Sowoneul Malhaebwa - Part Three

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sowoneul Malhaebwa - Part Three as PDF for free.

More details

  • Words: 2,239
  • Pages: 10
Eldora Aristian’s first fan fiction project,

.:tell me your wish:. .PART THREE. ‘Tahukah kau bahwa bukan hanya kau yang merasakan sakit?’

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

Sowoneul Malhaebwa

Disclaimer: (sayang sekali) Ngga mempunyai semua unsur dari ff ini (bahkan Super Juniorpun ToT). Hanya main kata dan plot, judulpun credit ke SNSD’s Sowoneul Malhaebwa (judul Koreanya) lalu KYUMIN MILIKKU! *SHOT* Terinspirasi dan berniat mengkonstruksi ulang kejadian dari berita lama April 19 2007 Super Junior Car Accident, sedikit merubah ceritanya, tapi plotnya hampir sama kaya aslinya. Waktu, tempat, etc, sudah disurvei keberbagai sudut kota Seoul. *plakk* Rating: Enaknya berapa ya? *disepak* G aja deh (padahal kaga tau G itu apa) Point of View: Gantian. Sungmin, Kyuhyun, Sungmin, Kyuhyun, dst. Pairing: KyuhyunxSungmin [kyumin/sunghyun]*sudahpasti* Side Pairing: EunhyukxDonghae [eunhae/donghyuk] SungminxHeechul [minchul/heemin] Summary: Ketika kesalahpahaman dan kebohongan menyelimuti kamar kami, semua berubah menjadi ilusi. Tidak—seperti ilusi. Sayang sekali, ini nyata, matey. Mood: Pissed off .____. Now Listening: Usan – Epik High feat. Younha

1

Seoul, Super Junior’s dorm. Our room. April 19, 2007. 02:23 PM.

“Hyung—” “Hyung.” “…kau dimana?”

Seseorang yang sedang duduk diatas kursi kebun itu dia. Kulihat tubuh kurus itu dililit cardigan putihnya. Senyum indahnya terukir diwajahnya yang pucat. Hyun-ah yang kukenal. Sama sekali tidak ada darah sesulit apapun mataku meraih sela benang yang merajut, membentuk pakaiannya. Dan sangat nyata. Sulit kupercayai apa-apa yang kulihat detik lalu itu. Dan tampaknya aku juga tidak akan mau percaya. “Kau tidak apa-apa?” Aku penasaran. Kudekati dia selangkah demi selangkah. Kuperhatikan senyum diwajahnya. Memudar setiap kakiku menapak tanah. Aku mengeryit. Khawatir. Sampai tepat didepan tubuhnya; ekspresi wajah marah. Seumur hidup, belum pernah kulihat dia memperlihatkan ekspresi itu didepanku. Aku takut. Sampai akhirnya dia membuka mulutnya lagi. “Jangan dekat-dekat.” “…kena—” “Aku benci padamu. Benci sekali.” … Tolong tampar aku. Bilang ini mimpi.

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“Disini.”

“Ja, jang—” “SUNGMIN-SSHI? KAU TIDAK APA-APA?” Kubuka mataku lebar-lebar. Kuusap dengan kasar. Kulihat sekelilingku. Penuh orang. Dari Siwon-ah yang duduk dipinggir tempat tidurku sambil memegang botol minyak angin, sampai cleaning service apartemen. Semuanya. “Sungmin-sshi?” Tangan besar Kangin bergerak-gerak didepan mataku, bermaksud menyadarkanku. “Bagaimana keadaan semuanya?” Walaupun aku cuma sangat ingin tahu keadaan satu orang saja. Semua terdiam. “Tolong jawab.” “…” “Mereka semua menderita luka parah. Namun yang terberat Kyuhyun-sshi, paru-parunya tertancap pecahan kaca mobil dan sulit bernafas. Tim dokter sedang berusaha keras.” Mataku berkaca-kaca. 2

“Antarkan—“ “Tidak sekarang.” Yesung dan Wookie menahan lenganku. “Aku ingin sekarang,” Aku berontak setengah menangis. “Kita harus tenang, Sungmin-sshi—kau tidak boleh kekanak-kanakan;”

