STAGNASI KREDIT UMKM
NASYITH MAJIDI AWALIL RIZKY
This Analysis Brief is part of the BRIGHT Indonesia research brief series. It present policy‐oriented summaries of individual published, peer review documents or of body of published work. BRIGHT Indonesia is a private institute devoted to independent & non‐ partisan economic research. We provide high quality research analysis and recommendations for decision makers on the full range of challenges facing and increasingly interdependent world. Our innovative policy solutions to inform the public discussions.
www.brightindonesia.com © 2009 BRIGHT Indonesia . All rights reserved. No part of this publication may be used or reproduced in any manner whatsoever without permission in writing from BRIGHT Indonesia except in the case of brief quotations embodied in critical articles and reviews. Cover: Anton & Berty
Analysis Brief | | 1
PERKEMBANGAN KREDIT MIKRO DARI PERBANKAN CENDERUNG MEMBURUK Executive Summary Prioritas pengembangan kredit bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah menjadi komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah. Sejauh yang dikemukakan kepada publik, prioritas itu pun didukung oleh rencana bisnis bank‐bank besar. Bahkan, banyak pihak yang memprediksi keadaan kredit bagi UMKM akan lebih baik dibanding dengan kredit non MKM pada kondisi perbankan yang memburuk terkena dampak krisis global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan menjadi tumbuh lebih pesat dibanding kredit lainnya. Fakta empiris yang ditemukan dalam riset BRIGHT Indonesia ternyata kurang mendukung realisasi komitmen di atas. Dampak buruk krisis global terhadap perbankan ternyata juga amat terlihat pada perkembangan kredit MKM. Terlebih pada kredit mikro yang memburuk, baik dari aspek pertumbuhan maupun kualitasnya selama enam bulan terakhir. Selama dua tahun terakhir, penyaluran kredit MKM perbankan tumbuh lebih rendah dari kredit non MKM, sehingga pangsanya atas total kredit perbankan cenderung menurun. Pangsa kredit MKM pada akhir tahun 2008 adalah 49,5% dari total kredit perbankan, turun dari 51,2% (2007) dan 51,85% (2006). Trends tersebut sejauh ini tidak berubah dengan adanya krisis keuangan global jika dampaknya dianggap mulai terjadi pada triwulan III‐2008. Sebagai catatan, pangsa kredit MKM sempat menaik pada kurun waktu sebelumnya, yakni : 44,38% (2002), 48,07% (2003), 49,55% (2004), dan 52,03% (2005). Nominal kredit mikro perbankan mengalami pertumbuhan yang cukup berarti selama beberapa tahun terakhir, tetapi lebih rendah daripada rata‐rata kredit MKM, sehingga pangsanya cenderung mengalami penurunan. Pangsa kredit mikro dalam total kredit MKM adalah : 35,4% (2008), 38,6% (2007), dan 42,5% (2006). Trends ini masih tetap berlangsung selama enam bulan terakhir, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, pangsa kredit kecil melampaui kredit mikro. Kualitas kredit MKM secara umum memang sedikit lebih baik daripada kredit non MKM, namun NPL kredit MKM juga cenderung mengalami peningkatan dalam enam bulan terakhir yang berarti dipengaruhi pula oleh dampak buruk krisis global. NPL kredit mikro bahkan lebih buruk dari yang lain, dan cenderung semakin memburuk. Sebagai contoh, NPL kredit mikro Bank Umum memburuk dari 3,73% (September 2008) menjadi 4,32% (Maret 2009). Penggunaan kredit MKM lebih banyak untuk keperluan konsumtif, dengan kecenderungan yang terus meningkat. Pangsa kredit konsumsi terus mengalami peningkatan, dari 43,1% pada tahun 2002 menjadi 52,0% pada tahun 2008. Sebaliknya, pangsa kredit modal kerja turun dari 46,4% (2002) menjadi 39,5% (2008), dan kredit investasi turun dari 10,5% (2002) menjadi 8,5% (2008). Kecenderungan demikian lebih tampak pada perkembangan kredit mikro perbankan. Pangsa konusmsi kredit mikro terus tumbuh dari 72,5% (2006), 73,6% (2007) dan 74,2% (2008). Lebih Analysis Brief | | 2
rendahnya NPL untuk penggunaan konsumsi kemungkinan menjadi salah satu pertimbangan utama pihak perbankan dalam hal ini. Alokasi kredit MKM masih sangat timpang jika dilihat dari lokasi proyek sampai dengan akhir 2008. Jawa dan Bali sebesar 65,9% sedangkan di luar Jawa dan Bali 34,1%. Kawasan Timur Indonesia menyerap 84,8% sedangkan Kawasan Barat Indonesia hanya menyerap 15,2%. 10 Propinsi terbesar menyerap 77,9%, sedangkan 23 propinsi lainnya hanya mendapat 22,1%. Alokasi kredit MKM berdasar sektor ekonomi memiliki kecenderungan yang semakin berorientasi kepada jasa, terutama jasa perdagangan dan jasa dunia usaha lainnya. Pangsa alokasi kredit kepada industri justeru semakin mengecil. Bias perkotaan juga diindikasikan oleh rendah dan menurunnya pangsa alokasi bagi sektor pertanian. Sebagai contoh, pembiayaan untuk sektor pertanian, perburuan dan sarana pertanian justeru berangsurur menurun, yakni : 3,5 % (2006), 3,3% (2007) dan 3,2% (2008). Dan alokasi untuk perindustrian masih tergolong besar, namun pangsanya juga mengalami penurunan, yaitu : 8,6% (2006), 7,3% (2007) dan 7,0% (2008). Kredit MKM dari BPR juga terindikasi bias perkotaan jika dilihat dari sektor ekonomi yang diberi kredit dimana pangsa sektor pertanian masih amat kecil. Klaim pertumbuhan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dianggap sukses masih memerlukan pencermatan lebih lanjut. Bisa dipertanyakan tentang mengapa alokasi kredit dari KUR tidak mampu menaikkan pangsa kredit MKM, khususnya kredit mikro seperti yang dibahas di atas. Tidak tertutup kemungkinan, sebagian cukup besar alokasi KUR adalah kepada para debitur yang sebelumnya sudah pernah mendapat akses kredit MKM. BRIGHT Indonesia menyarankan agar Bank Indonesia lebih bersungguh‐sungguh merealisasikan komitmennya terhadap pengembangan kredit bagi UMKM. Direkomendasikan untuk meningkatkan bantuan yang bersifat lebih langsung dan nyata. Disarankan pula agar kerjasama dengan lembaga keuangan mikro diwujudkan dan ditingkatkan mengingat perbankan sejauh ini terbukti tidak mampu menangani kredit mikro secara baik dan efektif.
