Steven Jhonson Kel 2.docx

  • Uploaded by: Eva Hartani
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Steven Jhonson Kel 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,173
  • Pages: 14
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner & Suddarth, 2013). Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika, yaitu A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda, jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara pria dan wanita tidak berbeda jauh, di rumah Sakit Ciptomangunkusumo setiap tahun kira-kira ditemukan 10 kasus. Pada cuaca yang dingin, penyakit ini sering ditemukan juga adanya faktor fisik pada lingkungan seperti sinar matahari dan sinar X yang akan mempengaruhi timbulnya sindrom ini. Dari data yang dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk membahas perihal sindrom steven johnson karena sindrom steven johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom ini tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab sindrom steven johnson sendiri sangatbervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat. 1.2. Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Apa definisi dari Sindrom Steven Johnson ? Bagaiamana etiologi dari Sindrom Steven Johnson ? Bagaimana Manifestasi Klinis Sindrom Steven Johnson ? Bagaimana Pathway Sindrom Steven Johnson ? Bagaimana Pemeriksaan Penunjang pada Steven Johnson ? Bagaimana Pencegahan pada Steven Johnson ? Bagaimana Pengobatan pada Steven Jhonson ? Konsep Asuhan Keperawatan pada Steven Johnson ?

1

1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengatehui definisi dari Sindrom Steven Johnson 2. Untuk mengetahui etiologi dari Sindrom Steven Johnson 3. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis Sindrom Steven Johnson 4. Untuk mengetahui Pathway Sindrom Steven Johnson 5. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang pada Steven Johnson 6. Untuk mengetahui Pencegahan pada Steven Johnson 7. Untuk mengetahui Pengobatan pada Steven Jhonson 8. Untuk mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan pada Steven Johnson

1.4 Manfaat Penulisan 1. Dapat diterapkan dalam pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien. Bagi mahasiswa, untuk menambah pemahaman dan wawasan mengenai penyakit Steven Jhonson dalam pembelajaran Keperawatan Medikal Bedah dan dalam manajemen keperawatan. 2. Bagi institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan, yaitu sebagai bahan penunjang materi ajaran, yang dapat digunakan atau diterapkan bagi mahasiswa ilmu keperawatan dalam proses pembelajaran mengenai mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Dari segi efektivitas, sebagai pertimbangan pedoman manajemen keperawatan, yang

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sindrom Steven Johnson Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner& Suddarth, 2013). Steven Johnson Sindrom adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Kusuma & Nurarif, 2015) Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin, 2012). Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom Steven Johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi, dan terkadang keganasan. Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma &Nurarif, 2015): 1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10% 2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% 3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

3

2.2 Etiologi Menurut (Porth & Maffin, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010) sindrom steven johnson dipicu oleh reaksi obat. Etiologinya tidak diketahui,tetapi kemungkinan berhubungan dengan sistem imun dan bisa berupa suatu reaksi terhadap obat atau kelainan sekunder akibat infeksi virus. Antibiotik, antikonvulsan, butazon dan sulfonamid merupakan obat yang paling sering terlibat. Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif,2015): 1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus EpsteinBarr, atau sejenisnya). 2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,carbamazepin). 3. Keganasan (karsinoma dan limfoma). 4. Faktor idiopatik (hingga 50%). 5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom steven johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain. 6. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotik dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SSJ, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfanomide (antibiotic), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.

2.3 Manifestasi Klinis Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) tanda-tanda awal sindrom steven johnson antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus, demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia (nyeri dan sakit). Dilanjutkan dengan awitan eritema yang cepat yang mengenai sebagian besar permukaan tubuh dan membran mukosa, munculnya bula yang kaku dan luas dibeberapa area. Di area lain, lapisan epidermis yang luas mengelupas sehingga jaringan dermis dibawahnya terlihat kuku kaki, kuku tangan, alis dan bulu mata dapat rontok, begitu juga dengan epidermis di sekitarnya. Kulit yang sangat sensitif dan kulit yang mengelupas akan menghasilkan permukaan kulit yang mengeluarkan cairan, mirip seperti luka bakar partial thickness burn di seluruh tubuh, kondisi ini disebut juga sindrom kulit melepuh. Pada kasus berat yang mengenai mukosa, mungkin terdapat bahaya kerusakan pada laring, bronki, dan esofagus akibat ulserasi. Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi (30º - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung dua minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menunrunnya

4

kesadaran, soporeus sampai koma (Kusuma & Nurarif, 2015). Menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), pada sindrom ini terlihat adanya kelainan berupa : 1. Kelainan kulit Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema mberbentuk seperti cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi generalisate. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genitalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatiti kemudian menjadi lebih berat dengann pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi, dan dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dpaat terbentuk psudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar menenlan. Kelainan ini di mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorus bagian atas, dan esophagus. Terbentuknya pseudommebran difaring dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderitanya tidak dapat makan dan minum. 3. Kelainan mata Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivitis purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus cornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivitis, balanitis, uretritis. 2.4 Patofisiologi Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin, 2012).

