. Conrad, J. Daubert, M. Geiger. D.Y Hildebrand, Th.Lipps, and A. Pfaender. Dari tahun 1910-1911 Ia menjadi dosen Filsafat Sosial Goettigen. Ia membuatnya sedikit berbeda dan memulai berkenalan dengan Th.Conrad, H.Conrad Martius, E.Hursell, A.Koyre, H. Reinach, M. Geiger, J. Hering dan R. Ingarden. Edith Stein menjadi salah satu muridnya. Edith Stein begitu terkesan dengan pemikiran Scheler rmengenai “jalan melampaui filsafat”. Tanpa disadari pemikirannya, turut memengaruhi lingkungan gereja saat ini termasuk di dalamnya Edith Stein dan Paus Johanes Paulus. Selama perang dunia I (1914-1918) Scheler mengikuti wajib militer tetapi ia kemudian dihentikan karena menderita astigmia pada matanya. Kemudian pada tahun 1919, ia menjadi professor filsafat dan sosiologi di KÖln. Pada tahun 1927, dalam sebuah kesempatan konferensi di Darmstad dekat Frankfurt, yang diprakarsai oleh Graf Keyserling, Scheler membawakan sebuah ceramah yang sangat lama, dengan judul “Man’s Particular Place”5 yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk yang lebih
4 5
Disarikan dari http://www.maxscheler.com diakses pada tanggal 06 Oktober 2009. Tempat khusus bagi manusia.
3
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
disingkatkan dengan judul “Man’s place in the Cosmos”6. Gaya dan caranya berceramah menarik simpati para pendengarnya. Pada suatu waktu, Scheler memusatkan perhatiannya pada pembangunan politik. Ia berjumpa dengan filsuf emigrant asal Rusia N. Berdlaev di Berlin pada tahun 1923. “Politik dan Moral” “ide kedamaian abadi dan pasifisme” adalah bahan yang disampaikannya pada suatu kesempatan di Berlin pada tahun 1927. Scheler meninggal dunia di Frankfurt pada tanggal 19 Mei 1928. b. Karya-karya Max Scheler7 Fisafat Max Scheler dibagi ke dalam dua periode: Periode pertama rentang waktunya di mulai antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya on the eternal in Man (manusia dalam keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-VII. Periode kedua,masamasa dari tahun 1920?1922 hingga 1928 yang terangkum dalam Vol. VIII-XV. Dalam periode pertama, karyanya yang paling menonjol adalah penyelidikannya mengenai nilai-etika, perasaan, agama, dan teori politik. Dalam tahun-tahun ini ada dua karya besar yang dihasilkannya, The Nature of Sympathy dan Formalisme Etics dan nonFormal etichs of Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler memusatkan perhatiannya pada, perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Ia memperlihatkan bahwa ego, akal budi dan kesadaran manusia mengisyarakan lingkungan manusia dan menyangkal sebuah kemurnian ego, kemurnian akal budi, atau kemurnian kesadaran. Di sini, Scheler mengkritik apa yang telah ada sebelumnya yakni apa yang diajarkan oleh Husserl, Kant, dan Idealisme Jerman. Bagi Scheler, ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia yang merupakan tempat duduk dari cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent, akal budi, kehendak atau penginderaan. Dan hal ini merupakan nilai bagi essensi dari eksistensi manusia. Scheler membeda-bedakan beberapa tipe perasaan, lebih dari itu ada yang sungguh-sungguh menyembunyikan diri dan pribadi, dan di antara itu Cinta menampakan diri dan menjadi pusatnya. Kemanusiaan manusia atas dasar Cinta (ens amans). Dari sini mengalirlah sebuah prinsip yang besar yang melewati seluruh periode pertama ini: perasaan dan cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka sendiri, yang sungguh-sungguh berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler mengikuti Blaine Pascal filsuf dan matematikawan asal Perancis. Dalam periode kedua (1920/1922-1928) Scheler menentang ide mengenai Tuhan sebagai Pencipta. Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang “menjadi ada” karena proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut. Waktu yang Absolut bukanlah waktu yang dapat diukur dengan waktu atau jam yang digunakan oleh ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Waktu absolut mirip waktu yang lewat ketika kita tidak berpikir mengenai waktu. Contoh, ketika kau sedang membaca tu;isan ini. Waktu absolut sudah menjadi sifatnya di dalam dirinya dalam seluruh proses penerusan generasi, memeram, memodifikasi diri; mencakup proses atomic, tumbuhtumbuhan dan hewan. Scheler mengatakan dengan sangat simple: tanpa sebuah selfgenerating di dalam hidup manusia maka tidak ada waktu. Maka pada gilirannya, waktu yang absolut adalah sebuah kondisi –Scheler memperlihatkan—keterukuran waktu ketika mengidentifikasinya sebagai waktu per se.