Aku berteriak sambil menangis. Tak perduli lagi. Meski pada Kibum-sshi yang berkata seperti itu padaku. Aku tak tahu lagi apa yang ada dipikiranku. Aku hanya ingin ada disampingnya saat dia mempertaruhkan nyawanya diruang gawat, memberitahu bahwa aku ada bersamanya. Apakah itu salah? Salahkah jika aku selalu ingin mendukungnya? “Aku mengerti perasaanmu, Sungmin—tapi tetap, walaupun dia teman sekamarmu, mungkin dia dekat denganmu atau malah sahabatmu—“ Bahkan dia bukan sekedar teman dekat atau sahabat. “Cukup. Aku akan pergi sendiri.” Aku melompat dari tempat tidur. Duniaku masih berputar. “Pikirkan, Hae—memangnya kau bisa tenang saat Hyukkie-mu seperti ini?” “He-hei—“ BRAKK.

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“TOLONG IJINKAN AKU KEKANAK-KANAKAN UNTUK TERAKHIR KALINYA!”

Kubanting pintu sambil berlari menuju ruang tengah, tempat telepon ditaruh. Kulemparkan tubuhku yang kurus keatas sofa sambil kutarik gagang telepon dari tempatnya. Kupencet nomor layanan manajemen dan kudengar suara rekaman pita kaset gadis layanan telepon. Tanpa basa basi, kutekan extension number ke car pool Seoul. Namun tak kunjung diangkat. Aku benar-benar frustasi saat ini. Bulir-bulir air mataku kembali mengalir deras, sederas berliter darah yang kupompa dari jantungku. Aku cengeng. Aku menjadi seorang lelaki banci lemah yang tak bisa apa-apa saat ini. Bodoh. Aku ingin sekali berlarian kejalan, mencegat satu dua taksi—namun itu tak mungkin. Mungkin sebelum aku turun kejalan, sudah ada pers yang mengerubungiku. Dan sesungguhnya aku tidak terlalu menyukai itu. “Hei.” Seseorang menepuk pundakku dari belakang. “Mau kuantar?”

3

Seoul, Kang Nam hospital. Emergency room. April 19, 2007. 02:51 PM.

“…kena—” “Aku benci padamu. Benci sekali.” Maaf.

Maaf.

Jangan pergi.

“Dokter. Pasien ini begitu parah.” “Detak jantungnya mulai melemah.” “Luka diparu-parunya melebar.” “Dia sulit bernafas. Namun kita tidak mungkin melakukan operasi sekarang.” “Suster, catat terus perkembangannya.” “Baik.”

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

M a a f.

Kata demi kata kudengar meski sayup-sayup. Masih bisa kurasakan setiap tusuk jarum super steril itu menusuk epidermis kulitku. Agak nyeri. Biusnya mulai hilang. Aku bisa merasakan semuanya. Aku masih hidup. Walau tetap ogah membuka mataku, entah kenapa. Aku masih ingin terus begini. Merasakan semuanya tanpa melihat. Aku takut melihat. Dan saat membuka mata nanti, hanya satu orang yang ingin kulihat. Bukan malaikat ataupun Tuhan. “Tuan Cho! Jangan bangun dulu—“ Dan secara tiba-tiba, aku kehilangan kesadaran.

Seoul, on the road to Kang Nam hospital. Heechul’s car. April 19, 2007. 02:23 PM.

“Chul, cepat sedikit dooong.” Aku ribut sendiri. “Sabar Minnie sayang—ini keretanya baru lewat.” “Tanpa kata sayang; bisa tidak?” Aku menggerutu. 4

“—kau masih punya satu utang lagi lho, Heechul cantik.” Aku menyeringai. “….?” “Cepatlah jalaaaaan, atau kau mau peralatan mani-pedimu kusembunyikan?” “Ja-jangan, aku tidak bisa hidup tanpa benda-benda itu~” Heechul kembali memacu gasnya. Namun terhenti. Terhadang sekelompok mobil polisi dan garis-garis kuningnya. Ada pula mobil-mobil stasiun televisi. Bekas darah dan mobil terbalik. Kaca yang pecah. Semuanya berputar didalam pikiranku. Dan itu semua terlihat dari jarak ratusan meter dari mobil ini. Sebegitukah parahnya? Maka kronologi peristiwapun terkarang rapih diimajinasiku. Tak terbayangkan jika lubang besar dikaca tersebut pernah dilewati tubuh manusia. Dan manusia-manusia itu adalah keluargamu. “Ma-maaf, aku lewat jalan yang sa—”