5

2.5 Pathway Kelainan hipersensitifitas

Obat-obatan, infeksi virus, keganasan Kelainan

Hipersensitifitas tipe IV

Limfosit T tersintesitasi

Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitifitas tipe III

ii Pengaktifan sel T

Antigen antibody terbentuk terperangkap dalam jaringan kapiler

Melepaskan limfokin/sitotoksik Aktivasi S.komplemen

Penghancuran sel-sel Degranulasi sel mast

Reaksi peradangan Akumulasi netrofil memfagositosis sel rusak Nyeri akut Melepas sel yang rusak

Kerusakan integritas kulit Kerusakan integritas kulit Respon lokal: eritema, Kerusakan integritas kulit vesikel, dan bula

Resiko infeksi 6

Triase gangguan pada kulit, mukosa, dan mata

Respon inflamasi sistemik

2.6 Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu : 1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah. 2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis. 3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA. 2.7 Komplikasi Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi. 1. Bronkopneumonia (16%) 2. sepsis 3. kehilangan cairan/darah 4. gangguan keseimbangan elektrolit 5. syok 6. kebutaan gangguan lakrimasi 2.8 Pencegahan Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah sindrom langka ini, yaitu: 1. Umumnya bagi masyarakat Asia, dianjurkan untuk melakukan uji genetika sebelum mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti carbamzepine. 2. Konsultasikan ke dokter jika memang memiliki riwayat penyakit ini. 3. Hindari mengonsumsi obat-obatan yang bisa memicu kekambuhan jika sebelumnya Anda pernah mengalami sindrom Steven Johnson. 2.9 Pengobatan Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara lain mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama penanganan adalah pemberian asuhan yang suportif, diantaranya yaitu : 1. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka bakar. 2. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk mengangkat kulit yang rusak. 3. Sumpel jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit, dan lepuhan yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi patogen. 4. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 5. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat mungkin. 7

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Teoritis Menurut (Smeltzer, Suzanne C, 2010) inspeksi kulit yang cermat harus dilakukan, dan penampilan kulit serta luas lesi dicatat. Kulit yang normal diobservasi secara ketat untuk menentukan apakah timbul daerahdaerah bula yang baru. Perembasan cairan dari bula dipantau untuk memantau jumlah, warna dan baunya. Inspeksi rongga mulut untuk mendeteksi pembentukan bula dan lesi yang terkelupas harus dilakukan setiap hari. Kondisi pasien dinilai setiap hari untuk menemukan keluhan gatal, terbakar dan kekeringan pada mata. Kemampuan pasien menelan dan meminum cairan, di samping kemampuan berbicara secara normal, ditentukan. Tanda-tanda vital pasien dimonitor dan diberikan perhatian khusus terhadap keberadaan serta karakter demam di samping terhadap frekuensi, dalam serta irama pernapasan dan gejala batuk. Karakteristik dan jumlah sekresi respiratorius dicatat. Pemeriksaan untuk menilai panas yang tinggi, takikardia dan kelemahan serta rasa lelah yang ekstrim sangat penting, karena semua ini menunjukkan proses nekrosis epidermis, peningkatan kebutuhan metabolik dan kemungkinan pelepasan jaringan mukosa gastrointestinal serta respiratorius. Volume urin, berat jenis dan warnanya harus dipantau. Tempat pemasangan jarum infus diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda infeksi setempat. Berat badan pasien dicatat setiap hari (Smeltzer, Suzanne C, 2010). Kepada pasien diminta untuk menjelaskan keluhan rasa lelah dan tingkat nyeri yang dirasakannya. Upaya untuk mengevaluasi tingkat kecemasan pasien harus dilakukan. Mekanisme koping dasar yang dimiliki pasien dinilai dan strategi koping yang efektif diidentifikasi (Smeltzer, Suzanne C, 2010). 3.2 Diagnosa Keperawatan Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien dengan sindrom steven johnson, adalah : 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046) 2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan integritas kulit) (00004) 3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang terkelupas dan adanya lesi (00132) 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan adanya gangguan pada mukosa (00002) 5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan (00028)

8

3.3 Perencanaan Keperawatan NO 1

DIAGNOSA KEPERAWATAN Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)

TUJUAN

KRITERIA HASIL

Integritas jaringan 1. Tidak ada lesi pada : kulit & membran kulit dan mukosa mukosa baik membran 2. Tidak ada pengelupasan kulit 3. Tidak ada eritema 4. Tidak ada peningkatan suhu kulit

INTERVENSI 1. Pantau kulit dan membran mukosa pada area yang mengalami perubahan warna, memar, dan kerusakan. 2. Pantau adanya kekeringan dan kelembaban yang berlebihan pada kulit. 3. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi. 4. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka.

RASIONAL 1. Mengetahui perkembangan kondisi luka/lesi dan menentukan intervensi tindakan selanjutnya dengan tepat untuk memperbaiki integritas kulit. 2. Kekeringan/kelembaban yang berlebihan pada kulit dapat memperparah kerusakan integritas kulit dan menjadi indikator keseimbangan cairan klien. 3. Pemberian salep yang sesuai dapat menjadi pelindung area luka dari agens infeksi dan mempercepat penyembuhan luka/lesi. 4. Balutan yang sesuai dengan jenis luka dapat menghindari gesekan luka pada area lain.