6 7
Tempat manusia di dalam Kosmos. Disarikan dari http://www.maxscheler.com diakses pada tanggal 06 Oktober 2009.
4
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
5. Pandangan nilai menurut Max Scheler Pada bagian ini, kita akan melihat pandangannya mengenai nilai. Bagian ini akan dibagi ke dalam sub-sub: pertama, pemahaman tentang nilai; kedua, kriteria dan hierarki nilai. 1. Pemahaman tentang nilai a. Pengertian tentang nilai Untuk memahami pengertian nilai Max Scheler, saya mencoba untuk memisahakan terlebih dahulu dua sifat yang terdapat pada nilai (material dan apriorii), kendati Scheler tidak memisahakan pembahasan dua dua sifat nilai ini ke dalam point-point seperti yang saya lakukan.. Akan tetapi, di sini saya mencoba untuk memisahkannya guna memahami pandangannya mengenai nilai tetapi kita tetap diajak unutk mebacanya dalam satu kesatuan.. Nilai Material Nilai itu material. Material di sini bukanlah dalam arti “ada kaitan dengan materi” melainkan sebagai lawan dari formal, materi sebagai “berisi”. Ber-isi itu berarti kualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan pada barang atau pada pembawanya. Misalnya nilai itu selalu mempunyai isi “jujur”, “enak”, “kudus”, ”benar”, “sehat”, “adil”, yang semuanya itu berbeda dan masing-masing memiliki nilai. Contoh lain, misalnya: pengkhianatan seorang teman tidak mengubah nilai persahabatan. Nilai persahabatn tetap merupakan nilai persahabatan, tidak terpengaruh jika teanku berbalik mengkhianatiku. Nilai Apriori Nilai merupakan kualitas apriori. Max Scheler mengatakan bahwa kebernilaian nilai itu mendahului pengalaman. Misalnya: apakah makanan tertentu enak atau tidak, harus kita coba dulu. Akan tetapi, bahwa “yang enak” merupakan sesuatu yang positif, sebuah nilai, dan bahwa yang bernilai “yang enak” dan bukan “yang enak’ itu tidak perlu kita coba dulu. Begitu juga kejujuran, keadilan; bahwa kejujuran, keadilan sendiri merupakan sebuah nilai yang kita ketahui secara langsung begitu kita menyadari apa itu kejujuran dan keadilan. maka, kejujuran dan keadilan pertamatama bukanlah sebuah konsep mengenai kejujuran dan keadilan melainkan nilai kejujuran dan nilai keadilan. b. Nilai baik dan nilai jahat Nilai baik adalah nilai yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai positif, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih tinggi dan hierarki nilai. Nilai jahat adalah nilai yang melekat pada tindakan yang mewujudkan suatu nilai negatis, yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih rendah dalam hierarki nilai. c. Nilai pribadi dan nilai barang Hanya pribadi yang secara moral dapat mengetahui sesuatu itu baik atau jahat. Setiap barang dapat menjadi baik atau buruk sejauh mengacu pada pribadi baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga dapat dikatakan bahawa nilai pribadi berkaitan erat dengan pribadi sendiri, tanpa perantara apapun, sedangkan nilai barang menyangkut kehadiran nilai dalam hal bernilai—material, vital, atau spiritual.
