SULITNYA MEMBANGUN RUMAH TANGGA YANG SAKINAH, MAWADAH, WARAHMAH Oleh: SUBANDRIO H.S., S.Pd
M
embentuk rumah tangga menurut Islam adalah dalam rangka menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi dan
bekerja sama dalam membangun mahligai rumah tangga yang harmonis menuju derajat taqwa. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.at-Taubah [9]:71). Dari ayat tersebut jelas diperlukan adanya relasi antara suami dan istri, dan tidak menyamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Begitu juga sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang ma’ruf. Tetapi yang terjadi pada rumah tangga Ratih (19 tahun), bukan nama sebenarnya, sangat jauh dari harapan ayat tersebut. Karena suaminya, Darto (27 tahun), juga bukan nama sebenarnya, yang dicintainya itu bukan menjadi pelindung istrinya, tetapi malah sebaliknya, orang yang sangat menakutkan. Kenapa dikatakan demikian? Karena Darto sering kali melakukan penganiayaan terhadap dirinya. Salah sedikit, ia ditampar. Telat membuatkan kopi caci maki yang didapat. Begitu juga ketika akan melakukan hubungan intim, Ratih tidak bisa menolak. Karena jika Ratih menolak hukumannya pukulan, tendangan, atau sundutan api rokok. Pernah suatu kali Ratih menolak, karena waktu itu Ratih benar-benar sedang datang bulan. Tetapi suaminya tidak mau tahu. Darto malah menuduh yang bukan-bukan. Ratih dituduh selingkuh. Meskipun Ratih dengan jujur mengatakan bahwa penolakannya itu karena disebabkan ia sedang datang bulan, tetapi suaminya tetap tidak mau percaya. ***
S
udah tiga tahun ini rumah tangga Ratih benar-benar diguncang prahara. Ratih sendiri tidak mengerti kenapa sikap suaminya berubah seratus delapan puluh derajat. Darto yang
selama ini memberikan nafkah lahir bagi dirinya, kini sudah tidak lagi. Bahkan kalau Ratih menanyakan uang belanja, Darto malah memarahi Ratih dengan kata-kata yang tidak sepantasnya. Ratih semakin tidak mengerti dengan sikap suaminya. Ratih tidak habis pikir,
1
mengapa suaminya bersikap seperti itu. Padahal, semua kebutuhan Darto baik lahir maupun batin sudah dipenuhi Ratih dengan sebaik mungkin. Namun, mengapa harus ada penyiksaan? Meskipun mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dari Darto, Ratih diam saja. Tidak pernah ia mengadukan kepada orang tuanya apalagi kepada orang lain. Bukan karena takut tidak mendapatkan respon karena perkawinannya dengan Darto adalah merupakan kemauannya sendiri, sementara seluruh keluarganya tidak ada yang menyetujui. Bukan itu. Ratih masih ingat ketika ia menerima lamaran Darto, ibunya mengatakan; “Karena ini kemauanmu sendiri, maka apa pun yang terjadi dalam rumah tanggamu adalah merupakan tanggung jawabmu sendiri. Kami tidak mau tahu. Kamu mengerti kan, Ratih?” Waktu itu Ratih hanya mengangguk. Ratih mengerti apa yang diucapkan oleh ibunya. Ia menolak lakilaki pilihan orang tuanya. Ratih memang benar-benar mencintai Darto. Ratih sendiri tidak tahu kenapa orang tuanya tidak merestui perkawinannya dengan Darto. Maka dari itu, Ratih menerima semua perlakuan Darto terhadap dirinya. “Ini merupakan konsekuensi saya dalam menentukan pilihan,” Ratih membatin. *** Awal perkenalan
R
atih masih ingat awal perkenalannya dengan Darto. Ketika itu Ratih dikenalkan oleh Eroh, teman dekat Ratih, ketika mereka sama-sama menghadiri pesta perkawinan Mas
Imam, teman sama-sama di SMA. Menurut Eroh, Darto itu adalah pemuda yang baik perilakunya dan supel pergaulannya. Darto merupakan anak satu-satunya dari keluarga Bapak Marjan. Masih menurut Eroh, Pak Marjan itu salah seorang yang berada di kampungnya. Selain itu, Darto juga sudah mempunyai bisnis sendiri, “Meskipun sebagai pengumpul barang-barang bekas, tapi penghasilannya cukup lumayan, lho” jelas Eroh. Ratih diam saja. Namun dalam diamnya itu, sebenarnya Ratih sudah tertarik pada Darto saat pertama perkenalan. Jadi, ketertarikan Ratih kepada Darto bukan karena keterangan Eroh. Bukan. Tetapi, karena sikap dan perilaku Darto memang benar-benar baik, maka tidak salah jika Eroh mengatakan pemuda Darto itu orangnya sangat santun. Bukti lain, selama Ratih menjalin hubungan dengan Darto, ia tidak pernah meminta yang aneh-aneh sebagaimana layaknya orang berpacaran. Untuk berpegangan tangan saja sangat jarang dilakukan kecuali pada saat menyeberang jalan. Begitu juga saat ia berkunjung ke rumah Ratih, Darto selalu meminta ijin dan ketika mau pulang Darto selalu berpamitan kepada orang tua Ratih. Dan sesekali Darto membawakan buah tangan ketika ia pulang dari kota.
2
Sikap orang tua Ratih terhadap Darto baik-baik saja. Ratih tidak tahu sama sekali kalau secara tersembunyi orang tuanya kurang suka terhadap Darto, terutama sang ibu. Meskipun demikian, Ratih tetap menyembunyikan ketidaksetujuan orang tuanya itu.
Walaupun tetap tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Darto, orang tua Ratih selalu menunjukkan sikap baik. Ratih sendiri tidak mengerti mengapa orang tuanya bersikap begitu. Pernah suatu kali Ratih menanyakan kepada ibunya tentang itu, namun ibunya tidak pernah menjelaskan. Ibunya hanya bilang, “Ibu tetap tidak menyetujui hubunganmu dengan Darto. Ibu hanya menyetujui kamu nikah dengan Maman, anak pak Kades itu.” Meski Ratih tidak pernah menyampaikan hal itu pada Darto, tetapi ternyata secara diam-diam Darto mengetahui juga tentang penolakan hubungannya dengan Ratih. Tapi bagi Darto hal itu bukan halangan. Ia tetap menjalin hubungan dengan Ratih. Seakan-akan Darto tidak tahu. Sikap antara sang ibu dengan sang ayah berbeda. Ibunya Ratih tetap menolak Darto, tetapi ayahnya sebaliknya. Ayahnya tetap merestui hubungan anaknya. “Kalau memang kamu benar-benar mencintai Darto, ayah tetap merestuimu. Ayah pasti bersedia menjadi wali pada pernikahanmu kelak,” jelas ayah suatu hari. Begitulah kenyataannya, ayah Ratih menerima pinangan Darto, dan pada saat pelaksanaan pernikahan mereka, ayahnya tetap bersedia menjadi wali. *** Merantau ke Jakarta
S
etelah sebulan akad nikah, Darto berencana untuk membawa Ratih ke Jakarta. Alasan dibawanya Ratih ke Jakarta, Darto ingin membuka bisnis di sana. Sebab, lapak 1 yang
dikelolanya selama di kampung diserahkan kepada orang tuanya. Darto sendiri ingin mandiri, ingin bisnis sendiri, dan ingin jauh dari kedua orang tua masing-masing. Mereka berdua telah sepakat akan membangun rumah tangganya dengan baik, layak, tanpa bantuan dari pihak kedua orang tua masing-masing. Rencana tersebut disambut baik oleh Ratih. Ia pun ingin belajar mandiri. Dengan bekal tekad yang kuat, suatu hari mereka berangkat ke Jakarta. Awalnya mereka akan menggunakan kereta api, tetapi menurut pertimbangan mereka berdua akan lebih efektif menggunakan bus, “Kita lebih baik naik bus saja, kalau naik kereta dari stasiun Gambir aku tidak tahu naik apa ke rumah paman,” jelas Darto. Ratih setuju, bagaimana yang baik saja, “Yang penting tidak nyasar,” kata Ratih.