9

2.

Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan integritas kulit) (00004)

Kontrol resiko: proses infeksi dapat dilakukan dan status imunitas baik

1. Mengidentifikasi faktor resiko infeksi 2. Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi 3. Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko infeksi Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan resiko infeksi 4. Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 10.000/mm3)

10

1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat. 2. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau. 3. Batasi jumlah pengunjung 4. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat. 5. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki dan meninggalkan ruangan pasien. 6. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan.

1. rutama suhu merupakan komplikasi lanjut untuk terjadinya infeksi. 2. Karakteristik luka dapat menjadi indikator adanya infeksi. 3. Pengunjung dapat meningkatkan resiko kontaminasi silang. 4. Nutrisi yang adekuat dapat mempercepat regenerasi jaringan dan penyembuhan luka. 5. Mencuci tangan dapat meminimalkan adanya kontaminasi silang. 6. Pasien dan keluarga dapat kooperatif dan mengantisipasi faktor resiko terjadinya infeksi.

3.

Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang terkelupas dan adanya lesi (00132)

Kontrol nyeri dapat dilakukan dan tingkat nyeri dapat berkurang

1. Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgesik Nyeri yang dilaporkan : tidak ada 2. Ekspresi nyeri wajah : tidak ada 3. Melaporkan nyeri yang terkontrol 4. Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional kesehatan

11

1. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekwensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya. 2. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan 3. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 4. Lakukan perubahan posisi dan relaksasi. 5. Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup untuk membantu mengurangi rasa nyeri.

1. Data-data tersebut digunakan sebagai data dasar dalam menentukan intervensi tindakan yang tepat pada klien selanjutnya untuk mencapai kesembuhan klien yang optimal. 2. Isyarat nonverbal klien (meringis, mengernyit) menjadi tanda bahwa klien merasakan ketidaknyamanan/nyeri 3. Nyeri dan pemberian analgesik dapat memengaruhi vital sign klien, seperti nadi dan RR. 4. Perubahan posisi dan relaksasi dapat membantu klien mengurangi rasa nyeri dan klien merasa rileks. 5. Istirahat/tidur dapat mengalihkan fokus pada nyeri klien.

3.4 Implementasi Keperawatan 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046) : 1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat 2) Pantau adanya kekeringan dan kelembaban yang berlebihan pada kulit. 3) Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi. 4) Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka. 5) Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang longgar. 6) Ajarkan kepada keluarga tentang tanda dan kerusakan kulit. 2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan integritas kulit) (00004) : 1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat. 2) Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau. 3) Batasi jumlah pengunjung 4) Tingkatkan intake nutrisi yang tepat. 5) Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki dan meninggalkan ruangan pasien. 6) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan. 3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang terkelupas dan adanya lesi (00132) : 1) Kaji tingkat nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekwensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor. 2) Lakukan perubahan posisi dan relaksasi. 3) Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup untuk membantu mengurangi rasa nyeri. 4) Ajarkan penggunaan teknik relaksasi nonfarmakologi sebelum atau sesudah rasa sakit meningkat.

3.5 Evaluasi Keperawatan 1. Tidak terjadinya infeksi 2. Integritas kulit klien mulai membaik 3. Skala nyeri klien berkurang

12

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Sindrom steven johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi, dan terkadang keganasan. Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. tanda-tanda awal sindrom steven jhonson antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus, demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia (nyeri dan sakit). Pada sindroma ini terlihat adanya kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata. Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven johnson yaitu pemeriksaan laboratorium, histopatologi, dan imunologi. sasaran penanganan antara lain mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama penanganan adalah pemberian asuhan yang suportif. Pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif yaitu dimulai dari pengkajian klien, menentukan diagnosa keperawatan yang muncul, dan menyusun intervensi yang akan dilakukan pada klien dengan sindrom steven johnson dengan tepat agar klien dapat meningkat status kesehatannya. 4.2 Saran Diharapkan sebagai mahasiswa kesehatan, penyusun dapat menggali lebih luas dan lebih dalam lagi mengenai penyakit Steven Jhonson serta menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat mensosialisasikan pada teman sejawat. Meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan dengan Steven Jhonson dan dikembangkan melalui pelatihan dan seminar untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang nantinya akan diberikan kepada pasien.

13

DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3. EGC: Jakarta Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC Gloria M. Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC), Edisi Keenam. Missouri: Mosby Elsevier Morhedd, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima. Missouri: Mosby Elsevier Morton, Gonce, Patricia. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular Dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC Nurarif, A.H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: MediAction Publishing Pearce, Evelyn C. 2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk para Medis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

14

Related Documents

Steven Jhonson Kel 2.docx
December 2019 17
Sindrome De Stevens Jhonson
November 2019 13
Grafik Barber Jhonson
June 2020 9
Pupi Steven
October 2019 31
Steven Buskin
June 2020 10

More Documents from ""