5
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
2. Hakikat Nilai Pada point di atas kita telah melihat nilai merupakan kualitas yang tidak bergantung pada benda. Benda adalah sesuatu yang bernilai. Demikian juga dengan kualitasnya yang apriori; tidak tergantung pada reaksi kita terhadap benda dan nilai. Meskipun yang “baik” tidak pernah “nilai” sebagai yang “baik”, itu tetap akan menjadi baik. Sebagai kualitas yang independent, nilai tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam obyek yang digabungnya. Disamping itu, nilai itu mutlak; tidak dikondisikan oleh perbuatan. Tanpa memperhatikan hakikatnya, nilai itu bersifat historis, sosial, biologis atau murni individual. Hanya pengetahuan kita tentang nilai yang bersifat relatif, bukan nilai itu sendiri. Max Scheler mencoba menjelaskan kepada kita bagaimana hakikat nilai dalam sebuah objetk tidak dapat direduksi dengan pengalaman kita. Ia menulis demikian, “fakta fenomenologis adalah yang secara pasti dalam persepsi sentimental tentang sebuah nilai yang di sana nampak bahwa nilai yang persis sama, sebagai yang dibedakan dengan persepsinya—semua itu valid dalam kasus yang memungkinakn melibatkan sebuah perpsepsi sentimental—dan akibatnya, hilangnya persepsi sentimental tidaklah mencabut (menghilangkan) hakikat nilai”.8 Sebab bagi dia, “ada nilai yang tidak terbatas jumlahnya yang orang belum dapat menangkap atau merasakannya”.9 Dan untuk sampai pada hakikat nilai perlu adanya pembedan antara “perasaan intensional” dan “keadaan perasan sensitif”. Yang terakhir mengacu pada pengalaman murni dari keadan sedangkan yang terdahulu mengacu pada pemahaman. Dan inilah caranya yang seharusnya ditempuh oleh manusia agar sampai pada hakikat nilai itu sendiri—sebuah perasaan intensional. Perasaan intensional tidak dibatasi pada perasaan fisik atau emosi. Karena perasaan intensional menyangkut keterbukaan hati dan budi terhadap semua dimensi. Itulah sebabnya dikatakan perasaan “intensional” karena setiap nilai ditangkap melalui perasaan yang terarah tepat padanya.10 Nilai menyatakan diri kepada kita. Dan penyataan dirinya ini nampak dalam urutannya yang hierarki, yang merupakan salah satu ciri khas dari hakikat nilai. Dan inilah yang akan kita lihat selanjutnya. 3. Kriteria Nilai Kelima kriteria yang akan dibahas setidaknya dapat dilihat “semacam pengantar” untuk menunjukkan dan mengarahkan kita kepada hierarki nilai, yang akan dijelaskan pada point selanjutnya. Dengan menggunakan kriteria nilai ini, kita akan dibantu mengetahui mengapa ada hierarki nilai. Kriteria pertama: keabadian nilai. Scheler melihat bahwa benda yang lebih bertahan lama (abadi) senantiasa lebih disukai daripada yang sifatnya sementara dan mudah berubah. Keabadian tentunya tidak harus mengacu pada pengemban nilai. Misalnya, karya seni sastra yang bisa dikatakan memiliki nilai yang abadi, akan tetapi dengan sebatang korek api akan menghancurkan karya seni sastra. Maka dari itu,keabadian sebuah nilai lebih mengacu pada nilai. Scheler menegaskan bahwa “nilai yang terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada dasarnya ‘fana’; nilai yang lebih tinggi daripada semua nilai yang lain merupakan nilai yang abadi.”11 Kriteria kedua: sifat dapat dibagi-bagi. Ketinggian yang dicapai nlai berbanding terbalik dengan sifatnya yang dapat dibagi-bagi, yakni semakin tinggi derajatnya semakin 8
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001, hlm. 118. Ibid., hlm. 119. 10 Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 17. 11 Op.Cit., hlm.132. 9
6
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
kecil sifatnya untuk dapat dibagi-bagi. Dengan perbedaan derajat dan berdampak lanjut pada sifat nilai, maka dapat dikatakan bahwa benda material memisahkan orang, karena benda harus dimiliki, sedangkan benda spiritual menyatukan orang karena menjadi milik bersama.12. Hal ini mau mengatakan bahwa benda material dengan tingkat kederajatannya yang rendah sehingga memiliki sifat mudah dibagi akan berdampak juga pada persona yang berada disekitar benda material tersebut, demikianpun sebaliknya dengan benda spiritual yang memiliki kederajatannya tinggi sehingga sifatnya yang mudah dibagi-bagi dimimalisir maka benda spiritual dapat dinikmati bersama-sama. Kriteria ketiga: dasar. Jika