1
Lapak adalah tempat pengepul barang-barang bekas. 3
Meskipun ibunya Ratih kurang setuju dengan rencana anaknya ke Jakarta, namun ketika Ratih dan Darto berangkat, orang tua itu tetap mengantar kepergiannya meskipun hanya sampai depan rumah, karena anaknya segera naik becak menuju terminal bus. Sebelum becak membawanya pergi, Ratih sempat bertangisan dengan ibunya. Mungkin berbagai hal telah berkecamuk dalam benak masing-masing. Dalam situasi haru, ibunya sempat berbisik, “Ibu hanya bisa mendoakan semoga selamat sampai tujuan, dan semoga mendapatkan kesuksesan.” Mendengar itu Ratih makin keras isaknya sambil memeluk erat ibunya. Selanjutnya Ibunya berpesan, “Jangan lupa, sholat lima waktu!”
B
*** us yang mereka tumpangi benar-benar menyenangkan. Bus yang merupakan jurusan Merak memang bagus, bersih, dan larinya cukup cepat. Meskipun tanpa AC, tapi
dirasakan oleh Ratih merupakan perjalanan yang sangat menyenangkan, karena perjalanannya itu merupakan sejarah awal akan dibangunnya fondasi rumah tangganya. Ratih merasa senang karena ibunya yang selama ini kurang suka terhadap suaminya dengan tiba-tiba berubah menjadi baik. Ratih yakin doa ibunya itu benar-benar tulus. Ratih percaya doa tulus dari seorang ibu akan diijabah oleh Allah Swt. Perjalanan menuju ke Jakarta yang menurut keterangan temannya yang sering pergi-pulang biasanya ditempuh antara 6 sampai 7 jam. Namun ketika itu hanya memerlukan waktu 5 jam 15 menit saja. Diakui oleh Ratih, selain kondisi busnya sangat prima juga sopir bus itu sangat lihai dalam menjalankan kendaraannya. Hal ini nampak kemahiran sang sopir pada saat mendahului beberapa bus yang ada di depannya.. Ketika mereka sedang terkantuk-kantuk di dalam bus, tiba-tiba kondektur berteriak, “Slipi! Slipi, ada yang turun?” Mereka berdua bergegas menuju pintu depan. Dan ketika benar-benar bus sampai di Slipi, mereka dengan segera turun. Setelah menepi di sebuah halte bus, ada sedikit kebingungan. Ternyata Darto yang sudah dua kali ke rumah pamannya tiba-tiba lupa. Lupa naik bus apa setelah turun di Slipi. Kemudian dengan segera Darto mengucap istigfar. Melihat itu Ratih bertanya, “Ada apa, mas?” Darto hanya menggelengkan kepala, “Tidak ada apa-apa. Aku Cuma sedikit lupa dari sini naik bus apa ya?” katanya sambil memegang keningnya. “Kalau begitu, kita tanya orang saja, mas” usul Ratih. Kemudian Darto memberanikan untuk tanya pada seorang pemuda yang sama-sama berdiri di halte. “Permisi, mas, numpang tanya, kalau mau ke Kebayoran Baru dari sini naik apa ya, mas?” Tanya Darto. “Bapak bisa naik taksi, atau bisa juga naik bus jurusan Blok M,” Jawab pemuda itu. Setelah itu Darto baru benar-benar sadar. Karena membawa beberapa tas, akhirnya Darto
4
memutuskan untuk naik taksi, “Supaya tidak repot, kita naik taksi aja ya!” Kemudian mereka berdua memberhentikan taksi yang lewat. Kepada pak sopir Darto menyebutkan suatu tempat. ***
M
enjelang Maghrib, mereka telah sampai di alamat yang dituju. Tidak sulit mencari rumah pamannya, karena ternyata nama paman Dul sudah dikenal banyak orang.
Kedatangan mereka berdua sebenarnya telah ditunggu sejak pagi, karena Darto sendiri dua hari yang lalu sudah kirim kabar kepada sang paman melalui salah seorang anak buah paman Dul yang kebetulan sekampung. Malam itu mereka ngobrol berbagai macam, termasuk rencananya ingin membuka bisnis. Dan malam itu mereka tidur di rumah paman. Ratih sedikit terkejut ketika ternyata paman Dul telah menyiapkan kamar untuk mereka. Ratih merasa terharu dengan sambutan baik dari paman Dul dan istrinya. Ratih sangat bersyukur mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari keluarga paman Dul. Mungkin ini merupakan awal kebaikan bagi perjalanan hidup rumah tangga kita, begitu Ratih membatin. “Keluarga paman Dul baik banget ya, mas,” bisik Ratih di tempat tidur. Darto hanya mengangguk-angguk karena sudah ngantuk, dan selanjutnya mereka tertidur pulas. ***
R
umah paman Dul tidak begitu luas. Namun rupanya istrinya yang kecil mungil itu sangat pandai menata barang-barang sehingga nampak indah dan asri. Sementara yang
dijadikan tempat pengepul barang-barang bekas ditempatkan di samping rumahnya, hanya dibatasi oleh pagar saja. Setiap pagi paman Dul melayani berbagai kebutuhan anak buahnya, terutama gerobak. Gerobak yang disiapkan oleh paman Dul ada 10 gerobak. Dari masingmasing orang yang membawa gerobak dikenakan biaya sewa 10 ribu per hari. Kata paman, uang itu sebagai biaya perawatan gerobak masing-masing. Anak buah paman Dul berjumlah 20 orang. Sepuluh orang telah berkeluarga dan keluarga mereka tinggal di situ, selebihnya bujangan. Semua anak buahnya diberi tempat tinggal di sekitar lapak. Mereka tidak dikenakan biaya sewa rumah, tetapi barang-barang yang mereka dapat tidak boleh dijual ke orang lain, harus ke paman. Menurut penuturan istri paman, setiap hari paman Dul harus menyiapkan uang paling sedikit 3 juta untuk membeli barang-barang yang didapat anak buahnya. Selama Darto belum mendapatkan tempat untuk bisnisnya, bersama Ratih mereka membantu pekerjaan paman. Kata paman Dul, selain belajar mengelola bisnisnya nanti, dan sementara 5
belum dapat tempat bisnis, tak ada salahnya kalian bantu-bantu paman dulu, soalnya agak sulit mendapatkan tempat untuk bisnis seperti paman. Jadi bersabarlah! Insya Allah dalam waktu yang tidak terlalu lama tempat yang kalian inginkan pasti akan didapat juga. Darto dan Ratih sangat mengerti apa yang dikatakan paman Dul. Sangat jarang orang yang mau menyewakan rumahnya yang akan dijadikan bisnis barang-barang bekas. Maklum bisnis seperti paman Dul pasti kotor. Tapi mereka yakin akan segera mendapatkan tempat untuk bisnisnya. Karena paman Dul sendiri tidak tinggal diam. Paman setiap hari selalu mencaricari tempat tersebut., “Kita sama-sama berdoa saja, semoga Allah segera mengabulkan permohonan kita,” kata Darto pada Ratih. Setelah tiga bulan
S
etelah tiga bulan ikut paman Dul, akhirnya tempat itu didapat juga. Ketika paman Dul menyampaikan berita itu, Darto dan Ratih menyambutnya dengan suka cita. Selain
mereka ingin segera bisnis sendiri, kelamaan ikut paman pun mereka merasa kurang enak. Meskipun selama mereka tinggal bersama paman Dul ikut membantu pekerjaannya, tapi akan lebih enak jika bisnis sendiri. Terlebih uang yang dibawa dari kampung untuk biaya sewa tempat dan modal bisnis takut habis. Begitulah! Akhirnya Allah mendengar juga permohonan mereka. Setelah membayar uang sewa rumah selama setahun, kemudian mereka pindah dari rumah paman. Paman Dul dan istrinya ikut mengantarnya. Pada suatu kesempatan, paman Dul dan istrinya berpesan kepada Darto untuk berhati-hati dalam mengelola bisnisnya, “Jangan kamu samakan dengan orang-orang di kampung. Ini Jakarta, Darto! Jadi, kamu harus ingat!” Darto sangat mengerti apa yang dikatakan oleh paman Dul. Awal bisnis Sebenarnya bisnis Darto di Jakarta tidak jauh berbeda dengan bisnisnya yang diserahkan orang tuanya di kampung. Yang membedakan bisnisnya di Jakarta Darto hanya mau menerima kardus bekas saja. Kenapa ia memilih hanya satu jenis barang saja? Hal ini dilakukan oleh Darto sesuai permintaan pemilik rumah agar lingkungan tidak kotor. Selain itu pun, menurut pengalaman teman-temannya meskipun hanya satu jenis barang namun untungnya lumayan juga. Barangkali sudah menjadi jalan hidupnya, karena bisnisnya lumayan berjalan baik, lancar. Beberapa anak buahnya yang merupakan bagian dari anak buah paman Dul sangat setia padanya. Memang, kalau sudah rezki tak akan kemana.