Analysis Brief | | 3
PERKEMBANGAN KREDIT MIKRO DARI PERBANKAN CENDERUNG MEMBURUK Krisis keuangan global belum berdampak amat buruk terhadap kinerja perbankan selama tahun 2008. Indikator‐indikator utama perbankan secara umum masih terlihat cukup baik dan stabil. Aset, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun dan penyaluran kredit masih tumbuh cukup tinggi, diiringi dengan profitabilitas dan permodalan yang cukup terjaga, serta Non Performing Loan (NPL) gross yang masih terbilang rendah. Akan tetapi, berbagai tekanan terhadap perbankan akibat krisis global telah mulai berlangsung di penghujung tahun 2008, dan dikhawatirkan akan terus berlanjut sehingga akan nampak pada indikator perbankan tahun 2009. Salah satu diantaranya adalah terjadi keketatan likuiditas di pasar keuangan global maupun domestik. Bank Indonesia (BI) sendiri mengaku terus mewaspadai perkembangan krisis keuangan global ke depan dengan melakukan langkah‐langkah antisipatif untuk dapat mengatasinya. Berbagai kebijakan dilakukan terutama untuk mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi permasalahan keketatan likuiditas, dengan tetap memerhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Bahkan, berulangkali dikemukakan komitmen untuk menjaga ketersediaan pendanaan kepada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat. Pidato Gubernur BI pada Pertemuan Tahunan Perbankan tanggal 30 Januari 2009 kembali menegaskan komitmen tersebut. Kredit kepada UMKM diakui sangat penting artinya bagi masyarakat kecil agar dapat terus bertahan dan mengembangkan usahanya pada masa‐masa sulit seperti tahun 2009 ini. Bank Indonesia mengklaim memiliki kepedulian dalam pengembangan UMKM melalui kegiatan peningkatan akses kredit perbankan kepada UMKM. Pada tahun 2008, dilaporkan pula bahwa berbagai kegiatan telah dilakukan dalam rangka mendorong upaya percepatan fungsi intermediasi perbankan kepada UMKM. Bank Indonesia mengelompokkannya dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti : (i) pemberian bantuan teknis, (ii) pengembangan kelembagaan, (iii) penetapan kebijakan dan penyempurnaan kebijakan/pengaturan kredit perbankan, serta (iv) peningkatan kerjasama dengan Pemerintah dan lembaga terkait lainnya. Terkait dengan bentuk yang terakhir, Bank Indonesia mengandalkan perannya sebagai counterpart Pemerintah dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bertujuan untuk mendorong perbankan agar menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada UMKM dan koperasi yang layak (feasible) namun belum bankable melalui peningkatan kapasitas Perusahaan Penjamin (Lembaga Penjamin Kredit). Program KUR ini diluncurkan pada bulan Nopember 2007, serta ditandai dengan Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah dan enam bank pelaksana, yang terdiri dari : PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT. Bank Mandiri, PT. Bank Negara Indonesia (BNI), PT. Bank Tabungan Negara (BTN), PT. Bank Syariah Mandiri dan PT. Bank Bukopin.
Analysis Brief | | 4
Bank Indonesia juga berupaya mengoptimalkan industri BPR (BPR dan BPRS) dalam mendukung pembiayaan kegiatan ekonomi dalam skala Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam rangka mengantisipasi meluasnya risiko likuiditas dan menjaga kepercayaan masyarakat, BI telah melengkapi ketentuan fasilitas likuiditas bagi BPR dengan menerbitkan PBI No.10/35/PBI/2008 tentang FPJP bagi BPR pada tanggal 5 Desember 2008. PBI itu telah diikuti doleh SE Ekstern No.10/45/DKBU sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaannya. Dengan aturan ini, BPR memiliki kesempatan yang sama (equal treatment) untuk memperoleh fasilitas pendanaan BI bila mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka pendek. Selain itu, BPR diberikan kelonggaran berupa penundaan atas pemenuhan kewajiban ketentuan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP). Bank Indonesia memang mengarahkan penyempurnaan cetak biru BPR untuk mengoptimalkan peran dan kontribusi BPR sebagai community bank dalam mendukung community development, serta mampu bertahan dalam menghadapi krisis. Program linkage didorong dengan tujuan untuk membangun sinergi antara bank umum dengan BPR/S dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada masyarakat. Selain dengan pihak perbankan, Bank Indonesia mengakui pula perlunya kerjasama dengan koperasi, yang antara lain terkait dengan implementasi dari Instruksi Presiden No.5 tahun 2008 tanggal 22 Mei 2008. Keberpihakan kepada UMKM sebenarnya memiliki landasan hukum yang semakin kokoh dengan ditetapkannya Undang Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam beberapa pasalnya disebutkan soal upaya peningkatan akses usaha mikro dan usaha kecil terhadap sumber pembiayaan. Dalam hal ini dikatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah akan: a. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank; b. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan c. Memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan. Sementara itu, banyak pihak perbankan yang menyatakan komitmennya untuk memberi prioritas penyaluran kredit MKM. Bahkan, sebagian dari mereka memprediksi sektor UMKM akan paling sedikit terkena dampak buruk selama krisis global berlangsung, sehingga penyaluran kredit untuk mereka memang sesuai dengan pertimbangan bisnis perbankan saat ini. Komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah, ditambah dengan rencana pihak perbankan terhadap penyaluran kredit bagi UMKM perlu dicermati hasil nyatanya. BRIGHT Indonesia melakukan riset awal untuk melihat kecenderungan umum yang terjadi dalam penyaluran kredit bagi UMKM dari pihak perbankan, khususnya untuk kredit mikro. Research Review ini adalah resume dari hasil riset tersebut.
