SUARA MERDEKA CETAK - Media Cenderung Bias
Page 1 of 1
Berita Utama 01 Juli 2009
Media Cenderung Bias SEMARANG - Netralitas media kembali menjadi perbincangan hangat dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini. Muncul pertanyaan apakah mungkin media bisa menyajikan objektivitas dengan kesempurnaan? Lontaran itu diungkapkan dosen FISIP Undip Triyono Lukmantoro saat menjadi pembicara dalam diskusi ’’Netralitas Media Menuju Pilpres Berkualitas’’, yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan KPID Jateng di ruang Serba Guna DPRD Jateng, Selasa (30/6). Pembicara lain anggota KPI Pusat Mochamad Riyanto dan Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat sekaligus Ketua Presidium Nasional Mapilu PWI Sasongko Tedjo dan anggota Panwas Pemilu Jateng Edi Pranoto. Triyono memandang media lebih gampang menunjukkan bias (kecondongan atau pemihakan) ketimbang netralitas media. Tipe bias diutarakannya dari pelbagai bentuk dari iklan, etnik atau rasial, kelas sosial, politik, arus utama, seks, agama, sensasional. Bias media juga dapat terjadi karena jurnalis tidak mungkin melaporkan semua hal, sehingga selektivitas untuk menampilkan berita-berita yang dipilih pun menjadi tidak terhindarkan. Sindrom Berlusconi Dari pandangannya itu, dikhawatirkan pula sindrom Berlusconi menimpa media. Mengambil kasus Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi sebagai orang berpengaruh juga sosok penting dalam dunia penyiaran di negara itu. Dengan segudang media yang dimiliknya, sangat mudah sebagai mesin propaganda untuk meraih jabatan politik. ’’Di Indonesia juga ada pengusaha media sekaligus tokoh parpol. Turut pula kedekatannya dengan pasangan capres/cawapres tertentu. Tentunya ini berdampak pada kecondongan isi berita pada propaganda pasangan tersebut. Saya melihat sindrom ini mulai menggejala pada momentum pilpres,’’ tuturnya. Mochamad Riyanto menilai keberpihakan media adalah sesuatu yang wajar. Namun, ada garis pembatas yakni untuk media cetak diperbolehkan menjadi sebuah partisan, akan tetapi untuk elektronik sangat dilarang. ’’Lembaga penyiaran menggunakan frekuensi publik yang dikuasai oleh negara. Tentunya harus tunduk dengan kode etik yang diatur oleh negara (KPI),’’ ujarnya. Sasongko Tedjo menilai ketidaknetralan media ini dapat dilihat dari banyaknya iklan capres/cawapres yang tidak terkontrol. Iklan yang secara bebas dapat diakses masyarakat sebagian besar ditampilkan oleh media elektronik. Media cetak kebagian sisanya dengan porsi hanya 10%. Batas-batas tertentu yang perlu diperhatikan oleh pers ketika menyiarkan kegiatan politik adalah tidak menyiarkan hal-hal yang berbau fitnah dan menekankan pada keseimbangan informasi. Edi Pranoto menilai peran media yang mampu mempengaruhi pemilih. Pers harus menjalankan fungsi pendidikan politik melalui produk yang dihasilkannya. ’’Dengan demikian mampu meminimalisasi angka golput, memberikan pemahaman dan menghasilkan pemerintahan yang bersih dan berkualitas,’’ tandas dia.(H37,K13,H7-77)
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/01/70446/Media.Cenderung.Bias
7/14/2009