6
Anak pertama lahir Setelah setahun berjalan, alhamdulillah bisnisnya mengalami banyak kemajuan. Dan yang lebih menyenangkan mereka berdua, lahirlah anak pertamanya. Secara kebetulan pula anak pertamanya laki-laki, anak yang sangat dinanti-nanti suaminya. Karena kehadiran anak pertamanya ini telah membawa keberkahan bagi bisnisnya, lalu anak itu diberinya nama Makmur Bahagia. Mereka benar-benar bahagia. Berita gembira itu segera mereka sampaikan kepada kedua orang tuanya. Dan ternyata kabar gembira itu disambut suka cita oleh kedua orang tua mereka. Hal ini tentu saja membuat hati Ratih dan Darto berbunga-bunga. Kemudian kedua orang tua mereka diundang untuk menyaksikan upacara pemberian nama bagi cucunya. Dan mereka pun hadir dalam acara tersebut. *** Lahir anak kedua
T
ahun berikutnya, lahir anak kedua. Kali ini anak perempuan. Lagi-lagi Ratih dan Darto menyambutnya dengan gembira. Kemudian anak keduanya ini diberinya nama Cahaya
Melati. Maksud dari nama tersebut, kedua orang tuanya berharap anaknya kelak menjadi cahaya bagi bisnisnya dan harum di masyarakat seharum bunga melati. Darto, sebagai suami dan sebagai seorang bapak dari kedua anaknya merupakan laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Darto sangat sayang pada kedua anaknya, termasuk kepada Ratih istrinya. Keluarga mereka benar-benar keluarga yang menjadi dambaan setiap orang. *** Membuka cabang baru Untuk melebarkan bisnisnya, Darto bersama seorang temannya membuka cabang baru. Dan di tempat yang baru ini Darto menerima berbagai macam barang bekas. Di tempat yang baru ini, selain mendapat ijin dari pemilik tanah, pun lahan yang disewa cukup luas sehingga memungkinkan untuk menampung berbagai macam barang. Untuk pengelolaan di cabang ini, Darto mempercayakan temannya. Seminggu dua kali saja Darto mengontrolnya. Lagi-lagi keberuntungan sedang berpihak kepadanya. Cabang baru bisnisnya tak kalah maju. Pengelolaan bisnisnya yang merupakan induk dipercayakan kepada istrinya, Ratih. Merasa dipercaya Ratih sangat serius mengelola bisnisnya itu. Sedangkan Darto yang selalu berkeliling dari satu tempat ke tempat cabang. Begitulah yang dilakukan Darto. Bisnis baru ….
S
ebulan, dua bulan berjalan lancar. Seiring dengan perkembangan bisnisnya yang maju pesat, di bulan ketiga Ratih melihat ada perubahan sikap pada diri suaminya. Darto yang 7
selama ini tidak pernah pergi jauh, kecuali mengantarkan kardus-kardus ke tempat bosnya, apalagi pulang larut malam. Pendek kata, sejak suaminya berkenalan dengan Kasim, teman barunya itu Darto sering pulang malam. Kalau ditanyakan ada urusan apa, Darto mengaku ada urusan bisnis. Ketika Ratih menanyakan kenapa selalu pulang larut malam? Darto mengatakan bahwa ia sedang merencanakan untuk membuka bisnis baru bersama Kasim. Bisnis apa yang akan mereka bangun? Apakah Darto tidak cukup dengan dua tempat? Kenapa Darto tidak memberitahukan bisnisnya kepada Ratih? Bukankah ia adalah istrinya? Tindakan ini bukan merupakan kebiasaannya. Namun, ketika Ratih mendesaknya, Darto menjelaskan, bisnis yang akan ia buka bersama temannya itu merupakan bisnis besar. Bisnisnya itu membutuhkan modal besar, maka dari itu, menurut Darto ia harus ekstra hati-hati. “Itulah sebabnya saya sering melakukan pertemuan untuk mengetahui lebih jauh tentang bisnis besarnya itu, supaya kita tidak tertipu,” begitu jelas Darto.
Maunya Ratih akan mengajukan berbagai pertanyaan, tetapi niat itu ia urungkan. Ratih melihat suaminya nampak bersemangat sekali untuk menge-goal-kan rencana bisnisnya itu. Ratih percaya kalau suaminya itu bersungguh-sungguh. Kecurigaan yang sempat muncul di benak Ratih sebagai akibat perubahan sikap suaminya harapan Ratih keliru. Untuk itu Ratih sempat memohon ampun kepada Allah karena telah keliru menduga suaminya. Ratih benar-benar merasa sangat bersyukur mendapatkan suami Darto, meskipun ia kurang disukai oleh orang tua Ratih, tetapi Darto adalah seorang suami yang bertanggung jawab dan seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya. Selain itu pun Darto sangat bersemangat untuk mencari penghidupan, katanya ia ingin membuktikan kepada mertuanya bahwa dia adalah suami yang bertanggung jawab. Pernah suatu hari Darto mengatakan pada Ratih, bahwa ia akan terus berbisnis membangun rumah tangganya yang baik. Kalau bisa, kata Darto pada Ratih, kita bangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Dengan begitu, Darto berharap hati mertuanya akan luluh.
Sesekali kadang Darto menduga-duga kenapa ibu mertuanya itu kurang menyetujui. Apakah karena selama ia masih membujang dikenal sebagai pemuda pemalas? Atau karena ia sering mabuk-mabukkan? Bukankah itu Darto yang dulu? Apakah tidak boleh berubah? Sampai di situ dia tidak mampu meneruskan pertanyaannya. Sesekali pula bila ingat itu tak disadari tibatiba menetes air matanya. Maka dari itu, dalam setiap shalatnya Darto selalu memohon kepada Allah agar dilapangkan hati mertuanya, terutama ibu mertua, agar senantiasa mendoakan anak menantunya bisa sukses dalam mencari penghidupan di Jakarta.
8
Bisnis besar itu akhirnya Setelah tiga bulan bernegosiasi, akhirnya bisnis barunya Darto berhasil juga. Dan ternyata bisnis yang dikatakan Darto bisnis besar dan memerlukan modal besar ternyata benar. Bersama temannya itu membeli sebuah pabrik yang bangkrut dengan harga 3 milyar rupiah. Wajar jika Darto harus berhati-hati karena memang memerlukan modal sebesar itu.. Selanjutnya pabrik itu dijual kembali. Keuntungan yang didapat dari penjualan itu cukup mengejutkan Ratih. Lagi-lagi Ratih bersyukur kepada Allah. Namun, tiba-tiba Ratih ingat pesan almarhumah neneknya. Katanya, kalau kita sedang diberi kemudahan rizki kita harus hati-hati. Allah sedang menguji kita. “Karena ujian dari Allah itu bukan penderitaan saja, tetapi juga kebahagiaan,” begitu kata nenek. “Untuk itu, kita harus melaksanakan kewajiban kita yaitu membayar zakat mal. Sedikit kok, cuma 2,5% saja.” Menurut nenek, kita jangan takut akan miskin hanya karena membayar zakat, karena Allah berjanji jika kita melaksanakan kewajiban itu akan diganti-Nya dengan berlipat ganda. “Kita sebagai muslimah, tidak boleh mengingkari itu.” Mengingat pesan almarhumah neneknya, dalam suatu kesempatan Ratih mengajukan usul kepada suaminya untuk membayar zakat dari kekayaan yang dimilikinya. Mendengar usul Ratih, Darto sangat setuju. Maka dengan seijin suaminya, Ratih mulai menghitung seluruh kekayaannya. Kemudian Ratih juga menghitung berapa besar yang harus dikeluarkan untuk zakat yang 2,5% itu. Selanjutnya mereka berdua mulai menentukan kepada siapa saja yang berhak mendapatkan zakat mal itu. Karena merasa kesulitan, mereka memutuskan untuk mengundang seorang yang ahli dalam bidang itu. Dipanggillah kiai yang dekat dengan rumahnya untuk membagikan zakat itu agar tidak keliru.