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

Bibirku mengerucut sebal. Tak kusangka itu malah membuat Heechul brengsek disampingku ini tertawa senang. Aku bingung, kenapa dia sehobi itu untuk menggodaku? Bahkan disaat-saat seperti ini. “Tidak lucu.” Aku berbisik. Tawanya berhenti. Tangan kirinya meraba pipiku. Memfokuskan pandangannya tepat diretinaku. “Bisakah untuk satu detik saja kau tidak manis? Lama-lama aku bisa jatuh cinta padamu, nih.” Jantungku berdegup. Pipiku yang dia sentuhpun ikut bersemu. “Berisik. Keretanya udah lewat, tuh.” Kutepis tangannya dengan kasar. “Kenapa kau selalu dingin padaku, hm?” Dia bertanya sambil lanjut menyetir. Tak pedulian. Itu memang sifat aslinya.”Habis, kau genit sih.” Kunyatakan dengan polos dan wajah tak punya dosa. Dia terkekeh. Mulai menyerangku dengan tatapan mesumnya—oke, mulai sekarang mari kita panggil tatapan itu sebagai tatapan mesum—lagi sampai akhirnya berhasil kualihkan. “Lagipula—“

“Minnie?” “…” Tak kusadari—bulir-bulir itu mengalir lagi. Tangan Heechul mulai bergerak. Meraih sapu tangan didalam saku celana jeansnya. “Butuh ini?” Tanyanya angkuh sambil menyodorkannya padaku. “Tidak. Tidak u—“ “Kapanpun. Kau butuh.” Jemari lentiknya mendekapku didadanya. Hangat.

Seoul, Kang Nam hospital. Emergency room. April 19, 2007. 03:12 PM. 5

“Tuan Sungmin, mulai sekarang—dia teman sekamarmu.” “E-eh? Iyakah? Salam kenal ya! Semoga betah disini~” “Te-terima kasih. Mohon bantuannya/ Aku—Cho Kyuhyun.” “Sama-sama. Aku tahu kau, kau hebat lho. Padahal persaingannya sangat ketat.” “Tidak terlalu—ah, tidak selebih itu, Sungmin-hyung.”

Matanya yang berbinar bahagia. Saat pertama kalinya aku menyadari keberadaan matahariku.

“…” “Tuan Cho! Jangan bergerak dulu—” Selamat pagi tuan Cho Kyuhyun, yang baru sadar dari pingsan dua detik lalu.

Seoul, Kang Nam hospital. Front of. April 19, 2007. 03:51 PM.

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“Sama sekali tidak. Kau hebat!” Dia mengembangkan senyumnya. Lebar-lebar.

“Sekarang?” ”Mau kapan lagi?” Kulangkahkan kakiku dengan hati-hati keluar mobil. Aku melongok dari luar pintu, menunjuk-nunjuk pintu rumah sakit. “Tidak keluar?” Dia tersenyum. “Tidak. Aku mau parkir dulu. Kau duluan saja, sebaiknya cepat sebelum wartawan tahu kehadirannmu.” Aku ikut tersenyum. “Oke. Aku duluan.” Kulambaikan tanganku sembari memakai masker, kacamata hitam dan topi putih biasa. Penyamaran kecil itu perlu, apalagi aku sama sekali tidak dikawal siapapun saat ini. Dengan setengah berlari aku memasuki rumah sakit—dan seperti yang kuduga, lobby telah penuh media. Cetak, televisi, radio, semua bergabung menjadi satu. Bahkan cangkir-cangkir dan gelas-gelas kopi sudah menjadi lautan disana. Para petugas rumah sakit sudah berusaha mengusir mereka, namun mereka sama sekali tidak mau menjauhi rumah sakit barang sesenti pun. Aku menelan ludahku, mencoba bersikap biasa dan berlagak seperti orang sakit lainnya. Kulangkahkan pelan-pelan otot-otot kakiku. Satu langkah, dua langkah. Aman. Namun aku sama sekali lupa— “ITU SUNGMIN! SUPER JUNIOR SUNGMIN!” 6

—mereka jeli. Satu wartawan berteriak dan ratusan sekutunya ikut menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku lari sekencang-kencangnya, menyadari mereka yang tadinya asyik ngaso malah bergegas mengambil kamera dan berdiri seperti kucing siaga yang bersiap menerkam tikus bandel. Aku tidak tahu aku ingin pergi kemana. Aku hanya mengikuti kemana kakiku pergi, dan jalan manapun yang kosong, tanpa basa-basi kulewati. Pada akhirnya aku terperangkap disini, dijalan buntu. Aku tersudut. Sedangkan wartawan itu sudah mulai mendesakku dengan berbagai pertanyaannya.