suatu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, nilai tersebut lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dan bagi Scheler dasar nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lain adalah nilai keagamaan. Kriteria keempat: kedalaman kepuasan. Semakin dalam kepuasan dihasilkan semakin tinggilah nilai tersebut. Tetapi kepuasan bukan berarti suatu rasa nikmat melainkan merupakan pengalaman akan kepenuhan batin. Di samping itu juga kepuasan di sini tidak dihubungkan dengan kehendak. Kepuasan berbeda dengan pengalaman akan terwujudnya apa yang diinginkan dan diharapkan. Maka bentuk yang paling murni dari kepuasan diberikan dalam perasaan penuh kedamaian dan dalam suatu perasaan yang secara penuh memiliki suatu hal yang bernilai. Kriteria kelima: relativitas nilai terhadap suatu nilai yang absolut. Semakin kurang relatif suatu nilai, tingkatannya dalan hierariki semakin tinggi. Nilai yang tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak. 4. Hierarki nilai Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hierarki a piori. Dan ini harus ditemukan di dalam hakikat nilai itu sendiri, bahkan berlaku juga bagi nilai yang tidak kita ketahui. Dalam keseluruhan realitas, nilai hanya terdapat satu susunan hierarki yang menyusun seluruh nilai masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Suatu nilai memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Menurut Max Scheler, kenyataan bahwa suatu nilai lebih tinggi daripada yang lain dapat dipahami dalam suatu tindakan pemahaman khusus terhadap nilai, yaitu dengan tindakan preferensi; suatu pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai. Di sini perlu dibedakan tindakan preferensi dan tindakan memilih. Tindakan memilih merupakan kecenderungan yang telah mencakup pengetahuan tentang keunggulan nilai, sedangkan tindakan preferensi merupakan tindakan mengunggulkan atau mengutamakan, yang diwujudkan tanpa menunjukkan adanya kecenderungan, pemilihan atau keinginan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh nilai pada dasarnya berada dalam suatu susunan hierarki. Susunan hierarki ini tidak pernah dapat dideduksi atau dijabarkan secara logis. Nilai manakah yang lebih tinggi hanya dapat diketahui melalui tindakan preferensi. Berikut ini, hierarki nilai yang terdiri dari empat tingkat: Nilai Kesenangan Dalam deretan terendah kita dapat menemukan deretan nilai kesenangan dan nilai kesusahan atau kenikmatan dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit atau pedih. Rumusan bahwa kesenangan lebih disukai daripada ketidaksenangan tidak ditetapkan berdasarkan pengamatan melainkan apriori (pengalaman yang mendahului serta tidak berdasarkan pada pengamatan empiris semata), dan termuat dalam inti nilai. 12
Ibid., hlm. 133-134.
7
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
Nilai Vitalitas atau Kehidupan Nilai ini terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan meliputi rasa halus, luhur atau lembut hingga yang kasar atau biasa, juga bagus yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai yang diturunkan dari sini adalah kesejahteraan baik pribadi maupun komunitas. Nilai ini menghadirkan perasaan yang sama sekali tidak tergantung, serta tidak dapat direduksikan pada tingkat yang lebih tinggi (nilai spiritual) atau tingkat yang lebih rendah ( nilai kesenangan). Nilai Spiritual Nilai ini memiliki sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Tingkat nilai ini lebih tinggi dari kedua tingkat nilai sebelumnya artinya orang harus berani dan wajib untuk mengorbankan nilai vitalitas demi nilai spiritual ini. Ada tiga jenis pokok dari nilai spiritual ini: nilai estetis, berkaitan erat dengan keindahan dan kejelekan, nilai benar dan salah atau adil dan tidak adil, yang merupakan dasara utama bagi suatu tatanan hukum objektif, nilai dari pengetahuan murni demi dirinya sendiri, yang dicoba filsafat untuk mewujudkannya. Nilai Kesucian dan Keprofanan Nilai ini hanya tampak pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolut. Tingkat nilai kesucian tidak tergantung pada perbedaan waktu dan perbedaan orang yang membawanya. Tanggapan terhadap nilai ini biasanya diwujudkan dalam beriman dan tidak beriman, kagum, memuji dan menyembah. Tindakan ynag terjadi dalam mencapai nilai kesucian adalah suatu jenis cinta khusus yang secara hakiki terarah pada pribadi. Dengan demikian, tingkatan nilai ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. Niolai turunannya adalah nilai barang dalam pemujaan, sakramen dan bentuk-bentuk ibadat, sejauh terkait dengan pribadi yang dipuja. 