Semenjak keberhasilan bisnisnya itu, kecintaan Darto terhadap istri dan kedua anaknya semakin besar. Kadang-kadang Ratih sempat berpikir dialah salah seorang istri yang paling beruntung diantara sekian perempuan teman-temannya di kampung. Karena ia merasakan betapa besar tanggung jawab suaminya terhadap keluarganya. Meskipun keberuntungan selalu menghampirinya, tetapi yang namanya Darto, suaminya itu tidak pernah berbuat yang macam-macam. Tidak pernah keluar malam tanpa tujuan yang pasti. Katanya, untuk apa kita begadang kalau tidak ada hasilnya. Pikiran bisnisnya jalan terus. Satu persatu anak mereka tumbuh. Keduanya bukan saja dekat dengan Ratih, tetapi juga sangat dekat dengan ayahnya. Sebagai suami dan ayah, komitmen Darto memang sungguh luar biasa. Darto adalah merupakan tipe laki-laki rumahan. Maksudnya laki-laki yang senang berkumpul dengan keluarganya di rumah. Ia sangat jarang untuk ngobrol-ngobrol dengan teman-temannya, kecuali memang benar-benar sangat dibutuhkan. Begitu juga dengan anak 9
buahnya. Kalau sudah selesai membayar barang-barang anak buahnya Darto dengan segera berkumpul dengan keluarganya.
Laki-laki tipe Darto memang ada baiknya, tapi juga ada kurang baiknya. Baiknya ia selalu dekat dengan keluarga. Dekat dengan istri dan anak-anaknya. Kurang baiknya karena kurang banyak bergaul dengan orang-orang sekitar. Tidak heran kalau orang tipe Darto sering disebut sebagai orang yang sombong. Padahal belum tentu benar, buktinya Darto. Memang yang demikian itu dikhawatirkan tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Sementara nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah menganjurkan demikian. Tapi apa boleh buat. Darto sendiri menyadari betul akan hal itu. Akhirnya ujian itu datang juga Bila dibandingkan dengan kehidupan rumah tangga teman-teman sepermainnya di kampung. Ratih dengan Darto adalah merupakan teladan bagi mereka. Kebanyakan teman-teman Ratih sering kali berganti-ganti suami. Alasan mereka kurang cocoklah, tidak mau bisnislah, suka main seronglah, dan lain sebagainya. Bahkan ada seorang temannya sampai tujuh kali melangsungkan pernikahan tetapi rumah tangganya bubar di tengah jalan. Ternyata semua yang di dunia ini tidak ada yang kekal. Begitu juga dengan keutuhan rumah tangga Ratih. Setelah dua belas tahun membina rumah tangga, ternyata ujian dari Allah itu datang juga. Ujian itu datang ketika bisnis mereka sedang maju pesat. Ketika perekonomian mereka sangat membaik. Ketika Allah melimpahkan rizki-Nya. Ujian itu datang secara tibatiba. Sangat mengejutkan Ratih. Prahara itu datang berawal ketika Ratih dikejutkan oleh bunyi handphone. Ratih mengenal betul bunyi handphone itu milik Darto, suaminya. Dan ia juga sangat mengenal betul bunyi itu merupakan SMS masuk. Sejenak Ratih berpikir. Kenapa HP itu tiba-tiba ketinggalan? Biasanya kedua HP milik suaminya itu tidak pernah ketinggalan. Karena, menurut suaminya, HP ini sangat penting. Karena dengan HP Darto dapat melakukan berbagai kegiatan bisnisnya, baik sebagai alat pantau atau transaksi bisnis lainnya.. Ratih memang benar-benar merasa ada keanehan. Dan yang lebih aneh lagi entah mengapa tiba-tiba Ratih ingin mengetahui dari mana SMS yang masuk itu. Hal ini bukan karena Ratih dihinggapi rasa curiga terhadap suaminya. Sama sekali tidak. Untuk apa mencurigai suaminya toh setiap saat ia selalu bersamanya. Tetapi, sekali lagi Ratih tidak mengerti mengapa tibatiba muncul keinginan untuk melihatnya. Padahal, biasanya kalau ada SMS masuk dan kebetulan suaminya sedang mandi atau sedang di tengah-tengah anak buahnya Ratih tidak pernah berani membukanya. Ratih tidak mau ikut melibatkan diri dengan urusan suami. Tidak 10
patut seorang istri yang selalu ingin tahu urusan suaminya. Tapi hari itu merasa lain. Ratih benar-benar ingin membuka dan ingin mengetahuinya. Sebelum membuka SMS tersebut, beberapa saat Ratih memutar otak terlebih dulu. Tidak salahkah aku jika membuka isi SMS itu? Berdosakah aku membuka SMS di handphone suamiku? Setelah membaca basmallah tiga kali, barulah Ratih berani meraih HP suaminya dan membuka isi SMS yang baru masuk itu. Secara umum isi SMS itu tidak ada yang mencurigakan. Isi SMS itu cuma menanyakan kesehatan. Selebihnya tidak. Hanya yang membuat batin Ratih bertanya-tanya karena SMS itu dikirim oleh orang yang bernama Lêbên. Sejenak Ratih mengingat-ingat sesuatu. Ia ingat itu bukan nama orang, tetapi merupakan kata asing. Kembali ia mengingat-ingat kata asing apa? Setelah beberapa saat berpikir, kemudian Ratih mencari-cari buku kamus bahasa asing yang ia peroleh di lapak. Setelah ditemukan buku kamus tersebut yang ternyata kamus bahasa Jerman, akhirnya ia mengetahui Lêbên itu artinya ‘Cinta’. Sekali lagi Ratih berpikir, yang dimaksud Cinta itu siapa? Sampai suaminya pulang, Ratih tidak menanyakan apa-apa, meskipun di dalam hatinya telah muncul kecurigaan. Begitu juga ketika suaminya menanyakan HP-nya yang tertinggal, Ratih hanya menyerahkan HP yang dimaksud suaminya tanpa berkata-kata. Mengapa Ratih diam saja? Bukankah hatinya telah berkecamuk berbagai macam kecurigaan? Bagi Ratih saat ini belum waktunya menanyakan siapa yang dimaksud Lêbên itu. Tidak perlu terburu-buru. Perbuatan terburu-buru, menurut Ratih, biasanya hasilnya mengecewakan, bisa keliru, bisa fatal. Apalagi masalah ini sangat sensitive sekali. Ratih khawatir akan terjadi kesalahpahaman. Kalau Ratih keliru, bagaimana? Apalagi selama ini suaminya tidak pernah melakukan yang macam-macam. Kalaupun akan menanyakannya nanti saja kalau sudah di tempat tidur. Tetapi ketika sudah di tempat tidur pun Ratih masih belum berani menanyakannya. Siapakah Lêbên itu? Nampaknya kata Lêbên itu sangat mengganggu pikirannya. Di tempat tidur pun Ratih tidak bisa tenang. Tidur miring salah, telentang pun salah. Pokoknya serba salah. Darto orang yang dicurigai Ratih nampak biasa-biasa saja. Seakan tidak ada masalah. Begitu di tempat tidur ia langsung mendengkur. Tinggal Ratih yang merasa sulit memejamkan kedua matanya. Nama Lêbên seakan melintas terus. Tetapi, jika melihat ketenangan suaminya, Ratih jadi berpikir lain. Jangan-jangan ……. 11
Malam itu tidak biasanya tiba-tiba ingin sholat malam. Dengan sholat malam, Ratih berharap dapat menenangkan hatinya yang sedang galau. Selesai sholat dua rakaat, Ratih segera mengambil Al-Qur’an. Selanjutnya ia membaca beberapa surat pendek. Belum lagi menyelesaikan surat ketiga tangis yang ditahan sejak tadi akhirnya tumpah juga, meskipun tertahan. Ratih sedih dan kecewa kalau memang suaminya yang selama ini sangat ia kagumi dan ia hormati ternyata berbuat lain. Di sudut hatinya yang paling dalam mengatakan bahwa suaminya tidak mungkin melakukan perselingkuhan. Tapi di sudut yang lainnya mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Bisa jadi orang yang selama ini kelihatan baik-baik ternyata di luar rumah menjadi binal. Apalagi kemampuan financial yang dimilikinya sangat mendukung. Untuk menghilangkan rasa penasaran hatinya, Ratih kembali mengambil HP suaminya. Kali ini Ratih mencari di inbox SMS. Siapa tahu ada SMS sebelumnya. Dan, ternyata benar. Ratih melihat ada beberapa SMS dari Lêbên. Dan malam itu Ratih benar-benar kecewa sekali. Terlebih ketika satu persatu SMS dari Lêbên itu dibaca. Benarlah kecurigaannya. Darto sedang main api dengan orang yang bernama Lêbên. Dan lebih sakit lagi hati Ratih ketika ia membuka sent item. Malam itu bagi Ratih benar-benar seperti di neraka. *** Suami mungkir
S
etelah memandikan kedua anak-anaknya dan menyiapkan secangkir kopi kegemaran suaminya dan beberapa potong kueh sebagai sarapan pagi, Ratih dengan penuh kasih
mendampingi suaminya. Ratih sudah bertekad, pagi ini akan menyelesaikan masalah yang telah mengganggu pikirannya. Bagi Ratih hal ini harus segera tuntas sebelum berjalan lebih jauh. Kalau dibiarkan maka tidak mustahil rumah tangganya yang telah dibina bertahun-tahun ini akan hancur.