Definisi Kredit untuk UMKM Istilah UMKM sudah sangat dikenal luas oleh publik melalui pemberitaan media, pernyataan pejabat, maupun forum diskusi ilmiah. Namun definisi legal formal mengenai masing‐masingnya sempat terpisah dalam berbagai peraturan dan perundang‐undangan, dan dengan pemakaian yang Analysis Brief | | 5
cukup berbeda antar lembaga resmi. Definisi yang mestinya mengikat semua pihak berdasar Undang‐Undang yang baru telah ada, yakni UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM yang ditetapkan pada tanggal 4 Juli 2008. Berdasar Undang‐Undang itu, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria tertentu. Kriterianya adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Yang dimaksud dengan “kekayaan bersih” adalah hasil pengurangan total nilai kekayaan usaha (aset) dengan total nilai kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sedangkan ”hasil penjualan tahunan” adalah hasil penjualan bersih (netto) yang berasal dari penjualan barang dan jasa usahanya dalam satu tahun buku. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai dengan paling banyak Rp500 juta; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta sampai dengan paling banyak Rp2,5 milyar. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta sampai dengan paling banyak Rp10 milyar atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp50 milyar. Akan tetapi data statistik kredit yang tersedia belum disesuaikan dengan definisi tersebut. Meskipun berencana akan menyediakannya, definis kredit MKM dalam data statistik Bank Indonesia hingga kini masih berdasarkan plafon atau nilai pembiayaan yang diberikan. Menurut data Bank Indonesia, yang dimaksud dengan kredit kredit mikro adalah kredit dengan plafon 0 sampai dengan maksimum Rp50 juta, kredit kecil adalah kredit dengan plafon lebih dari Rp50 juta sampai dengan maksimum Rp500 juta, dan kredit menengah adalah kredit dengan plafon lebih dari Rp500 juta sampai dengan maksimum Rp5 miliar. Dengan sendirinya, data kredit MKM berdasar plafon tidak secara langsung menggambarkan penyalurannya bagi sektor usaha MKM. Perbedaan yang paling utama adalah jika penggunaannya untuk konsumsi maka suatu kredit tidak tepat diartikan sebagai kredit bagi modal usaha sektor UMKM. Jika ditelusuri lebih lanjut, sebagian besar pemakaian kredit konsumsi yang tergolong MKM justeru dipergunakan untuk membeli barang produksi sektor korporasi, seperti: barang elektronik, motor, mobil dan perumahan. Oleh karena ketersediaan data yang relatif lengkap masih berdasar plafon maka pembahasan selanjutnya menggunakan definisi dari Bank Indonesia, kecuali disebutkan lain. Dengan Analysis Brief | | 6
mengemukakan analisis data lainnya, maka masih bisa dilihat kecenderungan kredit bagi sektor UMKM secara umum.
Pertumbuhan Kredit MKM
Triliun Rp
Posisi kredit MKM pada akhir tahun 2008 adalah sebesar Rp660,7 triliun, yang merupakan 49,5% dari total kredit perbankan sebesar Rp1.334,5 triliun. Pangsa kredit MKM terhadap kredit perbankan pada akhir tahun 2008 itu menurun dibanding pangsa pada tahun 2007 sebesar 51,2% dan pangsa tahun 2006 sebesar 52,85%. Sebagai catatan, pangsa kredit MKM terus menaik selama beberapa tahun sebelumnya, yakni : 44,38% (2002), 48,07% (2003), 49,55% (2004), dan 52,03% (2005). Penurunan pangsa tersebut seiring dengan laju pertumbuhan kredit MKM selama dua tahun terakhir yang lebih rendah daripada kredit non MKM dan kredit perbankan secara keseluruhan. Pertumbuhan kredit MKM pada tahun 2008 sebesar 26,1% masih lebih rendah dibandingkan kredit non‐MKM yang sebesar 35,5%, atau dari pertumbuhan total kredit perbankan sebesar 30,4%. Meskipun demikian, kredit MKM secara nominal masih tumbuh sebesar Rp136,6 triliun selama tahun 2008, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan di tahun 2007 yang hanya sebesar Rp96,2 triliun. Grafik 1 Perkembangan Posisi Kredit MKM Perbankan 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2002
2003
2004
Kredit Perbankan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
2005
2006
Kredit MKM
2007
2008
Kredit Non MKM
Analysis Brief | | 7
Tatkala krisis keuangan global mulai berdampak signifikan pada sektor keuangan domestik, khususnya terkait likuiditas sektor perbankan, maka pertumbuhan kredit diperkirakan akan melambat daripada tahun sebelumnya. Ada pula kekhawatiran akan melemahnya pertumbuhan dana yang bisa dihimpun dari masyarakat, yang diduga akan menyesuaikan penempatan dananya terutama berdasar pertimbangan kualitas risiko. Kenyataannya, dana pihak ketiga (DPK) Bank umum tetap tumbuh cukup pesat selama enam bulan terakhir, dari Rp1.603,5 triliun pada September 2008 menjadi Rp1.786,2 triliun pada Maret 2009, atau tumbuh 11,39%. Pertumbuhan terjadi pada semua bentuk DPK, seperti : giro, deposito dan tabungan. Deposito tercatat mengalami pertumbuhan yang paling tinggi. Pada periode yang sama, posisi kredit Bank Umum tumbuh dari Rp 1.246 triliun per September 2008 menjadi Rp1.305 triliun per maret 2009, atau hanya tumbuh sebesar 4,74%. Oleh karena pertumbuhan kredit lebih lambat daripada DPK, maka loan to deposit ratio (LDR) mengalami penurunan. LDR yang sempat mencapai 79,02% pada Agustus 2008, berangsur‐angsur menurun menjadi 73,08% pada Maret 2009. Pada mulanya, banyak pihak yang memprediksi perlambatan laju kredit tersebut akan lebih terasa pada kredit non MKM dibanding dengan kredit MKM. Secara lebih khusus, kredit mikro dan kredit kecil justeru dianggap akan tumbuh lebih pesat dibanding kredit menengah dan kredit non MKM. Alasannya, sektor usaha mikro dan kecil dianggap lebih tahan krisis pada masa lalu, serta masih dianggap demikian pada krisis kali ini. Sampai sejauh ini, data pertumbuhan kredit MKM Bank Umum dalam enam bulan terakhir tidak mendukung dugaan tersebut. Kredit MKM Bank Umum hanya tumbuh sebesar 2,62%, jauh lebih rendah dari pertumbuhan kredit non MKM sebesar 6,87% (lihat tabel 1). Sementara itu, kredit MKM BPR konvensional justeru tumbuh negatif pada periode bersangkutan, yakni Rp25,563 triliun (September 2008) menjadi Rp25,322 triliun (Maret 2009). Kredit MKM perbankan memang tumbuh secara signifikan pada tiga triwulan pertama tahun 2008, namun selanjutnya mengalami perlambatan pada triwulan terakhir dan berlangsung hingga triwulan pertama 2009. Tabel 1 Perkembangan Kredit Bank Umum (Miliar Rp) September Oktober Nopember Desember Januari Februari Maret MKM NonMKM Total Kredit DPK LDR (%)
620.898 625.949 625.248 671.911 1.246.146 1.297.860 1.603.452 1.674.994 77,48 77,72
631.002 694.321 1.325.323 1.707.876 77,60
624.981 629.322 637.167 633.945 664.858 672.522 668.222 673.743 1.307.688 1.289.839 1.301.844 1.305.389 1.753.292 1.748.814 1.771.098 1.786.157 73,08 73,50 73,76 74,58
Sumber: Bank Indonesia, diolah Dugaan kredit MKM akan tumbuh lebih baik daripada yang non MKM masih bisa terbukti pada bulan‐bulan berikutnya, jika melihat data pertumbuhan dari bulan Maret atas Februari. Kredit MKM Bank Umum tumbuh lebih cepat daripada bulan‐bulan sebelumnya, sedangkan kredit non Analysis Brief | | 8
MKM justeru tumbuh negatif. Kredit MKM BPR konvensional sendiri cenderung stagnan, namun karena skala ekonomisnya yang masih relatif kecil, maka kecenderungan kredit perbankan masih amat ditentukan oleh dinamika Bank umum. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, maka memang masih ada kemungkinan benarnya opini mengenai kredit MKM akan bisa lebih bertahan pada perlambatan ekonomi secara keseluruhan. Hal ini masih perlu dibuktikan oleh data perkembangan kredit pada waktu yang akan datang, serta dinamika pertumbuhan ekonomi yang benar‐benar terjadi.