“Bagaimana keadaan yang lain?” “Lalu—“ "Kenapa tidak aku saja? Dia masih punya banyak urusan—asal kalian tahu." Hee—kau-tahu-siapa lah. Dia memberi gesture kau-pergi-aku-saja-yang-urus. Seketika gerombolan wartawan yang mengurungku tadi mengerubungi Heechul. Aku mengangguk sambil berlari kepintu besar tembus pandang berneon hijau diatasnya. Emergency room. Bertirai dan tertutup. Meski begitu, banyak sekali orang berlalu lalang disana. Dan steril, tanpa kamera sejauh mataku memandang. Tepat dilangkah terakhir kakiku melangkah, seseorang bertubuh besar dan berjas putih menghadangku. "Tuan Cho sedang sekarat. Mohon jangan diganggu." Katanya sambil tersenyum ramah padaku. Tersirat cahaya kebapakan dari balik kacamata tebalnya. Aku memandangnya. Kulepas topi dan segala penyamaranku. "Aku Lee Sung—" "Aku tahu." Dia tertawa kecil. "Tapi maaf," Tangan besarnya menepuk pundakku. "Saat ini dia masih belum bisa diganggu sama sekali." Kulihat dia memandangku dengan agak iba. "Namun tenang saja,

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“Sedang apa anda disini?”

"dia tidak sendiri." Siapa? Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Teman wanita—? "Ada ayahnya.”

Seoul, Kang Nam hospital. Emergency room. April 19, 2007. 04:01 PM. … "..yah." 7

"..." "A—yah?" "...nak?" Aku berusaha bangun. Tapi—sulit. Tubuhku nyeri disana-sini dan sama sekali tidak nyaman. Ayah terbangun dengan cepat, gurat kekhawatiran tergambar jelas diwajahnya. “Jangan bangun dulu.” Kutatap matanya yang merah. Mungkin dia menungguku semalaman disini. Kasihan ayah. “Kau— baik-baik saja?” Tanyanya penuh curiga. Aku tersenyum sekuat tenaga otot mulutku, walau hasilnya hanya segaris pucat sedikit melengkung diatas bibirku. “A—ak—u—baik—ba—ik—saj—a. Ja— ngan kha—w—”

“Aku harus memberi tahu para wartawan dulu—“ Aku menggeleng sekeras yang kubisa. Air mataku menetes. Kugenggam erat jemarinya. “Kau ingin ayah disini? Menemanimu? Aku mengangguk. Seketika tertidur dilengan kuat ayahku. Entah ini namanya tidur atau bukan. Kurasa lagi-lagi—

Seoul, Kang Nam hospital. Emergency room. April 19, 2007. 05:21 PM.

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“Khawatir. Aku tahu itu, son.” Dia tersenyum. Kulihat genangan air dipelupuk matanya.

“Tuan.” “…” “Tuan?” “Hng…ah?” “Sudah boleh mengunjungi pasi—“ “BENARKAH?” Aku berdiri tergesa-gesa, tak memperdulikan suster yang membangunkanku tadi melongo karena reaksi spontanku tadi. Kubuka pelan-pelan pintu ruangan putih dan besar itu, kucari sosoknya.Tak sulit menemukannya, karena setahuku hanya dia pasien satu-satunya yang dirawat di emergency room. Ketemu. Dan benar, bersama ayahnya. Kudekati ranjangnya. Samar kulihat tangannya sedang menggenggam erat tangan ayahnya. Aku tersenyum. Disaat bersamaan aku tidak ingin mengganggu mereka. Aku tahu betul Hyun-ah sangat mengagumi ayahnya, si ketua yayasan itu. Dulu sebelum memulai debut, dia sempat disuruh melanjutkan yayasan tersebut. Aku juga tahu betul ayahnya itu 8

sangat tegas padanya, maupun pada Ahra-unnie. Aha, dia cerita banyak padaku. Aku mulai meninggalkan mereka. Setidaknya hatiku sudah lebih tenang sekar— “Hei.”