Melihat istrinya yang tidak biasa duduk menemaninya minum kopi, tak merubah sikap Darto. Nampaknya seperti tidak ada apa-apa. Melihat hal ini, Ratih mencoba bersikap lain. Dengan harapan ia akan ditanya oleh suaminya. Namun yang diharapkan oleh Ratih tidak terjadi. Ratih semakin jengkel saja. Karena sudah tidak tahan, akhirnya Ratih membuka sent item yang ada di HP suaminya yang kemarin tertinggal dan menyodorkannya kepada Darto. “Ada apa, bu, dengan HP saya?” Tanya suaminya seraya meraih HP yang disodorkan Ratih. “Coba baca tuh sent item yang kamu kirim buat si Lêbên,” kata Ratih dengan ketus. Seketika ada perubahan di rauh wajah Darto. “Ini bukan siapa-siapa kok, bu. Lêbên itu kan artinya Cinta. Kamu curiga, bu?” Tanya Darto setelah menutup HP-nya.
12
“Saya tahu arti Lêbên itu. Yang saya tanyakan bukan itu, tetapi siapa pemilik nama itu?” Tanya Ratih yang sudah nampak tegang. Melihat perubahan wajah Ratih, Darto segera menjawab, “Sebetulnya Lêbên itu bukan siapa-siapa. Nama guyonan saja sama teman lama. Kamu nggak perlu curiga. Kalau kamu masih percaya saya sebagai suamimu, saya tidak akan selingkuh,” jelasnya. Sampai di sini Ratih jadi ragu. Benarkah yang disampaikan oleh suaminya itu? Tidak! Darto pasti berdusta. “Bolehlah nama itu nama guyonan. Tapi saya tahu ayah itu bukan orang yang bisa main-main. Ayah itu orang yang sangat serius. Coba baca ulang sent item itu! Baca!” nada suara Ratih agak tinggi. Darto nampak tergesa membuka kembali SMS yang tadi ditunjukkan oleh Ratih. Sesekali Darto mencuri pandang raut muka istrinya. Mungkin ia berharap istrinya akan berubah sikap, mungkin menjadi luluh hatinya setelah mendengar penjelasannya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Wajah Ratih tampak garang. Darto semakin ciut. Ratih benar-benar tidak percaya penjelasan yang disampaikan suaminya. Kemesraan yang terdapat dalam SMS-SMS itu sungguh merupakan bukti yang sangat kuat terhadap kecurigaannya kalau suaminya sedang menjalin cinta dengan orang lain. Bisa jadi yang dimaksud oleh Darto bahwa Lêbên itu adalah teman lamanya alias bekas pacarnya. “Pokoknya ayah harus terus terang denganku. Hubunganmu dengan si Lêbên itu sudah sejauh mana?” Tanya Ratih kembali. Darto tak segera menjawab. Nampak keraguan di matanya. “Aku jadi semakin tidak mengerti,” kata Darto dengan nada merendah. “Tidak usah berbelit-belit deh, pah. Tolong jelaskan saja sudah berapa lama hubungan ayah dengan si Lêbên itu. Aku nggak apa-apa kok, asal ayah jujur saja,” pinta Ratih. Secara tak terduga, tiba-tiba Darto dengan segera merengkuh Ratih, dengan suara lirih Darto mengakuinya. “Maafkan saya, bu! Maafkan! Saya khilaf. Tapi saya janji untuk menghentikan masalah ini. Saya janji, bu!” katanya sambil memeluk erat istrinya. “Saya percaya ayah akan menyudahi hubungannya dengan si Lêbên. Tapi, ayah belum menjawab siapa si Lêbên dan sudah berapa lama ayah menjalin hubungan?” Dengan tersendat, Darto menjawab, “Baru lima bulan. Tapi selama itu saya tidak apa-apa. Maksud saya selama menjalin hubungan tidak pernah melakukan perbuatan yang kurang senonoh. Demi Allah, bu, saya tidak melakukan apa-apa!” katanya bersungguh-sungguh. Ratih diam saja. Berbagai hal berkecamuk di benaknya. Bisa jadi apa yang disampaikan oleh suaminya itu benar. Tapi bisa juga tidak. Namanya laki-laki pandai sekali bersilat lidah.
13
“Si Lêbên itu siapa? Perempuan mana?” pertanyaan itu meluncur lagi. Ratih masih merasa penasaran. Ia benar-benar ingin mengetahui siapa orangnya di balik nama Lêbên itu. Tapi Darto tidak mau menjawab. Ia menyimpan kembali HP itu di sarung HP. Sampai keesokan harinya Ratih tetap tidak mendapatkan penjelasan tentang nama yang berada di balik nama Lêbên itu. Ratih sendiri tidak mau memaksanya. Apalagi pagi itu suaminya harus melayani kebutuhan anak buahnya. Seharian penuh Ratih tidak mau makan. Tidak ada nafsu makan. Rasanya semua makanan yang ada tidak lagi mengundang seleranya. Pikirannya masih tetap berputar-putar pada pertanyaan siapakah gerangan orangnya di balik nama Lêbên. Sebelum mendapat kejelasan tentang siapa Lêbên, aku tidak akan pernah berhenti untuk mencari tahu, ia membatin. *** Dirasakan oleh Ratih hari-hari selanjutnya sangat menyiksa. Tanggung jawab yang diberikan suaminya dalam pengelolaan lapaknya hampir-hampir saja terbengkalai. Ratih yang selama ini selalu menunjukkan sikap yang akrab terhadap anak buahnya, hari itu berubah. Biasanya Ratih tidak pernah sekalipun marah pada anak buahnya meskipun melakukan kesalahan, tetapi hari itu tanpa ada yang melakukan kesalahan pun Ratih marah. Terlebih ketika Ratih melompati parit dan dia hampir terjatuh, maka meledaklah marahnya. Perilaku yang ditunjukkan Ratih, yang tidak biasanya itu telah mengundang pertanyaan orang-orang yang tinggal di lapaknya. Mereka saling berbisik menyaksikan perbedaan sikap istri majikannya itu. Seharian penuh perubahan sikap Ratih menjadi topik diskusi para istri anak buahnya. Ratih tidak menyadari kalau sikapnya hari itu telah menjadi bahan gunjingan para istri anak buahnya. “Saya merasa aneh melihat sikap ibu Ratih. Kenapa ya tiba-tiba jadi pemarah?” kata ibu Anih, istri Sajam, ketika sedang mencuci pakaian. “Kayaknya ada sesuatu yang kurang beres sama ibu Ratih,” timpal ibu Unah. “Jangan-jangan ibu habis berantem sama suaminya,” kata bu Ronah. “Bisa jadi. Tetapi ada masalah apa ya? Selama ini mereka rukun-rukun aja, tidak pernah satu kali pun kita melihat mereka bertengkar,” Tanya ibu Unah. “Denger-denger sih, mas Darto lagi kecantol perempuan,” kata ibu Ronah. “Kok bisa? Perempuan mana?” “Ya perempuan. Katanya sih teman lamanya, katanya sih namanya Eroh.” “Ah? Masak? Yang minggu lalu ke rumah ibu?”