Perkembangan Kredit MKM Menurut Plafon Dilihat dari besarnya plafon, kredit mikro masih memiliki pangsa terbesar sampai dengan akhir tahun 2008. Kredit mikro memiliki pangsa yang mencapai 35,4% (Rp234,2 triliun), diikuti oleh kredit kecil sebesar 33,5% (Rp221,5 triliun), dan kredit menengah sebesar 31,0% (Rp205,0 triliun). Nominal kredit mikro mengalami pertumbuhan yang cukup berarti selama beberapa tahun terakhir. Akan tetapi pertumbuhannya masih lebih rendah daripada rata‐rata kredit MKM, sehingga pangsanya cenderung mengalami penurunan. Pangsa kredit mikro dalam total kredit MKM pada tahun 2006 adalah 42,5% dan pada tahun 2007 sebesar 38,6%. Jenis kredit MKM yang mengalami pertumbuhan terpesat selama tahun 2008 adalah kredit kecil yakni sebesar 43,1%, diikuti oleh kredit menengah dan kredit mikro masing‐masing sebesar 22,9% dan 15,7%. Hal ini melanjutkan kecenderungan beberapa tahun terakhir, sehingga pangsa kredit kecil semakin meningkat, yaitu : 27,1% (2006), 29,5% (2007) dan 33,5% (2008). Jika trends itu berlanjut, maka pangsa kredit kecil akan melampaui kredit mikro pada akhir tahun 2009 nanti. Secara tidak langsung kecenderungan yang demikian dikonfirmasi oleh naiknya rata‐rata rekening kredit MKM, yakni posisi kredit dibagi dengan jumlah rekening kredit pada periode bersangkutan. Rata‐rata setiap rekening kredit naik dari Rp22,58 juta (2006), Rp26,34 juta (2007) dan Rp28,12 juta (2008). Jumlah rekening itu sendiri tetap meningkat, yakni : 18,9 juta rekening (2006), 19,9 juta rekening (2007) dan 23,5 juta rekening (2008).
Analysis Brief | | 9
Graffik 2 Perkem mbangan Kreedit MKM Pe erbankan M Menurut Plafo on 250 0
Triliun Rp
200 0 150 0 100 0 50 0 0 IV 06
I 07
II 07
Kredit Mikro
III 07
IV 07
I 08
Kredit K Kecil
II 0 08
III 08
IV 08 I
Kreedit Menengah h
Sumber : Bank Indonesia, diolah e bulan terakhir, taatkala krisiss keuangan global dinillai berdamp pak signifikaan pada Selama enam sektor peerbankan do omestik, keccenderungan n menurunn nya porsi kreedit mikro masih m berlangsung. Penurunaan tersebut m memang tid dak sebesar w waktu‐waktu sebelumnya. Penyebaab utamanyaa bukan karena kredit mikro o tumbuh pesat p melaiinkan karen na lebih rendahnya peertumbuhan n kredit menengah. Khusus krredit yang d diberikan oleeh Bank Umum, posisi kkredit menengah telah ttumbuh negatif daari Rp201,6 ttriliun pada September 2 2008 menjad di Rp198,1 ttriliun pada M Maret 2009.. s kreditt mikro tum mbuh dari Rp213,56 R triliun menjad di Rp217,25 5 triliun. Pada periode yang sama, Sementarra itu, kreditt kecil tumb buh pesat daari Rp205,74 4 triliun menjadi Rp221 1,79 triliun. Dengan demikian pangsa kred dit kecil telah h melampau ui kredit mikro dari Bankk UMUM. el 2 Perkemb bangan Kred dit MKM Ban nk Umum M Menurut Plaffon Tabe (Miliar Rp) mber Okto ober Nopem mber Dese ember Januari Februari Maret Septem 213 21 Mikro 3.556 216.015 7.332 16.124 216 6.610 216..814 217.2 250 217 205 5.741 208.589 212 2.314 21 14.204 213 3.533 217..112 221.7 787 Kecil h 201 1.601 201.345 201 1.356 20 03.616 194 4.839 195..395 198.1 129 Menengah Total MKM M 620 0.898 625.949 631 1.002 63 33.945 624 4.981 629..321 637.1 166 Sumber: Baank Indonesiia, diolah mbahkan den ngan data dari d BPR/BPR RS maka pan ngsanya saaat ini masih berimbang, namun Jika ditam pangsa kredit k mikro o kemungkinan akan m menjadi leb bih kecil paada akhir tahun. Khussus BPR konvensio onal, pada p periode Septtember 2008 8 sampai deengan Marett 2009, kred dit mikro dan kredit kecil tum mbuh positiff, sedangkan n kredit meenengah tum mbuh negattif. Kredit mikro m tumbuh dari Anaalysis Brief | | 10
Rp17,30 triliun menjadi Rp17,55 triliun, kredit kecil tumbuh dari Rp6,88 triliun menjadi Rp6,92 triliun, dan kredit menengah turun dari Rp1,44 triliun menjadi Rp0,86 triliun.