6. Sumbangan Filsafat Nilai Max Scheler Mengelola Realitas Pluralitas Di Indonesia Setelah kita menemukan dan memahami nilai; maka pada bagian ini kita akan melihat peranannya bagi kehidupan manusia dan dalam mengelola realitas pluralitas di Indonesia. Peranan nilai bagi kehidupan manusia Scheler melihat manusia sebagai person. Baginya, persona tidak sama dengan makhluk berjiwa, juga tidak sama dengan “aku” yang berpikir, berkehendak. Yang dinamakan persona adalah ia yang memiliki kepenuhan arti segala inderanya yang dewasa dan cakap untuk memilih. Jadi persona, memiliki kelengkapan indera, kedewasaan dan kecakapan untuk memilih. Maka dari itu, Scheler mengatakan, bahwa persona sebagai makhluk hidup bukan hanya timbul dari binatang, tetapi persona adalah binatang, dahulu, sekarang dan di masa depan. Tetapi, ia adalah binatang yang berpikir yang tidak dapat menyerah kepada alam. Oleh karena itu, manusia berusaha keras untuk mengubah alam hingga menjadi kebudayaan. Ini dikarenakan persona adalah makhluk yang dikaitkan dengan Yang Transenden. Persona yang bersujud dan mencari Tuhan; persona yang merupakan wahyu dari Tuhan dalam kehidupan duniawi ini. Persona adalah gerak abadi dari hidup, yang menuju ke atas dari diri sendiri. Maka, dari situ,ia mangatakan bahwa persona bersifat rohani—makhluk yang berdoa dan yang mencari Tuhan. Dalam pandangannya, persona itu sangat tinggi. Persona bukanlah subyek dan sebetulnya tidak pernah bisa dijadikan obyek. Isi yang dalam dan yang intim dari persona tidak akan pernah bisa dimengerti jika persona tidak membuka diri sendiri kepada persona lain.
8
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
Melihat uraian singkat di atas, kita dapat bertanya dimanakah kita akan tempatkan peran nilai dalam kehidupan manusia? Nilai sebagaimana yang telah dijelaskan ada dalam dirinya sendiri dan tidak tergantung pada apa yang mengembannya. Dengan kenyataan seperti ini, maka nilai secara tidak langsung mendorong manusia untuk meningkatkan kesadarannya sebagai manusia. Bahwa manusia bukanlah hanya terbatas pada manusia yang berpkir dan berkehendak tetapi jauh dari itu manusia titisan kasih ilahi. Sebagai titisan ilahi manusia harus berani melihat kembali sederet nilai dalam kehidupannya, apakah sesuai dengan tujuan atau tidak. Nilai-nilai yang ada disekitar kita membantu kita untuk berani memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan khususnya dalam melihat realitas pluralitas yang ada di negeri kita. Bahwa dalam “diri” pluralitas yang ada, terkandung sebuah nilai yang tinggi, luhur dan mulia dan nilai-nilai itu adalah ilai yang seringkali diabaikan bahkan kita sendiri tidak mengetahui ada nilai yang berharga di balik realitas pluralitas yang ada. Akan tetapi, sebelum jauh melangkah, kita kembali pada diri kita masing-masing. Manusia. Sekali lagi dia adalah titisan ilahi— Citra Allah. Itulah nilai yang terdalam yang perlu kita sadari. Sebagai titisan ilahi—citra Allah, manusia hendaknya memahami isi yang terdalam dari dirinya; yakni nilai yang ada dalam diri manusia; manusia mengejar nilai yang tertinggi yakni nilai kesucian sebagaiman yang terdapat dalam hierarki nilai diatas. Manusia dengan menyadari hal ini manusia dapat menjadi manusia yang sejati; manusia yang mampu merenungkan jati dirinya yang sebenarnya, yaitu manusia yang berpihak pada kebenaran, mempunyai tanggung jawab moral yang luhur dan tidak pernah henti menyebarkan nilai-nilai dan gagasan kebenaran dengan sikap dan tindakan yang nyata. Disamping itu, dengan menyadari akan adanya nilai yang tertinggi manusia, manusia dapat mengatasi fenomena resentimen (bercirikan keirihatian, kecemburuan dan rivalitas—buah dari vanity) di zaman ini khususnya dalam realitas pluralitas di Indonesia. Peranan nilai dalam mengelola realitas pluralitas di Indonesia. Dalam melihat sumbangsih nilai dalam mengelola realitas pluralitas di Indonesia, maka kita akan menemukan satu nilai yang berada di balik nilai-nilai yang ada yakni kasih. Dengan kasih, maka