14
“Iya. Tapi hati-hati, jangan sampai kedengaran ibu Ratih. Nanti kita jadi berabe deh,” jelas Ibu Ronah. Perbincangan mereka ternyata secara tak sengaja didengar oleh Ratih. Tak pelak lagi hati Ratih mendidih. “Pantas dia bilang teman lamanya,” Ratih membatin. Ia tidak menyangka kalau temannya, Eroh, yang dulu menjodohkannya dengan Darto pada akhirnya merusak rumah tangganya. “Ya Allah, berilah ketabahan hatiku!” doanya ketika selesai sholat ‘Isya.
*** Tak mampu menahan emosi Pada suatu malam, suaminya pulang pada dini hari. Kesabaran yang selama ini ia tahan, akhirnya tidak mampu lagi menahan emosinya. Malam itu Ratih benar-benar marah. Rupanya kemarahan Ratih tidak dapat dibendung lagi. Suaminya yang dicecar pertanyaan bahwa pemilik nama Lêbên itu Eroh, teman lamanya, tidak dapat menguasai emosinya. Sebuah tamparan mendarat di muka Ratih. Sejenak Ratih terkejut menerima tamparan itu. Ratih tak pernah menyangka bila pada akhirnya suaminya, yang selama ini tidak pernah bicara kasar apalagi menamparnya, malam itu main kasar. “Saya menyesal sekali sama kamu, mas! Sudah selingkuh, main kasar lagi sama istrinya,” kata Ratih. “Saya sudah bilang, saya tidak melakukan apa-apa selama berhubungan dengan dia. Tapi kamu tidak pernah percayai saya. Selalu bikin saya jengkel.” Kata Darto. “Kalau begini caranya, lebih baik kita cerai saja! Saya tidak sudi diperlakukan sama kamu seperti ini,” kata Ratih. Ratih merasa terkejut mampu mengeluarkan kalimat itu. Kalimat itu meluncur tanpa direncanakan lebih dulu. Ratih sedikit gelisah. Kenapa tiba-tiba kalimat itu muncul? Bagaimana nasib kedua anak-anakku jika benar-benar Darto menceraikannya?
*** Tak pernah mimpi
S
ejak pertengkaran malam itu, Darto jarang pulang. Kadang dua atau tiga hari baru pulang. Ratih sendiri sudah tidak mempedulikan lagi kemana dan dimana suaminya
berada. Kalau pun pulang, Ratih tidak pernah menanyakan apa-apa. Ratih sudah siap dengan keputusan yang terburuk. Ia benar-benar merasa dipermainkan oleh Darto. Merasa dikecewakan. Orang yang selama ini sangat ia cintai, sangat ia sayangi, sangat ia hormati karena tanggung jawabnya yang sangat besar terhadap keluarga, ternyata pada akhirnya melukainya.
15
Tak pernah sedikit pun terlintas jika suatu saat rumah tangga yang telah sekian tahun ia perjuangkan dengan susah payah akan begini jadinya. Darto yang sejak pertama dikenalnya sebagai seorang laki-laki yang sangat santun sehingga diyakini oleh Ratih jika kelak menjadi istrinya merupakan seorang suami yang penuh perhatian, dan merupakan seorang ayah yang penuh kasih. Darto adalah sosok laki-laki yang penuh tanggung jawab, yang akan meneduhkan bahtera rumah tangganya. Ia laki-laki yang sangat menyayangi dan mengasihi keluarganya, baik terhadap istrinya, anak-anaknya, dan sanak familinya, ternyata suatu ketika berubah menjadi laki-laki yang sangat menakutkan.
Sikapnya yang dulu begitu manis, lembut, penuh kasih dan sayang, tetapi sejak hadirnya orang ketiga yang mengisi hatinya benar-benar menjadi laki-laki yang tidak peduli. Darto yang merupakan konseptor untuk membangun rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan. Darto yang bertekad untuk mengadu nasib di kota Jakarta untuk membuktikan kepada mertuanya bahwa ia adalah seorang suami yang bertanggung jawab. Untuk mewujudkan cita-citanya, mereka berdua membangun bisnis di Jakarta. Bisnis yang dimulai dari kecil-kecilan sampai menjadi besar. Namun ternyata setelah bisnisnya maju, prahara menghantam rumah tangganya.
Takut dicerai Beberapa hari setelah peristiwa itu, dalam kesendiriannya, Ratih memikirkan masa depannya. Ada rasa takut yang menghantuinya apabila suaminya benar-benar mengabulkan permintaan cerainya. Takut, bukan karena akan berpisah dengan Darto. Karena bagi Ratih untuk apa hidup bersama Darto jika cinta kita sudah terbagi. Perempuan mana yang sudi cintanya dibagi dua? Tetapi yang ia takutkan akan nasib kedua anak-anaknya. Mereka yang masih kecil-kecil, yang belum mengerti apa-apa sudah harus berpisah dengan ayahnya. Padahal mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang dan bimbingan kedua orang tuanya. Mengapa mereka harus menjadi korban?
Mengingat yang demikian, kadang ia bertanya; Apakah ini sebagai buah dari penolakan kemauan orang tua? Ataukah ini merupakan kesalahannya karena ia kurang pandai melayani suami? Ya Allah, mungkinkah rumah tanggaku akan bersatu kembali seperti sedia kala? Ataukah rumah tanggaku benar-benar akan hancur? Ya Allah, tolong beri petunjuk hambaMu yang lemah ini! Sampai di situ Ratih tidak mampu lagi meneruskan pertanyaan-pertanyaan lainnya, karena kedua matanya telah dipenuhi oleh air mata.
16
Ingat Eroh Ratih tidak pernah menyangka kalau teman baiknya, Eroh, akan menjadi duri dalam rumah tangganya. Eroh, yang merupakan teman baiknya, yang merupakan teman karib yang sangat ia banggakan, karena kejujurannya, yang sangat dikenal masyarakat akan kepeduliannya terhadap lingkungan. Eroh yang merupakan teman sejak masih sama-sama duduk di bangku SD, bahkan sampai di bangku SMA. Mereka berdua selalu bersama-sama, meski beda kelas. Eroh juga merupakan satu-satunya teman tempat bertukar pikiran dalam berbagai hal, baik dalam masalah kesulitan mengerjakan PR, kesulitan dalam pergaulan, dan kadang sesekali masalah cinta. Persahabatan antara Ratih dengan Eroh ibarat gula dengan semut. Dimana ada Ratih di situ pasti ada Eroh. Bagi Ratih, Eroh merupakan sahabat karib dalam suka dan duka.