Perkembangan Kredit MKM Menurut Penggunaan
Triliun Rp
Penyaluran kredit MKM menurut penggunaannya adalah untuk kredit produktif yang terdiri dari kredit modal kerja dan kredit investasi, serta untuk kredit konsumsi. Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan kredit konsumsi lebih tinggi daripada kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Kredit konsumsi yang pada tahun 2002 masih sedikit di bawah kredit modal kerja, berangsur menyamai kemudian jauh melampauinya pada tahun 2008. Kredit modal kerja sendiri sebenarnya juga tumbuh cukup pesat, dan hanya kredit investasi yang tumbuhnya amat perlahan. Akibatnya, pangsa kredit konsumsi terus mengalami peningkatan, dari 43,1% pada tahun 2002 menjadi 52,0% pada tahun 2008. Sebaliknya, pangsa kredit modal kerja turun dari 46,4% (2002) menjadi 39,5% (2008), dan kredit investasi turun dari 10,5% (2002) menjadi 8,5% (2008). Grafik 3 Kredit UMKM menurut jenis penggunaan 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2002
2003
2004
k.modal kerja
2005
2006
k.investasi
2007
2008
k.konsumsi
Sumber : Bank Indonesia, diolah Selama enam bulan terakhir, kecenderungan itu tampaknya tidak berubah (lihat tabel 3). Khusus kredit MKM dari Bank Umum, kredit konsumsi tumbuh 4,45%, dari Rp323,3 triliun menjadi Rp337,7 triliun. Kredit modal kerja hanya tumbuh 0,85% dari Rp242,74 triliun menjadi Rp244,80 triliun. Kredit investasi justeru turun dari Rp54,86 triliun menjadi Rp54,67 triliun. Analysis Brief | | 11
Triliun Rp
Tabel 3 Perkembangan Kredit MKM Bank Umum menurut Penggunaan (Miliar Rp) September Oktober Nopember Desember Januari Februari Maret 247.442 238.266 240.409 244.802 247.051 242.742 244.453 Modal Kerja 54.074 54.456 54.676 54.209 54.437 54.862 54.639 Investasi 332.294 332.641 334.458 337.689 329.514 323.293 326.858 Konsumsi 633.945 624.981 629.322 637.167 631.002 620.898 625.949 Total Kredit Sumber: Bank Indonesia, diolah Kecenderungan peningkatan yang lebih besar untuk kegiatan konsumtif terutama sekali terlihat pada kredit mikro. Pada posisi tahun 2008, penggunaan untuk konsumsi pada kredit mikro adalah sebesar Rp173,7 triliun (74,2%). Kecenderungan serupa, dalam skala yang lebih kecil berlangsung pada kredit kecil, dimana penggunaan untuk konsumsi mencapai Rp135,4 triliun (61,1%). Sedangkan kredit menengah sebagian besar digunakan untuk kegiatan produktif, yakni untuk kredit modal kerja sebesar Rp140,1 triliun (68,3%) dan kredit investasi sebesar Rp34,3 triliun (16,7%). Grafik 4 Perkembangan Kredit Mikro Menurut Jenis Penggunaan 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 IV‐06
I‐07
II‐07
III‐07
Modal Kerja
IV‐07
I‐08
Investasi
II‐08
III‐08
IV‐08
Konsumsi
Sumber : Bank Indonesia, diolah Penggunaan kredit mikro untuk konsumsi yang cenderung meningkat lebih cepat daripada untuk keperluan produktif telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Pangsanya terus tumbuh dari 72,5% (2006), 73,6% (2007) dan 74,2% (2008). Pangsa kredit mikro yang digunakan untuk modal kerja sempat sedikit menurun dan kemudian stabil, yakni : 22,0% (2006), 21,4% (2007) dan 21,4% (2008). Sedangkan pangsa kredit mikro untuk investasi terus menurun, yakni : 5,5% (2006), 5,0% (2007) dan 4,4% (2008). Analysis Brief | | 12
Perkembangan Kredit MKM Menurut Sektor Ekonomi dan Lokasi Berdasarkan sektor ekonomi, alokasi kredit MKM pada posisi akhir tahun 2008 terbanyak diberikan kepada sektor perdagangan Rp166,8 triliun (25,2%), sektor perindustrian Rp46,5 triliun (7,0%), jasa dunia usaha Rp43,7 triliun (6,6%), dan pertanian Rp21,2 trilun (3,2%). Kredit MKM memiliki kecenderungan untuk diberikan lebih banyak kepada usaha yang bergerak di sektor jasa dibandingkan kepada sektor produksi barang. Pembiayaan terbesar yang diberikan pada sektor perdagangan, restoran dan hotel bertahan selama beberapa tahun terakhir. Pangsanya memang sedikit berfluktuasi, yakni : 26,7% (2006), 27,2% (2007) dan 25,2% (2008). Sementara itu, pangsa pembiayaan untuk sektor jasa dunia usaha terus meningkat, yaitu : 5,9 % (2006), 6,2% (2007) dan 6,6% (2008). Tabel 4. Perkembangan posisi Kredit MKM Perbankan Menurut sektor Ekonomi 2006 2007 2008 Baki Debet Milyar Rp Pangsa Milyar Rp Pangsa Milyar Rp Pangsa Pertanian, perburuan dan sarana pertanian 14.999,3 3.5% 17.477,8 3.3% 21.228,6 3,2% Pertambangan 1.311,1 0.3% 1.528,0 0.3% 1.824,3 0,3% Perindustrian 36.916,9 8.6% 38.138,6 7.3% 46.482,7 7,0% Listrik, Gas dan Air 1.483,3 0.3% 286,6 0.1% 561,2 0,1% Konstruksi 10.129,2 2.4% 13.257,1 2.5% 17.145,5 2,6% Perdagangan, restoran dan hotel 114.254,0 26.7% 142.574,2 27.2% 166.802,2 25,2% Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi 6.613,7 1.5% 7.208,9 1.4% 8.656,0 1,3% Jasa Dunia Usaha 25.354,0 5.9% 32.699,3 6.2% 43.659,3 6,6% Jasa Sosial 6.026,2 1.4% 6.676,1 1.3% 7.596,2 1,1% Lain‐lain 210.908,4 49.3% 264.327,8 50.4% 346.777,2 52,5% Total 427.996,3 100.0% 524.174,5 100.0% 660.733,1 100,0% Sumber: Bank Indonesia, diolah Sebagai perbandingan, pembiayaan untuk sektor pertanian, perburuan dan sarana pertanian justeru berangsur‐angsur menurun, yakni : 3,5 % (2006), 3,3% (2007) dan 3,2% (2008). Meskipun alokasi untuk perindustrian masih tergolong besar, namun pangsanya juga mengalami penurunan, yaitu : 8,6% (2006), 7,3% (2007) dan 7,0% (2008). Kecenderungan menurunnya alokasi kredit MKM untuk industri semakin tampak dalam enam bulan terakhir. Alokasi kredit MKM Bank Umum untuk manufaktur yang pada bulan September 2008 masih sebesar Rp45,72 triliun (7,4%) turun menjadi Rp43,73 triliun (6,9%). Berdasarkan lokasi Analysis Brief | | 13