kita akan bergerak dari nilai yang terendah menuju nilai yang tertinggi dalam melihat realitas pluralitas yang ada di Indonesia. Tetapi, kasih di sini kasih yang bagaiamana? Scheler menjelaskan bahwa kasih tidak sama dengan turut merasakn apa yang dirasakan oleh orang lain, sebab kasih sama sekali bukan perasaan. Kasih tidak memberikan pertimbangan dan juga bukan suatu perbuatan usaha. Kasih juga tidak hanya mengandung unsur sosial, sebab kasih tidak hanya diarahkan kepada orang lain, melainkan kasih juga dapat diarahkan kepada diri sendiri yakni bersatunya persona dengan nilai yang tertinggi. Maka dapatlah dipastikan bahwa Scheler mengajak kita untuk memaknai bahwa kasih yang sejati selalu terarah kepada suatu person, suatu pribadi bukan kepada suatu nilai sebagai nilai. Kasih mengarah pada pribadi yang berada di belakang nilai-nilai pribadi dengan menerobos kenyataan nilai-nilai pribadi itu. Dan itulah obyek kasih tersebut. Dan obyek kasih yang berada di balik kenyataan nilai-nilai pribadi itu adalah nilai yang tertinggi yakni Yang Mahanilai, Allah. Demikianlah puncak kasih adalah kasih Allah, bukan kasih kepada Allah yang baik melainkan kasih kepada Allah sebagai kasih yang ikut serta melaksanakan kasih Allah kepada dunia. Di sini Allah muncul sebagai pusat kasih yang tertinggi. Oleh sebab itu, menyerah kepadaNya tidak kehilangan nilai,
9
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
melainkan bertambah nilainya. Persona menjadi lebih sempurna dengan menyerah kepada Tuhan. Dengan demikian persona menjadi pribadi yang bernilai. Tugas persoan adalah mengejar kesempurnaan yang tealh dilukiskan oleh Tuhan. Maka cinta tertinggi hendalnya menjadi dasar dari semua kecintaan kita. Sebab nilai-nilai lainnya dapat kita cinta karena asalnya dari Tuhan. Sehingga cinta kita adalah cinta ikut serta dengan cinta Tuhan. Disinilah terjadinya ordo amoris –pengaturan cinta yang sebenarnya. Dalam kaitannya dengan realitas pluralitas yang ada di Indonesia, hendaknya kasih sebagaimana yang dijelaskan di atas mampu menggerakkan kita dalam mengelola realitas pluralitas yang ada. Bagaiamana caranya? Hanya kita sendiri yang dapat melakukannya, dengan tetap bersandar pada nilai yang tertinggi yakni kasih. Dengan memusatkan kasih sebagi nilai yang tertinggi, maka realitas pluralitas yang ada apat dipandang sebagai perbedaan yang dapat dipersatukan, dan bukan sebagai pertentangan dengan usaha untuk melakukan penyamaan. Nilai. demikianlah dia selalu dikejar oleh manusia. Dengan keterbukaan hati untuk menyadarinya manusia akan bertumbuh dalam kedewasaan— manusia semakin manusiawi. 7. Penutup Manusia memiliki kemampuan dalam dirinya untuk memahami semua nilai plus hierarikinya. Dalam menghadapi nilai, manusai dengan penuh keterbukaan dapat memilih nilai yang ada. Dalam ketrbukaan itu, dua sikap mengalir dari dalam diri manusia, cinta dan benci. Dengan cinta, manusia menghadirkan nilai positif. Dengan benci manusia ‘meniadakan’ nilai—ia menghadirkan nilai tetapi nilai negatif. Fenomena resentimen. Inilah gejala yang merangsang lahirnya sebuah pertentangan dari sebuah perbedaan. Sebab, resentimen adalah sikap yang membuat manusia buta terhadap nilai, yang meracuni jiwa manusia. Ia menghancurkan keterbukaan manusia terhadap nilai tertinggi. Maka, manusia hendaknya mampu menangkap dan mewujudkan niali-nilai yang ada dalam tindakan guna membangun dan membentuk kehidupan person, bangsa dan negara. Dengan demikian nilai memilki peranan sebagai yang memberi arah dan daya tarik bagi manusia untuk membangun dan membentuk kehidupan person melalui tindakan-tindakannya.
10
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA BUKU Bagus, Laurens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2005 Frondizi, Risieri. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001 Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta: Kanisius, 2006 Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologi Max Scheler.Yogyakarta: Kanisius, 2004 INTERNET http://www.maxscheler.com diakses pada tanggal 06 Oktober 2009
11
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
Alamat ne billy sandy Fransiskus Billy Sandy/Tanah Tinggi 1 - gang 3 - rt12/rw 02 - rumah nomr.02 - Jakarta Pusat - nomr.tlp: 021-4246958.... 081334278997. ni alamat q brow....
12