Dia memanggilku. Memangnya ada lagi temannya Kyu diruangan ini? Aku menengok sambil tersenyum padanya. Kuhampiri dia yang membalas senyumanku dengan sangat ramah. Tiba-tiba dia berdiri. Aku kaget. “Tolong jaga anakku ya, aku masih ada urusan jam segini, sebenarnya.” Sambil menyerahkan tangan Hyun-ah yang tengah digenggamnya. Kugenggam erat tangannya yang dingin, dan kulihat dia menepuk-nepuk kursinya yang telah kosong. “Duduk sini—kita ganti shift.” Dia tertawa kecil. Aku ikut tersenyum dan menduduki kursinya. “Aku percaya padamu.” Katanya sambil meninggalkanku. Dan Hyun-ah, tentu saja. Kudengar pintu ditutup pelan. Lalu hening. Aku tidak tahu ingin berbuat apa. Hatiku sakit. Keringat membasahi telapak tanganku yang menggenggam tangannya. Genggamanku melemas. Aku ingin sekali ikut tidur bersamanya, seperti biasanya. Kutatap wajahnya yang pucat, tak berekspresi. Dingin. Kuletakkan telunjukku dibawah hidungnya. Aku masih merasakan uap hangat keluar dari sana. Persis seperti malam-malam sebelumnya. Bibirku membentuk lengkungan dan dengusan lega keluar dari hidungku. Aku memang selalu ketakutan. Aku dicekam rasa ketakutan itu. Selalu ada disetiap hembus nafasku. Ya. Aku memang dan selalu takut. Aku takut kehilangan dia. … “Hei, Kyuhyun-ah—aku mau minta maaf dulu, nih.”

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“Temannya Kyu ya? Sini-sini.”

“Aku janji, aku tidak akan pernah egois lagi dan bersikap kekanak-kanakan.” Well, aku hanya bisa berjanji. “Jangan lupa, nanti oleskan minyak ke engsel pintu kamar kita ya.” “Aku tidak bisa, soalnya—aku ‘kan pendek. Hihihi.” “Lalu aku ingin memasak untukmu. Kau suka semua masakanku kan?” “Dan temani aku terus. Jangan pernah pergi.” “Karena aku tidak bisa apa-apa— “tanpa kau disisiku. Percayakah kau?” …



9

“…hei.” “Kyuhyun-ah, aku kesepian nih. Cepat bangun dong.” “Jangan diam terus seperti itu.” “Jangan egois.” “Jangan biarkan kau sendirian yang menanggung semuanya.” “Tahukah kau bahwa bukan hanya kau yang merasakan sakit?”

Air mataku meleleh. “Saranghae.”

… “Hei, Kyuhyun-sshi.” “Hm?” “Aku—“ “—sekarang tidak kesepian lagi. Karena ada Kyuhyun-sshi disampingku.”

Part Three. Sowoneul Malhaebwa

“Dan—dan——“

“Terima kasih!” (smile brightly) “….” (blush) “…kembali.”

Catatan Kaki Part 3, November 10 2009, 04:48 PM @ my room. ERRRRRRRRGHH MAAPIN GUE! *SEMBAH TANGGALAN* Gila, udah lewat dua hari dari deadline part empat, parah banget gue. Ini ribet banget nyari feel macem-macemnya, sumpah ga boong gue. Ditambah writers block yang lagi melanda otak gue, makin beratlah perjuangan gue nyelesein part tiga aja. Cih. Mana nyokap kurang bersahabat lagi, masa laptopnya disita. Adek gue juga membullshitkan diri, dia terus yang main laptop, gue ga pernah bole. Mampus lu nilailu anjlok kan sekarang (evilsmirk) *ditabok* Oh iya, terus gara-gara pensi sekolah gue juga tuh, ngewajibin gue pulang malem terus. Yah, untung aja pensinya sukses. Lah kok gue malah curhat disini? =)) *disepak* OKE, MARI KITA KEBUT PART 4! Terima kasih banyak, seperti biasa m_ _m *mepet page* *evilsmirk* *direbus*

10

Related Documents