proyek, kredit MKM pada akhir 2008 sebagian besar disalurkan di Pulau Jawa dan Bali dengan pangsa 65,9% (Rp435,4 triliun), pangsanya sedikit menurun dibandingkan akhir 2007 yakni 67,6% (Rp354,1 triliun). Untuk proyek yang berlokasi di luar Jawa dan Bali, alokasi kredit MKM terbesar adalah propinsi Sumatera Utara sebesar 5,2% (Rp34,5 triliun), diikuti oleh Sulawesi Selatan dan Riau masing‐ masing sebesar 3,4% dan 2,6% (Rp22,4 triliun dan Rp17,0 triliun). Khusus untuk perbankan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), posisi kredit MKM pada akhir Triwulan IV 2008 mencapai Rp100,7 triliun, tumbuh sebesar 31,9% dibandingkan Triwulan IV 2007. Pertumbuhan ini memang lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan kredit MKM di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yaitu sebesar 25,1%, namun belum cukup berarti untuk meratakan ketimpangan yang masih tinggi. Secara umum dapat dikatakan bahwa masih terjadi ketidakmerataan lokasi penyaluran kredit MKM. Baik dilihat secara Jawa‐Bali dan non Jawa‐Bali, KBI dan KTI, serta 10 propinsi terbesar dengan 23 propinsi lainnya. Perkembangan NPL Kredit MKM Perbankan NPL gross kredit MKM menurun dari 3,7% pada 2007 menjadi 3.2% pada 2008. Sempat terjadi sedikit peningkatan pada triwulan I‐2008, kemudian berangsur‐angsur membaik. Bahkan pada awal triwulan IV‐2008, rasio NPL gross meningkat menjadi sebesar 3,53% pada bulan November, namun kembali membaik pada dua bulan berikutnya terjadi perbaikan yang signifikan. Jika dibandingkan, NPL gross kredit MKM masih lebih rendah apabila daripada total kredit perbankan yang sebesar 3,8%. NPL kredit kecil menunjukkan perkembangan yang paling baik selama dua tahun terakhir, turun drastis dari 4,00% pada triwulan IV‐2006 menjadi 2,17% pada triwulan IV‐2008. NPL kredit menengah juga mengalami penurunan cukup berarti, dari 4,98% menjadi 3,40%. NPL kredit mikro mengalami sedikit penurunan, dari 4,20% menjadi 4,06%. Tabel 5. Perkembangan NPL Kredit MKM Perbankan (Persen) IV‐06 I‐07 II‐07 III‐07 IV‐07 I‐08 II‐08 III‐08 IV‐08 4,20 5,01 4,52 4,36 3,86 4,30 4,26 4,07 4,06 Kredit Mikro 4,00 4,14 4,14 3,83 3,30 3,25 2,74 2,47 2,17 Kredit Kecil Kredit Menengah 4,98 5,35 5,19 4,70 3,81 4,02 3,73 3,31 3,40 4,38 4,87 4,62 4,31 3,68 3,89 3,60 3,31 3,22 Kredit MKM Sumber: Bank Indonesia, diolah Perkembangan NPL kredit kecil yang lebih baik tersebut masih berlanjut selama enam bulan terakhir, sebagaimana yang diperlihatkan oleh data kredit Bank Umum (lihat tabel 6). NPL kredit kecil Bank Umum secara nominal hanya sedikit menaik, dan karena pertumbuhan kredit kecil cukup tinggi maka rasio NPL justeru sedikit menurun, dari 2,39% pada September 2008 menjadi Analysis Brief | | 14
2,31%. Penurunan tersebut memang tidak signifikan, tetapi jauh lebih baik daripada yang terjadi pada kualitas kredit mikro dan kredit investasi. NPL kredit investasi naik dari 3,31% menjadi 3,96%, sedangkan NPL kredit mikro bahkan memburuk dari 3,73% menjadi 4,32%. Tabel 6. Perkembangan NPL Kredit MKM Bank Umum (Milyar Rp) Kategori Sep 08 Okt 08 Nov 08 Des 08 Jan 09 Feb 09 Mar 09 Mikro 7.956 8.355 8.546 8.027 9.136 9.270 9.387 Kecil 4.908 4.912 4.891 4.436 4.724 4.886 5.115 Menengah 6.675 6.942 7.360 6.341 6.851 7.323 7.833 Total 19.539 20.209 20.797 18.804 20.711 21.479 22.335 Sumber: Bank Indonesia, diolah Data perkembangan NPL di atas bisa menjelaskan sebagian sebab pertumbuhan yang lebih tinggi pada kredit kecil dibanding kredit yang lainnya. Pada saat bersamaan mengingatkan semua pihak untuk waspada karena kualitas kredit MKM secara keseluruhan yang mulai memburuk sejak dampak krisis keuangan global melanda perbankan domestik. Memburuknya kualitas kredit investasi dilunakkan oleh penyaluran berikutnya yang tumbuh lambat bahkan negatif, sehingga rasio NPL hanya sedikit meningkat. Sementara itu, kualitas kredit mikro sejauh ini justeru paling terpukul karena pertumbuhan penyalurannya masih berlangsung, sehingga rasio NPL‐nya meningkat secara signifikan. Berdasarkan jenis kredit, kualitas kredit konsumsi paling baik dengan rasio NPL gross sebesar 1,9%, sedangkan untuk kredit modal kerja sebesar 4,59%, dan kredit investasi sebesar 4,95%. Tabel 7 Perkembangan NPL Kredit MKM Perbankan Menurut Penggunaan (Persen) IV‐06 I‐07 II‐07 III‐07 IV‐07 I‐08 II‐08 III‐08 IV‐08 4,59 5,04 4,69 5,42 4,92 5,90 6,46 5,93 6,38 Modal Kerja 4,95 5,34 4,71 5,90 5,82 7,34 7,56 7,49 7,69 Investasi 1,90 2,18 2,00 2,36 2,28 2,47 2,59 2,48 3,09 Konsumsi 3,22 3,60 3,31 3,89 3,68 4,31 4,62 4,38 4,87 Kredit MKM Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kecenderungan lebih baiknya kualitas kredit konsumsi masih berlangsung selama enam bulan terakhir, seperti yang diperlihatkan oleh data NPL kredit Bank Umum (lihat tabel 8). Meskipun memburuk, rasio NPL kredit konsumsi hanya sedikit meningkat dari 1,92% pada September 2008 menjadi 1,95% pada Maret 2009. Sementara itu, kredit modal kerja naik dari 4,43% menjadi 5,32%, dan kredit investasi naik dari 4,67% menjadi 4,98%. Analysis Brief | | 15
Tabel 8 Perkembangan NPL Kredit MKM Bank Umum Menurut Penggunaan (Miliar Rp) Sep 08 Okt 08 Nov 08 Des 08 Jan 09 Feb 09 Mar 09 Modal kerja 10.756 11.232 11.601 10.393 11.602 12.218 13.024 Investasi 2.562 2.612 2.830 2.365 2.514 2.636 2.724 Konsumsi 6.223 6.364 6.366 6.046 6.595 6.623 6.586 Total 19.541 20.208 20.797 18.804 20.711 21.477 22.334 Sumber: Bank Indonesia, diolah Kondisi tersebut di atas menjadi salah satu alasan yang mendorong bank lebih memilih menyalurkan kredit konsumsi. Penjelasan umumnya adalah tingkat kepastian pembayaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kredit lainnya karena didukung oleh penghasilan tetap dari kebanyakan para debiturnya.
