Suara Pembaruan, 21-4-2008
Maha Ibu dan Kebangkitan Nasional Agus Pakpahan ulisan ini merupakan sumbangan pemikiran dalam rangka memperingati jasa dan nama besar Ibu Kartini serta mencari hubungannya dengan Kebangkitan Nasional. Apa pasangan Hari Kartini dengan Hari Kebangkitan Nasional yang datang pada bulan yang berurutan, yaitu April dan Mei? Tulisan ini tidak untuk menjawab hal-hal yang menyangkut sisi sejarah atau hal lainnya yang sifatnya terlalu abstrak, melainkan mengambil posisi bahwa penentu utama kebangkitan nasional adalah Maha Ibu. Apa itu Maha Ibu? Dalam sebuah acara seminar di Department of Economics, Michigan State University, pertengahan 1980-an, Prof. Franco Modigliani, pemegang Nobel dalam Ilmu Ekonomi, menyatakan bahwa faktor utama dalam kebangkitan bangsa Jepang sehingga Jepang bisa mengejar Barat adalah faktor kaum ibu di negeri Sakura ini. Memang golongan Samurai dan Restorasi Meiji menentukan, namun dalam praktiknya adalah kontribusi kaum ibu inilah yang menjamin kesuksesannya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kehidupan ini dimulai dari kandungan ibu, kemudian setelah sang bayi dilahirkan kehidupan selanjutnya baik aspek kehidupan secara biologis maupun intelektual, emosional atau spiritual sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sang ibu dari anak yang bersangkutan. Di Jepang, kesuksesan seorang ibu diukur oleh keberhasilan anaknya. Dengan demikian, fenomena kemajuan antar-generasi merupakan fenomena keberhasilan kaum ibu, yang mungkin telah "mengorbankan" kehidupannya sendiri demi kemajuan generasi anak-anaknya mendatang. Inilah yang saya maksud dengan Maha Ibu. Kebangkitan Nasional Secara sederhana, yang saya maksudkan dengan Kebangkitan Nasional pada tulisan ini adalah lahir, hidup, dan berkembangnya akan rasa cinta tanah air, bangsa dan negara untuk menjadi negara yang benar-benar merdeka dari segala sudut pandang kemerdekaan. Kemerdekaan dari rasa takut akan penindasan, kemerdekaan dari kemiskinan, ketertinggalan, kelaparan, dan hal-hal lain yang serupa. Sejarah, Pancasila dan UUD 1945 itulah yang menjadi pedomannya.
Pada awal tulisan ini saya menggunakan istilah pasangan. Kebangkitan Nasional dalam pengertian di atas tidak dapat dicapai hanya oleh para kaum pria, tanpa dukungan pasangannya, yaitu kaum wanita. Namun, karakter wanita bisa berbeda dengan karakter ibu. Istilah wanita lebih pada pasangan dari pria, sedangkan ibu adalah pasangan bapak. Konsep ibu tidak mengandung hal negatif, bahkan sebaliknya selalu mengandung makna kasih-sayang. Kebangkitan Nasional perlu dipandang dari kacamata dinamis. Kebangkitan hari ini hasilnya mungkin baru akan dicapai 10 tahun atau bahkan 30 tahun lagi. Namun, terdapat satu hakikat yang sama, diukur oleh periode waktu kapan pun dimensi manusia tetap merupakan subyek dari perihal yang kita bicarakan. Derajat dan harkat kehidupan manusia, baik secara individu (mikro) maupun sosial (makro), akan bergantung pada naungan dan asuhan para Maha Ibu, mulai dari semasa kandungan hingga sampai pada masa dilepas untuk masuk ke dunia nyata orang dewasa yang harus mampu bertanggung jawab atas segala hal yang menyangkut keberadaan dan peran dirinya. "Kalau mau masuk surga, janganlah sampai dikutuk ibu kayak Malin Kundang," kata pepatah yang menempatkan Ibu sebagai posisi yang sangat tinggi, sehingga kutukan/perkataannya pun akan membuat harkat dan derajat manusia sebagai manusia hilang. Beda dengan pernyataan Isaac Rabbi, pemenang Nobel Fisika,"mungkin karena ibu saya setiap hari selalu bertanya: "Did you have any good question today Isaac? Yang membuatnya mendapatkan hadiah Nobel Fisika. Kaum ibu bukan hanya inti dari kelahiran dan kehidupan individu, tetapi juga sebagai ibu kelahiran dan perkembangan peradaban tanah air. Kebangkitan Nasional hanya akan terjadi apabila kita tidak durhaka kepada Ibu Pertiwi yang akan melahirkan para Maha Ibu anak-anak Indonesia masa depan. Penulis adalah peminat studi kebangkitan nasional