Perkawinannya dengan Darto pun dijodohkan Eroh. Tetapi, mengapa kini Eroh merusak rumah tangganya? Bukankah dia sendiri yang menjodohkan Ratih dengan Darto? Apakah dia tidak senang melihat kerukunan rumah tangganya? Ada motif apa sehingga Eroh tega hati menghancurkan rumah tangga sahabatnya sendiri? Tidakkah dia tahu kalau Darto kini sudah menjadi suaminya dan sudah punya dua orang anak? Ataukah sebenarnya Eroh sendiri diamdiam mencintai Darto? Kalau memang mencintainya, kenapa dulu dia menjodohkannya? Ataukah ….? Ratih benar-benar tidak mengerti. Ratih benar-benar sakit hati pada sahabatnya itu.
***
H
ari-hari berikutnya semakin santer berita tentang hubungan suaminya dengan Eroh. Beberapa teman dekat suaminya mengabarkan bahwa ia pernah ketemu dengan
suaminya bersama Eroh di suatu mall di wilayah Jakarta Selatan. Ada yang menceritakan suatu kali ia melihat suaminya sedang belanja dengan seorang perempuan di sebuah butik. Ada juga yang menyampaikan kabar, ia pernah menyaksikan suaminya bersama seorang perempuan berambut ikal, sedang membeli ticket di sebuah gedung bioskop kenamaan di Jakarta. Dan masih banyak lagi berita-berita yang sampai di telinga Ratih. Dari semua kabar tentang suaminya, Ratih bisa menyimpulkan bahwa suaminya benar-benar
berselingkuh
dengan Eroh, sahabatnya.
Namun, dari keseluruhan kabar yang ia terima belum ada satu orang pun yang mengabarkan kalau suaminya telah menikah dengan sahabatnya itu. Apakah suaminya menikah secara diam-diam? Bisa jadi suaminya menikah diam-diam. Jaman sekarang, tidak sedikit laki-laki, yang mempunyai istri, menikah secara diam-diam. Orang menyebutnya nikah di bawah tangan. Mungkinkah suaminya melakukan pernikahan seperti itu? 17
Walaupun sudah banyak berita tentang perselingkuhan suaminya, tetapi Ratih belum pernah sekali pun mengabarkan berita itu kepada orang tuanya. Mengapa? Karena tidak ada keberanian untuk itu. Ratih masih selalu ingat, sehari setelah pernikahannya dengan Darto, ibunya mengatakan; “Karena ini kemauanmu sendiri, maka apa pun yang terjadi dalam rumah tanggamu adalah merupakan tanggung jawabmu sendiri. Kami tidak mau tahu. Kamu mengerti, Ratih?” Waktu itu Ratih hanya mengangguk, Ratih siap menerima segala akibat dari keputusannya itu. Karena Ratih merasa yakin akan tanggung jawab Darto. Ia yakin kalau Darto tidak akan mungkin menyengsarakannya.
Tapi, apa yang terjadi sekarang? Kadang Ratih ada keinginan untuk menyampaikan berita buruk itu kepada orang tuanya. Meskipun ia sendiri yakin kalau orang tuanya tak akan peduli. Tetapi, siapa tahu sekarang orang tuanya telah berubah. Keinginan Ratih menyampaikan kabar itu disebabkan ia tidak ingin orang tuanya mengetahui kabar buruk itu dari orang lain. Berita yang datang bukan dari sumber aslinya bisa jadi akan menjadi lain. Tidak sesuai dengan yang terjadi sebenarnya. Karena itu ia ingin menyampaikan berita itu langsung dari Ratih sendiri. Tetapi lagi-lagi tidak ada keberanian untuk melakukannya. Kalimat yang pernah diucapkan oleh ibunya masih selalu terngiang. Masih beruntung kalau mereka, terutama sang ibu, masih mau mendengar berita buruk yang menimpa anaknya. Kalau tidak, bagaimana?
*** Bisnisnya mulai menurun Karena Ratih tidak berbakat mengelola bisnis, akhirnya lama kelamaan bisnisnya mulai menurun. Sementara suaminya sudah tidak peduli lagi dengan bisnis yang dikelola Ratih. Sementara Darto sendiri, sejak pertengkaran malam itu sudah tidak lagi mempedulikan keluarganya. Darto tidak lagi memberikan uang belanja kepadanya. Kalau pun pulang, Darto langsung ke tempat tidur. Dan Ratih sendiri tidak berani menanyakan apa-apa, apalagi masalah uang dapur. Karena pernah suatu kali. Ratih menanyakan masalah uang belanja, namun yang didapat hanya makian. Nampaknya Darto sudah benar-benar tidak peduli.
Benarkah suaminya sudah tidak peduli lagi? Ternyata tidak. Darto masih membutuhkan dirinya. Benarkah suaminya masih mencintainya? Ternyata juga tidak. Suaminya hanya membutuhkan kalau saat-saat ia menginginkan melampiaskan nafsu seksnya saja.
Secara jujur Ratih tidak berani menolaknya ketika
suaminya mengajak hubungan intim. Karena ketika ia menolak, maka yang didapatkan adalah tamparan, bahkan pukulan dari suaminya. Karena itu ia pasrah, meskipun sakit di hati.
18
Selain itu kepasrahannya untuk menghindari kekerasan yang dilakukan suaminya. Ratih sendiri, sejak suaminya berselingkuh dengan Eroh, merasa jijik berhubungan intim dengan suaminya. Tapi secara jujur Ratih masih mencintainya. Untuk itu Ratih sangat mengharapkan suaminya berubah.
Saran teman-teman Sejak kasusnya diketahui orang lain, beberapa orang teman menyarankan, kalau perlakuan suaminya itu bisa diadukan ke pihak yang berwajib. “Ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Jadi, kamu tidak boleh membiarkannya. Selain menghina harga diri kamu sebagai perempuan juga merupakan pelanggaran hukum,” jelas temannya bersemangat. “Sekarang, sudah ada undang-undang yang mengatur masalah itu,” lanjutnya.
Mendengar penjelasan temannya itu, Ratih sendiri sebenarnya sudah tahu kalau perbuatan suaminya itu merupakan pelanggaran hukum, sebagaimana yang disebut dalam UndangUndang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kalau Ratih melaporkannya kepada yang berwajib, suaminya bisa dipenjara. Tetapi bila hal itu ia lakukan, maka persoalannya akan menjadi rumit. Bukan karena ia takut berhadapan dengan polisi, meskipun ia sendiri belum pernah berurusan dengan polisi. Bukan pula tidak ada kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan oleh penyidik. Tetapi yang ia takutkan justru kasusnya akan didamaikan. Dalam kasus KDRT ini tak perlu heran kalau masyarakat masih terkesan belum sepenuhnya memberi dukungan terhadap perlindungan korban. Karena bukan hanya kekhawatiran kasusnya didiamkan, tetapi yang lebih berat lagi memikirkan ekonomi keluarga, karena suami masuk penjara. Dan masih banyak yang lainnya. Maka, jangan heran jika masih banyak ditemukan adanya KDRT, tapi banyak pula diantara kita yang cenderung mendiamkan, hingga intensitas KDRT sampai pada tahap tidak lagi tertolong.
Berdasarkan berita-berita yang beredar di media massa, dan ditambah beberapa bukti di lapangan, maka Ratih memutuskan untuk tidak melaporkan suaminya ke polisi. Yang dia inginkan hanya satu, bukan melaporkan suaminya ke polisi, tetapi ia ingin mengembalikan suaminya ke pangkuannya seperti dulu. Ratih merasa yakin dengan melaporkan suaminya bukan menyelesaikan masalah. Bisa jadi akan menambah ruwetnya masalah.
Seorang teman yang lain menyarankan, untuk membawa suaminya ke dokter psikiater, “Siapa tahu melalui saran dokter suamimu akan menyadari kekeliruannya.” Ada pula yang menyarankan Ratih pergi ke dukun, “Teman saya berhasil tuh setelah meminta tolong sama Mbah Joko,” katanya bersemangat, “Mbah Joko sangat manjur merukunkan suami istri,” 19
jelasnya. Dan masih banyak lagi saran-saran lainnya, baik dari ibu-ibu istri anak buahnya atau pun dari ibu-ibu tetangga setelah mereka mengetahui masalah yang sedang dihadapinya.