Perkembangan Kredit MKM Menurut Kelompok Bank Posisi kredit MKM yang disalurkan oleh bank umum pada akhir tahun 2008 mencapai Rp633,9 triliun atau 95,9% dari total kredit MKM. Sementara itu, BPR, baik konvensional maupun syariah, menyalurkan kredit MKM sebesar Rp26,79 triliun (4,1%). Berdasarkan kelompok bank, kelompok bank swasta nasional devisa merupakan penyalur kredit MKM terbesar dengan pangsa 40,4%, diikuti bank persero 34,9% dan BPD 13,3%. Posisi ini tidak berubah dalam selama tiga tahun terakhir, namun secara perlahan terjadi peningkatan pangsa bank persero dan BPD. Tabel 9 Perkembangan Posisi Kredit MKM Menurut Kelompok Bank 2006 2007 2008 Kelompok Bank Miliar Rp Pangsa Miliar Rp Pangsa Miliar Rp Pangsa Bank Persero 144.934,9 33.9% 176.739,6 33.7% 230.375,5 34,9% Bank Swasta Nasional Devisa 178.361,4 41.7% 217.577,7 41.5% 267.228,1 40,4% Bank Swasta Nasional Non Devisa 16.964,5 4.0% 20.632,8 3.9% 23.280,1 3,5% BPD 52.859,4 12.4% 67.773,5 12.9% 87.654,9 13,3% Bank Campuran 4.982,9 1.2% 5.843,3 1.1% 8.520,6 1,3% Bank Asing 12.338,8 2.9% 14.229,4 2.7% 16.885,8 2,6% BPR‐BPRS 17.554,3 4.1% 21.378,2 4.1% 26.788,1 4,1% Total 427.996,3 100.0% 524.174,5 100.0% 660.733,1 100,0% Sumber: Bank Indonesia, diolah Analysis Brief | | 16
Peningkatan pangsa bank persero dan BPD tampaknya semakin menguat selama enam bulan terakhir. Ketika kelompok bank lainnya mengalami perlambatan pertumbuhan kredit MKM yang signifikan bahkan tumbuh negatif, keduanya tetap bisa mencatatkan pertumbuhan kredit MKM yang cukup tinggi (lihat tabel 10). Tabel 10 Posisi Kredit MKM Menurut Kelompok Bank Umum (Milyar Rp) Sep 08 Okt 08 Nov 08 Des 08 Jan 09 Feb 09 Mar 09 Bank Persero 219.549 222.603 226.434 230.152 227.04 229.89 235.748 BPD 86.868 87.844 89.334 87.655 88.018 89.869 91.795 Bank Swasta Nasional 288.497 289.423 288.835 290.731 284.464 284.25 281.526 Bank Asing dan Campuran 25.984 26.079 26.399 25.406 25.459 25.313 28.098 Jumlah 620.898 625.949 631.002 633.945 624.981 629.322 637.167 Sumber: Bank Indonesia, diolah Rendahnya porsi kredit MKM yang disalurkan oleh BPR lebih disebabkan oleh faktor skala ekonominya yang masih kecil. Akan tetapi penyaluran kredit BPR tetap berorientasi kepada UMKM karena 99,15% kredit BPR berupa kredit MKM. Sedangkan ditinjau dari total kredit bank umum porsi kredit MKM (tidak termasuk kredit penerusan) adalah sebesar 48,5%. Industri BPR (konvensional dan syariah) dianggap dan diharapkan memiliki daya tahan yang relatif baik dan tidak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global. Bank Indonesia tampak berupaya agar fungsi intermediasi BPR terus meningkat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan kegiatan ekonomi, khususnya dalam skala MKM. Sejauh ini, selaras dengan perkembangan bank umum, penyaluran kredit BPR konvensional tumbuh lebih tinggi dari penghimpunan DPK. Kredit meningkat sebesar Rp4,9 triliun (24,0%), sementara DPK meningkat Rp2,6 triliun (14,0%) sehingga LDR meningkat menjadi 119,4%. Pencapaian LDR yang tergolong tinggi dan melebihi 100% itu dinilai masih aman dan dimungkinkan, karena juga dibiayai dengan menyertakan modal dan pinjaman. Apabila perhitungan LDR menyertakan modal dan pinjaman dalam komponen dana, maka LDR BPR konvesional pada tahun laporan sebesar 82,55% atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 80,03%. Penyaluran kredit BPR konvensional kepada jenis kredit konsumsi masih sangat tinggi, mencapai Rp10,6 triliun atau 41,7% dari total kredit BPR konvensional pada akhir 2008. Sementara itu, kredit modal kerja adalah sebesar Rp13,0 triliun (51,1%), dan kredit investasi sebesar Rp1,8 triliun (7,2%). Dilihat dari lebih besarnya untuk keperluan produktif, porsi penggunaan kredit itu sudah lebih baik dibandingkan dengan penyaluran kredit MKM pada Bank Umum. Sayangnya, BPR tampak masih bias perkotaan jika dilihat dari sektor ekonomi yang diberi kredit. Secara sektoral, sebagian besar kredit BPR konvensional disalurkan kepada sektor lain‐lain dan sektor perdagangan dengan porsi Analysis Brief | | 17
masing‐masing sebesar 44,3% dan 36,6%. Sementara penyaluran kredit kepada sektor pertanian yang identik dengan mata pencaharian penduduk di pedesaan hanya sebesar 6,9%. Patut pula diwaspadai gejala kualitas kredit BPR konvensional sedikit tertekan pada triwulan terakhir 2008, terutama kredit kepada sektor perdagangan dan skala usaha menengah dan besar. Rasio NPL kredit BPR konvensional mengalami lonjakan pada triwulan IV‐2008 dari sebesar 6,94% pada bulan September menjadi 9,88% pada bulan Desember. NPL kemudian memang bisa ditekan selama tiga bulan berikutnya. Namun, NPL Maret 2009 tetap menunjukkan angka yang lebih tinggi, yakni 7,50%.
Kesimpulan dan Rekomendasi Pada bagian awal review telah dikemukakan bahwa Bank Indonesia berulangkali menegaskan komitmennya untuk mendorong perkembangan kredit MKM. Bank Indonesia melaporkan telah banyak melakukan langkah dan kebijakan dalam rangka itu, antara lain: memberian bantuan teknis, mengembangkan kelembagaan, menyempurnakan pengaturan kredit perbankan, serta meningkatkan kerjasama dengan Pemerintah dan lembaga terkait lainnya. Dilaporkan pula beberapa kegiatan teknis seperti : penelitian pola pembiayaan (lending model) terhadap 15 jenis usaha unggulan UMKM, pengembangan database profil UMKM sebagai sarana promosi dan upaya menjembatani gap informasi; pengembangan UMKM melalui pendekatan klaster di Kantor Bank Indonesia (KBI) dan Kantor Pusat, serta pelatihan dilakukan kepada bank dan Konsultan Keuangan Mitra Bank. Sementara itu, terkait dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan bagian dari kredit MKM, Bank Indonesia sebagai mitra Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan penurunan bobot risiko dalam ketentuan perhitungan ATMR bagi kredit perbankan yang dijamin dan memenuhi persyaratan tertentu. Penyaluran KUR sendiri dilaporkan meningkat signifikan dengan kualitas sangat baik. Sejak diluncurkan pada bulan November 2007 hingga akhir tahun 2008, realisasi penyaluran KUR mencapai Rp12,62 triliun dengan total penerima sebanyak 1.671.668 debitur (rata‐rata kredit per debitur sebesar Rp7,55 juta), dengan rasio NPL gross sebesar 1,19%. Bank Indonesia juga melaporkan upaya mendorong peningkatan peran BPR dalam penyaluran kredit MKM. Dicontohkan antara lain diterbitkan PBI No.10/35/PBI/2008 tentang FPJP bagi BPR yang diikuti dengan dirilisnya SE Ekstern No.10/45/DKBU tanggal 12 Desember 2008 sebagai pedoman pelaksanaan, untuk memberikan kesempatan yang sama (equal treatment) kepada BPR untuk memperoleh fasilitas pendanaan Bank Indonesia bila mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka pendek. Bagaimanapun, review ini telah membahas berbagai data empiris terkait kredit MKM yang mengindikasikan tidak efektifnya berbagai langkah dan kebijakan Bank Indonesia tersebut. Perkembangan kredit MKM tidak terlampau menggembirakan, terlebih lagi untuk kredit mikro dari perbankan. Riset awal dari BRIGHT Indonesia atas perkembangan kredit MKM, terutama kredit mikro perbankan antara lain menyimpulkan bahwa: Analysis Brief | | 18
• Selama beberapa tahun terakhir, penyaluran kredit MKM perbankan tumbuh lebih rendah dari kredit non MKM, sehingga pangsanya atas total kredit perbankan cenderung menurun. Trends tersebut sejauh ini tidak berubah dengan adanya krisis keuangan global jika dampaknya dianggap mulai terjadi pada triwulan III‐2008. • Kredit mikro cenderung tumbuh lebih rendah daripada kredit kecil, meskipun lebih tinggi daripada kredit menengah. Pangsa kredit mikro dalam kredit MKM perbankan cenderung menurun, dan masih tetap demikian selama enam bulan terakhir. • Kualitas kredit MKM secara umum memang sedikit lebih baik daripada kredit non MKM dilihat dari rasio NPLnya. Akan tetapi rasio NPL kredit MKM juga cenderung mengalami peningkatan dalam enam bulan terakhir yang berarti dipengaruhi pula oleh dampak buruk krisis global. • Kualitas kredit mikro perbankan dilihat dari rasio NPL justeru lebih buruk daripada kredit kecil dan kredit menengah. Rasio NPL kredit mikro bahkan cenderung semakin memburuk selama enam bulan terakhir. • Penggunaan kredit MKM lebih banyak untuk keperluan konsumtif, dengan kecenderungan terus meningkat. Kecenderungan demikian lebih tampak pada perkembangan kredit mikro perbankan. Lebih rendahnya NPL untuk penggunaan konsumsi kemungkinan menjadi salah satu pertimbangan utama pihak perbankan dalam hal ini. • Alokasi kredit MKM masih sangat timpang jika dilihat dari lokasi proyek, baik secara Jawa‐ Bali dan non Jawa‐Bali, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia, maupun antara 10 Propinsi terbesar dengan 23 propinsi lainnya. • Alokasi kredit MKM berdasar sektor ekonomi memiliki kecenderungan yang semakin berorientasi kepada jasa, terutama jasa perdagangan dan jasa dunia usaha lainnya. Pangsa alokasi kredit kepada industri justeru semakin mengecil. Bias perkotaan juga diindikasikan oleh rendah dan menurunnya pangsa alokasi bagi sektor pertanian. • Kredit MKM dari BPR juga terindikasi bias perkotaan jika dilihat dari sektor ekonomi yang diberi kredit dimana pangsa sektor pertanian masih amat kecil. • Klaim pertumbuhan KUR yang dianggap sukses masih memerlukan pencermatan lebih lanjut. Bisa dipertanyakan tentang mengapa alokasi kredit dari KUR tidak mampu menaikkan pangsa kredit MKM, khususnya kredit mikro seperti yang dibahas di atas. Tidak tertutup kemungkinan, sebagian cukup besar alokasi KUR adalah kepada para debitur yang sebelumnya sudah mendapat akses, yang tentu saja dengan sedikit penyesuaian administrasi. Riset awal dari BRIGHT Indonesia ini memang masih menggunakan definisi kredit MKM yang disediakan oleh Bank Indonesia, yang masih mengikuti definisi kredit MKM berdasarkan plafon. Namun, sesuai dengan UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM tanggal 4 Juli 2008, definisi kredit MKM dan kriteria usaha kecil mengacu pada kriteria usaha berdasarkan kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Analisis yang lebih akurat memerlukan penyesuaian definisi. BRIGHT Indonesia amat menyarankan agar Bank Indonesia menyesuaikan definisi dan datanya sesegera mungkin. Oleh karena tidak atau kurang efektifnya kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong perkembangan kredit MKM, BRIGHT Indonesia menyarankan tindakan yang lebih bersifat langsung. Analysis Brief | | 19
Bank Indonesia diharapkan memberi bantuan teknis yang tidak setengah hati seperti saat ini. Begitu pula dengan upaya mendorong BPR sebagai bank khusus untuk UMKM memerlukan langkah yang lebih nyata. Bantuan yang bersifat lebih langsung memang memiliki catatan buruk di masa lampau karena mengundang moral hazard, namun dengan pengawasan yang lebih baik maka hal itu akan bisa dihindari atau diminimalkan. Bank Indonesia semestinya juga mencermati perkembangan keuangan mikro secara umum, tidak terbatas kepada perbankan saja. Secara formal tampaknya telah ada pengakuan mengenai hal ini, antara lain dengan keterlibatan Bank Indonesia bersama Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia, pada tanggal 28‐30 Juli 2008 di Nusa Dua, Bali, telah menyelenggarakan Asia‐Pacific Regional Microcredit Summit 2008. Tentu diperlukan lebih dari pengakuan formal, melainkan kerjasama yang lebih nyata. BRIGHT Indonesia memiliki dugaan (melalui riset lain yang masih berlangsung) mengenai perkembangan kredit mikro yang lebih baik dari lembaga keuangan mikro dibandingkan dengan dari perbankan. Kecenderungan perkembangan kredit mikro yang memburuk pada perbankan sebagaimana dilaporkan research review ini seharusnya menjadi alasan kuat bagi perhatian yang lebih besar kepada lembaga keuangan mikro pada saat ini dan di masa mendatang.
Analysis Brief | | 20