Dari sekian saran yang ia terima, tidak ada satu pun yang tertarik. Terlebih untuk datang ke seorang dukun. Ratih yang sejak kecil dididik agama (Islam) dari orang tuanya yang sangat taat tidak mungkin akan melakukannya. Mendekati dukun sama halnya dengan mendekati kekafiran. Sedangkan untuk pergi ke psikiater pun tidak mungkin. Karena sejak peristiwa itu mereka tidak saling bertegur sapa. Meskipun sekarang suaminya sering pulang tetapi mereka masih saling tidak berkata-kata.
Akhirnya…… Tidak seperti biasanya, pada suatu malam, waktu itu kira-kira jam 3 dini hari, entah kenapa suaminya datang dengan tergopoh-gopoh. Di wajahnya nampak seperti orang bingung dan ketakutan. Ratih sendiri jadi ikut-ikutan seperti orang bingung. Meskipun masih belum mengerti apa yang menyebabkan suaminya seperti orang ketakutan itu, Ratih dengan sabar menuntun suaminya menuju tempat tidur. Sempat terlintas dalam pikiran Ratih, janganjangan suamiku sedang dikejar-kejar polisi? Atau, bisa jadi suamiku sedang dikejar oleh keluarga Eroh, untuk segera menikahinya karena Eroh sudah hamil? Bisa jadi dikejar karena tersangkut masalah lain. Bisa jadi….
“Minum. Ambil minum!” pinta suaminya dengan suara datar. Ratih dengan segera mengambil air dari kulkas. Setelah menyerahkan segelas air, Ratih duduk di dampingnya. Sementara suaminya, setelah selesai minum, langsung rebahan di kasur. Ratih merasa heran dengan suaminya yang tiba-tiba berkata lemah lembut. Karena beberapa hari yang lalu suaminya masih bicara kasar. Jangan-jangan…. Dalam hati Ratih merasa bersyukur, mudah-mudahan suaminya sudah berubah. Ada rasa haru dan bahagia menyelinap di hatinya. Selanjutnya, dengan segera ia mengambil air wudhu, kemudian sholat dua rakaat, sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah. *** Benarkah suaminya sudah berubah? Berhari-hari pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. Jika benar, alangkah bahagianya hati Ratih seandainya suaminya benar-benar telah menyadari kekeliruannya, kemudian kembali ke pangkuannya. Sejak suaminya sibuk dengan selingkuhannya, setiap malam Ratih selalu dihabiskan dengan sholat dan berdoa. Setiap selesai sholat ia dengan segera membaca alQur’an, meskipun yang sering ia baca hanya Surah Yaasin. Kadang Ratih menangis setelah selesai baca Surah Yaasin. Ia merasa ujian yang diberikan Allah ini sangat berat. Namun ia merasa yakin akan mampu melewati ujian tersebut. 20
Ratih benar-benar sangat mengharapkan perubahan perilaku suaminya. Ia sangat ingin menyatukan kembali rumah tangganya yang sempat dihantam prahara. Ia sangat menginginkan kehidupan rumah tangganya kembali normal seperti sedia kala. Karena ia sangat ingin melihat anak-anaknya menemukan kembali ayahnya yang beberapa waktu sempat menghilang. Karena Ratih tidak tahan bila suatu hari anak-anaknya menanyakan kemana ayahnya. Apalagi si sulung yang sangat dekat dengan ayahnya. Ratih berharap Allah benar-benar mendengar permohonannya.
Seminggu kemudian Kemarahan, kebencian yang selama ini sempat menggerogoti pikirannya terkadang masih mampir dalam ingatannya. Apalagi kejadian perselingkuhannya dengan Eroh masih kerap mengganggu pikirannya. Tetapi, siapa yang bisa menduga ketika suatu malam suaminya mau mendengar ajakan Ratih untuk membicarakan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Pada mulanya memang suaminya tidak begitu menanggapi, namun pada akhirnya Darto mau mendengar juga. “Ayah, mari kita sama-sama mengakhiri perselisihan kita selama ini,” dengan nada datar Ratih memulai membuka pembicaraan. “Maksudmu apa, bu?” Darto nampak merajuk. Ratih tidak segera menjawab. Ia mencoba menyusun kalimat yang tepat sasaran tetapi tidak menyinggung perasaan suaminya. “Bagaimana kabar si Leben Eroh, Yah?” pelan-pelan tapi pasti. Sejenak, nampak suaminya terkejut. Lalu, “Maafkan aku, bu! Maafkan! Aku benar-benar khilaf,” katanya sambil menundukkan kepala. “Apa yang harus aku maafkan?” Ratih balik tanya. “Pokoknya aku benar-benar minta maaf pada ibu. Dan aku janji, sejak malam ini dan seterusnya aku tidak akan meninggalkan keluargaku lagi. Aku benar-benar bertaubat, bu!” katanya dengan bersungguh-sungguh. “Jadi, Ayah sudah benar-benar putus dengan si Leben Eroh?” Tanya Ratih sambil menahan emosinya. Darto menatap sejenak, lalu mengangguk, “Maka dari itu aku minta maaf banget sama ibu dan anak-anakku. Selama ini Ayah sudah membuat susah seisi rumah ini. Sungguh, Ayah benar-benar khilaf. Demi Allah, Ibu!” katanya sambil memeluk Ratih. Ratih mencoba menyimak baik-baik ucapan yang baru saja disampaikan suaminya. Akankah Ratih mempercayai pengakuan suaminya dan mau menerima kembali setelah sekian lama menyakiti hatinya? Bukankah Ratih pernah merasa jijik dengan suaminya karena telah berselingkuh dengan sahabat karibnya, Eroh?
21
Ratih sempat gamang. Antara percaya dan tidak. Memang, Ratih sangat mengharapkan kembalinya sang suami ke pangkuannya, demi masa depan kedua anaknya. Tetapi, bisakah pengakuan suaminya dipercaya untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya? Sulit bagi Ratih untuk segera mempercayai pengakuan suaminya itu. Bayangan kelam suaminya masih tetap menghantui jiwanya. Kadang dia berpikir, bisa saja kali ini suaminya mengatakan bertaubat dan berjanji akan tetap setia mendampingi istri dan anak-anaknya. Tapi kali lain bisa saja janji itu dikhianati. Siapa yang bisa menjamin? Berhari-hari ia mencoba untuk mengerti dan memahami bahwa pengakuan suaminya itu adalah pengakuan jujur dan tulus keluar dari hati nuraninya. Tetapi, lagi-lagi muncul keraguannya. Bukankah yang di dunia ini tidak ada yang kekal? Semua yang tidak mungkin pasti bisa mungkin. Ratih benar-benar menemukan kesulitan untuk masalah yang satu ini. ***
S
etelah beberapa hari Ratih berdialog dengan Allah melalui doa-doanya, serta melalui pemikiran dan perenungan yang mendalam, akhirnya Ratih mampu membuat keputusan.
Ratih sadar bahwa kebenaran pengakuan suaminya itu hanya Allah saja yang tahu. Karena sebagai manusia biasa, sampai kapan pun ia tidak akan pernah tahu masalah takdir. Ratih sendiri tidak tahu apakah perkawinannya dengan Darto yang telah diperjuangkannya matimatian selama sekian tahun apakah akan tetap langgeng sampai kematian memisahkannya? Semuanya Hanya Allah saja Yang Sangat Mengetahui. Namun, bagi Ratih ada kebahagiaan tersendiri karena ia telah mampu berlayar di atas kapal rumah tangganya yang telah dihantam badai prahara yang hampir saja menghancurkan mahligai rumah tangganya. Ratih mengakui, bahwa ternyata membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah itu sangat sulit kecuali dengan izin Allah.
Wisma Gubuk Reyot, 8-27 September 2007
d
SUBANDRIO H.S., S.P Jalan Damai IV/21, RT. 012/RW. 02 Kelurahan Cipete Utara Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150 Telp. (021) 72795548, 7261487 HP. 021-99001290, 08567222100 http://www.subandrio_hs.blogspot.com e-mail:
[email protected]
22